"Diam bu Usman! Dan, silahkan pergi dari rumah ini!" usir kak Eni dengan menunjuk ke arah pintu keluar."Kak!" "Apa? Kau juga mau aku usir?" hardiknya dengan mata hampir keluar."Kakak kenapa? Kesurupan? Ibu sakit bukannya gimana, Malah kayak kesetanan!" balasku tak mau kalah. Biarlah ku lawan saja sesekali. "Pergi kau dari sini! Adik ipar kurang ajar!" "Aku disini juga hanya karena ibu sakit, kalau ibu tidak sakit tak sudi aku masuk ke rumah yang ada kakak di dalamnya. Kakak pikir, aku suka dengan, kakak?" Aku tersenyum miris dan menatap meremehkan pada kakak iparku itu."Kamu ngajak ribut?" "Bukannya, Kakak yang ngajakin aku ribut duluan?" ucapku sambil menengadah menatap lekat wajah bengisnya karena posisiku duduk disamping ibu yang terbaring, jadi harus sedikit mendongak saat melihat ke arahnya. Cukup sudah aku membiarkan semena-mena selama ini. Dihargai bukannya sadar diri, malah makin ngelunjak mau nidas pula. Huft."Kamu nantangin aku?" "Kak, sudah! Aku kesini mau bawa ibu
Kuklik diinfo grupnya ternyata kak Eni sudah membacanya. Tapi dia tak merespon, kenapa, ya? Ah, biarlah yang penting aku bisa mengurusi wanita tua dihadapanku ini. Meskipun aku tak pernah diperlakukan dengan baik … tak apa, aku niatkan semuanya ibadah dan lillahitaala."Bu, hari ini kita pulang. Ibu, tinggal di rumah Mala, ya, Bu? Ibu mau kan?" Kugenggam tangannya dengan mengusapnya pelan. Ibu menatapku dengan lekat, seakan sedang memperhatikan sesuatu yang sangat penting. "Bu! Ibu mengerti-kan apa yang Mala katakan?" tanyaku sekali lagi. Ibu hanya mengangguk lalu memejamkan matanya kembali. Lah bagaimana bisa pulang kalau ibu terus menutup matanya? Aku jadi bingung deh."Assalamualaikum!" Abah datang bersama Sandy menjemput kami. Kebetulan dari semalam kami sudah ngobrol tentang ibu. dan saran Abah dan Emak adalah membawa mertuaku ke rumah kami. Tentu saja dengan persetujuan mas Rahman, akupun dengan mantap hati membawa ibu pulang. Abah dan Sandy membawa tas yang telah aku rapikan
Emosi Bu Sarah."Kamu hamil, La?" tanya Bu RT membuyarkan lamunanku. "Aku … aku—""Kayaknya iya deh! Mala terlihat gemukan," sahut Bu haji sambil mengulas senyum padaku. Sementara aku kayak orang bingung, karena memang dua bulan ini tak sadar kalau belum datang bulan. ——RatuNna kania——Aku melihat kearah tubuhku sendiri, kuusap kembali perut yang terhalang kemeja rayon itu dengan sejuta harap agar apa yang diomongkan ibu jadi kenyataan. Akh, aku rindu suara anak kecil. "Coba, sini kupegang," ujar Bu Usman sambil mendekat. Aku diam saja tapi tanganku telah menyingkir dari area perut. "Ini keras lho! Kayaknya bener kata Samirah, kamu hamil," ucap Bu Usman bahkan tangannya hingga berulang kali mengusap area perut dan menekankan sedikit. Emak yang baru masuk ke arah kamar, mengucap syukur sambil menengadahkan kedua tangannya."Alhamdulillah. Ya … Allah. Ya … Robbi. Sehatkan anak dan calon cucuku," ucapnya sambil meraupkan kedua tangannya pada wajahnya. Aku membingkai senyum bahag
