Part 29. Kekonyolan Anton."Ganteng dari Hongkong," sungutku mematahkan kepedeannya. Ia hanya tertawa ngakak dengan kencang. Aku kok jadi berdebar gini di bonceng si Anton. Motor memasuki pekarangan rumahku yang memang pintu pagarnya tidak tertutup. Saat aku turun dan akan masuk, dengan tanpa diduga, Anton mer**as bokongku dengan kencang, hingga aku berteriak kaget. "Aaaw, kamu apa-apaan," semprotku tak suka. "Aku penasaran, Mbak, liat mbak jalan duuuh," ucapnya sambil mengelus dadanya dan memejamkan matanya."Dasar kurang ajar, ingat aku istri Kakak iparmu." "Kakak ipar kan? Bukan Kakak kandung," sahutnya membuatku gemas, kalau saja aku tak membutuhkan bantuannya, tak Sudi aku di bonceng sama pengangguran kayak dia. Aku masuk meninggalkan suami Eni itu dengan emosi meledak-ledak. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa dengan ledekannya seperti itu. Waktu masuk shift malam ku tinggal setengah jam. Sabar Susan, Sabar. Aku mengelus dadaku sendiri dan bergidik ngeri dengan ucapan-ucapan A
"CUKUP ANTON!" bentakku. Terasa harga diriku diinjak-injak dan disamakan dengan ongkos antar jemput ini. Meski lain dihatiku, ada sedikit perasaan senang dan berdebar saat mendengar gombalan Anton. Tapi aku tak ingin Anton kegeeran. Dan aku juga istri iparnya. Hah, otak ini gimana sih? Sisi kiri aku senang, sisi kanan aku marah. "Aaaw!""Bercanda, Mbak, bercanda," ucapnya setelah punggungnya ku cubit keras."Begitu aja, galak bener sih," cerocosnya. "Makanya kalau bercanda tau diri." Aku terus mengomelinya, sementara Anton tak bersuara lagi. Dia fokus pada jalanan yang kami lalui yang mulai memasuki jalanan berbatu, mau tak mau aku harus memegang jaket si pengangguran ini. "Geli, Mbak, hahahah, jangan pegang disitu, sini ke perut biar anget," teriaknya sambil menarik tangan kiriku agar melingkar di perutnya. Aku sontak menarik tanganku, tapi Anton menahannya dengan kuat. Aku pun tak menyerah, ku sentak dengan sekali tarikan dan motor pun oleng karena Anton memegang stang dengan sat
"Abang kenapa," tanya Eni yang melihat suaminya datang dengan celana yang kotor, dan ada beberapa rumput yang menempel di celana, berbentuk bulat berduri. "Kok, cucuk riut semua?" tanya Eni sambil memainkannya. (Cucuk riut semacam rumput berduri, suka nempel di baju, kalau orang Sunda pasti tau)"Abang tadi jatuh dijalan, Mbak Susan gak mau diem duduknya, sudah tau batu semua, goyang-goyang melulu! Keperosok deh," sungutnya. "Ada yang sakit, Bang?" tanya Eni dengan wajah khawatir. "Nggak apa-apa, Mbak Susan yang kakinya ketindih motor," ucapnya sambil menahan tawa. "Kok Abang ketawa," tanya Eni keheranan."Abang, masih kebayang wajah Mbak Susan. Mau marah sama Abang tapi sepertinya dia gak berani, akhirnya dongkol. Mukanya ditekuk dan judes banget," ucapnya sambil tersenyum-senyum sendiri. "Kok bisa marah sama Abang? Perihal apa? Karena jatuh?" "Karena Abang tertawa melihat dia ketindihan motor, hahahaha," ucapnya sambil tertawa mengingat posisi Susan saat jatuh tadi. "Ish, lag
