POV Mala. Matahari begitu terik, hawa panas tak bisa diredakan oleh kipas angin. Apalagi suasana rumah yang masih riuh sejak pagi membuat tingkat kegerahanku makin meningkat. Ting…. Sebuah pesan masuk di aplikasi hijau. " Assalamualaikum, Kak, sehat? Ibu, Bapak dan kami juga sehat," pesan dari Melani adikku. Tak terasa air mata langsung saja berhamburan keluar saat menerima pesan itu, padahal mereka pun mengabarkan bahwa mereka baik-baik saja. Ku usap air mata yang tak bisa kutahan, dan ku tekan tanda gagang telepon di aplikasi hijau milikku. "Assalamualaikum," ucapku saat melihat gambar Ibu. Ya…Allah, di usianya yang sudah renta aku bahkan belum bisa membahagiakannya. {Waalaikum salam, sehat Nak?} "Alhamdulillah sehat, Bu," ucapku sambil mengusap lelehan airmata. Aku rindu tangan tua itu, aku rindu usapan lembutnya di kepalaku. Sejak mas Rahman merantau sebulan lalu, aku belum pernah pulang menengok mereka. Karena kondisi yang tidak memungkinkan. {Syukurlah kalau kamu sehat,
"Mala, Mala! Kamu ngobrol sama siapa? Rahman ya?" terdengar teriakan Ibu dari depan pintu. Ya…Tuhan, malang sekali nasibku ini. Apapun yang aku lakukan, mertuaku selalu tahu dan selalu ingin tahu. Huft. "Mala! Buka pintunya!" Ternyata Ibu masih menungguku membuka pintu, kukira dia akan pergi saat aku membiarkannya tadi. Pentang menyerah sekali nenek tua itu. "Iya, Bu. Sebentar." "Mas, udah dulu ya, nanti ku telpon lagi," ucapku pada Mas Rahman. {Aku mau ngomong sama Ibu, nggak apa-apa kan?} pintanya. Masa iya aku tidak perbolehkan. Anak sama ibu sama-sama tidak peka. Ya… Tuhaaaaaaan. "Baiklah, tunggu sebentar," Aku menekan tanda loudspeaker sebelum aku membuka pintu. "Lama amat, lagi ngomong sama siapa sih?" Semprot Ibu dengan wajah bengis. "Ini Mas Rahman yang telpon, Bu," ucapku dengan malas. "Berikan ponselnya, anakku telpon aja kamu gak boleh macam aku tau, menantu apa kamu itu?" gerutunya sambil menyambar ponsel yang aku sodorkan. Salah lagi, kan salah lagi. Aku menari
Kudengar suara berisik dari arah depan, siapa lagi ini yang datang. Tak pernah seharipun rumah ini tentram gitu. Selalu ada saja yang datang bikin kehebohan. Aku bergegas ke depan guna melihat ada apa disana. "Terus sekarang gimana?" tanya Ibu panik. "Susan, juga belum tahu, Bu. Katanya Bang Rahmat di Rumah Sakit Husada," jawab Mbak Susan sambil menangis. "Ada apa, Mbak?" tanyaku dengan hati berdebar setelah mendengar kata rumah sakit. Ada apa dengan Abang iparku itu. "Bapak si Wulan kecelakaan, Mal," ucapnya. "Ayok kita kesana," ajak Ibu, ia melangkah keluar dengan segala kekhawatiran yang terpancar dari wajahnya. "Bu, Bu, ganti baju dulu," teriakku. Saking paniknya, Ibu bahkan tak membawa dompet ataupun uang, ia hendak pergi begitu saja dengan penampilan berdaster dan bersandal jepit. "Allahu Akbar, sebentar, San," kata Ibu. Sambil kembali masuk ke dalam kamarnya. "Ini gimana kejadiannya, Mbak?" tanyaku penasaran. Aku kayak orang bingung yang panik karena mendengar bang
"La, buatin Bang Anton kopi dong," pintanya. "Kakak, sudah masuk, kenapa pula Mala yang harus bikin. Kakak istrinya kan? Ngapain pengen kopi buatan istri orang," ucapku cuek."Karena istri orang lebih nikmat," teriak Bang Anton dari depan. "Berhentilah bercanda, Bang, Mala nanti gak mau bikinin kopi buat Abang," sahut Kak Eni. Aku tak habis pikir dengan Kak Eni, suaminya ngomong begitu aku menanggapinya dengan santai. Aku yang hanya ngeri dan takut. "Ayolah, La. Bikinin abangmu kopi, Kakak mau ke rumah sakit, please," ucap Kak Eni lagi dengan mata memomohon. Ya...Allah, Ibu gak ada, datang lagi satu demit lebih parah. Dosa apa aku di masalalu, dikelilingi orang-orang yang gak beradab seperti ini. Akhirnya aku kedapur, dan membuat kopi untuk suami kak Eni. Pengangguran itu nambah kerjaan aku saja. Otaknya koslet kali, liat perempuan hamil malah nyuruh-nyuruh. Gak ikhlas banget aku bikin kopi ini untuknya. Jika saja tidak melihat Kak Eni yang sedang khawatir dengan kakaknya, tak sud
