"Apa karena si Rahman sudah punya istri, kamu jadi gak ada alasan tinggal disini, gitu bukan maksudnya, Len?" tanya Bu Usman. "Apaan sih, Bu Usman," ucap Helen sambil tersipu malu. "Apa yang dikatakan Bu Usman, itu benar sekali," teriak hati kecil Helen. "Lah, laki-laki kan bisa beristri dua," ucap Bu Samirah, tiba-tiba bersuara. Membuat Bu Usman dan Helen seketika memandang ke arah mertuanya Mala dengan mimik sulit diartikan. Mata Helen seketika membola dia juga langsung tersedak makanan yang sedang dikunyahnya. Hingga mukanya memerah. Ia sungguh tak menyangka Bu Samirah akan mengatakan hal seperti itu. Namun, ia sendiri membenarkan apa yang dikatakan ibunya Rahman, dan ia pun masih mencintai Rahman dengan segenap jiwanya. Kalau saja, orang tuanya tidak terdesak hutang waktu itu, mungkin ia yang kini berbahagia bersama Rahman, lelaki pujaannya sejak SMA. Masih segar dalam ingatannya senja itu, ketika Rahman bersimpuh agar ia tak menikah dengan lelaki kaya itu. Namun Helen tak ber
"Mama, aku laper!" Kini Nia yang bersuara, ia memandang ke arah ketupat sayur milik Helen yang belum habis. dengan kuah yang kuning juga kerupuk orange diatasnya, membuat Nia tak berkedip memandang ka arah piring. "Coba bagi dikit, sini!" pinta Eni, entah pada siapa yang dituju. "Mbok, ya dimandikan dulu, Ni, liat tu anak-anakmu. Sudah seperti anak tak ada ibunya," ucap Bu Usman. Ia menutup hidungnya. Bau pesing dari arah Namira pun menyeruak di Indera penciuman ketiga orang dewasa itu. "Halah, tanggung, nanti saja habis makan, biar gak kotor lagi," sahutnya, tangan Eni bergerak cepat meraih piring dihadapan Helen, tanpa bertanya lagi punya siapa. "Nia, sana ambil sendok dua lagi, makan kalian bertiga ya," ucap Eni sambil meletakan piring di lantai, Nayla yang sejak tadi sudah lapar, dengan cepat ia duduk dan meraih sendok dan memasukan suapan pertama. Namira yang juga sudah lapar, merebut sendok yang masih di mulut kakaknya. Perkelahian pun tak dapat dielakkan, saling pukul dan sa
Rahman sangat bahagia, ketika ia dinyatakan lolos jadi PNS, sungguh perjuangan yang tak sia-sia. Ia segera merogoh kantong celananya, dan mengambil ponsel, ia berniat mengabari Mala serta keluarganya. "Assalamualaikum, Mas," sapa Mala saat menjawab panggilan telepon suaminya. "Waalaikumsalam salam, Sayang. Gimana kabarmu? Gimana bayi kita? Gimana Ibu dan Bapak? Sehat-sehat-kan?" Rahman memberondong pertanyaan kepada istrinya. Terdengar tawa riang Mala dari seberang sana, ia merasa lucu dengan tingkah suaminya. "Kok, ketawa?" tanya Rahman. "Mas, nanya-nya satu-satu dong," protes sang istri. "Oke, baiklah," lirih Rahman. "Aku sehat, bayi kita juga sehat, Ibu, Bapak dan Ria juga sehat, ka Eni sekeluarga sehat dan montok," ucapnya yang di sambut tawa bahagia oleh suaminya saat mendengar seluruh keluarganya baik-baik saja. "Sayang," panggil Rahman dengan lembut. "Ada apa, Mas," tanya Mala, ada rasa khawatir saat suaminya memanggilnya dengan lirih. "Aku—Aku," ucapanyasengaja ia jed