"Kan! Sudah aku bilang juga apa? Kamu itu tidak mau keluar uang untuk ibu. Kamu itu emang apa, ya? Aku bingung harus bilang apa lagi. Sekarang banyak makanan dari tetangga untuk ibu, tentu sajalah kamu akan berat hati untuk melepaskan ibu pulang bersamaku. Aku sudah tahu akal bulusmu, akan menjual makanan pemberian para tetangga di tokomu!" ucapnya dengan meremehkan. Membuat aku geram dan ingin ku Jambak saja rambutnya. "Maaf, ya! Ni. Anak saya tidak mungkin punya sifat seperti itu. Karena saya dan abahnya mendidik dia agar menjadi pribadi yang jujur dan bertanggung jawab. Jadi jangan tuduh anak saya dengan macam-macam prasangka kotormu! Kalau kamu mau bawa ibumu pulang, silahkan! Pintu keluar sebelah sana!" ucap emak dengan tegas dan tatapan mematikan. Aku sampai terbengong melihat reaksi emak kali ini. Apakah ibuku sudah jengah dengan sikap mengalahnya? Tapi ini keren sekali, emak yang hanya terlihat diam saja berubah jadi bak singa lapar saat membela aku. Bu Usman menganga mende
Secercah harapan.Mala tak kuasa menahan mertuanya untuk tetap tinggal bersamanya, karena sang kakak ipar malah menudingnya yang lain-lain. Eni, melukiskan luka bukan hanya pada hati Mala sang adik ipar saja, tapi dihati bu Sarah juga sebagai ibunya Mala pun merasakan sakit, bahkan lebih sakit dari apa yang anaknya rasakan. Mala tak pernah dendam pada mertuanya meskipun selama menjadi menantunya tak pernah diperlakukan baik karena sang suami begitu menyayanginya. semua sikap tidak bersahabat yang diperlihatkan bu Samirah seakan menguap begitu saja karena perlakuan Rahman padanya. Rahman benar-benar adil dan sangat menyayangi ibu dan istrinya. Membuat Mala semakin meluaskan rasa sabarnya untuk sang mertua. Tapi pada Eni, sepertinya dia sudah mulai hilang respek dan berakibat pada ketidak pedulian Mala pada keponakan-keponakan Rahman. Mala tak bisa lagi bersikap manis atau beramah tamah pada ketiga anak Eni seperti dulu, semenjak kejadian viralnya toktok dan puncaknya hari kemarin.
"Kamu … dari waktu, Mas pulang belum haid?" tanya Rahman jantungnya semakin berpacu tak sabaran ingin tahu apa yang terjadi pada istrinya."Belum!" sahut Mala sambil menggelengkan kepalanya. Sepertinya Mala hilang fokus, tak sadar kalau percakapan dengan suaminya itu via telpon bukan video call atau berhadapan."Cepat tes, sana!" titah Rahman tak sabar. "Kata orang bagus pagi-pagi, Mas! Besok pagi aja!" kilah Mala. Rumor-nya mengechek urine pada tespek harus dilakukan pagi-pagi. Padahal di rumah sakit terkadang chek urine jam berapa saja tak jadi masalah. Lalu siapa yang pertama bilang seperti itu? Entahlah di ples enam dua ini ragam manusia adanya. Jadi banyak mitos yang kadang-kadang gak logis pun dipercayai. Tapi mungkin perihal urine ini ada benarnya, akan lebih akurat di pagi hari kali, ya? Akh entahlah. "Emang ada aturan ngechek urine?" tanya Rahman lagi."Entahlah!" sahut Mala ragu."Ya udah sana tes, aku ganti video call, ya!" "Hmz!" Mala sedikit merasa was-was dengan tes y
Positif.Mala sangat bahagia melihat garis dua di tespeknya. Ia sudah tak sabar ingin segera sore hari dan akan pergi ke bidan hari ini juga. Tak lupa ia menyuruh Aisyah untuk mengantarnya, tapi adiknya itu ternyata sedang sakit, terpaksa Faris yang harus mengantarnya. Mala belum memiliki motor meski keuntungan toko dua bulan ini sungguh menakjubkan, tapi ia ingin mengembalikan uang Helen dan kedua kakak iparnya, jadi ia menahan diri untuk membeli sesuatu yang sifatnya hanya butuh bukan darurat. Semetar di rumah bu Samirah, Eni sedang emosi karena ibunya bak di kasur. Padahal ia baru saja pulang menjemput anak pertamanya dari sekolah. Kondisi rumah yang berantakan akibat Nayla yang sedang masanya ngacak-ngacak mainan setiap harinya, ditambah ibunya yang semakin hari semakin merepotkan. Eni langsung meraih ponselnya dan mengetik sesuatu di grup wa keluarganya.{Beliin Pampers, sih! Hari ini ibu bak di kasur, baunya keseluruh penjuru dunia, cepat kirim Pampers ke rumahku} Mala yang s
