POV Helen.Yes, akhirnya. Aku bisa mengangkut Rahman dengan Bu Samirah, meski hanya untuk ke Rumah Sakit. Setidaknya aku lebih berguna dari si dekil itu. Untung tadi aku melihat status mbak Susan yang sedang galau karena piketnya belum berakhir, sedangkan suaminya harus kontrol. Meski sesungguhnya ini hal yang tak guna, setidaknya aku ada andil tenaga di keluarga Rahman, dan selamanya mereka akan berhutang budi padaku. "Mobilmu wangi sekali, Len," ucap ibunya Rahman yang duduk belakangku. "Sama aja kali, Bu, dengan mobil lain," sahutku dengan fokus menyetir. Jarak rumah sakit tidak begitu jauh dari rumah Rahman. Karena kami kebetulan tinggal di kampung yang bukan pelosok banget. Hanya masuk ke dalam sedikit. Aku sungguh bahagia, kini lelaki pujaanku siang malam itu, tengah duduk di sampingku. Yah, disampingku. "Ku harap, suatu saat, kamu yang membawa mobil ini. Dan aku duduk disitu," ucapku dalam hati. Sungguh tak bisa kuhindari rasa bahagia ini."Kamu hebat sekali, Len. Punya mobi
Pov Rahman. "Assalamualaikum." Terdengar ucap salam dari arah pintu depan. Aku yang sedang menikmati secangkir kopi buatan Mala sebelum dia pergi tadi, terpaksa harus bangun dan melihat siapa tamu yang datang sepagi ini. Saat aku membuka pintu, ternyata Helen. Dia tersenyum dan menyapaku."Hai, Man. Apa kabar?" tanyanya sambil menyodorkan tangannya, aku pura-pura tidak melihat tangannya yang menggantung dan Helen menariknya kembali dengan wajah kecewa."Baik. Ada apa, Len?" tanyaku dengan nada cuek. "Aku disuruh Mbak Susan menjemput bang Rahmat. dia ada jadwal terapi hari ini, dan Mbak Susan nggak bisa nganter, jadwal piketnya belum selesai," ucapnya dengan terus memandangku dengan tajam. Jujur saja, aku sedikit gugup bertemu dengan Helen berduaan begini. Apalagi saat Mala tidak ada, kalau tiba-tiba saja Istriku datang, sudah pastilah dia akan mencurigaiku yang nggak-nggak."Ya udah, masuk." "Eh, Man," panggilnya lagi saat aku telah membalikan badan dan berniat masuk."Kenapa?" uc
"Man, mau ke mana?" kulihat ibu tergopoh datang dengan soulmate-nya Bu Usman. Dan ternyata ibu pun akan ikut karena diajak Helen. Wajah Mala semakin masam dan semakin ngambek saja. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, selain meminta maaf dan minta izin. Meskipun Mala tidak mengizinkannya, tapi akhirnya aku masuk ke mobil Helen dan duduk di depan, karena di belakang ada bang Rahmat dan ibu.Aku terus memikirkan Mala. Banyak ucapan-ucapan Helen yang mencoba mengembalikan kembali kenangan kami dulu. Tapi sungguh, tidak ada sedikitpun terlintas dalam benakku untuk merajut kembali kasih yang telah usai dengannya. Biarlah cintaku pada Helen yang memang masih ada hingga saat ini, kupendam sendirian. Karena tidak begitu besar dari rasa cintaku kepada Mala. Helen hanyalah masa laluku, sedangkan Mala adalah masa depanku. Aku tidak begitu ambil pusing dengan obrolan ibu dan Helen.Sesampainya di Rumah Sakit, dia pun terus saja berbasa-basi. Tapi aku tetap menanggapinya dengan cuek. Aku malas menangga
