POV ARDISudah tiga tahun lebih aku mengarungi rumah tangga bersama Risa, wanita cinta pertamaku, yang begitu aku sayangi dan cintai sepenuh hati ini. Aku merasa sangat bahagia sekali, akhirnya aku dapat mempersunting Risa menjadi istriku. Walaupun dalam kondisi dia sudah menjadi janda. Hal itu tak menjadi masalah untukku. Aku mencintainya bukan karen fisik dan statusnya, tapi, cinta ini benar-benar lahir dari hati yang paling dalam.Teringat dulu, waktu aku mulai jatuh cinta padanya, aku sering berkunjung ke rumahnya. Walaupun terkadang dia tak berada di rumah, dan aku tak dapat menemuinya, aku tidak merasa kesal. Karena, hanya ngobrol dengan ayahnya saja sudah membuatku sangat senang dan bahagia. Rasanya sama saja dengan aku ngobrol bersama Risa. Aku selalu memberikn perhatian lebih kepada Risa. Namun, sepertinya dia tak menyadari hal itu. Dia gadis yang polos. Dia tak pernah tahu kalau diam-diam aku menyukainya. Berulangkali aku mencoba untuk menyatakan perasaanku padanya. Namun,
Tanpa pikir panjang, aku segera kembali ke rumah. Kupacu mobilku dengan kecepatan tinggi. Akhirnya aku sampai di rumah tepat waktu dan berhasil mengusir Ridwan dari rumahku. Aku mengancamnya akan melaporkan tindakannya kepada Pak Herlambang, akhirnya dia takut dan memilih untuk pergi.Setelah kejadian itu, aku memanggil Mbok Nah dan menanyai kejadiannya secara urut. Dari penuturannya aku dapat me gorek keterangan kalau dia telah bekerjasama dengan Ridwan."Jangan pecat saya, Pak. Saya masih ingin bekerja di sini," ujarnya ketika aku hendak memberikan gaji terakhirnya sebagai asisten rumah tanggaku. Risa yang baik hati, ikut membujukku agar tak memecat Mbok Nah. Akhirnya, aku menerima lagi Mbok Nah bekerja di rumahku tapi dengan satu catatan, kalau sampai dia melakukan hal yang sama, aku akan menjebloskannya ke dalam penjara.Mulai hari itu, aku menambah satu orang baby sitter untuk membantu Susi agar bisa bergantian, dan mempekerjakan dua orang satpam untuk menjaga keamanan rumah. Aku
POV RISAHari ini Kami akan pulang ke kampung halaman. Rencana yang sudah kami susun jauh-jauh hari, karena hari ini betepatan dengan hari libur Bang Ardi. Ada dua tanggal merah yang berderet di kalender. Kami akan memanfaatkannya untuk mengunjungi rumah Emak dan Rumah ibu mertuaku. "Sudah siap semua?" tanya Bang Ardi bersemangat."Sudah. Ayo kita berangkat sekarang!" ujarku dengan senyum bahagia. Entah mengapa kalau yang namanya pulang kampung selalu memberikan rasa bahagia tersendiri bagiku. Kalau bisa, setiap bulan aku ingin pulang ke kampung halamanku itu. Tepat jam delapan pagi, setelah selesai sarapan, kami berangkat menuju kampung halaman. Perjalanan hari ini membutuhkan waktu yang cukup lama. Karena jarak dari rumah kami ke sana lumayan jauh. Tama sudah duduk santai duduk di kursi tengah. Dengan berbekal jajanan yang dia sukai, pasti dia akan anteng sampai ke tempat. Sedangkan kursi bagian belakang dipenuhi barang-barang bawaan kami, termasuk beberapa oleh-oleh untuk kelua
