Seorang wanita tidak melawan, kala ia di siram oleh sang suami. Lelaki itu memaki istri pertamanya bahkan menampar berulang kali. Disaksikan adik madu yang lebih tua darinya.
"Dasar cewek mandul! Udah bagus aku gak menceraikanmu, kamu malah mau membahayakan calon anakku," hardik Fadli.Lelaki itu menunjuk-nunjuk wajah Amara. Urat lehernya sangat terlihat, bahkan wajah memerah karena marah."Mas ... dengerin aku, dulu. Aku tadi dijegal sama dia, jadi minuman itu tumpah ke dia sendiri, Mas."Amara berusaha menjelaskan pada lelaki yang berstatus imamnya. Ia berusaha memegang lengan sang suami, tapi di tepis oleh pria tersebut. Bahkan di dorong sampai terjatuh duduk ke lantai."Tega banget kamu, Ra, malah menunduhku."Istri kedua Fadli berkata sambil menangis, membuat sang suami semakin murka pada Amara."Sayang ... jangan nangis. Kasian anak kita," ucap Fadli.Lelaki itu mengusap pipi Mawar yang terdapat air mata. Amara hanya bisa diam melihat pemandangan yang membuat ia sakit hati."Ayo kita pergi jalan-jalan, kamu duluan ke mobilnya, ya," pinta Fadli.Mawar mengangguk sebagai jawaban, setelah kepergian wanita itu. Fadli menatap istri pertamanya lagi, tatapan penuh kemarahan di layangkan. Setelah jarak mereka sudah sedikit, pria tersebut dengan lantang mengucapkan kalimat yang membuat hati Amarah seperti tertusuk beribu benda tajam."Amara, saya talak kamu!"Sehabis mengucapkan itu, Fadli langsung meninggalkan Amara yang membatu."Tega banget kamu, Mas! Aku yang bersamamu dari nol, kamu tinggalkan demi wanita yang baru sebentar kamu kenal."Amara menangis dengan pilu, ia berlari ke kamar dan segera merapikan pakaian. Kini dia harus pergi karena rumah ini bukan lagi miliknya.Suara kendaraan roda empat milik Fadli sudah tak terdengar. Menandakan jika mereka telah pergi, Amara langsung menangis dengan kencang. Untuk melampiaskan sakit hatinya ia memukul kasur dengan beruntal. Setelah tangisan reda, dia melangkah dengan tangan membawa tas yang berisi pakaian.Rasa cinta itu masih ada untuk lelaki yang telah menggores luka dihati. Kediaman yang dulunya seperti surga, beberapa bulan ini menjadi neraka.Jarak rumah dan kini ia berada sudah lumayan jauh. Wanita tersebut terus menunduk, tak ingin memperlihatkan kesedihan di mimik wajah. Kala dia mendongak, melihat seorang nenek yang hendak menyeberang. Matanya membulat kala perempuan paruh baya itu terserempet motor. Bergegas berlari untuk mengecek keadaan orang tua tersebut."Nenek, ayo kita ke pukesmas dulu. Obatin luka Nenek," ajak Amara.Wanita itu dengan perlahan memapah sang Nenek."Makasih, ya."Amara lumayan kesulitan karena tas yang ia bawa. Setelah sampai, nenek itu lekas diobati. Amara berdiri menunggu sesuai permintaan perempuan tersebut."Nama kamu siapa, siapa Nak?" tanya wanita yang sudah berumur tersebut.Perempuan itu sedang di obati oleh perawat, ia berbicara sambil meringis bertanya pada Amara."Amara, Nek."Amara menyahuti dengan nada pelan. Dengan sebuah tas yang berada disampingnya."Mara, tolong telepon cucu, Nenek. Kasih tau kalau Nenek ada di sini," pinta Nenek