"Lan, itu make up, Onty loh!" ucap Mala dengan lembut. "Ulan pinjam sebentar, Ty," sahutnya sambil anteng memainkan beberapa botol parfum milik Mala.Mala hanya menarik nafas berat, lalu merebahkan tubuhnya di kasur. Badannya terasa lelah, tadi sepulang Rahmat dari Rumah Sakit, banyak tetangga yang menengok. Banyak makanan yang harus ia tata di dapur. Karena kebanyakan makanan cepat basi, jadi Mala berinisiatif menyimpan di kulkas. Dreeet…dreeet…dreeet…."Where ever you go, what ever you do. I'll be right here waiting you."Suara lembut Richard Mark mengalun syahdu dari ponsel Mala yang tergeletak di atas nakas. Dengan cekatan Ibu hamil itu menyambar ponselnya. Seketika wajahnya tersenyum lebar. Saat nama suaminya terpampang jelas di layar ponsel."Assalamualaikum," ucapnya dengan semringah."Waalaikumsalam, apa kabar, Sayang?" "Alhamdulillah sehat, Mas. Mas apa kabar? Sudah makan?""Alhamdulillah, Mas juga sehat, sudah barusan, gimana kabar Bang Rahmat?""Kakinya patah, sekarang t
Part 31. Kepulangan Rahman."Terima kasih ya, Rif, udah nganterin aku, maaf aku selalu merepotkan." Sungguh aku malu dengan Arif, mulai dari pekerjaan sampai urusan aku pulang pun, selalu saja merepotkannya. Arif mengantarkanku ke pool travel yang akan membawaku pulang ke provinsi Jawa barat."Nggak apa-apa lah, Man. Sekalian aku jalan-jalan. Kamu tau kan, aku hanya keluar ke kantor saja, paling banter nyari makan. hahahah,'' ucapnya sambil tertawa lebar. Memang begitu adanya Arif, dari sejak jaman kuliah hingga sekarang tak pernah neko-neko meski keadaan perekonomiannya menunjangnya untuk hura-hura. Ia lebih memilih fokus pada pekerjaan dan menjaga nama baik keluarganya. "Iya sih," sahutku sambil menggaruk tengkuk yang tak gatal. "Tunggu sebentar," ucapnya. Arif lalu pergi ke arah belakang mobilnya, mau ngapain dia? Kulihat Arif menenteng dus. Dus yang lumayan besar sebanyak dua buah. "Ini oleh-oleh untuk keluargamu," ucapnya sambil meletakan kedua dus itu di aspal. Aku melongo me
"Assalamualaikum," ucapku sambil meletakan dua dus itu di tanah. "Waalaikumsalam," ucap Mala, ia menegakkan tubuhnya yang tadi sedikit membungkuk. "Mas Rahman!" teriaknya sambil melempar sapu dan menubruk tubuhku, ia memelukku erat dengan isakan kecil. Entah apa yang terjadi, semakin lama Mala malah sesenggukan menangis di dadaku. Aku mengelus punggungnya dan mengecup puncak kepalanya. Berusaha menenangkan tanpa kata, bahwa semua akan baik-baik saja. "Om Rahman pulang! Om Rahman pulang!" teriak Wulan sambi berlari menghampiriku lalu meraih tanganku."Sehat kamu, Lan?" bocah itu mengangguk dan lari kedalam rumah, dengan teriakan yang sama seperti tadi. "Nenek, Om Rahman pulang, Om Rahman pulang!"Mala belum selesai juga menangis, kulihat Ibu di ambang pintu. "Rahman! Kenapa tidak masuk? Sini masuk," ucapnya sambil melambaikan tangan. "Kamu juga, Mala. Suami pulang bukannya cepetan masuk, malah pelukan di halaman, malu atuh!" sungutnya. Duh Ibu, selalu ada saja bahan omelan untuk
Saat aku memajukan motor ke luar dari pekarangan rumah, ku lihat seorang wanita memarkir mobilnya tak jauh dari rumahku. Bahkan bisa dibilang depan rumahku, hanya saja itu masih kawasan jalan lintas kecamatan bukan pekarangan. Seorang perempuan berambut pirang dengan kacamata hitam bertengger di kepalanya, werpak jeans selutut yang talinya hanya satu di cantolkan dan yang satu jatuh hingga ke perut. "Hai, Rahman! Kapan pulang?" sapanya dengan tersenyum manis. Wajahnya cantik dan glowing, ditunjang dengan tubuh yang ideal dan high-heels tinggi. Saat pertama aku melihatnya, seperti aku melihat seorang biduan yang biasa nyanyi di acara hajatan, semacam organ tunggal. Tapi makin mendekat, aku semakin hafal siapa dia. Ya, dia Helen Puspita Devi, gadis yang dulu membuatku jatuh cinta bahkan nyaris depresi saat ia meninggalkanku demi menikah dengan pilihan orang tuanya. Aku sangat mencintainya, menjadikannya sebagai duniaku. Bukan sebentar kisah yang pernah kami rajut, hampir 3 tahun, bahk
