POV RIDWANBenar-benar di luar dugaanku. Hari itu, menjadi hari terakhir hubunganku dengan Gita. Hari itu menjadi hari dimana aku dan istriku harus berpisah. Bukan karena aku memiliki hubungan dengan wanita muda yang datang ke rumah pagi itu, yang membuat pernikahanku d ngan Gita selesai. Namun, ada hal lain yang jauh lebih buruk dari itu.Kedua wanita itu datang untuk melabrak Gita, istriku yang selama ini aku banggakan di hadapan teman-temanku, karena penampilannya yang cantik dan sexi. Ternyata diam-diam Gita telah menjalin hubungan terlarang dengan suami wanita paruh baya itu. Berita itu bukan omong kosong belaka. Wanita itu menunjukkan sebuah video tak senonoh Gita dengan suaminya.Mendidih rasanya darah di dalam tubuhku. Kalau tak ingat peri kemanusiaan, sudah kuseret lalu kucincang tubuh Gita hingga berkeping-keping. Namun, aku masih berpikir waras. Untuk apa aku merugikan diriku sendiri demi seorang wanita mur*han seperti Gita. Ada jalan lain yang tentunya lebih baik. Ya, aku
POV RIDWANAku mencari sebuah nomor kontak di hapeku. Setelah ketemu, aku langsung menghubunginya. Tak menunggu waktu lama, orang di seberang sana mengangkat panggilan teleponku. "Halo, Bik, apa kabar?" Aku menelepon nomor perempuan yang waktu itu mau membantuku masuk ke rumah Risa, karena imbalan uang. "Ha—Halo. Mau apa Bapak menelepon saya?" sahutnya tergagap. Suaranya seperti ketakutan."Kenapa, Bik? Kok kayak takut begitu?" tanyaku lagi."Ma—maaf, Pak. Saya sedang sibuk.""Tunggu! Jangan tutup teleponnya. Saya mau minta tolong lagi. Kali ini saya akan kasih bayaran yang lebih banyak lagi. Mau?" ujarku lagi. "Tolong jangan hubungi saya lagi, Pak. Saya tidak mau lagi berurusan dengan Bapak. Berapa pun uang yang Bapak kasih, saya tidak mau bekerjasama dengan Bapak lagi. Saya kapok, Pak. Tolong, jangan nelepon-belepon saya lagi," ujarnya tergesa-gesa. "Kenapa? Apa kamu sudah tidak doyan uang?" tanyaku sedikit emosi. Kenapa dia jadi berubah begitu? Padahal waktu itu dengan senang h
POV RIDWANSusah payah aku mengumpulkan uang itu, sampai harus beberapa kali mengambil yang bukan hakku, demi memenuhi keinginan Gita untuk punya rumah bagus. Padahal semua yang dia minta sudah kuberikan. Sampai modal untuk buka usahanya juga tak sedikit yang kuberi. Ya, aku baru ingat. Gita menanam modal di butik milik temannya. Aku akan menghubungi Widya, teman Gita waktu itu, setidaknya aku bisa mendapatkan kembali modal yang sudah Gita berikan padanya. Segera kuraih ponsel yang tergeletak di atas meja. Lalu mencari nomor kontak Widya. "Halo, Widya?" ucapku ketika panggilan telepon itu tersambung."Iya, Bang Ridwan? Ada apa?" tanya Widya dari seberang telepon. "Abang mau tanya soal uang yang diberikan Gita padamu. Waktu itu Widya dan Gita kan yang ngomong ke Abang, kalau Gita mau nanam modal di butik Widya. Jadi, maksud nya, Abang mau tarik modal itu. Karena Abang dan Gita sudah berpisah, dan dia membawa kabur uang Abang," terangku pada Widya."Aduh, gimana ngomongnya ya, Bang.