"Hmz. Ini adik saya, Bu. Suami saya kebetulan sedang di luar pulau. Jadi yang mengantar kesini adik saya," terang Mala memberi penjelasan. Faris sudah dua kali menuai pandang yang menurut pemuda itu memalukan. Membeli tespek dan mengantar sang kakak ke bidan. Ia menjerit dalam hatinya kenapa Aisyah harus sakit disaat Mala membutuhkan bantuan. Karena biasanya Aisyah lah yang menghandle semua bantuan untuk kakaknya."Oh, kirain suaminya. Maaf, ya dek!" ucap wanita itu dengan menangkupkan kedua tangannya. Faris hanya nyengir menanggapi permintaan maaf itu meski hatinya dongkol."Suaminya di luar pulau kok, Mbak bisa hamil?" ucapnya lagi membuat Mala terkejut serta ingin memaki wanita di sebelahnya itu. Tingkat keponya melebihi rata-rata hingga pada orang tak dikenal pun dia bisa-bisanya julid. Bukannya tak pantas menanyakan hal seperti itu. Masih banyak pertanyaan lain yang berbobot untuk menjalin komunikasi dengan orang lain di tempat umum. "Suami saya pulang pergi seminggu sekali!" u
Bab 223. Suka sama Abang, nggak?"Man, ayo pulang. Aku harus ke Jakarta hari ini," ucap Arif memotong omongan Rahman dengan segera. Karena setelah dipikir-pikir olehnya, ini memang terlalu cepat. "Tadi katanya—""Sekarang nggak! Ayo pulang," ucap Arif dengan gusar karena Rahman malah terlihat seperti orang bodoh."Akh, ok!" Hanya itu ucapan yang keluar dari bibir Rahman lalu ia bangkit dan berpamitan pada mertua serta adik iparnya. Bu Sarah menyuruh mereka untuk makan dulu, tapi Rahman menolak dengan alasan Mala susah memasak. Bu Sarah tak bisa memaksa karena dia pikir juga anaknya pasti sudah menyediakan makanan yang enak. Satu persatu mereka saling berjabat tangan tak lupa Arif juga meminta maaf telah merepotkan semuanya. Namun hanya disambut tawa oleh keluarga pak Ahmad dan mereka bilang tak merasa direpotkan."Jangan pacaran, ya!" bisik Arif saat dia bersalaman dengan Aisyah. Gadis itu mengerutkan dahinya dan menatap pria dewasa yang berbadan tegap itu."Ingat pesan, Abang, ya!"
Bab 222. Maaf.Sementara di rumah Mala, wanita itu kini tengah bercerita kepada mertuanya yang sedang duduk dan melihat wajah menantunya dengan seksama. "Bu, alhamdulillah Arif sudah ditemukan, jadi tidak lama lagi mas Rahman akan pulang," ucap Mala sambil menutupi kaki Bu Samirah oleh selimut yang baru saja selesai dipijit olehnya.Bu Samira menarik sedikit ujung bibirnya, dia tersenyum lega saat mengetahui bahwa teman anaknya itu kini sudah ditemukan.Ibu mau tidur sekarang atau mau menunggu mas Rahman dulu?" tanya Mala dengan lembut."Ibu nunggu Rahman aja!" sahut Bu samirah dengan pelan membuat mata Mala sedikit terbuka karena ternyata mertuanya menyahuti pertanyaanya setelah lama terdiam."Alhamdulillah, Ibu sudah bisa menyahuti saya," ucap Mala sambil terduduk lagi dan memegang bahu mertuanya dengan tatapan yang tidak bisa diucapkan oleh kata-kata. betapa bahagianya dia saat ini mengetahui sang mertua sudah bisa kembali berkomunikasi. "Memangnya kamu pikir, Ibu ini bisu?" tany