Rumah orang tua Mala tidak terlalu jauh, hanya saja jalannya makin parah rusaknya. Hingga ada di beberapa bagian jalan yang mengharuskan istriku turun dan berjalan kaki sebentar. Setelah drama jalan rusak, kami pun sampai. Sebuah rumah sederhana yang setengahnya tembok setengah lagi bilik itu terlihat rapi dan sejuk, karena di halaman ada aneka bunga dan tanaman herbal tumbuh begitu rapi. Kaca jendela yang mengkilap menegaskan bahwa pemilik rumah ini sangat mencintai kebersihan. "Assalamualaikum, Mak, Bapak," ucap Mala seraya mengetuk pintu. "Teteh, Aa," ucap Aisyah, adik bungsunya Mala yang masih duduk di bangku SMA. Gadis itu mencium takjim tangan kakaknya juga tanganku. "Masuk, Teh, A." Ia membuka pintu semakin lebar. "Mak, Abah, Teh Mala pulang," teriaknya sambil berlalu ke belakang, guna memanggil orang tuanya. Mala masih mematung dan memejamkan matanya, dia sedang menghirup udara sepertinya. Mungkin dia sedang mencium bau rumah orangtuanya. "Yank," panggilku. "Akh, iya Ma
Bab 223. Suka sama Abang, nggak?"Man, ayo pulang. Aku harus ke Jakarta hari ini," ucap Arif memotong omongan Rahman dengan segera. Karena setelah dipikir-pikir olehnya, ini memang terlalu cepat. "Tadi katanya—""Sekarang nggak! Ayo pulang," ucap Arif dengan gusar karena Rahman malah terlihat seperti orang bodoh."Akh, ok!" Hanya itu ucapan yang keluar dari bibir Rahman lalu ia bangkit dan berpamitan pada mertua serta adik iparnya. Bu Sarah menyuruh mereka untuk makan dulu, tapi Rahman menolak dengan alasan Mala susah memasak. Bu Sarah tak bisa memaksa karena dia pikir juga anaknya pasti sudah menyediakan makanan yang enak. Satu persatu mereka saling berjabat tangan tak lupa Arif juga meminta maaf telah merepotkan semuanya. Namun hanya disambut tawa oleh keluarga pak Ahmad dan mereka bilang tak merasa direpotkan."Jangan pacaran, ya!" bisik Arif saat dia bersalaman dengan Aisyah. Gadis itu mengerutkan dahinya dan menatap pria dewasa yang berbadan tegap itu."Ingat pesan, Abang, ya!"
Bab 222. Maaf.Sementara di rumah Mala, wanita itu kini tengah bercerita kepada mertuanya yang sedang duduk dan melihat wajah menantunya dengan seksama. "Bu, alhamdulillah Arif sudah ditemukan, jadi tidak lama lagi mas Rahman akan pulang," ucap Mala sambil menutupi kaki Bu Samirah oleh selimut yang baru saja selesai dipijit olehnya.Bu Samira menarik sedikit ujung bibirnya, dia tersenyum lega saat mengetahui bahwa teman anaknya itu kini sudah ditemukan.Ibu mau tidur sekarang atau mau menunggu mas Rahman dulu?" tanya Mala dengan lembut."Ibu nunggu Rahman aja!" sahut Bu samirah dengan pelan membuat mata Mala sedikit terbuka karena ternyata mertuanya menyahuti pertanyaanya setelah lama terdiam."Alhamdulillah, Ibu sudah bisa menyahuti saya," ucap Mala sambil terduduk lagi dan memegang bahu mertuanya dengan tatapan yang tidak bisa diucapkan oleh kata-kata. betapa bahagianya dia saat ini mengetahui sang mertua sudah bisa kembali berkomunikasi. "Memangnya kamu pikir, Ibu ini bisu?" tany