POV RIDWAN"Kenapa jadi begini, Wan? Kenapa kamu bisa ditangkap polisi? Ada apa?" Ibu berkata sembari menangis tersedu. Raut wajahnya tampak kebingungan sekali.Setelah lima jam diperiksa di kantor polisi, aku baru menghubungi Ibu dan memberitahu tentang keadaanku. Dari suaranya waktu kutelepon tadi, beliau sangat syok, memutuskan panggilan telepon tiba-tiba. Ternyata beliau langsung datang ke sini untuk melihat kondisiku.Ibu terduduk lemas di hadapanku. Air matanya meluncur bebas membasahi kedua pipinya. "Panjang ceritanya, Bu. Ridwan memang salah, Bu. Ridwan sudah merugikan perusahaan, dengan mengambil uang yang seharusnya bukan hak Ridwan," ujarku lirih."Pasti semua ini gara-gara Gita, kan? Dia selalu minta uang yang banyak sama kamu. Iya, kan?" Ibu berkata dengan nada sangat marah. Matanya menatap tajam ke arahku. Aku mengangguk lalu tertunduk. "Ridwan waktu itu terlalu cinta pada Gita, sehingga menuruti semua kemauannya. Sampai-sampai Ridwan nekat mengamb uang perusahaan berul
POV RIDWANBeberapa bulan kemudian.Hari demi hari kulalui dengan begitu berat. Baru saja hitungan bulan aku menjalani hukuman ini, namun rasanya sangat sulit sekali. Aku hampir tak tahan. Ingin rasanya aku menyerah dan mengakhiri semuanya. Tapi, aku kasihan pada Ibu. Dia akan sangat menderita bila itu kulakukan. Untung saja, aku hanya dihukum dua tahun, dan itu berkat kebaikan Pak Ardi yang telah menolongku untuk memohon pada pihak perusahaan, agar tidak menuntut terlalu berat. Kalau tidak, mungkin aku akan dihukum lebih lama lagi.Waktu itu, dia mengunjungiku di tahanan, dan kami bicara dari hati ke hati. Aku menyampaikan penyesalanku yang sangat mendalam kepadanya, dan dia kasihan padaku. Makanya, dia berjanji akan menolongku. Dia juga yang mencarikan pengacara untuk membelaku di pengadilan. Aku benar-benar malu padanya. Dia mau menolongku, padahal aku sudah pernah berlaku tidak baik padanya dan Risa. Risa benar-benar beruntung mendapatkan suami sebaik Pak Ardi. Risa memang berhak
RIDWAN"Wan, apa kabar? Maafin Kakak ya, baru bisa datang sekarang. Kakak gak tau kalau kamu masuk tahanan." Kak Suci langsung menghambur memelukku begitu aku tiba di ruang kunjungan, untuk menemuinya. Dia datang sendirian. Darimana dia tahu aku ditahan di sini?"Alhamdulillah, Ridwan sehat, Kak. Kakak kemana aja? Kami sudah mencoba menghubungi Kakak. Tapi nomor telepon Kakak tidak aktif. Ibu juga sudah ke rumah Kakak. Tapi, kata tetangga, kalian pergi ke Bali. Kenapa gak kasih kabar sih, Kak?" tanyaku pada Kak Suci."Iya, Wan. Kakak minta maaf. Waktu itu Kakak dipecat dari pekerjaan, karena ada pengurangan karyawan. Perusahaan tempat Kakak bekerja, bangkrut. Kakak gak berani ngasih kabar itu, takut jadi beban pikiran Ibu. Trus, Kakak ditawari temen kerjaan lain, di Bali, Jadi, Kakak boyong anak-anak ke sana. Sebenarnya Kakak mau kasih kabar ke kalian begitu sampai di Bali, tapi dalam perjalanan, hapenya hilang, gak tau jatuh atau diambil orang. Kakak gak ingat nomor hapemu dan Ibu. Ma
Ridwan"Pak Ridwan, ada yang datang berkunjung." Seruan seorang lelaki berseragam polisi, membuat aku tersadar dari lamunanku."Ibu saya, Pak?" tanyaku, sembari menunggu Pak polisi membukakam pintu yang terbuat dari besi itu."Seorang wanita, masih muda. Namanya Tiwi," sahut Pak Polisi. Lalu kami beranjak meninggalkan sel, menuju ruang kunjungan.Aku duduk di depan Tiwi. Jarak kami terpisah oleh sebuah meja."Ada apa, Mbak Tiwi datang ke sini? Ibu saya di mana?" tanyaku heran. Raut wajah Tiwi kelihatan penuh kekhawatiran."Ibu sakit, Bang. Tadi pagi, Ibu jatuh di kamar mandi, setelah itu Ibu gak bisa apa-apa. Sepertinya Ibu terkena stroke. Kami langsung membawanya ke rumah sakit," terang Tiwi dengan lirih. Kesedihan terpancar dari nada suaranya."Ya, Allah. Jadi Ibu sekarang dirawat di rumah sakit? Siapa yang nemenin Ibu di sana? Ibu pasti sedang banyak pikiran." Aku meraup wajah dengan kasar. "Semua ini salahku," ucapku lagi. Lalu, aku tertunduk, diam membisu, sembari menyesali keaada