Bab 221. Kesasar Bagian 2. "Ais kamu kok bisa ke sini?" Arif malah bertanya seperti itu."Aku mencari Abang! Bang Rahman tadi ke rumah, katanya Abang belum pulang. Akhirnya kami mencari Abang, takutnya Abang kesasar dan benar saja Abang ada di sini. Abang kenapa ngambil jalan sini sih?" ucap Aisyah dengan sedikit kesal."Maafkan Abang ya, is jadi merepotkan semuanya. Abang tadi lupa beloknya harus kemana, ini kan jalan cabang empat jadi Abang bingung mau lurus, belok kanan atau belok kiri. Eh, Abang malah ke sini dan ternyata ini nggak ada kampung malah kebun semua," ucap Arif dengan jujur dan tak enak hati."Lah iyalah, ini kan jalan untuk ke hutan, Bang. Disebelah sana ada kebun-kebun para warga dan memang ada pemukiman juga, tapi itu khusus untuk mereka yang rumahnya jauh dan memiliki ladang disini. Dan tentu saja tidak setiap hari mereka menginap maka tidak akan ada orang. Jadi sangat sepi, terus mobil Abang mana?" tanya Aisyah."Mobil Abang di sebelah sana, Is. Bannya nyelip jad
Bab 220. Kesasar.Rahman mengendarai motornya dengan pelan. Karena ternyata pas keluar dari kampungnya harus melalui jalanan yang becek akibat hujan. Padahal di rumahnya seharian tadi, panas sekali. Jangankan hujan, mendung pun tidak. Bangunan rumah sang mertua sudah terlihat, namun mobil Arif tak ada disana. Rahman langsung turun dan mengetuk pintu. "Assalamualaikum!" "Loh, Bang Rahman?" pekik Aisyah saat pintu sudah terbuka lebar. Negatif thinking langsung menerpa pikirannya."Arif mana?" tanya Rahman pada Aisyah."Udah pulang dari tadi.""Mala gak menelpon kamu?" tanya Rahman lagi."Nggak, eh tapi sebentar. Aisyah lihat dulu ponselnya." Gadis itu seketika berbalik menuju kamarnya dan mencari ponselnya. Ternyata ada banyak panggilan dari WhatsApp dari sang kakak. Namun sayang sebelum sholat dia telah memasang silent mode on di ponselnya. Aisyah membaca pesan yang dikirim Mala satu persatu. Dia baru paham apa sebabnya yang membuat Rahman datang ke rumahnya. Di ruang tamu, Bu Sar
Bab 219. Kesasar atau hilang.Aisyah langsung masuk ke kamarnya meletakkan seluruh barang bawaannya. Kemudian gadis itu menuju ke dapur, berniat membuatkan minuman untuk Arif dan juga kedua orang tuanya. Tiba-Tiba Bu Sarah pun muncul di dapur."Kamu bikin apa, Is?" tanya Bu Sarah. "Ini aku bikin kopi buat Bapak sama Bang Arif, ada cemilan apa, Mak di rumah?" tanya Aisyah"Tuh ada rengginang sama goreng opak aja, baru digoreng tadi pagi sama Emak!" ucap Bu Sarah dengan menunjukkan letak toples rengginang dengan dagunya. Aisyah pun menata nampan dengan dua buah toples berukuran sedang, serta dua buah cangkir kopi. Lalu mengantarkannya ke hadapan Pak Ahmad dan Arif di ruang tamu.Pak Ahmad terlihat asik mengobrol dengan Arif, hingga sesekali tawa dari keduanya terdengar. Aisyah masuk kembali dan duduk di ruang tengah karena melihat bapaknya dan Arif sedang asik berbincang. Gadis itu gak berani ikut duduk disana."Hmz, Pak boleh saya bertanya?" ucap Arif dengan ragu-ragu. Dia menautkan
art 112. Hilang atau kesasar? Aisyah mengangguk tanda membenarkan pertanyaan Arif. Gadis berlesung pipit itu begitu sangat terlihat manis dipandang dari samping. "Hmz … bagus, Is. Abang salut sama kamu!" Hanya itu ucapan Arif. Sungguh bertentangan dengan isi hatinya. "Tapi, kalau seandainya ada laki-laki yang tiba-tiba melamar kamu, apa kamu mau terima, Is?" tanya Arif dengan perasaan yang roller coaster. Keringat sudah membasahi tubuhnya. Meski ia telah bersiap dengan penolakan, tapi sisi egoisnya mengatakan bagaimanapun harus bisa memiliki Aisyah. Gadis tujuh belas tahun itu telah memporak porandakan hatinya, membuatnya gila dengan pikiran-pikiran masa depan yang indah jika dirinya beristrikan Aisyah."Gimana, ya! Lagian belum pernah ada yang melamar aku," sahut Aisyah dengan terkekeh geli. Mengingat banyak orang bilang dirinya cantik, pintar dan sebagainya. Tapi belum pernah ada yang melamarnya. "Hah … serius? Tapi pacar punya dong?" Arif mencoba mengorek hal yang paling rahasi