POV RISA"Sudah sering di sini orang seperti itu, Bu. Pura-pura susah, aslinya karena malas bekerja," ujar salah seorang pelayan ketika kutanya."Masak sih, Bang. Sepertinya mereka tidak pura-pura," ujarku lagi."Ibu jangan mudah tertipu. Mereka itu belum ketauan aja wujud aslinya, entar kalau ketauan pasti mangkalnya pindah ke tempat lain. Percaya deh, Bu." Pelayan itu berkata dengan entengnya. Aku sampai mengerutkan kening mendengar penjelasan darinya. Masak iya, ada orang rela panas-panasan dan dianggap hina seperti itu hanya karena uang? Tapi, mungkin saja. Zaman sekarang apa-apa butuh uang, jadi manusia akan melakukan segala cara untuk mendapatkannya. Termasuk meminta-minta seperti itu."Kok, melamun, Sayang? Kenapa? Ada yang membuat hati kamu bimbang lagi?" Tiba-tiba Bang Ardi sudah kembali lagi, dan kata-katanya membuyarkan lamunanku."Nggak ada, Sayang. Risa hanya kasihan melihat keluarga itu. Anaknya masih kecil-kecil, harus ikut menantang panasnya terik matahari seperti in
POV RISATerlihat Bapak juga menyusul keluar dari rumah dan mengikuti Emak. Emak langsung mengambil alih Adinka dari gendonganku. Sedangkan Bapak mengangkat tinggi-tinggi Tama ke udara. Tama tertawa riang. "Aduh, cucu Kakek sudah tambah besar. Kakek hampir tidak kuat menggendongnya," ujar Bapak lalu menurunkan Tama dan menuntunnya masuk ke rumah.Kami berkumpul di ruang tamu sembari bercerita panjang lebar, sampai tak sadar hari sudah semakin sore. Malam ini kami menginap di rumah Emak. Aku senang sekali dapat tidur di kamarku yang dulu menjadi saksi bisu perjalanan masa gadisku. Banyak suka dan duka tersimpan di sini. Apalagi kenangan sewaktu membesarkan Tama seorang diri. Rumah ini sudah banyak berubah. Setelah menikah dengan Bang Ardi, dia memberikan uang kepada Bapak untuk merenovasi rumah. Rumah kami yang awalnya semi permanen, kini sudah berdiri dengan dinding yang terbuat dari batu seluruhnya.Tak ada perubahan pada model rumah. Emak dan Bapak hanya mengganti bahan dinding,
Bang Ardi tampak berlari menyusuri jalan menuju ke sumber asap tersebut. Asap yang tadinya membumbung ke langit langsung menyebar dengan cepat karena hembusan angin. Tak mau anak-anak menghirup udara yang telah bercampur dengan asap itu, aku sedikit berlari menuju rumah. Tama ikut berlari di belakangku. "Ada apa kok, lari-lari. Ardi mana? Kalian pulang bertiga saja?" tanya Emak yang sedang mencabuti rumput di pekarangan rumah. "Itu, Mak. Ada asap tebal di sana. Sepertinya ada rumah warga yang kebakaran," sahutku seraya menunjuk ke arah munculnya asap tebal itu."Kebakaran? Rumah siapa yang terbakar? Jadi Ardi ke sana untuk melihatnya? Jangan-jangan yang kalian maksud asap dari pembakaran tempurung kelapa yang akan dijadikan arang," terang Emak membuatku ternganga."Siapa yang membakar tempurung kelapa itu, Mak?" tanyaku lagi."Biasanya Pak Udin, beliau membakar tempurung-tempurung itu di belakang rumahnya.""Lah! Rumah Pak Udin kan di kelilingi rumah warga. Banyak rumah di sekitarn