"Anakku, anakku sudah jadi PNS," ucap Bu Samirah gugup dan langsung sujud syukur di tanah. Begitu sangat bahagia wanita paruh baya itu. Mengetahui anak lelakinya kini telah jadi seorang abdi negara."Waah, selamat ya Bu, selamat ya, Mala," ucap Umi Hamzah, sambil tersenyum lega mengetahui tetangganya ada yang jadi PNS. "Terima kasih, Umi," ucap Mala tersipu. Akhirnya Bu Samirah menyerahkan kembali ponsel menantunya itu sambil berkata "Kita harus ngadain syukuran, Mal, anakku kini sudah jadi pegawai Negeri."Mala tersenyum bahagia, melihat ibu mertuanya menangis bahagia. Bukan seperti hari-hari yang lalu. Wanita tua itu selalu menangis akibat ulah kedua anaknya. Tapi kini suaminya telah membingkai rasa bahagia pada ibu mertuanya. Tentu saja Mala merasa bangga dengan itu semua. Pencapaian suaminya bisa membuat bahagia semua anggota keluarga. "Bu, Mala, pulang duluan ya," ucap Mala, sebelum berbalik."Ya udah, sama! Eh bawa ini belanjaannya," ucap Bu Samirah."Langsung dimasak, Mal, b
Suasana rumah Bu Samirah dipenuhi dengan kebahagiaan. Ada kelegaan di hati mereka, terutama Mala juga kedua orang tua Rahman. Kini mereka berkumpul di ruang tengah, membahas tentang Rahman. "Alhamdulillah, kini ada salah satu anak kita yang bisa membuat bangga, ya, Pak. Ibu gak pernah bermimpi punya anak seorang pegawai negeri," ucap Bu Samirah dengan wajah ceria."Iya, Bapak juga gak nyangka. Anak itu selalu membuat kita bangga," katanya sambil mengepulkan asap rokok yang sedang dihisapnya."Semoga suatu hari nanti, Ria juga bisa jadi kebanggaan, Bapak dan Ibu," ucap Ria pelan. "Doa kami selalu menyertai kamu, Nak," sahut Pak Manto dengan cepat. Ia memandang anak gadisnya yang kini sudah berusia dua tahun dan belum menikah, bahkan sering Ria jadi tetangga karena usianya yang sudah cukup untuk menikah, tapi Ria, bahkan pacar pun belum pernah ada tetangga yang tahu."Lah, gimana si Rahman gak jadi pegawai negeri, dia kan kuliahan. Beda sama aku yang SMK juga hanya sampai kelas dua,"
"Makanya kalau mau sukses, pergi sekolah, ya datangnya ke sekolah, bukan malah nongkrong di kebun haji Mu'in," seru Ria gemas. Bisa-bisanya mereka hendak menyalahkan pendidikan yang mereka raih, bukankah itu sebuah kesengajaan karena kenakalan mereka waktu sekolah. Eni dan Rahmat diam, tak ada yang mencela ucapan Pak Manto, tapi saat Ria ikut menyahuti, seandainya saja tidak ada kedua orangtuanya mereka sudah pasti membalas perkataan Ria.———RatuNna———"Gimana, Mala, kita jadi bikin syukuran," tanya Bu Samirah. Ia mencoba mengalihkan pembicaraan yang sedikit mengganggu kebahagian hatinya. "Kata Mas Rahman, sekarang belum ada uangnya. Nunggu gajian dulu, Bu," jawab Mala. "Lah, bagaimana ini PNS, masa gak punya duit, kalah sama sopir truk," ejek Rahmat. "Mana ada orang baru diterima kerja dah banyak duit, Bang. Ngaco Abang ini," ucap Mala sambil mendelik pada kakak iparnya"Kan ada SK-nya, semua pegawai, SK mereka tak ada di lemari rumahnya pasti di bank," ucapnya lagi. "Bang, suam
"Syal*n, ipar gak tahu diri, ipar miskin," teriaknya, umpatan Eni begitu memekakan telinga. Tapi Mala tak perduli, ia masuk lalu mengunci kamarny, dan merebahkan tubuhnya berniat mengistirahatkan badannya yang mulai ringkih. Ia tak memperdulikan ocehan Eni dan yang mengolok-oloknya. Ia tak peduli lagi dengan hinaan yang dilontarkan iparnya. Kini ia mulai terbiasa dengan keluarga suaminya yang toxic. Pikirnya, selama suaminya masih mencintainya. Maka ia tak akan ambil pusing dengan kelakuan keluarga mertuanya. Selama itu tidak membahayakan dirinya atau bayinya. "Kak, kamu keterlaluan sekali kalau mengatai orang, sudah merasa sempurna? Kak Mala itu istri Bang Rahman, adikmu. Berarti masih keluarga kita. Omonganmu kayak racun! Kak Mala sedang hamil, bagaimana kalau dia strees," ucap Ria. Dia yang tadinya anteng dengan ponselnya, tak tahan lagi mendengar ocehan kakak kandungnya pada Mala yang sudah sangat keterlaluan. "Kata orang kondisi psikologis wanita hamil sangat sensitif, kak, gim
