"Sudah dekat, Man?" tanya Arip sambil membenarkan posisi duduknya serta melihat ke arah luar yang mulai menunjukkan bentangan sawah di sisi kanan dan rumah-rumah sederhana di sisi kiri. "Iya, bentar lagi. Kejedot, ya?" tanya Rahman tanpa melihat kearah Arif karena ia sedang fokus pada jalan berbatu dan sempit. Arif hanya terkekeh. Ia mematikan AC mobil lalu membuka jendela lalu menghirup aroma pagi di kampung Rahman. Banyak anak-anak berjalan untuk pergi kesekolah, aktivitas para warga sudah terlihat ramai di sepanjang jalan. Rahman melihat bangunan toko yang miliknya terlihat Agus dan Sandy tengah memindahkan barang, pikirnya pasti Mala masih di dalam rumah, karena jam baru menunjukkan pukul tujuh lebih sepuluh menit. Ia menarik rem tangan kemudian mematikan mobilnya. "Alhamdulillah sampai!" ucapnya. Agus dan Sandy melirik ke arah mobil hitam yang barusan parkir di depan toko. "Bang Rahman!" seru keduanya lalu menyalami suami bosnya itu. Tak lupa mereka pun menyalami Arif yang ba
"Is, belanja ke pasar, ya! Beliin sayuran dan daging sapi. Teteh mau masak banyak ada tamu!" titahnya sebelum ia masuk ke ruang tamu untuk menyapa Arif "Tamu siapa?" tanya Aisyah sambil menata nasi ke piring." Kamu belum tahu?" "Abang gak ngomong!" sahut gadis itu cuek."Ya … udah, hayu samperin dulu tamunya, terus kamu ke pasar. Nanti, Teteh catat apa saja yang harus di beli." "Siap, Bos!" sahutnya sambil memperagakan sikap hormat pada kakaknya keduanya tergelak dan melangkah beriringan untuk menemui Arif. "Akh, maaf menunggu lama. Gimana perjalanannya?" tanya Mala saat sudah berada di ruang tamu sambil menyodorkan tangannya. "Alhamdulillah aman dan lancar. Maaf saya merepotkan," sahut Arif sambil pandangannya menuju pada gadis yang berdiri disamping Mala. Gadis dengan alis tebal dan bulu mata lentik, sedikit pipinya agak gembul tidak terlalu tirus. Mata Arif tak berkedip melihatnya. "Ini adik saya!" ucap Mala membuyarkan fokus pandangan Arif, Aisyah maju dan mencium takjim ta
Arif yang terbangun karena bau masakan yang menguar hingga ke kamarnya, sejak tadi sudah duduk ditepi ranjang dan mendengar obrolan sang tuan rumah. Kebetulan posisi kamar Arif nempell dengan dapur, jadi obrolannya Mala dan Aisyah terdengar jelas ketelinganya. Ia lalu berdiri menatap gambar dirinya di cermin lemari dan bergumam. " Masa iya, wajah ganteng begini tak membuat bocah itu terpesona. Aku mirip Reza Rahardian loh!" Kemudian Arif tersenyum sendiri mengingat obrolan Aisyah tadi. ——RatuNna kania——Setelah masakan selesai dan terhidang di meja, Mala memberitahu Aisyah bahwa dia akan ke rumah Bu Samirah menyusul Rahman dan memberi makan mertuanya itu. Aisyah meng-iyakan dan gadis itu melanjutkan membereskan dapur, piring yang sudah dicuci ia masukkan ke dalam kitchen set yang tersedia disana.Arif keluar hendak ke kamar mandi dan Aisyah hendak ke kamar mereka bertemu tepat di tengah ruangan antara ruang tengah dan kamar mandi. Arif seketika menghentikan langkahnya begitupun