tersebut.Dia memberikan handphonenya pada Amara, wanita itu langsung mengambil benda pipih tersebut."Nama kontaknya apa, Nek?" tanya Amara."Cucu Es," balas wanita tersebut.Balasan wanita itu membuat Amara tercengah mendengarnya. Dengan cepat mengetik nama tersebut. Ingin sekali Amara tertawa tapi ia tahan.Kala menelepon dan sambungan terhubung, Amara langsung menyapa dengan suara pelan."Hallo, Tuan."Amara menghela napas kala sahutan dingin menyambutnya."Siapa kamu? Kenapa kamu pegang handphone Oma saya!"Sembur cucu wanita berumur yang tengah handphonenya, Amara pegang."Nenek, Tuan, ada di pukesmas. Tolong cepet kesini, karena Nenek, Tuan, yang meminta," jawab Amara."Share lokasi."Setelah berkata demikian, lelaki itu langsung memutuskan sambungan telepon. Amara sedikit kesal dengan sifat cucu, nenek yang ia tolong."Nek, dia suruh sharelok."Amara memberitahu pada wanita paruh baya tersebut. Nenek itu juga sudah selesai diobati."Sharelok aja, Ra. Kamu sibuk gak? Tolong temenin Nenek di sini, ya."Wanita paruh baya itu meminta ditemani. Amara langsung terdiam, ia masih bingung akan tinggal di mana. Karna dirinya yatim piatu. Malam nanti tidur dimana, itulah yang ada dalam benak Amara."Iya Nek."Amara menjawab dengan bibir mengulas senyuman."Kamu mau ke mana? Kok bawa tas besar?" tanya Nenek itu.Wanita itu berkata sambil menepuk brankar, agar Amara ikut duduk di sana."Aku baru ditalak, Nek, jadi pergi dari rumah yang seperti neraka itu," gumam Amara pelan.Entah nenek itu mendengar atau tidak. Amara menunduk karena rasa sakit hati itu terasa kembali."Astagfirullah, sabar ya, Ra. Sekarang kamu mau ke mana? Rumah orang tuamu."Wanita paruh baya itu dengan spontan, mengusap punggung dengan lembut perempuan yang membantunya."Orang tuaku udah bahagia di surga, Nek."Amara menjawab dengan nada gemetar, sungguh ia ingin bersandar di pundak seseorang. Mencurahkan isi hatinya yang sekarang hancur berkeping-keping. Nenek terdiam sebentar rasa iba hinggap. Dia langsung memegang jemari Amara, membuat perempuan itu menatapnya."Terus kamu nanti mau ke mana, Ra?" tanya wanita paruh baya itu kembali.Kini mereka saling bertatapan, Amara membalas dengan senyuman masih terbingkai di bibir. Walau matanya masih terlihat bengkak."Gak tau, Nek. Mara bingung," balas wanita itu.Amara mengucapkan itu sambil menggeleng."Kamu tinggal di rumah, Nenek. Mau? Temani Nenek," tawar wanita paruh baya itu.Amara mendengar itu langsung menggeleng mendengar tawaran wanita tersebut."Apa enggak ngerepotin, Nek. Mara gak mau hanya tinggal, Mara jadi pembantu aja ya," pinta Amara.Permintaan wanita itu membuat sang Nenek mengembuskan napas kasar."Ya udah, kalau itu yang buat kamu nyaman, Nenek setuju.""Oh iya, nama nenek Ica, panggil Oma Ica aja ya. Jangan nenek, Oma gak terbiasa," jelasnya.Amara mengangguk, mereka berbincang hal yang membuat tertawa. Suara pintu terbuka, membikin kedua wanita tersebut menoleh. Netra Amara terpaku, sedangkan Ica langsung mengulas senyuman."Dia siapa? Dia yang buat Oma kecelakaan!" tuduh seorang pria.Lelaki itu baru saja masuk