Pelajaran pertama untuk Helen.Setelah melempar kerikil ke arah mobil Helen yang melaju kencang, tangisku pun pecah. Sakit sekali. Aku memukul-mukul dadaku dan berbalik berniat masuk kedalam rumah. "Mala! Ada apa?" tanya Tika, yang datang tiba-tiba entah dari arah mana. Dia membalikan tubuhku lalu mendekapnya. Aku menangis sesenggukan dipelukan Tika."Ayo, Masuk. Gak enak nanti dilihat orang," ajaknya. Tika memapahku dan mencoba menenangkan aku. Kuhenyakan bokong di kursi ruang tamu. Tika tak berkata sepatah katapun. Ia hanya mengelus punggungku yang masih terisak. Entah berapa lama aku menangis dan Tika masih setia menemaniku. Kebetulan pagi ini, aku sendirian di rumah. Bapak sudah pergi bekerja, mbak Susan belum pulang dan Wulan sekolah."Anakmu nggak di ajak?" tanyaku disela isakan sambil coba mengusap pipi dan mata oleh ujung dasterku, tapi tangisanku belum bisa reda. Airmata ini seakan berlomba untuk keluar membuat penglihatanku buram. "Aku kesini mau nganterin ini," ucapnya s
"Hah? "Tap—.""Tapi, saya hanya mau beli rumahnya saja, Bu! Gimana?" ucapku tergagap. Karena perabotan di rumah ini masih pada bagus dan aestetik. Seperti yang kubayangkan versi rumah DIY impianku."Kenapa?" tanyanya heran. "Uangnya takut gak cukup," cicitku dengan mata sayup. Membuat Bu Novi seketika tertawa. "Kalau 125 plus perabot, Dek Mala, mau?" tanyanya dengan senyum simpul. "Hah!" "Kok kagetan begitu?" ucapnya sambil terkekeh. "Serius, Bu? 125 sama perabotnya lengkap?" tanyaku menyakinkan. Beliau mengangguk dengan pasti. Rasanya aku ingin salto dan pargoy saja. Rumah dengan tampilan yang aku inginkan, perabot lengkap dan tinggal pindah sajaYa...Tuhaaaaaan, terima kasih. Aku berteriak riang dalam hatiku. "Nanti sore saya ke rumah, Ibu, lagi sama suami ya, Bu!" ucapku bahagia. "Saya tunggu!" sahutnya. Kami pun pulang ke rumah masing-masing, tak lupa aku pamit pada Tika, ku ucapkan terima kasih dan kuselipkan dua puluh ribu pada anaknya Tika. Meski Tika menolak. Aku tetap
Panik.Mala bergegas pergi ke kamarnya setelah mengoleskan sambal di wajahnya Helen. Ia bingung bagaimana mencuci tangannya yang belepotan oleh sambal. Untung saja di kamarnya tersedia tisu basah, dia dengan segera mengelapnya, lalu berbaring di ranjang seolah-olah sedang rebahan. Sedangkan teriakan Helen makin histeris dan ada suara ribut juga dari arah dapur. Ia meyakini itu adalah suara ibu mertuanya. Tapi ia tak peduli, ia meraih ponselnya lalu memainkannya. Tapi kupingnya ia tajamkan agar keributan di dapur bisa terdengar dengan jelas."Ada apa?" tanya bu Samirah kaget dan bingung saat melihat Helen. "Mala mengoleskan sambal ke mataku, Bu!" adunya dengan wajah yang tidak karuan, akibat digosok dengan air. Eyelinernya belepotan mengakibatkan cemong, bulu matanya rontok sebagian. Baju depannya basah terkena tetesan air. "Mana Mala? Dia tidak di sini?" ucap bu Samirah sambil celingukkan mencari menantunya. Sedangkan Helen terus mengusap-ngusap mukanya dengan air."Dia lari setelah
"Ada apa ini rame sekali sih dari tadi?" ucapnya, sambil menggosok kepalanya dengan handuk. Untung saja Rahman telah berpakaian di dalam kamar mandi, jadi ketika dia keluar sudah rapi.Memang kebiasaan di rumah Bu Samirah seperti itu, siapapun yang mandi pasti saat keluar harus sudah berpakaian rapi.Alasannya, karena anak-anak Bu Samirah sudah dewasa. Tidak pantas kalau keluar kamar mandi hanya dengan menggunakan handuk. Belum lagi kalau tiba-tiba ada tamu atau tukang gas yang suka masuk dapur. Kebiasaan itu sudah berjalan lama, sejak Rahmat dan Eni remaja. "Istri kamu tu, Man. tiba-tiba saja mengolesi wajahku dengan sambal. kurang ajar sekali, kalau saja bukan wanita hamil, sudah kuhajar dia," ucap Helen berapi-api. Dia berharap, Rahman akan membelanya. Karena dulu, Rahman tidak pernah membiarkan siapapun menyakiti dirinya, bahkan ketika mereka jalan dan ada seekor nyamuk yang menggigit Helen, pasti nyamuk itu akan diuber oleh Rahman, sampai nyamuk itu mati ditelapak tangannya. Ra