Mala hanya tersenyum mendengar apa yang Susan katakan. Sebenarnya, dia pun mendengar desas-desus tentang sikap judesnya Eni terhadap ibunya sendiri. Namun, Mala tidak ingin terlibat lebih dalam lagi dalam urusan mertuanya. Karena bukan hanya satu dua kali saja, Eni dengan bengis menyuruh agar Mala tidak ikut campur dengan kata-kata yang bikin sakit hati dan jiwa."Ada apa, Mbak?" tanya Rahman untuk kedua kalinya dengan menatap tajam ke arah kakak iparnya itu. Rasanya ia tak sabar lagi ingin tahu."Mala! Memangnya, kamu nggak mendengar apa yang tetangga omongkan?" Susan malah bertanya kepada Mala yang sejak tadi tengah menyuapi mertuanya."Aku sibuk di toko, Mbak. Nggak sempat mendengar hal-hal yang aneh," ucap Mala dengan singkat, cukuplah dia tahu tanpa harus koar-koar. Toh, cepat atau lambat suaminya akan tahu juga. Saat ini dia tidak mau ikut terseret ke dalam perdebatan itu. cukuplah dia melakukan tugasnya sebagai seorang menantu dan istri. Ia tak mau lagi mendengar omongan menyaki
"Kamu berani sama aku, sekarang?" kata Eni sambil melotot dan kedua tangannya berada dipingganya."Lah siapa yang berani? Emang benar-kan dan pada nyatanya seperti itu. Iya-kan, Mbak Susan? Apa yang dikatakan sama tetangga seperti itu? Kalau katanya, kak Eni mengurus ibu, ya begitu? Aku nggak tahu pasti. Namun begitulah gosip yang sedang santer di kampung ini." Mala akhirnya melangkah keluar kamar karena Eni pasti akan mengajaknya berdebat. Sehingga Mala tidak jadi membawa selimut atau barang apapun dari kamar Bu Samirah. pikirnya biarlah Rahman yang akan mengambilnya nanti."Dasar ipar minim sopan santun! nggak tahu diri!" umpat Eni ketika mendengar ucapan Mala dan sang adik ipar tanpa pamit melenggang begitu saja meninggalkannya. Selama ini yang dia tahu, adik iparnya itu tidak pernah membantah tapi entah kenapa hari ini dia begitu galak dan berani."Kamu apa-apaan sih, Mbak … ngadu-ngadu masalah yang tidak jelas kepada Rahman. Lagian apa yang aku lakukan sama ibuku, Mbak? Mala i
"Bukan hanya dari tadi aja deh kayaknya. Tapi dari kemarin, aku perhatikan si Arif itu mencuri-curi pandang terus sedangkan Aisyah biasa saja," sahut Rahman."Apa jangan-jangan Arif naksir, ya! sama Aisyah?" ucap Mala lagi sambil menempelkan telunjuknya di keningnya."Bisa jadi!" ucap Rahman singkat."Kalau begitu … kita jodohkan saja, Mas. Gimana? Bukankah Arif itu orang yang baik, selalu membantu kita dan dia pun masih single. Eh, atau … apakah Arif itu sudah punya pacar, Mas?" tanya Mala mencoba mencari jawaban terlebih dahulu."Setahuku sih belum. Tapi nggak tahu deh kalau di belakangku. Biasanya kalau malam minggu kami itu sering pergi berdua atau kadang aku yang main ke rumah Arif. Arif itu nggak pernah ke mana-mana selain ke rumahku dan di rumahnya," ucap Rahman lagi sambil mengingat-ingat selama setahun dia berada di Lampung dan nyaris tidak pernah absen malam minggunya tanpa Arif."Nanti aku ngomong sama Aisyah, kalau memang Arif mau sama Aisyah … kan kapan lagi Aisyah bisa d
"Hah … apa Man?" tanya Arif sedikit terkejut dan menegakkan duduknya. Wajahnya sudah bersemu merah karena malu ketahuan. ———RatuNna Kania———"Biasa aja sih, Rif. Gak usah kaget begitu!" ucap Rahman dengan senyum simpul saat melihat temannya memberikan ekspresi seperti itu, bak maling yang ke-gep, kebingungan untuk menyangkal. "Aku … aku—" Arif makin gagap, Rahman tak bisa menyembunyikan tawanya akhirnya tawa yang ditahannya sejak tadi demi menjaga perasaan Arif pecah juga. Arif mengusap wajahnya dengan kasar. Betapa malunya dia ketahuan oleh Rahman perihal rasa yang sedang bersemayam dalam hatinya."Maaf! Hmz!" Rahman berdehem untuk menghentikan tawanya. "Kalau kamu suka sama adik iparku, aku akan bantu. Lagian Mala semalam bilang, kalau Aisyah berjodoh denganmu dia akan sangat tenang dan senang!" tutur Rahman dengan pelan berusaha membangun nyali untuk Arif."What? Serius Mala bilang begitu?" Mata Arif seolah akan keluar dari tempatnya mendengar penuturannya temannya itu. Seandain