langsung menuduh Amara. Ica segera bangkit dan mendekati sang cucu. Wanita paruh baya tersebut segera mencubit pinggang pria yang berstatus cucu kesayangan sekaligus menyebalkan."Jangan asal nuduh, dong!" geram Amara.Wanita itu menatap nyalang pria yang berada di hadapannya. Sedangkan lelaki tersebut tersenyum angkuh."Bener, jangan asal nuduh! Kamu nakal banget, baru nemuin Oma, pas tau Oma kecelakaan," omel Oma Ica. Ica menarik telinga cucunya, sampai membuat pria tersebut meringis. Sedangkan Amara menahan tawa melihat kejadian itu."Sorry, Oma. Kean banyak kerjaan soalnya," jelas pria tersebut.Kean berusaha bersikap cool dalam ke adaan ini. Ia sangat malu diperlakukan seperti itu."Oma, lepas ... Kean malu," keluhnya. Lelaki itu melirik tajam Amara yang menatap dengan ekpresi menahan tawa. Matanya membulat sempurna, membuat wanita tersebut berusaha bersikap biasa saja. "Kamu harus janji dulu! Seminggu menginap di rumah Oma minimal tiga kali." Mendengar permintaan sang Nenek, tanpa sadar Kean mendengkus membuat Ica kesal dan semakin kencang menjewer telinga lelaki tersebut. "Seminggu sekali ya, Oma." Kean berusaha menawar permintaan sang Oma, ia mena
"Ayo Sayang, duduk dekat Oma. Kita makan bareng," ajak perempuan tersebut. Oma Kean itu kini tengah duduk di kursi lalu bangkit sambil berkata kala melihat kedatangan Amara. Ia segera menarik lengan perempuan tersebut untuk duduk di kursi sampingnya. Amara segera berdiri kembali saat Ica mendudukannya di kursi. "Oma, aku gak pantes makan di sini," tolak Amara pelan. Wanita paruh baya itu mendelik kesal lalu memilih menyendokan makanan dan di taruh ke hadapan Amara. "Cepat duduk! Kamu cuma disuruh makan bareng aja suka banget ngebantah. Oma majikan kamu lho, nurut aja napa," geram Omanya Kean. Kean terus menatap intraksi para perempuan itu, lalu menatap Amara yang langsung duduk pasrah saat ditatap tajam oleh Ica. "Ayo makan." Manusia yang paling berumur diantara mereka berkata demikian. Lalu segera mengambil makanan untuknya sendiri dan tidak lupa membaca doa lalu melahap hidangan tersebut. "Oma, kenapa punyaku gak disendokin," lontar lelaki itu. Mendengar lontaran sang cucu,
BAB 4"Udah sampe, cepat turun!" perintah Kean. Lelaki itu selesai memarkirkan kendaraan roda empat miliknya. Amara melihat keluar jendela lalu mengulas senyum. Ia lekas membuka sabuk pengaman dan turun dari mobil. "Kamu gak kebauan, kah? Atau kamu lagi pilek." Kean melontarkan pertanyaan pada Amara dan dibalas gelengan wanita tersebut. "Enggak dong, udah biasa. Tuan kaya cenayang aja, bahkan aku belum minta diantar ke pasar," celetuk Amara. Wanita itu sangat antusias, ia mulai melangkah masuk dan melihat-lihat diikuti Kean dibelakangnya. "Bu, mau ayam dong dua kilo," pinta Amara.Penjual ayam itu mengangguk sebagai jawaban lalu mulai memotong hewan tersebut. "Yang banyak dagingnya ya Bu," kata Amara lagi."Siap Neng," sahut penjual."Jadi berapa Bu?" tanya Amara.Wanita itu memperhatikan sang pejual yang sibuk memotong dan menimbang daging ayam."Seratus ribu Neng," balas penjual ayam."Mahal amat, Bu. Kurangin dong," tutur Amara.Kean membulatkan matanya kala mendengar permint