Ridwan"Alhamdulillah, akhirnya aku bisa menghirup udara bebas," gumamku seraya menarik napas dalam-dalam, merasakannya mengalir segar di dalam tubuhku, lalu menghelanya perlahan. Lega rasanya, aku dapat menghirup kembali udara di alam terbuka dan bebas seperti ini. Hari ini, aku dinyatakan bebas. Dua tahun sudah kujalani hidup seperti burung, yang dikurung dalam sangkar besi. Semua serba dibatasi. Makan tak kenyang, tidur pun tak nyenyak. Angan dan pikiran mengembara jauh entah kemana, namun, tubuh masih terpuruk, mendekam di balik jeruji besi.Sungguh sebuah kondisi yang sangat tidak nyaman. Hidup terkurung, berpisah dengan keluarga. Aku bersumpah, aku tak akan pernah kembali ke dalam penjara itu lagi. Biasanya, kalau orang yang baru bebas dari penjara, akan dijemput oleh keluarganya. Berbeda dengan aku, tak seorang pun datang menjemputku. Ibu masih belum dapat berjalan dengan normal. Sedangkan Kak Suci, hanya pulang sebentar saja beberapa bulan yang lalu, setelah itu dia harus kem
Setelah menjalani kehidupan di panti, mereka diajarkan tentang kesopanan dan hal-hal baik lainnya. Makanya mereka sudah terbiasa jika dengan ketertiban.Setelah mendapatkan paper bag masing-masing, anak-anak panti kembali duduk ketempat semula. "Udah, Wi, silakan dilanjutkan," ujarku pada Tiwi setelah aku selesai membagikan souvenir yang sengaja kupesan beberaa hari yang lalu. "Oke, Mbak," sahut Tiwi singkat."Tama, duduk di sini, Nak," ujar Bang Ardi memanggil Tama agar duduk di kursi yang telah disediakan. Sedangkan Adinka duduk dipangku oleh Bang Ridwan.Tiwi meminta MC yang tak lain adalah temannya sendiri untuk memandu jalannya acara. Dimulai dengan pembacaan doa oleh seorang ustadz yang biasa memberi ceramah di panti. lalu, acara dilanjutkan dengan ucapan syukur dan terima kasih yang disampaikan oleh Bang Ridwan. Lagi dan lagi kalimat itu keluar dari mulut Bang Ridwan. Kalimat yang berisi ucapan terima kasih yang tulus, yang ditujuakn untukku dan Bang Ardi karena telah membe
POV RISADua tahun kemudian.Aku sedang menemani anak-anak menonton tayangan film kartun di televisi sembari menantikan Tama dan Mayra pulang dari sekolah. Mereka mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolah.Tama dan Mayra bersekolah di sekolah yang sama, agar mereka dapat saling melindungi dan bahu membahu sebagai satu keluarga. Aku tidak pernah membeda-bedakan dalam memperlakukan mereka, walaupun Mayra dan Farel bukan anak kandungku. Tapi, mereka adalah amanah yang dititipkan Gita kepadaku. Aku tak bisa menyia-nyiakan mereka. Perlakuan buruk yang pernah Gita lakukan kepadaku, tak serta merta membuatku membenci kedua anaknya. Bagiku, masa lalu hanyalah masa lalu, kita tak perlu mengungkit kenangan buruk yang ada di sana karena itu akan menyakiti diri kita sendiri. Jadikan semua kejadian di masa lalu sebagai pelajaran, pasti ada hikmah dibalik sebuah cobaan yang kita hadapi. Contohnya aku, karena Gita merebut suamiku akhirnya aku dipertemukan dengan laki-laki yang jauh lebih baik,