Drama istri sah."Eh, mobilku ada, Man," tawar Helen. "Mala gak akan mau?" "Kenapa?" "Nggak, aku mau ke pak RT aja," ucap Rahman sambil melangkah ke pintu. "Ini darurat, Man. Bagaimana kalau ada apa-apa sama istrimu," ucap Helen, yang sontak membuat langkah Rahman terhenti. Ia berdiri sejenak memandang ke arah istrinya yang terbaring di kasur dan Helen yang berdiri tak jauh dari tempatnya berdiri. Gamang? tentu saja. Rahman tak ingin membuat kecewa istrinya untuk kedua kali. Kalau membawa kakaknya saja, Mala marah, apalagi kalau sekarang malah Mala yang dibawa oleh mobil Helen. "Nggak, nggak!" tolak Rahman sambil berbalik hendak keluar. Saat itu juga pas dengan Susan berdiri di ambang pintu kamar Rahman. "Assalamualaikum, ucapnya. Ia mengerutkan dahinya saat melihat keluarganya berkumpul di kamar adik iparnya. "Ada apa ini?" tanya Susan, dengan hati berdebar, karena ia mempunyai suami yang sedang sakit. Meski bagaimanapun sikapnya pada Rahmat, tapi jika terjadi sesuatu pada su
Bab 223. Suka sama Abang, nggak?"Man, ayo pulang. Aku harus ke Jakarta hari ini," ucap Arif memotong omongan Rahman dengan segera. Karena setelah dipikir-pikir olehnya, ini memang terlalu cepat. "Tadi katanya—""Sekarang nggak! Ayo pulang," ucap Arif dengan gusar karena Rahman malah terlihat seperti orang bodoh."Akh, ok!" Hanya itu ucapan yang keluar dari bibir Rahman lalu ia bangkit dan berpamitan pada mertua serta adik iparnya. Bu Sarah menyuruh mereka untuk makan dulu, tapi Rahman menolak dengan alasan Mala susah memasak. Bu Sarah tak bisa memaksa karena dia pikir juga anaknya pasti sudah menyediakan makanan yang enak. Satu persatu mereka saling berjabat tangan tak lupa Arif juga meminta maaf telah merepotkan semuanya. Namun hanya disambut tawa oleh keluarga pak Ahmad dan mereka bilang tak merasa direpotkan."Jangan pacaran, ya!" bisik Arif saat dia bersalaman dengan Aisyah. Gadis itu mengerutkan dahinya dan menatap pria dewasa yang berbadan tegap itu."Ingat pesan, Abang, ya!"
Bab 222. Maaf.Sementara di rumah Mala, wanita itu kini tengah bercerita kepada mertuanya yang sedang duduk dan melihat wajah menantunya dengan seksama. "Bu, alhamdulillah Arif sudah ditemukan, jadi tidak lama lagi mas Rahman akan pulang," ucap Mala sambil menutupi kaki Bu Samirah oleh selimut yang baru saja selesai dipijit olehnya.Bu Samira menarik sedikit ujung bibirnya, dia tersenyum lega saat mengetahui bahwa teman anaknya itu kini sudah ditemukan.Ibu mau tidur sekarang atau mau menunggu mas Rahman dulu?" tanya Mala dengan lembut."Ibu nunggu Rahman aja!" sahut Bu samirah dengan pelan membuat mata Mala sedikit terbuka karena ternyata mertuanya menyahuti pertanyaanya setelah lama terdiam."Alhamdulillah, Ibu sudah bisa menyahuti saya," ucap Mala sambil terduduk lagi dan memegang bahu mertuanya dengan tatapan yang tidak bisa diucapkan oleh kata-kata. betapa bahagianya dia saat ini mengetahui sang mertua sudah bisa kembali berkomunikasi. "Memangnya kamu pikir, Ibu ini bisu?" tany