Tidak terasa seminggu telah berlalu, Amara tinggal di kediaman sang majikan. Senyuman bahagia terus terukir di bibir. Sudah tujuh hari juga, ia tak melihat batang hidung cucu Ica, lelaki yang menurutnya tampan tapi menyebalkan. Padahal Kean telah berjanji pada Omanya."Dasar cucu durhaka," pikir Amara. Wanita itu kini tengah menyiram tanaman langka yang harganya sangat mahal. Suara deru mobil dan klason membuat pikiran yang berkelana buyar. Saat melihat gerbang, ia lekas mematikan keran dan berlari untuk membuka pagar besi tersebut. Setelah kendaraan mobil, dia segera menutup kembali lalu melanjutkan kegiatan yang tertunda. "Oma di mana?" tanya Kean. Lelaki itu setelah memarkirkan kendaraan langsung berjalan ke tempat Amara berdiri. Ia bertanya dengan nada dingin."Di dalam Tuan, Oma sedang sarapan," sahut Amara. Amara hanya melirik sekilas lelaki tersebut. Saat mendapatkan jawaban dari wanita itu, Kean bergegas masuk tanpa mengucapkan sepatah katapun. "Oma kira kamu lupa jalan pu
BAB 6Lelaki itu kini tengah menikmati angin pagi yang menyejukan. Ia menghirup dalam dan perlahan menikmati setiap embusan udara menerpa. Kean sangat menykai tempai ini, saat kanak-kanak dulu bermain dengan Ica. Kedua orang tua pria tersebut sibuk menggeluti pekerjaan sampai menitipkan cowok kecil yang membutuhkan kasih sayang mereka pada nenek Kean. Jadi saat lelaki itu kini hanya menyayangi Oma Ica bukan salahnya kan. Wanita berumur tersebut merawat dan menjaga dengan sepenuh hati sang cucu. Punggung Kean tengah bersandar pada kursi taman, matanya terpejam mengenal masa dulu, sampai diusia menginjak sembilan belas tahun diperintahkan belajar bisnis yang kini dia geluti. Suara langkah laki terdengar, tetapi tidak membuat Kean terusik sedikitpun. Lelaki itu terlalu larut dalam lamunan, bahkan terus memilih memejamkan saat sebuah suara memanggilnya. "Tuan ...." "Apa Tuan tidur?" tanya Amara kembali. Merasa kesal dengan suara Amara, lelaki itu membuka mata dan manik mereka langsung
BAB 7"Nanti masak buat masak siang! Orang tuaku bakal datang berkunjung ke sini," perintah Kean. Wanita itu mengangguk tanda paham akan perintah cucu majikannya ini. "Siap Tuan! apa ada lagi?" tanya perempuan tersebut. Kean mendelik melihat gaya wanita dihadapannya ini, Amara sok akrab banget. Bahkan tangan kala berucap seperti gaya hormat. "Gak ada! sana pergi, jangan sok akrab deh. Jijik tau," usir Kean. Amara memajukan bibir mendapatkan usiran dari Kean, dia segera berbalik pergi ke dapur. Wanita itu memilih melanjutkan pekerjaan yang tertunda. Saat melirik jam telah mendekati waktu makan siang, dengan cepat menyiapkan bahan dan lekas memasak. "Oma ...."Lelaki berperawakan tinggi dan sedikit kekar itu berteriak memanggil sang Nenek. Mendengar panggil cucu kesayangan tersebut, Ica segera menyahut. "Oma di sini, Kean," sahut wanita tersebut. Mendapatkan sahutan sang Nenek, Kean segera menuju ke tempat perempuan paruh baya itu berada. Terlihat Ica tengah memegang vas bunga."