Bab 221. Kesasar Bagian 2. "Ais kamu kok bisa ke sini?" Arif malah bertanya seperti itu."Aku mencari Abang! Bang Rahman tadi ke rumah, katanya Abang belum pulang. Akhirnya kami mencari Abang, takutnya Abang kesasar dan benar saja Abang ada di sini. Abang kenapa ngambil jalan sini sih?" ucap Aisyah dengan sedikit kesal."Maafkan Abang ya, is jadi merepotkan semuanya. Abang tadi lupa beloknya harus kemana, ini kan jalan cabang empat jadi Abang bingung mau lurus, belok kanan atau belok kiri. Eh, Abang malah ke sini dan ternyata ini nggak ada kampung malah kebun semua," ucap Arif dengan jujur dan tak enak hati."Lah iyalah, ini kan jalan untuk ke hutan, Bang. Disebelah sana ada kebun-kebun para warga dan memang ada pemukiman juga, tapi itu khusus untuk mereka yang rumahnya jauh dan memiliki ladang disini. Dan tentu saja tidak setiap hari mereka menginap maka tidak akan ada orang. Jadi sangat sepi, terus mobil Abang mana?" tanya Aisyah."Mobil Abang di sebelah sana, Is. Bannya nyelip jad
Bab 220. Kesasar.Rahman mengendarai motornya dengan pelan. Karena ternyata pas keluar dari kampungnya harus melalui jalanan yang becek akibat hujan. Padahal di rumahnya seharian tadi, panas sekali. Jangankan hujan, mendung pun tidak. Bangunan rumah sang mertua sudah terlihat, namun mobil Arif tak ada disana. Rahman langsung turun dan mengetuk pintu. "Assalamualaikum!" "Loh, Bang Rahman?" pekik Aisyah saat pintu sudah terbuka lebar. Negatif thinking langsung menerpa pikirannya."Arif mana?" tanya Rahman pada Aisyah."Udah pulang dari tadi.""Mala gak menelpon kamu?" tanya Rahman lagi."Nggak, eh tapi sebentar. Aisyah lihat dulu ponselnya." Gadis itu seketika berbalik menuju kamarnya dan mencari ponselnya. Ternyata ada banyak panggilan dari WhatsApp dari sang kakak. Namun sayang sebelum sholat dia telah memasang silent mode on di ponselnya. Aisyah membaca pesan yang dikirim Mala satu persatu. Dia baru paham apa sebabnya yang membuat Rahman datang ke rumahnya. Di ruang tamu, Bu Sar
Bab 219. Kesasar atau hilang.Aisyah langsung masuk ke kamarnya meletakkan seluruh barang bawaannya. Kemudian gadis itu menuju ke dapur, berniat membuatkan minuman untuk Arif dan juga kedua orang tuanya. Tiba-Tiba Bu Sarah pun muncul di dapur."Kamu bikin apa, Is?" tanya Bu Sarah. "Ini aku bikin kopi buat Bapak sama Bang Arif, ada cemilan apa, Mak di rumah?" tanya Aisyah"Tuh ada rengginang sama goreng opak aja, baru digoreng tadi pagi sama Emak!" ucap Bu Sarah dengan menunjukkan letak toples rengginang dengan dagunya. Aisyah pun menata nampan dengan dua buah toples berukuran sedang, serta dua buah cangkir kopi. Lalu mengantarkannya ke hadapan Pak Ahmad dan Arif di ruang tamu.Pak Ahmad terlihat asik mengobrol dengan Arif, hingga sesekali tawa dari keduanya terdengar. Aisyah masuk kembali dan duduk di ruang tengah karena melihat bapaknya dan Arif sedang asik berbincang. Gadis itu gak berani ikut duduk disana."Hmz, Pak boleh saya bertanya?" ucap Arif dengan ragu-ragu. Dia menautkan
art 112. Hilang atau kesasar? Aisyah mengangguk tanda membenarkan pertanyaan Arif. Gadis berlesung pipit itu begitu sangat terlihat manis dipandang dari samping. "Hmz … bagus, Is. Abang salut sama kamu!" Hanya itu ucapan Arif. Sungguh bertentangan dengan isi hatinya. "Tapi, kalau seandainya ada laki-laki yang tiba-tiba melamar kamu, apa kamu mau terima, Is?" tanya Arif dengan perasaan yang roller coaster. Keringat sudah membasahi tubuhnya. Meski ia telah bersiap dengan penolakan, tapi sisi egoisnya mengatakan bagaimanapun harus bisa memiliki Aisyah. Gadis tujuh belas tahun itu telah memporak porandakan hatinya, membuatnya gila dengan pikiran-pikiran masa depan yang indah jika dirinya beristrikan Aisyah."Gimana, ya! Lagian belum pernah ada yang melamar aku," sahut Aisyah dengan terkekeh geli. Mengingat banyak orang bilang dirinya cantik, pintar dan sebagainya. Tapi belum pernah ada yang melamarnya. "Hah … serius? Tapi pacar punya dong?" Arif mencoba mengorek hal yang paling rahasi