"Tunggu dulu! Jadi Tama sudah tau kalau Bang Ridwan, Papa kandungnya?" tanyaku dengan wajah penasaran."Iya, Wi. Sebelum berangkat ke sini, Risa sudah mengatakan semuanya kepada Tama. Tama memang anak yang baik, dia tidak marah sedikit pun baik kepada Risa maupun Ridwan. Dia dapat memahami keadaan yang sudah terjadi dan memaafkan kedua orang tuanya.""Sykurlah, akhirnya mimpi Bang Ridwan jadi kenyataan. Semua ini berkat kebaikan Bang Ardi dan Mbak Risa. Lagi-lagi kalian menjadi pahlawan di keluarga kami. Entah dengan apa kami membalas kebaikan kalian. Demi Bang Ridwan, Kalian meninggalkan acara yang sudah digelar dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit," ujarku terharu."Demi Tama, apa pun akan aku lakukan, jangankan uang, nyawaku pun akan kupertaruhkan. Aku takut, kalau Tama tak sempat bertemu dengan ayah kandungnya. Makanya, aku segera mengantarnya ke sini. Dan ternyata, Allah berkehendak, kalau kehadiran Tama merupakan berkah untuk ayahnya, Ridwan bisa sadar dari koma.""Abang be
Tampak wajah mereka sangat serius ketika berbicara. Setelah dokter itu pergi, wanita itu kembali menangis. Kak Suci ikut menenangkannya.Satu jam sudah kami menunggu di tempat ini. Tidak ada yang buka suara untuk sekedar ngobrol. Kami larut dalam pikiran masing-masing. Tiba-tiba, ada dokter dan perawat yang berjalan tergopoh masuk ke dalam ruangan. Napasku jadi terasa sesak. Hatiku bertanya-tanya, ada apa di dalam. Kami tak dapat lagi melihat ke dalam karena jendela kacanya sudah tertutup tirai.Tak lama, seorang perawat keluar dan memanggil keluarga Pak Hasan, suami wanita yang sejak tadi bersamaku. Aku lega, tapi, kasihan juga melihat wanita itu. Suaminya kritis di dalam sana. Dia terduduk lemas di lantai sembari menangis tersedu-sedu. Dalam waktu tiga puluh menit, seorang doter keluar dari ruangan dengan wajah sedih."Bagamana suami saya, Dok?" tanya wanita itu."Anda istri Bapk Hasan?' tanya dokteritu balik. waita itu mengangguk, mengiyakan."Mohon Maaf, Bu. Kami gagal menyelama
Aku masuk ke dalam ruangan tempat Bang Ridwan dirawat, setelah mendapat izin dari dokter. Aku berdiri di samping brankar tempatnya berbaring sembari mengusap lembut wajah suamiku. Satu kecupan lembut kuberikan di keningnya sembari berbisik, "Bangunlah Bang, calon bayi kita merindukan suaramu."Seketika air mata menetes di sudut mata ini. Cepat-cepat aku menyapunya agar tak jatuh menimpa wajah Bang Ridwan. Aku tak mau dia melihat aku menangis.Kulantunkan ayat-ayat Alquran di telinganya. Aku yakin, walaupun dia tidak sadar, dia dapat merasakan kehadiranku di sini.Setelah selesai kubaca surat Alfatihah di telinganya, sudut matanya meneteskan air mata. "Abang bisa dengar Tiwi, Bang? Buka mata Bang, kami merindukanmu. Abang harus kuat, Kami selalu mendoakan, Abang. Cepatlah sadar, Bang!" ujarku mencoba membangunkan Bang Ridwan.Kuraih tangan Bang Ridwan, lalu menempelkannya ke perutku. Calon bayi di perut ini pasti merindukan hal ini. Biasanya seusai salat Subuh, Bang Ridwan selalu meng