BAB 8 Sang Ibu menepuk pundak anaknya lalu menggeleng, ia menggenggam jemari Selena dan mengajak masuk. Suami wanita itu segera mengikuti dibelakang. Terlihat di ruang makan sudah ada Kean dan Amara yang sedang menyendokan hidangan untuk pria tersebut. "Ayo makan," ajak Ica. Wanita yang paling berumur diantara dua perempuan itu segera mengajak Selena untuk duduk di kursi. Senyuman terus terukir di bibir Ica, ia segera mendaratkan bokong di samping sang anak. "Makanan ini ...." Perempuan yang biasanya makan hidangan mewah ini menatap ragu makanan yang berada di atas meja. Lalu Kean hanya tersenyum sinis, lelaki itu segera mengisi perutnya. "Udah, kalian makan aja! Pasti kalian bakal ketagihan," lontar wanita tersebut. Mendengar ucapan sang Ibu yang tak mau dibantah itu, Selena menghela napas. Ia menganggukan kepala lalu mengajak suaminya pula untuk mengambil makanan tetapi hanya sedikit. "Amara ...," panggil Ica. Wanita itu menghentikan langkah kaki kala mendengar panggilan Ica
BAB 9 "Bersin kamu ganggu momen aja," geram Selena. Lelaki yang ditatap sang istri hanya memamerkan seringai, ia menangkupkan tangan tanda minta maaf. "Maaf, udah gak bisa ditahan Sayang," balas lelaki tersebut. Melihat adu mulut sepasang suami istri itu, Ica hanya memutarkan bola mata malas. "Udah berantemnya? Mau lanjut gak," seru wanita tersebut. Seruan Ica membuat dua manusia itu langsung memandangnya lalu berucap sambil mengangguk."Iya, Oma. Ayo lanjutin, kami penasaran soalnya," balas keduanya.Wanita paruh baya itu sekilas melirik Amara lalu menatap dua manusia dihadapannya sekarang. "Ayo kita nikahin Amara sama Kean," seru Ica penuh semangat. Mendengar perkataan perempuan itu, Amara membulatkan mata bahkan langsung berdiri. Semua langsung memandang wanita tersebut, kedua orang tua Kean menganggukan kepala. Sedangkan lelaki yang namanya disebut segera mendekat dan mengambil handphonenya. "Apaan sih, Oma. Main nikah-nikahin aja! Emang zaman apa sekarang."Setelah berkat
Arum mendorong Fadli ke kamar lelaki itu, sedangkan sang anak langsung tertawa. "Ibu, nanti jangan lupa kasih Fadli, adik ya," kelakar lelaki tersebut. Wanita itu langsung mendaratkan cubitan pada anaknya. "Kamu ...!" Setelah berkata demikian wanita itu memilih pergi meninggalkan putranya. Dari pada meladeni perkataan pria tersebut, malah semakin membuat pipi memerah karena malu. "Aku pengen kamu selalu bahagia." Fadli berkata demikian saat memandang punggung Ibunya yang mulai menghilang. ***Waktu terus berjalan, tidak terasa tiga bulan telah dilalui. Arfa telah pensiun dan digantikan oleh sang putra. Lelaki yang berstatus duda ini sangat cekatan dalam mengurus perusahaan milik Ayahnya. Fadli mengembuskan npas panjang saat merasakan penuh kepuasan laly mendudukan bokong ke kursi kebesaran. "Akhirnya semua udah beres, udah terkendal." Lelaki itu bermonolog, rasa syukur yang sangat dalam. Fadli memejamkan mata kala kepala bersandar. "Kangen iu sama Manda, udah seminggu sibuk d
Dia segera mendekati Arum lalu memegang kedua pipi wanita itu. Air mata berjatuhkan, lalu Ibu Fadli menundukan kepala. "Apa kamu beneran Mas Arfa? Aku gak lagi mimpi kan," lontar Arum pelan. Arfa segera membuat Arum menatapnya, dia menggelengkan kepala. "Iya, Rum. Ini Mas, ternyata ini beneran kamu, aku selalu cari kamu lho selama ini." Pria tersebut segera menarik Arum dalam dekapannya, suara sesegukan terdengar. Nesa paham situasi sekarang, ia segera mengajak Ayah mertua dan Ibu Fadli untuk mengikuti dia.Kedua makhluk yang baru saling bertemu itu saling bertautan tangan, Nesa mengajak mereka ke ruangan. Segera menyiapkan minuman untuk mereka."Di mana anakku, Mas?" tanya wanita itu. Arum bertanya setelah Nesa pergi dari ruangan ini. Arfa langsung diam, lalu menundukan kepala. "Dia udah berada di sisi Allah, Rum. Dia juga udh punya seorang putri yang cantik, Nesa, istri almarhum anaj kita," jelas Arfa. Arum menangis mendapati tidak akan pernah lagi bertemu anak pertamanya. Ar