Manusiawi jika Mala masih merasakan itu, perlakuan Bu Samirah begitu kejam. Bahkan dengan tanpa perasaan berniat mendekatkan Helen dengan Rahman yang jelas-jelas dia sudah punya istri. Tak cukup disitu saja, dalam keadaan hamil pun Mala tak luput dari mulut tajamnya hingga stillbirth itu terjadi. Dia tidak menyalahkan mertuanya dalam hal musibah itu, karena kehidupan dan takdir manusia itu mutlak hak Allah. Tapi akibat banyak perlakuan kasar dan kata-kata yang sadis itulah membuat dia stres dan banyak pikiran. Bohong kalau dia bilang tak memikirkannya karena pada nyatanya sesabar apapun manusia kalau di omongin kasar tentu saja dalam hati dan pikirannya akan tersimpan dengan rapi bahkan saat si pengucap sudah lupa tapi tidak dengan yang di katainya. "Waah, Alhamdulillah. Ibu suka ternyata. Besok lusa, Mala bikinin lagi, ya. Besok kita bikin puding jagung, gimana?" tanya Mala dengan wajah sumringah. Bu Samirah mengangguk dan matanya berkaca-kaca. "Te—te—ri—ma—kasih. Huhuhuhu!" Dia men
Bab 223. Suka sama Abang, nggak?"Man, ayo pulang. Aku harus ke Jakarta hari ini," ucap Arif memotong omongan Rahman dengan segera. Karena setelah dipikir-pikir olehnya, ini memang terlalu cepat. "Tadi katanya—""Sekarang nggak! Ayo pulang," ucap Arif dengan gusar karena Rahman malah terlihat seperti orang bodoh."Akh, ok!" Hanya itu ucapan yang keluar dari bibir Rahman lalu ia bangkit dan berpamitan pada mertua serta adik iparnya. Bu Sarah menyuruh mereka untuk makan dulu, tapi Rahman menolak dengan alasan Mala susah memasak. Bu Sarah tak bisa memaksa karena dia pikir juga anaknya pasti sudah menyediakan makanan yang enak. Satu persatu mereka saling berjabat tangan tak lupa Arif juga meminta maaf telah merepotkan semuanya. Namun hanya disambut tawa oleh keluarga pak Ahmad dan mereka bilang tak merasa direpotkan."Jangan pacaran, ya!" bisik Arif saat dia bersalaman dengan Aisyah. Gadis itu mengerutkan dahinya dan menatap pria dewasa yang berbadan tegap itu."Ingat pesan, Abang, ya!"
Bab 222. Maaf.Sementara di rumah Mala, wanita itu kini tengah bercerita kepada mertuanya yang sedang duduk dan melihat wajah menantunya dengan seksama. "Bu, alhamdulillah Arif sudah ditemukan, jadi tidak lama lagi mas Rahman akan pulang," ucap Mala sambil menutupi kaki Bu Samirah oleh selimut yang baru saja selesai dipijit olehnya.Bu Samira menarik sedikit ujung bibirnya, dia tersenyum lega saat mengetahui bahwa teman anaknya itu kini sudah ditemukan.Ibu mau tidur sekarang atau mau menunggu mas Rahman dulu?" tanya Mala dengan lembut."Ibu nunggu Rahman aja!" sahut Bu samirah dengan pelan membuat mata Mala sedikit terbuka karena ternyata mertuanya menyahuti pertanyaanya setelah lama terdiam."Alhamdulillah, Ibu sudah bisa menyahuti saya," ucap Mala sambil terduduk lagi dan memegang bahu mertuanya dengan tatapan yang tidak bisa diucapkan oleh kata-kata. betapa bahagianya dia saat ini mengetahui sang mertua sudah bisa kembali berkomunikasi. "Memangnya kamu pikir, Ibu ini bisu?" tany