"Cepet banget pulangnya, Ibu masih rindu. Tama dan Adinka tinggal di sini aja, ya," ujar Ibu bercanda pada Tama dan Adinka. "Nenek aja yang ke rumah Tama. Nanti Tama beliin es krim untuk Nenek," ujar Tama polos, diikuti gelak tawa dari kami semua. Tama memang sangat suka es krim. Dia mengira semua orang sama sepertinya, suka makan es krim itu. Ibu mencubit pipi Tama yang gembul dengan gemas. "Pinternya cucu Nenek," ujar Mama lalu mencium pipi Tama berulang kali. Adinka juga tak luput mendapat perlakuan yang sama.Tepat pukul sepuluh, kami berangkat meninggalkan rumah Ibu. Tak lupa mampir sebentar di rumah Emak untuk berpamitan, karena rumah mereka dilewati.Kembali, mobil yang kami tumpangi melaju menembus jalanan berbatu dan sedikit berlubang, hingga akhirnya menemukan jalan beraspal. Sama seperti waktu pulang ke kampung, Bang Ardi mengemudikan mobil dengan hati-hati sekali. Dia tidak ingin membuat kami sekeluarga dalam bahaya dengan melajukan mobil kencang-kencang.Tepat jam du
"Anak-anakku dimana? Aku harus pulang. Kasihan mereka," ujar Gita lagi mencoba bangkit dari tempat tidurnya."Rumahmu dimana? Biar kami antar," ujar Bang Ardi pula. Gita diam. Dia hanya menangis sembari memainkan ujung jilbabnya."Aku tak punya tempat tinggal. Kalau malam, aku tidur di emperan toko bersama kedua anakku," ujarnya dengan linangan air mata. " Aku minta maaf, Ris. Aku tau, keadaanku seperti ini adalah karma dari perbuatanku kepadamu. Aku minta maaf, ya. Tolong, jangan dendam padaku! Karena aku tau, waktuku sudah tak lama lagi. Penyakit ini setiap detik terasa menyiksa. Kalau bisa, aku ingin secepatnya mati saja, dari pada menahankan sakit seperti ini.""Memangnya kamu sakit apa, Git? tanyaku penasaran."Kanker serviks," jawabnya singkat."Astagfirullah. Penyakitmu separah itu, kenapa tak berobat, Gita? "Bagaimana mau berobat, Ris? Untuk makan saja aku tak punya uang," ujarnya sedih."Tadi kata dokter, kau harus dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar. Jadi, kami akan ba
Setelah menjalani kehidupan di panti, mereka diajarkan tentang kesopanan dan hal-hal baik lainnya. Makanya mereka sudah terbiasa jika dengan ketertiban.Setelah mendapatkan paper bag masing-masing, anak-anak panti kembali duduk ketempat semula. "Udah, Wi, silakan dilanjutkan," ujarku pada Tiwi setelah aku selesai membagikan souvenir yang sengaja kupesan beberaa hari yang lalu. "Oke, Mbak," sahut Tiwi singkat."Tama, duduk di sini, Nak," ujar Bang Ardi memanggil Tama agar duduk di kursi yang telah disediakan. Sedangkan Adinka duduk dipangku oleh Bang Ridwan.Tiwi meminta MC yang tak lain adalah temannya sendiri untuk memandu jalannya acara. Dimulai dengan pembacaan doa oleh seorang ustadz yang biasa memberi ceramah di panti. lalu, acara dilanjutkan dengan ucapan syukur dan terima kasih yang disampaikan oleh Bang Ridwan. Lagi dan lagi kalimat itu keluar dari mulut Bang Ridwan. Kalimat yang berisi ucapan terima kasih yang tulus, yang ditujuakn untukku dan Bang Ardi karena telah membe
POV RISADua tahun kemudian.Aku sedang menemani anak-anak menonton tayangan film kartun di televisi sembari menantikan Tama dan Mayra pulang dari sekolah. Mereka mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolah.Tama dan Mayra bersekolah di sekolah yang sama, agar mereka dapat saling melindungi dan bahu membahu sebagai satu keluarga. Aku tidak pernah membeda-bedakan dalam memperlakukan mereka, walaupun Mayra dan Farel bukan anak kandungku. Tapi, mereka adalah amanah yang dititipkan Gita kepadaku. Aku tak bisa menyia-nyiakan mereka. Perlakuan buruk yang pernah Gita lakukan kepadaku, tak serta merta membuatku membenci kedua anaknya. Bagiku, masa lalu hanyalah masa lalu, kita tak perlu mengungkit kenangan buruk yang ada di sana karena itu akan menyakiti diri kita sendiri. Jadikan semua kejadian di masa lalu sebagai pelajaran, pasti ada hikmah dibalik sebuah cobaan yang kita hadapi. Contohnya aku, karena Gita merebut suamiku akhirnya aku dipertemukan dengan laki-laki yang jauh lebih baik,