"Dari mana, Bang?" sapaku pada Bang Rahmat yang baru saja tiba di rumah. Wajahnya kusut sekali. Ia tak menjawab, malah merebahkan tubuhnya di sofa baru kami. "Bang," panggilku untuk yang kedua kalinya. "Bikinin kopi, San," pintanya. Bukannya menjawab pertanyaanku malah minta di buatkan kopi. Akh, membuatku penasaran saja, Bang Rahmat ini. Meski hatiku dipenuhi tanda tanya, tapi ku urungkan. Aku pergi ke dapur untuk membuat kopi untuknya. Setelah kopi ku letakan di atas meja, aku bertanya lagi pada Bang Rahmat. "Kamu kenapa sih, Bang. Pulang-pulang mukamu kusut begitu.""Aku dari rumah Ibu, gedek sekali kalau mendengar Bapak membela si Mala itu. Kasian kan Eni, dia merasa tersisihkan," ucapnya panjang lebar."Trus kamu diam saja? Lemah kamu, Bang! Meski Bapak orangtuamu, kalau dia tidak adil, kita sebagai anak juga ada hak untuk menuntut," terangku. Aku masih kesal dengan kejadian minggu lalu saat aku bertengkar dengan Ria, bisa-bisanya bapak mengusirku. Akan ku ingat sepanjang hidu
Bab 223. Suka sama Abang, nggak?"Man, ayo pulang. Aku harus ke Jakarta hari ini," ucap Arif memotong omongan Rahman dengan segera. Karena setelah dipikir-pikir olehnya, ini memang terlalu cepat. "Tadi katanya—""Sekarang nggak! Ayo pulang," ucap Arif dengan gusar karena Rahman malah terlihat seperti orang bodoh."Akh, ok!" Hanya itu ucapan yang keluar dari bibir Rahman lalu ia bangkit dan berpamitan pada mertua serta adik iparnya. Bu Sarah menyuruh mereka untuk makan dulu, tapi Rahman menolak dengan alasan Mala susah memasak. Bu Sarah tak bisa memaksa karena dia pikir juga anaknya pasti sudah menyediakan makanan yang enak. Satu persatu mereka saling berjabat tangan tak lupa Arif juga meminta maaf telah merepotkan semuanya. Namun hanya disambut tawa oleh keluarga pak Ahmad dan mereka bilang tak merasa direpotkan."Jangan pacaran, ya!" bisik Arif saat dia bersalaman dengan Aisyah. Gadis itu mengerutkan dahinya dan menatap pria dewasa yang berbadan tegap itu."Ingat pesan, Abang, ya!"
Bab 222. Maaf.Sementara di rumah Mala, wanita itu kini tengah bercerita kepada mertuanya yang sedang duduk dan melihat wajah menantunya dengan seksama. "Bu, alhamdulillah Arif sudah ditemukan, jadi tidak lama lagi mas Rahman akan pulang," ucap Mala sambil menutupi kaki Bu Samirah oleh selimut yang baru saja selesai dipijit olehnya.Bu Samira menarik sedikit ujung bibirnya, dia tersenyum lega saat mengetahui bahwa teman anaknya itu kini sudah ditemukan.Ibu mau tidur sekarang atau mau menunggu mas Rahman dulu?" tanya Mala dengan lembut."Ibu nunggu Rahman aja!" sahut Bu samirah dengan pelan membuat mata Mala sedikit terbuka karena ternyata mertuanya menyahuti pertanyaanya setelah lama terdiam."Alhamdulillah, Ibu sudah bisa menyahuti saya," ucap Mala sambil terduduk lagi dan memegang bahu mertuanya dengan tatapan yang tidak bisa diucapkan oleh kata-kata. betapa bahagianya dia saat ini mengetahui sang mertua sudah bisa kembali berkomunikasi. "Memangnya kamu pikir, Ibu ini bisu?" tany