Bab 221. Kesasar Bagian 2. "Ais kamu kok bisa ke sini?" Arif malah bertanya seperti itu."Aku mencari Abang! Bang Rahman tadi ke rumah, katanya Abang belum pulang. Akhirnya kami mencari Abang, takutnya Abang kesasar dan benar saja Abang ada di sini. Abang kenapa ngambil jalan sini sih?" ucap Aisyah dengan sedikit kesal."Maafkan Abang ya, is jadi merepotkan semuanya. Abang tadi lupa beloknya harus kemana, ini kan jalan cabang empat jadi Abang bingung mau lurus, belok kanan atau belok kiri. Eh, Abang malah ke sini dan ternyata ini nggak ada kampung malah kebun semua," ucap Arif dengan jujur dan tak enak hati."Lah iyalah, ini kan jalan untuk ke hutan, Bang. Disebelah sana ada kebun-kebun para warga dan memang ada pemukiman juga, tapi itu khusus untuk mereka yang rumahnya jauh dan memiliki ladang disini. Dan tentu saja tidak setiap hari mereka menginap maka tidak akan ada orang. Jadi sangat sepi, terus mobil Abang mana?" tanya Aisyah."Mobil Abang di sebelah sana, Is. Bannya nyelip jad
Bab 220. Kesasar.Rahman mengendarai motornya dengan pelan. Karena ternyata pas keluar dari kampungnya harus melalui jalanan yang becek akibat hujan. Padahal di rumahnya seharian tadi, panas sekali. Jangankan hujan, mendung pun tidak. Bangunan rumah sang mertua sudah terlihat, namun mobil Arif tak ada disana. Rahman langsung turun dan mengetuk pintu. "Assalamualaikum!" "Loh, Bang Rahman?" pekik Aisyah saat pintu sudah terbuka lebar. Negatif thinking langsung menerpa pikirannya."Arif mana?" tanya Rahman pada Aisyah."Udah pulang dari tadi.""Mala gak menelpon kamu?" tanya Rahman lagi."Nggak, eh tapi sebentar. Aisyah lihat dulu ponselnya." Gadis itu seketika berbalik menuju kamarnya dan mencari ponselnya. Ternyata ada banyak panggilan dari WhatsApp dari sang kakak. Namun sayang sebelum sholat dia telah memasang silent mode on di ponselnya. Aisyah membaca pesan yang dikirim Mala satu persatu. Dia baru paham apa sebabnya yang membuat Rahman datang ke rumahnya. Di ruang tamu, Bu Sar
Bab 219. Kesasar atau hilang.Aisyah langsung masuk ke kamarnya meletakkan seluruh barang bawaannya. Kemudian gadis itu menuju ke dapur, berniat membuatkan minuman untuk Arif dan juga kedua orang tuanya. Tiba-Tiba Bu Sarah pun muncul di dapur."Kamu bikin apa, Is?" tanya Bu Sarah. "Ini aku bikin kopi buat Bapak sama Bang Arif, ada cemilan apa, Mak di rumah?" tanya Aisyah"Tuh ada rengginang sama goreng opak aja, baru digoreng tadi pagi sama Emak!" ucap Bu Sarah dengan menunjukkan letak toples rengginang dengan dagunya. Aisyah pun menata nampan dengan dua buah toples berukuran sedang, serta dua buah cangkir kopi. Lalu mengantarkannya ke hadapan Pak Ahmad dan Arif di ruang tamu.Pak Ahmad terlihat asik mengobrol dengan Arif, hingga sesekali tawa dari keduanya terdengar. Aisyah masuk kembali dan duduk di ruang tengah karena melihat bapaknya dan Arif sedang asik berbincang. Gadis itu gak berani ikut duduk disana."Hmz, Pak boleh saya bertanya?" ucap Arif dengan ragu-ragu. Dia menautkan
art 112. Hilang atau kesasar? Aisyah mengangguk tanda membenarkan pertanyaan Arif. Gadis berlesung pipit itu begitu sangat terlihat manis dipandang dari samping. "Hmz … bagus, Is. Abang salut sama kamu!" Hanya itu ucapan Arif. Sungguh bertentangan dengan isi hatinya. "Tapi, kalau seandainya ada laki-laki yang tiba-tiba melamar kamu, apa kamu mau terima, Is?" tanya Arif dengan perasaan yang roller coaster. Keringat sudah membasahi tubuhnya. Meski ia telah bersiap dengan penolakan, tapi sisi egoisnya mengatakan bagaimanapun harus bisa memiliki Aisyah. Gadis tujuh belas tahun itu telah memporak porandakan hatinya, membuatnya gila dengan pikiran-pikiran masa depan yang indah jika dirinya beristrikan Aisyah."Gimana, ya! Lagian belum pernah ada yang melamar aku," sahut Aisyah dengan terkekeh geli. Mengingat banyak orang bilang dirinya cantik, pintar dan sebagainya. Tapi belum pernah ada yang melamarnya. "Hah … serius? Tapi pacar punya dong?" Arif mencoba mengorek hal yang paling rahasi