"Tunggu dulu! Jadi Tama sudah tau kalau Bang Ridwan, Papa kandungnya?" tanyaku dengan wajah penasaran."Iya, Wi. Sebelum berangkat ke sini, Risa sudah mengatakan semuanya kepada Tama. Tama memang anak yang baik, dia tidak marah sedikit pun baik kepada Risa maupun Ridwan. Dia dapat memahami keadaan yang sudah terjadi dan memaafkan kedua orang tuanya.""Sykurlah, akhirnya mimpi Bang Ridwan jadi kenyataan. Semua ini berkat kebaikan Bang Ardi dan Mbak Risa. Lagi-lagi kalian menjadi pahlawan di keluarga kami. Entah dengan apa kami membalas kebaikan kalian. Demi Bang Ridwan, Kalian meninggalkan acara yang sudah digelar dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit," ujarku terharu."Demi Tama, apa pun akan aku lakukan, jangankan uang, nyawaku pun akan kupertaruhkan. Aku takut, kalau Tama tak sempat bertemu dengan ayah kandungnya. Makanya, aku segera mengantarnya ke sini. Dan ternyata, Allah berkehendak, kalau kehadiran Tama merupakan berkah untuk ayahnya, Ridwan bisa sadar dari koma.""Abang be
Tampak wajah mereka sangat serius ketika berbicara. Setelah dokter itu pergi, wanita itu kembali menangis. Kak Suci ikut menenangkannya.Satu jam sudah kami menunggu di tempat ini. Tidak ada yang buka suara untuk sekedar ngobrol. Kami larut dalam pikiran masing-masing. Tiba-tiba, ada dokter dan perawat yang berjalan tergopoh masuk ke dalam ruangan. Napasku jadi terasa sesak. Hatiku bertanya-tanya, ada apa di dalam. Kami tak dapat lagi melihat ke dalam karena jendela kacanya sudah tertutup tirai.Tak lama, seorang perawat keluar dan memanggil keluarga Pak Hasan, suami wanita yang sejak tadi bersamaku. Aku lega, tapi, kasihan juga melihat wanita itu. Suaminya kritis di dalam sana. Dia terduduk lemas di lantai sembari menangis tersedu-sedu. Dalam waktu tiga puluh menit, seorang doter keluar dari ruangan dengan wajah sedih."Bagamana suami saya, Dok?" tanya wanita itu."Anda istri Bapk Hasan?' tanya dokteritu balik. waita itu mengangguk, mengiyakan."Mohon Maaf, Bu. Kami gagal menyelama
Aku masuk ke dalam ruangan tempat Bang Ridwan dirawat, setelah mendapat izin dari dokter. Aku berdiri di samping brankar tempatnya berbaring sembari mengusap lembut wajah suamiku. Satu kecupan lembut kuberikan di keningnya sembari berbisik, "Bangunlah Bang, calon bayi kita merindukan suaramu."Seketika air mata menetes di sudut mata ini. Cepat-cepat aku menyapunya agar tak jatuh menimpa wajah Bang Ridwan. Aku tak mau dia melihat aku menangis.Kulantunkan ayat-ayat Alquran di telinganya. Aku yakin, walaupun dia tidak sadar, dia dapat merasakan kehadiranku di sini.Setelah selesai kubaca surat Alfatihah di telinganya, sudut matanya meneteskan air mata. "Abang bisa dengar Tiwi, Bang? Buka mata Bang, kami merindukanmu. Abang harus kuat, Kami selalu mendoakan, Abang. Cepatlah sadar, Bang!" ujarku mencoba membangunkan Bang Ridwan.Kuraih tangan Bang Ridwan, lalu menempelkannya ke perutku. Calon bayi di perut ini pasti merindukan hal ini. Biasanya seusai salat Subuh, Bang Ridwan selalu meng