Bab 221. Kesasar Bagian 2. "Ais kamu kok bisa ke sini?" Arif malah bertanya seperti itu."Aku mencari Abang! Bang Rahman tadi ke rumah, katanya Abang belum pulang. Akhirnya kami mencari Abang, takutnya Abang kesasar dan benar saja Abang ada di sini. Abang kenapa ngambil jalan sini sih?" ucap Aisyah dengan sedikit kesal."Maafkan Abang ya, is jadi merepotkan semuanya. Abang tadi lupa beloknya harus kemana, ini kan jalan cabang empat jadi Abang bingung mau lurus, belok kanan atau belok kiri. Eh, Abang malah ke sini dan ternyata ini nggak ada kampung malah kebun semua," ucap Arif dengan jujur dan tak enak hati."Lah iyalah, ini kan jalan untuk ke hutan, Bang. Disebelah sana ada kebun-kebun para warga dan memang ada pemukiman juga, tapi itu khusus untuk mereka yang rumahnya jauh dan memiliki ladang disini. Dan tentu saja tidak setiap hari mereka menginap maka tidak akan ada orang. Jadi sangat sepi, terus mobil Abang mana?" tanya Aisyah."Mobil Abang di sebelah sana, Is. Bannya nyelip jad
Bab 220. Kesasar.Rahman mengendarai motornya dengan pelan. Karena ternyata pas keluar dari kampungnya harus melalui jalanan yang becek akibat hujan. Padahal di rumahnya seharian tadi, panas sekali. Jangankan hujan, mendung pun tidak. Bangunan rumah sang mertua sudah terlihat, namun mobil Arif tak ada disana. Rahman langsung turun dan mengetuk pintu. "Assalamualaikum!" "Loh, Bang Rahman?" pekik Aisyah saat pintu sudah terbuka lebar. Negatif thinking langsung menerpa pikirannya."Arif mana?" tanya Rahman pada Aisyah."Udah pulang dari tadi.""Mala gak menelpon kamu?" tanya Rahman lagi."Nggak, eh tapi sebentar. Aisyah lihat dulu ponselnya." Gadis itu seketika berbalik menuju kamarnya dan mencari ponselnya. Ternyata ada banyak panggilan dari WhatsApp dari sang kakak. Namun sayang sebelum sholat dia telah memasang silent mode on di ponselnya. Aisyah membaca pesan yang dikirim Mala satu persatu. Dia baru paham apa sebabnya yang membuat Rahman datang ke rumahnya. Di ruang tamu, Bu Sar
Bab 219. Kesasar atau hilang.Aisyah langsung masuk ke kamarnya meletakkan seluruh barang bawaannya. Kemudian gadis itu menuju ke dapur, berniat membuatkan minuman untuk Arif dan juga kedua orang tuanya. Tiba-Tiba Bu Sarah pun muncul di dapur."Kamu bikin apa, Is?" tanya Bu Sarah. "Ini aku bikin kopi buat Bapak sama Bang Arif, ada cemilan apa, Mak di rumah?" tanya Aisyah"Tuh ada rengginang sama goreng opak aja, baru digoreng tadi pagi sama Emak!" ucap Bu Sarah dengan menunjukkan letak toples rengginang dengan dagunya. Aisyah pun menata nampan dengan dua buah toples berukuran sedang, serta dua buah cangkir kopi. Lalu mengantarkannya ke hadapan Pak Ahmad dan Arif di ruang tamu.Pak Ahmad terlihat asik mengobrol dengan Arif, hingga sesekali tawa dari keduanya terdengar. Aisyah masuk kembali dan duduk di ruang tengah karena melihat bapaknya dan Arif sedang asik berbincang. Gadis itu gak berani ikut duduk disana."Hmz, Pak boleh saya bertanya?" ucap Arif dengan ragu-ragu. Dia menautkan
art 112. Hilang atau kesasar? Aisyah mengangguk tanda membenarkan pertanyaan Arif. Gadis berlesung pipit itu begitu sangat terlihat manis dipandang dari samping. "Hmz … bagus, Is. Abang salut sama kamu!" Hanya itu ucapan Arif. Sungguh bertentangan dengan isi hatinya. "Tapi, kalau seandainya ada laki-laki yang tiba-tiba melamar kamu, apa kamu mau terima, Is?" tanya Arif dengan perasaan yang roller coaster. Keringat sudah membasahi tubuhnya. Meski ia telah bersiap dengan penolakan, tapi sisi egoisnya mengatakan bagaimanapun harus bisa memiliki Aisyah. Gadis tujuh belas tahun itu telah memporak porandakan hatinya, membuatnya gila dengan pikiran-pikiran masa depan yang indah jika dirinya beristrikan Aisyah."Gimana, ya! Lagian belum pernah ada yang melamar aku," sahut Aisyah dengan terkekeh geli. Mengingat banyak orang bilang dirinya cantik, pintar dan sebagainya. Tapi belum pernah ada yang melamarnya. "Hah … serius? Tapi pacar punya dong?" Arif mencoba mengorek hal yang paling rahasi