Bab 221. Kesasar Bagian 2. "Ais kamu kok bisa ke sini?" Arif malah bertanya seperti itu."Aku mencari Abang! Bang Rahman tadi ke rumah, katanya Abang belum pulang. Akhirnya kami mencari Abang, takutnya Abang kesasar dan benar saja Abang ada di sini. Abang kenapa ngambil jalan sini sih?" ucap Aisyah dengan sedikit kesal."Maafkan Abang ya, is jadi merepotkan semuanya. Abang tadi lupa beloknya harus kemana, ini kan jalan cabang empat jadi Abang bingung mau lurus, belok kanan atau belok kiri. Eh, Abang malah ke sini dan ternyata ini nggak ada kampung malah kebun semua," ucap Arif dengan jujur dan tak enak hati."Lah iyalah, ini kan jalan untuk ke hutan, Bang. Disebelah sana ada kebun-kebun para warga dan memang ada pemukiman juga, tapi itu khusus untuk mereka yang rumahnya jauh dan memiliki ladang disini. Dan tentu saja tidak setiap hari mereka menginap maka tidak akan ada orang. Jadi sangat sepi, terus mobil Abang mana?" tanya Aisyah."Mobil Abang di sebelah sana, Is. Bannya nyelip jad
Bab 220. Kesasar.Rahman mengendarai motornya dengan pelan. Karena ternyata pas keluar dari kampungnya harus melalui jalanan yang becek akibat hujan. Padahal di rumahnya seharian tadi, panas sekali. Jangankan hujan, mendung pun tidak. Bangunan rumah sang mertua sudah terlihat, namun mobil Arif tak ada disana. Rahman langsung turun dan mengetuk pintu. "Assalamualaikum!" "Loh, Bang Rahman?" pekik Aisyah saat pintu sudah terbuka lebar. Negatif thinking langsung menerpa pikirannya."Arif mana?" tanya Rahman pada Aisyah."Udah pulang dari tadi.""Mala gak menelpon kamu?" tanya Rahman lagi."Nggak, eh tapi sebentar. Aisyah lihat dulu ponselnya." Gadis itu seketika berbalik menuju kamarnya dan mencari ponselnya. Ternyata ada banyak panggilan dari WhatsApp dari sang kakak. Namun sayang sebelum sholat dia telah memasang silent mode on di ponselnya. Aisyah membaca pesan yang dikirim Mala satu persatu. Dia baru paham apa sebabnya yang membuat Rahman datang ke rumahnya. Di ruang tamu, Bu Sar
Bab 219. Kesasar atau hilang.Aisyah langsung masuk ke kamarnya meletakkan seluruh barang bawaannya. Kemudian gadis itu menuju ke dapur, berniat membuatkan minuman untuk Arif dan juga kedua orang tuanya. Tiba-Tiba Bu Sarah pun muncul di dapur."Kamu bikin apa, Is?" tanya Bu Sarah. "Ini aku bikin kopi buat Bapak sama Bang Arif, ada cemilan apa, Mak di rumah?" tanya Aisyah"Tuh ada rengginang sama goreng opak aja, baru digoreng tadi pagi sama Emak!" ucap Bu Sarah dengan menunjukkan letak toples rengginang dengan dagunya. Aisyah pun menata nampan dengan dua buah toples berukuran sedang, serta dua buah cangkir kopi. Lalu mengantarkannya ke hadapan Pak Ahmad dan Arif di ruang tamu.Pak Ahmad terlihat asik mengobrol dengan Arif, hingga sesekali tawa dari keduanya terdengar. Aisyah masuk kembali dan duduk di ruang tengah karena melihat bapaknya dan Arif sedang asik berbincang. Gadis itu gak berani ikut duduk disana."Hmz, Pak boleh saya bertanya?" ucap Arif dengan ragu-ragu. Dia menautkan
art 112. Hilang atau kesasar? Aisyah mengangguk tanda membenarkan pertanyaan Arif. Gadis berlesung pipit itu begitu sangat terlihat manis dipandang dari samping. "Hmz … bagus, Is. Abang salut sama kamu!" Hanya itu ucapan Arif. Sungguh bertentangan dengan isi hatinya. "Tapi, kalau seandainya ada laki-laki yang tiba-tiba melamar kamu, apa kamu mau terima, Is?" tanya Arif dengan perasaan yang roller coaster. Keringat sudah membasahi tubuhnya. Meski ia telah bersiap dengan penolakan, tapi sisi egoisnya mengatakan bagaimanapun harus bisa memiliki Aisyah. Gadis tujuh belas tahun itu telah memporak porandakan hatinya, membuatnya gila dengan pikiran-pikiran masa depan yang indah jika dirinya beristrikan Aisyah."Gimana, ya! Lagian belum pernah ada yang melamar aku," sahut Aisyah dengan terkekeh geli. Mengingat banyak orang bilang dirinya cantik, pintar dan sebagainya. Tapi belum pernah ada yang melamarnya. "Hah … serius? Tapi pacar punya dong?" Arif mencoba mengorek hal yang paling rahasi