"Arif bukan anak kecil. Dia sudah dua puluh tujuh tahun. udah biarin aja! Kamu sekarang kalau mau pulang, ayo cepetan. Arif udah manasin mobil tuh," ucap Mala dengan langsung berbalik pergi. Dia tidak mau lagi mendengar penolakan Aisyah atau apapun. Sedangkan sang adik hanya mengerang pelan, dia tak habis pikir dengan jalan pikiran kakaknya bagaimana mungkin seorang tamu yang tidak tahu wilayah tempat tinggal mereka disuruh mengantarkan dirinya, lelaki yang baru dikenalnya dalam hitungan jam.Meskipun bagi kakaknya, Arif pada sosok yang baik tapi belum tentu dengan dirinya. Tapi apa boleh buat, dia tidak mau menyinggung perasaan siapapun. Akhirnya suka tidak suka, Aisyah menyetujuinya dengan berusaha meyakini bahwa Arif itu orang baik.Aisyah menenteng ranselnya setelah berpamitan terlebih dahulu pada bu Samirah yang sedang duduk diatas kasur. Dia menuju ke teras depan, dimana Kakak dan Kakak iparnya beserta Arif berada."Tuh, Ais sudah siap," ucap Rahman saat matanya menangkap sosok
"Aisyah itu agamanya kuat. Mungkin saja dia itu tidak akan nyaman dengan keberadaan aku, orang yang dianggapnya memang bukan muhrim. Walaupun sama aku yang sudah jadi keluarganya. Memang dari dulu anak itu seperti itu, kalau aku nggak ada pasti dia akan disini bersama kakaknya. Tapi kalau aku pulang, dia akan gegas pulang juga ke rumahnya. Cuma pernah waktu Mala lahiran, dia disini agak lama," tutur Rahman. "Tapi bukan karena aku kan, Man?" Arif menatap cemas. Arif sangat takut kepulangan Aisyah karena ada dirinya di rumah Rahman. "Bukan! Bukan lah. Dari dulu semenjak aku pulang-pergi ke Lampung Aisyah hanya akan disini kalau aku tidak ada, kalau aku pulang, maka dalam hitungan jam dia akan langsung pulang," tegasnya dan diangguki oleh Mala.Arif tersenyum simpul mendengar apa yang dikatakan Rahman. Dia tidak salah menjatuhkan hati. Dia tidak salah menganggumi. Tatap matanya begitu penuh harap saat kata demi kata diucapkan oleh pasangan suami-isteri itu."Ya … udah, Mas ambil moto
Bersamaan dengan itu, Aisyah berbalik badan hendak masuk karena memang kegiatan menyapunya telah selesai. "Bang Arif, ngapain di sini?" tanya Aisyah, matanya beradu pandang dengan lelaki bertubuh tegap itu. Arif memejamkan matanya seketika. Setelah Rahman dan Mala kini targetnya sendiri tengah menanyainya. "E—anu, Sah. Abang mau ke kamar mandi," sahut Arif sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal, matanya tak berani menatap kearah Aisyah, namun berulang kali membuang pandangannya tapi kembali menatap gadis tujuh belas tahun itu."Ais, Bang. Aku nggak mau dipanggil Sah!" ucap Aisyah dengan cemberut. Dia memang tidak suka dipanggil ujung namanya, dia lebih suka dipanggil awal namanya saja. "Ow … Maaf, ya! Abang nggak tau," ucap Arif lagi sambil tersenyum canggung. Dadanya begitu bergemuruh bak pasukan akan perang, tubuhnya terasa panas dingin dan gemetaran."Iya, tapi jangan di ulangi panggil itu lagi, nanti aku ngambek!" ucap Aisyah sambil berlalu ke dapur guna menyimpan sapu seda