"Arif bukan anak kecil. Dia sudah dua puluh tujuh tahun. udah biarin aja! Kamu sekarang kalau mau pulang, ayo cepetan. Arif udah manasin mobil tuh," ucap Mala dengan langsung berbalik pergi. Dia tidak mau lagi mendengar penolakan Aisyah atau apapun. Sedangkan sang adik hanya mengerang pelan, dia tak habis pikir dengan jalan pikiran kakaknya bagaimana mungkin seorang tamu yang tidak tahu wilayah tempat tinggal mereka disuruh mengantarkan dirinya, lelaki yang baru dikenalnya dalam hitungan jam.Meskipun bagi kakaknya, Arif pada sosok yang baik tapi belum tentu dengan dirinya. Tapi apa boleh buat, dia tidak mau menyinggung perasaan siapapun. Akhirnya suka tidak suka, Aisyah menyetujuinya dengan berusaha meyakini bahwa Arif itu orang baik.Aisyah menenteng ranselnya setelah berpamitan terlebih dahulu pada bu Samirah yang sedang duduk diatas kasur. Dia menuju ke teras depan, dimana Kakak dan Kakak iparnya beserta Arif berada."Tuh, Ais sudah siap," ucap Rahman saat matanya menangkap sosok
"Aisyah itu agamanya kuat. Mungkin saja dia itu tidak akan nyaman dengan keberadaan aku, orang yang dianggapnya memang bukan muhrim. Walaupun sama aku yang sudah jadi keluarganya. Memang dari dulu anak itu seperti itu, kalau aku nggak ada pasti dia akan disini bersama kakaknya. Tapi kalau aku pulang, dia akan gegas pulang juga ke rumahnya. Cuma pernah waktu Mala lahiran, dia disini agak lama," tutur Rahman. "Tapi bukan karena aku kan, Man?" Arif menatap cemas. Arif sangat takut kepulangan Aisyah karena ada dirinya di rumah Rahman. "Bukan! Bukan lah. Dari dulu semenjak aku pulang-pergi ke Lampung Aisyah hanya akan disini kalau aku tidak ada, kalau aku pulang, maka dalam hitungan jam dia akan langsung pulang," tegasnya dan diangguki oleh Mala.Arif tersenyum simpul mendengar apa yang dikatakan Rahman. Dia tidak salah menjatuhkan hati. Dia tidak salah menganggumi. Tatap matanya begitu penuh harap saat kata demi kata diucapkan oleh pasangan suami-isteri itu."Ya … udah, Mas ambil moto
Bersamaan dengan itu, Aisyah berbalik badan hendak masuk karena memang kegiatan menyapunya telah selesai. "Bang Arif, ngapain di sini?" tanya Aisyah, matanya beradu pandang dengan lelaki bertubuh tegap itu. Arif memejamkan matanya seketika. Setelah Rahman dan Mala kini targetnya sendiri tengah menanyainya. "E—anu, Sah. Abang mau ke kamar mandi," sahut Arif sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal, matanya tak berani menatap kearah Aisyah, namun berulang kali membuang pandangannya tapi kembali menatap gadis tujuh belas tahun itu."Ais, Bang. Aku nggak mau dipanggil Sah!" ucap Aisyah dengan cemberut. Dia memang tidak suka dipanggil ujung namanya, dia lebih suka dipanggil awal namanya saja. "Ow … Maaf, ya! Abang nggak tau," ucap Arif lagi sambil tersenyum canggung. Dadanya begitu bergemuruh bak pasukan akan perang, tubuhnya terasa panas dingin dan gemetaran."Iya, tapi jangan di ulangi panggil itu lagi, nanti aku ngambek!" ucap Aisyah sambil berlalu ke dapur guna menyimpan sapu seda