Sudah pukul lima subuh, aku baru saja selesai melaksanakan sala Subuh di Mushollah. "Bu, Ibu mertua dan Kakak ipar saya sudah datang. Jadi, bukan berniat mengusir. Bu Hindun kelihatan lelah sekali. Ibu pulang saja, ya. Ibu tidak perlu khawatir, sudah ada yang menemani saya di sini," ujarku pada wanita yang telah menemaniku menjaga Bang Ridwan sejak kemarin."Ya, sudah kalau begitu. Saya akan pulang, nanti sore saya kembali lagi membawakan pakaian ganti untuk Bu Tiwi. Pasti gerah kan, sejak kemarin belum ganti baju," sahut Bu Hindun. "Saya tidak enak, jadi merepotkan Ibu.""Tidak, Bu, saya tidak merasa direpotkan. Saya permisi ya, Bu." Aku memberikan uang kertas berwarna merah sebanyak dua lembar kepadanya, untuk ongkos taxi dan pegangan di jalan. Irfan, sudah pulang sejak kemarin, karena ada yang ingin menyewa mobilnya.Aku kembali ke ruangan Bang Ridwan. Kak Suci dan Ibu masih tertidur di kursi, di depan ruangan. Dengan hati-hati aku membangunkan mereka agar salat Subuh. Mereka se
Dengan usaha yang gigih, akhirnya anak itu datang ke acara pernikahan kami bersama ibunya, mantan istri Bang Ridwan yang dulu dia buang demi seorang wanita bernam Gita. Wanita itu sangat cantik dan anggun, Mbak Risa namanya. Setelah mendapatkan maaf dan restu darinya, Bang Ridwan merasa lega dan siap menghadapi masa depan bersamaku. Tujuh tahun sudah kami berumah tangga. Baru sekarang Allah menitipkan seorang anak di rahimku. Baru saja kami merasa bahagia akan menyambut kelahiran anak pertama kami. Namun, Bang Ridwan mengalami kecelakaan seperti ini. Akankah kebahaiaan itu harus terenggut sekarang? Tak adakah kesempatan untuk Bang Ridwan melihat wajah anaknya? entahlah, dadaku semakin sesak setiap memikirkan hal ini. Ya, Allah, izinkan anakku bertemu dengan ayahnya, digendong ayahnya, tumbuh dan berkembang dibawah asuhan ayahnya. Cukuplah Tama yang merasakan kehilangan ayah kandungnya sejak kecil. Aku tahu, Bang Ridwan sangat bersalah kepada Tama. Ampuni dia ya, Allah! Izinkan dia
Malam sudah menjelma. Namun, Bang Ridwan belum juga menunjukkan tanda-tanda akan sadarkan diri. Aku semakin cemas melihat kondisinya. Sejak tadi aku belum menelan nasi sedikit pun. Entahlah, rasanya aku tak ingin meninggalkan Bang Ridwan barang sedetik pun. Kami berada di ruang tunggu dekat dengan ruang ICU. Tak seorang pun diperbolehkan masuk ke dalam sana tanpa seizin dokter. Aku hanya bisa melihat suamiku dari jendela kaca. "Bu Tiwi, makan dulu, Bu! Sejak tadi siang Ibu belum makan apa pun. Kasian calon bayi Ibu. Pikirkan dia, Bu! Jangan sampai dia kenapa-kenapa." Bu Hindun yang baru datang membawa nasi bungkus berkata memelas."Tapi, saya tidak selera makan sebelum melihat Bang Ridwan sadar, Bu," sahutku lirih. "Pikirkan calon bayi Ibu! Pak Ridwan pasti juga tidak ingin calon bayinya kenapa-kenapa. Makanlah, Bu, sedikit saja!" ujarnya lagi sembari membuka nasi bungkus untukku.Benar kata Bu Hindun. Aku tidak boleh egois. Calon bayiku tidak harus ikut tersiksa karena kesedihanku
POV TIWIAku dan Bu Hindun mempercepat langkah agar cepat sampai ke ruangan itu. Begitu aku sampai di depan ruangan tempat Bang Ridwan diobati, seorang wanita datamg menghampiri."Anda Ibu Tiwi?" tanyanya. Aku mengangguk."Saya yang menelepon tadi. Ayo ikut saya, kita harus segera menemui dokter. Ibu harus segera menandatangani surat persetujuan dilakukanya operasi pada suami Ibu. Ada pembekuan darah di kepalanya, dan harus segera dioperasi."Aku mengikuti wanita itu menuju salah satu ruangan di rumah sakit ini. Setelah menandatangani surat persetujuan itu, Para perawat langsung memindahkan Bang Ridwan ke ruang operasi. Operasi terhadap Bang Ridwan segera dilakukan.Diluar ruang operasi aku menunggu dengan cemas. Mulutku serasa terkunci, aku tak mampu berbicara apa pun selama Bang Ridwan masih di dalam sana. Wanita yang meneleponku tadi juga masih di sini bersama suaminya. Aku belum sempat bertanya apa-apa pada mereka. Nanti sajalah, setelah operasinya selesai, pikirku. Sekitar sat