Kean memandang wanita yang melahirkannya sebentar lalu memalingkan wajah. Sedangkan Oma Ica segera mendekati sang putri dan mendekap agar Selena tenang. "Maaf jadi buat kalian panik, kalian mau nginep di sini? Kami juga mau nginep soalnya. Enak kan kalau rame-rame gini, sambil jagain Amara, lontar Oma Ica. Mendengar tawaran Oma Ica, mereka saling menatap sedangkan Kean hanya fokus menatap istrinya. Tangan lelaki itu terus menggenggam jemari Amara, Amanda langsung menganggukan kepala membuat Ibu Selena hanya tersenyum melihat gadis kecil ini. "Kamu udah besar ya, Manda. Sini sama Oma gendong," seru wanita itu. Dia segera menganggukan kepala lalu meminta sang Bunda agar menurunkannya. Kini Amanda beralih ke gendongan wanita tersebut. "Manda mau nginep gak? Bantu nemenin Tante Ara." Amanda langsung menganggukan kepala dan mengiyakan ucapan Oma Ica. Gadis kecil itu segera menatap Nesa yang dibalas anggukan sang Ibu, lalu tatapan Amanda beralih ke Arum dan Fadli. "Ayah ... Manda pen
Mantan suami Amara ini telah ditangani oleh dokter pribadi keluarga Kean. Pria tersebut masih terbaring lemah di atas ranjang, netranya masih tertutup rapat. Padahal dua jam telah berlalu, Amanda memandang cemas lelaki yang dipanggil Ayah. Air mata bercucuran, karena tidak bisa melakukan apapun untuk Fadli, dia memegang lengan pria tersebut. "Ayah ... ayo dong bangun! Jangan buat Manda takut, Manda minta maaf gara-gara ninggalin Ayah." Isakan terdengar sangat memilukan, ia bahkan mendaratkan bibir berkali-kali ke punggung tangan lelaki itu. Nesa, melihat keadaan sang anak, ia segera merengkuh tubuh kecil putrinya. Menepuk-nepuk berusaha menenangkan, saat Amanda sudah tidak menangis, dia langsung membenamkan wajah di dada perempuan yang melahirkannya. Sementara itu, Fadli mulai menunjukkan tanda kesadaran. Dia menggerakan jari, tetapi mata masih tertutup rapat. "Aku kenapa," ucapnya lemah. Mendengar suara sang anak, Arum langsung mengusap kening Fadli dan mendorong rambut agar tida
Suami Amara ini segera menerima semua hadiah dari Nesa, lalu meminta sang pembantu untuk lekas menyimpan di setumpuk kado. Tatapan tak senang masih terpancar di manik mata pria tersebut. Dan ia mengerutkan kening kLa melihat Fadli yang di pegangi Arum, bahkan tangan satu memegang tongkat. "Kenapa lo bawa mereka sih," ketus lelaki itu. Nesa mengangkat sebelas alis dengan ucapan ketus sang teman. Ia memandang suami Amara dengan tatapan keheranan. "Emangnya ada masalah? Mereka cuma mau liat jenguk Ara sama anaknya lho ...." Jawaban Nesa mendapatkan dengkusan dari lelaki itu. "Bener ternyata, ternyata lo kenal sama mereka," ucap suami Amara. "Nih gue kasih tau, gue gak suka liat mereka tau gak!" Kean sama sekali tidak menyembunyikan rasa bencinya, membuat Arum meremas tangan anaknya. Sedangkan Fadli menelan ludah, ia memang tidak bisa melihat riak marah suami Amara ini. Tetapi mendengar suara dan hawa di ruangan tersebut membuat Fadli seperti kesulitan bernapas. "Maafin saya, Bos.