"Arif bukan anak kecil. Dia sudah dua puluh tujuh tahun. udah biarin aja! Kamu sekarang kalau mau pulang, ayo cepetan. Arif udah manasin mobil tuh," ucap Mala dengan langsung berbalik pergi. Dia tidak mau lagi mendengar penolakan Aisyah atau apapun. Sedangkan sang adik hanya mengerang pelan, dia tak habis pikir dengan jalan pikiran kakaknya bagaimana mungkin seorang tamu yang tidak tahu wilayah tempat tinggal mereka disuruh mengantarkan dirinya, lelaki yang baru dikenalnya dalam hitungan jam.Meskipun bagi kakaknya, Arif pada sosok yang baik tapi belum tentu dengan dirinya. Tapi apa boleh buat, dia tidak mau menyinggung perasaan siapapun. Akhirnya suka tidak suka, Aisyah menyetujuinya dengan berusaha meyakini bahwa Arif itu orang baik.Aisyah menenteng ranselnya setelah berpamitan terlebih dahulu pada bu Samirah yang sedang duduk diatas kasur. Dia menuju ke teras depan, dimana Kakak dan Kakak iparnya beserta Arif berada."Tuh, Ais sudah siap," ucap Rahman saat matanya menangkap sosok
"Aisyah itu agamanya kuat. Mungkin saja dia itu tidak akan nyaman dengan keberadaan aku, orang yang dianggapnya memang bukan muhrim. Walaupun sama aku yang sudah jadi keluarganya. Memang dari dulu anak itu seperti itu, kalau aku nggak ada pasti dia akan disini bersama kakaknya. Tapi kalau aku pulang, dia akan gegas pulang juga ke rumahnya. Cuma pernah waktu Mala lahiran, dia disini agak lama," tutur Rahman. "Tapi bukan karena aku kan, Man?" Arif menatap cemas. Arif sangat takut kepulangan Aisyah karena ada dirinya di rumah Rahman. "Bukan! Bukan lah. Dari dulu semenjak aku pulang-pergi ke Lampung Aisyah hanya akan disini kalau aku tidak ada, kalau aku pulang, maka dalam hitungan jam dia akan langsung pulang," tegasnya dan diangguki oleh Mala.Arif tersenyum simpul mendengar apa yang dikatakan Rahman. Dia tidak salah menjatuhkan hati. Dia tidak salah menganggumi. Tatap matanya begitu penuh harap saat kata demi kata diucapkan oleh pasangan suami-isteri itu."Ya … udah, Mas ambil moto
Bersamaan dengan itu, Aisyah berbalik badan hendak masuk karena memang kegiatan menyapunya telah selesai. "Bang Arif, ngapain di sini?" tanya Aisyah, matanya beradu pandang dengan lelaki bertubuh tegap itu. Arif memejamkan matanya seketika. Setelah Rahman dan Mala kini targetnya sendiri tengah menanyainya. "E—anu, Sah. Abang mau ke kamar mandi," sahut Arif sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal, matanya tak berani menatap kearah Aisyah, namun berulang kali membuang pandangannya tapi kembali menatap gadis tujuh belas tahun itu."Ais, Bang. Aku nggak mau dipanggil Sah!" ucap Aisyah dengan cemberut. Dia memang tidak suka dipanggil ujung namanya, dia lebih suka dipanggil awal namanya saja. "Ow … Maaf, ya! Abang nggak tau," ucap Arif lagi sambil tersenyum canggung. Dadanya begitu bergemuruh bak pasukan akan perang, tubuhnya terasa panas dingin dan gemetaran."Iya, tapi jangan di ulangi panggil itu lagi, nanti aku ngambek!" ucap Aisyah sambil berlalu ke dapur guna menyimpan sapu seda