Setelah seminggu suamiku di rawat dengan mengalami patah tulang kaki karena kecelakaan, akhirnya bisa pulang juga. Ibu memintaku agar Bang Rahmat tinggal sementara di rumahnya, kami bisa menempati kamar Ria yang baru saja pergi bekerja ke Cikarang. Awalnya aku malas, karena pasti akan banyak aturan Ibu padaku tapi mau bagaimana lagi, aku juga harus bekerja apalagi Minggu ini kebagian dinas malam di Puskesmas bagaimana dengan Wulan dan suamiku. Akhirnya dengan berat hati, aku mengiyakan apa kata Ibu. Lagian ada baiknya juga kalau Bang Rahmat tinggal disana, setidaknya aku tidak akan cape mengurusnya sendirian. ada Ibu dan bapaknya serta Mala yang akan mengurus Wulan. Mala sangat sayang pada Wulan sejak dulu. Kami pulang menggunakan mobil Bu RT, ya, siapa lagi kalau bukan beliau, disini hanya Bu RT yang sigap dan baik hati mobilnya dipakai membantu warganya tanpa meminta uang bensin atau apapun. Banyak sekali para tetangga yang menjenguk Mas Rahmat, ada yang membawa buah, makanan, jug
Part 29. Kekonyolan Anton."Ganteng dari Hongkong," sungutku mematahkan kepedeannya. Ia hanya tertawa ngakak dengan kencang. Aku kok jadi berdebar gini di bonceng si Anton. Motor memasuki pekarangan rumahku yang memang pintu pagarnya tidak tertutup. Saat aku turun dan akan masuk, dengan tanpa diduga, Anton mer**as bokongku dengan kencang, hingga aku berteriak kaget. "Aaaw, kamu apa-apaan," semprotku tak suka. "Aku penasaran, Mbak, liat mbak jalan duuuh," ucapnya sambil mengelus dadanya dan memejamkan matanya."Dasar kurang ajar, ingat aku istri Kakak iparmu." "Kakak ipar kan? Bukan Kakak kandung," sahutnya membuatku gemas, kalau saja aku tak membutuhkan bantuannya, tak Sudi aku di bonceng sama pengangguran kayak dia. Aku masuk meninggalkan suami Eni itu dengan emosi meledak-ledak. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa dengan ledekannya seperti itu. Waktu masuk shift malam ku tinggal setengah jam. Sabar Susan, Sabar. Aku mengelus dadaku sendiri dan bergidik ngeri dengan ucapan-ucapan A
"CUKUP ANTON!" bentakku. Terasa harga diriku diinjak-injak dan disamakan dengan ongkos antar jemput ini. Meski lain dihatiku, ada sedikit perasaan senang dan berdebar saat mendengar gombalan Anton. Tapi aku tak ingin Anton kegeeran. Dan aku juga istri iparnya. Hah, otak ini gimana sih? Sisi kiri aku senang, sisi kanan aku marah. "Aaaw!""Bercanda, Mbak, bercanda," ucapnya setelah punggungnya ku cubit keras."Begitu aja, galak bener sih," cerocosnya. "Makanya kalau bercanda tau diri." Aku terus mengomelinya, sementara Anton tak bersuara lagi. Dia fokus pada jalanan yang kami lalui yang mulai memasuki jalanan berbatu, mau tak mau aku harus memegang jaket si pengangguran ini. "Geli, Mbak, hahahah, jangan pegang disitu, sini ke perut biar anget," teriaknya sambil menarik tangan kiriku agar melingkar di perutnya. Aku sontak menarik tanganku, tapi Anton menahannya dengan kuat. Aku pun tak menyerah, ku sentak dengan sekali tarikan dan motor pun oleng karena Anton memegang stang dengan sat
"Abang kenapa," tanya Eni yang melihat suaminya datang dengan celana yang kotor, dan ada beberapa rumput yang menempel di celana, berbentuk bulat berduri. "Kok, cucuk riut semua?" tanya Eni sambil memainkannya. (Cucuk riut semacam rumput berduri, suka nempel di baju, kalau orang Sunda pasti tau)"Abang tadi jatuh dijalan, Mbak Susan gak mau diem duduknya, sudah tau batu semua, goyang-goyang melulu! Keperosok deh," sungutnya. "Ada yang sakit, Bang?" tanya Eni dengan wajah khawatir. "Nggak apa-apa, Mbak Susan yang kakinya ketindih motor," ucapnya sambil menahan tawa. "Kok Abang ketawa," tanya Eni keheranan."Abang, masih kebayang wajah Mbak Susan. Mau marah sama Abang tapi sepertinya dia gak berani, akhirnya dongkol. Mukanya ditekuk dan judes banget," ucapnya sambil tersenyum-senyum sendiri. "Kok bisa marah sama Abang? Perihal apa? Karena jatuh?" "Karena Abang tertawa melihat dia ketindihan motor, hahahaha," ucapnya sambil tertawa mengingat posisi Susan saat jatuh tadi. "Ish, lag