Beberapa bulan berlalu, Fadli telah terbiasa dengan keadaannya. Ia bahkan hafal setiap sudut kediaman Arum dan Nesa. Ia menjual rumah tempat dulu ia tinggali bersama Amara. Agar tidak terus larut dapat penyesalan, karena menelantarkan wanita sebaik Amara. "Yah ...." Amanda segera berlari saat melihat Fadli berada di dekat pintu masuk, gadis kecil itu langsung menggenggam jemari pria tersebut. "Apa, Sayang ...," sahut lelaki itu. Tangan pria itu beralih memegang puncuk kepala gadis kecil tersebut, Amanda tersenyum lebar walau lelaki di hadapannya ini tidak melihat senyuman yang begitu manis. "Ayah ... Manda seneng banget akhirnya ketemu Ayah," ungkap Amanda. Gadis kecil itu membawa Fadli agar dia duduk di kursi yang ada si depan pintu, lalu dia duduk dipangkuan lelaki tersebut. "Om juga seneng, Manda," sahut Fadli. Dia mendekap dengan penuh kasih sayang anak Nesa, ia sudah sangat menyayangi gadis kecil itu. "Ayah ... kenapa gak ikut ke rumah Grandma dan Granpa? Padahal di sana
Siska langsung terdiam saat mendengar perkataan Nesa. Ia memilih pergi tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, menebalkan wajah saat meninggalkan tempat ini. "Untung aku tadi belum bawa ke kasir, kalau udah bisa malu banget," batin wanita tersebut. Dia hanya membawa uang senilai lima ratus ribu, ia kjra baju hanya seharga dua ratusan aja ternyata sebesar gaji sebulan. "Maaf, Nes. Buat keributan di butikmu," kata Arum. Nesa langsung memandang Arum saat wanita itu berkata demikian, memang ia yang menyuruh agar Ibu Fadli ini memanggil nama saja tanpa ada embel-embel. "Udahlah, Bu. Mendingan kita jenguk anakmu aja, soalnya Manda pengen ketemu." Arum langsung menganggukan kepala dan menceritakan jika putranya sudah dikasih tau siuman oleh pihak rumah sakit. Amanda segera meminta Bundanya lekas pergi sekarang. Kini mereka sampai di tempat dimana orang berobat, setelah membuka pintu anak Nesa ini mendaratkan pelukan di lengan Fadli membuat pria tersebut terkejut."Ayah ...." Suara Amanda
"Tuh udah dibolehin sama Grandma, sekarang ayo kita pergi ketemu Tante Ara dulu ya. Grandma juga di ajak kok, soalnya kita mau pergi ke butik dulu," jelas Nesa. Amanda mengangguk lalu tangannya terulur meminta digendong, Nesa segera menyambut hal tersebut. "Mereka sangat baik, padahal kami baru bertemu beberapa kali. Beda banget sama aku. Aku memandang orang dari statusnya, bahkan menghina Amara ...." ***Ibu Fadli menatap langit malam, karena sang putra masih berada di rumah sakit. Ia kini hanya sendiri di kediaman, biasanya dulu ia berbincang dengan lelaki yang dulu ia kandung selama sembilan bulan itu. Matanya terpejam mengingat kenangan peristiwa tadi, ternyata wanita yang menolong mereka, berjanjian bertemu dengan Amara.Dunia sangat sempit bukan? dia dipertemukan lagi dengan mantan istri anaknya, perempuan yang dulu ia hina kini malah hidup sangat enak. Kalau saja tau mungkin ia memilih tak ikut, karena diri sangat malu akibat Amara sangat beda memperlakukannya. Dikira akan me
Arum segera berlari mencari tempat untuk berteduh, mengingat di kantongnya ada uang. Wanita itu segera merogoh saku lalu memandangi benda yang lumayan basah. Isi dompet yang hanya ada tiga ratus lima puluh rupiah, hasil kerja keras di tempat yang tadi memecat. Ia memang selalu meminta digaji perhari, memandang guyuran hujan yang sekarang lumayan tidak derai segera menerobos karena ingin segera ke rumah sakit. "Aku harus buru-buru nyari kerjaan lagi, tapi di mana ya ...." Arum bergumam lalu segera memasuki uangnya lagi ke dompet dan segera ia taruh di kantong dan segera menerobos hujan. Seseorang mengeryitkan kening kala lalu segera memanggil wanita itu sangat mengenali wajah Ibu Fadli. "Bu ... sini! Cepat masuk mobil, diluar hujan lho," seru perempuan itu. Merasa familiar dengan suara wanita yang memanggilnya, Arum segera mendekat lalu mengeryitkan alis dan segera masuk setelah mengenali wajah Nesa. Lagian tubuhnya menggigil karena kedinginan. "Ini Grandma, pake handuk Manda aja,