"Arif bukan anak kecil. Dia sudah dua puluh tujuh tahun. udah biarin aja! Kamu sekarang kalau mau pulang, ayo cepetan. Arif udah manasin mobil tuh," ucap Mala dengan langsung berbalik pergi. Dia tidak mau lagi mendengar penolakan Aisyah atau apapun. Sedangkan sang adik hanya mengerang pelan, dia tak habis pikir dengan jalan pikiran kakaknya bagaimana mungkin seorang tamu yang tidak tahu wilayah tempat tinggal mereka disuruh mengantarkan dirinya, lelaki yang baru dikenalnya dalam hitungan jam.Meskipun bagi kakaknya, Arif pada sosok yang baik tapi belum tentu dengan dirinya. Tapi apa boleh buat, dia tidak mau menyinggung perasaan siapapun. Akhirnya suka tidak suka, Aisyah menyetujuinya dengan berusaha meyakini bahwa Arif itu orang baik.Aisyah menenteng ranselnya setelah berpamitan terlebih dahulu pada bu Samirah yang sedang duduk diatas kasur. Dia menuju ke teras depan, dimana Kakak dan Kakak iparnya beserta Arif berada."Tuh, Ais sudah siap," ucap Rahman saat matanya menangkap sosok
"Aisyah itu agamanya kuat. Mungkin saja dia itu tidak akan nyaman dengan keberadaan aku, orang yang dianggapnya memang bukan muhrim. Walaupun sama aku yang sudah jadi keluarganya. Memang dari dulu anak itu seperti itu, kalau aku nggak ada pasti dia akan disini bersama kakaknya. Tapi kalau aku pulang, dia akan gegas pulang juga ke rumahnya. Cuma pernah waktu Mala lahiran, dia disini agak lama," tutur Rahman. "Tapi bukan karena aku kan, Man?" Arif menatap cemas. Arif sangat takut kepulangan Aisyah karena ada dirinya di rumah Rahman. "Bukan! Bukan lah. Dari dulu semenjak aku pulang-pergi ke Lampung Aisyah hanya akan disini kalau aku tidak ada, kalau aku pulang, maka dalam hitungan jam dia akan langsung pulang," tegasnya dan diangguki oleh Mala.Arif tersenyum simpul mendengar apa yang dikatakan Rahman. Dia tidak salah menjatuhkan hati. Dia tidak salah menganggumi. Tatap matanya begitu penuh harap saat kata demi kata diucapkan oleh pasangan suami-isteri itu."Ya … udah, Mas ambil moto
Bersamaan dengan itu, Aisyah berbalik badan hendak masuk karena memang kegiatan menyapunya telah selesai. "Bang Arif, ngapain di sini?" tanya Aisyah, matanya beradu pandang dengan lelaki bertubuh tegap itu. Arif memejamkan matanya seketika. Setelah Rahman dan Mala kini targetnya sendiri tengah menanyainya. "E—anu, Sah. Abang mau ke kamar mandi," sahut Arif sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal, matanya tak berani menatap kearah Aisyah, namun berulang kali membuang pandangannya tapi kembali menatap gadis tujuh belas tahun itu."Ais, Bang. Aku nggak mau dipanggil Sah!" ucap Aisyah dengan cemberut. Dia memang tidak suka dipanggil ujung namanya, dia lebih suka dipanggil awal namanya saja. "Ow … Maaf, ya! Abang nggak tau," ucap Arif lagi sambil tersenyum canggung. Dadanya begitu bergemuruh bak pasukan akan perang, tubuhnya terasa panas dingin dan gemetaran."Iya, tapi jangan di ulangi panggil itu lagi, nanti aku ngambek!" ucap Aisyah sambil berlalu ke dapur guna menyimpan sapu seda