"Arif bukan anak kecil. Dia sudah dua puluh tujuh tahun. udah biarin aja! Kamu sekarang kalau mau pulang, ayo cepetan. Arif udah manasin mobil tuh," ucap Mala dengan langsung berbalik pergi. Dia tidak mau lagi mendengar penolakan Aisyah atau apapun. Sedangkan sang adik hanya mengerang pelan, dia tak habis pikir dengan jalan pikiran kakaknya bagaimana mungkin seorang tamu yang tidak tahu wilayah tempat tinggal mereka disuruh mengantarkan dirinya, lelaki yang baru dikenalnya dalam hitungan jam.Meskipun bagi kakaknya, Arif pada sosok yang baik tapi belum tentu dengan dirinya. Tapi apa boleh buat, dia tidak mau menyinggung perasaan siapapun. Akhirnya suka tidak suka, Aisyah menyetujuinya dengan berusaha meyakini bahwa Arif itu orang baik.Aisyah menenteng ranselnya setelah berpamitan terlebih dahulu pada bu Samirah yang sedang duduk diatas kasur. Dia menuju ke teras depan, dimana Kakak dan Kakak iparnya beserta Arif berada."Tuh, Ais sudah siap," ucap Rahman saat matanya menangkap sosok
"Aisyah itu agamanya kuat. Mungkin saja dia itu tidak akan nyaman dengan keberadaan aku, orang yang dianggapnya memang bukan muhrim. Walaupun sama aku yang sudah jadi keluarganya. Memang dari dulu anak itu seperti itu, kalau aku nggak ada pasti dia akan disini bersama kakaknya. Tapi kalau aku pulang, dia akan gegas pulang juga ke rumahnya. Cuma pernah waktu Mala lahiran, dia disini agak lama," tutur Rahman. "Tapi bukan karena aku kan, Man?" Arif menatap cemas. Arif sangat takut kepulangan Aisyah karena ada dirinya di rumah Rahman. "Bukan! Bukan lah. Dari dulu semenjak aku pulang-pergi ke Lampung Aisyah hanya akan disini kalau aku tidak ada, kalau aku pulang, maka dalam hitungan jam dia akan langsung pulang," tegasnya dan diangguki oleh Mala.Arif tersenyum simpul mendengar apa yang dikatakan Rahman. Dia tidak salah menjatuhkan hati. Dia tidak salah menganggumi. Tatap matanya begitu penuh harap saat kata demi kata diucapkan oleh pasangan suami-isteri itu."Ya … udah, Mas ambil moto
Bersamaan dengan itu, Aisyah berbalik badan hendak masuk karena memang kegiatan menyapunya telah selesai. "Bang Arif, ngapain di sini?" tanya Aisyah, matanya beradu pandang dengan lelaki bertubuh tegap itu. Arif memejamkan matanya seketika. Setelah Rahman dan Mala kini targetnya sendiri tengah menanyainya. "E—anu, Sah. Abang mau ke kamar mandi," sahut Arif sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal, matanya tak berani menatap kearah Aisyah, namun berulang kali membuang pandangannya tapi kembali menatap gadis tujuh belas tahun itu."Ais, Bang. Aku nggak mau dipanggil Sah!" ucap Aisyah dengan cemberut. Dia memang tidak suka dipanggil ujung namanya, dia lebih suka dipanggil awal namanya saja. "Ow … Maaf, ya! Abang nggak tau," ucap Arif lagi sambil tersenyum canggung. Dadanya begitu bergemuruh bak pasukan akan perang, tubuhnya terasa panas dingin dan gemetaran."Iya, tapi jangan di ulangi panggil itu lagi, nanti aku ngambek!" ucap Aisyah sambil berlalu ke dapur guna menyimpan sapu seda