Sudah pukul lima subuh, aku baru saja selesai melaksanakan sala Subuh di Mushollah. "Bu, Ibu mertua dan Kakak ipar saya sudah datang. Jadi, bukan berniat mengusir. Bu Hindun kelihatan lelah sekali. Ibu pulang saja, ya. Ibu tidak perlu khawatir, sudah ada yang menemani saya di sini," ujarku pada wanita yang telah menemaniku menjaga Bang Ridwan sejak kemarin."Ya, sudah kalau begitu. Saya akan pulang, nanti sore saya kembali lagi membawakan pakaian ganti untuk Bu Tiwi. Pasti gerah kan, sejak kemarin belum ganti baju," sahut Bu Hindun. "Saya tidak enak, jadi merepotkan Ibu.""Tidak, Bu, saya tidak merasa direpotkan. Saya permisi ya, Bu." Aku memberikan uang kertas berwarna merah sebanyak dua lembar kepadanya, untuk ongkos taxi dan pegangan di jalan. Irfan, sudah pulang sejak kemarin, karena ada yang ingin menyewa mobilnya.Aku kembali ke ruangan Bang Ridwan. Kak Suci dan Ibu masih tertidur di kursi, di depan ruangan. Dengan hati-hati aku membangunkan mereka agar salat Subuh. Mereka se
Dengan usaha yang gigih, akhirnya anak itu datang ke acara pernikahan kami bersama ibunya, mantan istri Bang Ridwan yang dulu dia buang demi seorang wanita bernam Gita. Wanita itu sangat cantik dan anggun, Mbak Risa namanya. Setelah mendapatkan maaf dan restu darinya, Bang Ridwan merasa lega dan siap menghadapi masa depan bersamaku. Tujuh tahun sudah kami berumah tangga. Baru sekarang Allah menitipkan seorang anak di rahimku. Baru saja kami merasa bahagia akan menyambut kelahiran anak pertama kami. Namun, Bang Ridwan mengalami kecelakaan seperti ini. Akankah kebahaiaan itu harus terenggut sekarang? Tak adakah kesempatan untuk Bang Ridwan melihat wajah anaknya? entahlah, dadaku semakin sesak setiap memikirkan hal ini. Ya, Allah, izinkan anakku bertemu dengan ayahnya, digendong ayahnya, tumbuh dan berkembang dibawah asuhan ayahnya. Cukuplah Tama yang merasakan kehilangan ayah kandungnya sejak kecil. Aku tahu, Bang Ridwan sangat bersalah kepada Tama. Ampuni dia ya, Allah! Izinkan dia
Malam sudah menjelma. Namun, Bang Ridwan belum juga menunjukkan tanda-tanda akan sadarkan diri. Aku semakin cemas melihat kondisinya. Sejak tadi aku belum menelan nasi sedikit pun. Entahlah, rasanya aku tak ingin meninggalkan Bang Ridwan barang sedetik pun. Kami berada di ruang tunggu dekat dengan ruang ICU. Tak seorang pun diperbolehkan masuk ke dalam sana tanpa seizin dokter. Aku hanya bisa melihat suamiku dari jendela kaca. "Bu Tiwi, makan dulu, Bu! Sejak tadi siang Ibu belum makan apa pun. Kasian calon bayi Ibu. Pikirkan dia, Bu! Jangan sampai dia kenapa-kenapa." Bu Hindun yang baru datang membawa nasi bungkus berkata memelas."Tapi, saya tidak selera makan sebelum melihat Bang Ridwan sadar, Bu," sahutku lirih. "Pikirkan calon bayi Ibu! Pak Ridwan pasti juga tidak ingin calon bayinya kenapa-kenapa. Makanlah, Bu, sedikit saja!" ujarnya lagi sembari membuka nasi bungkus untukku.Benar kata Bu Hindun. Aku tidak boleh egois. Calon bayiku tidak harus ikut tersiksa karena kesedihanku
POV TIWIAku dan Bu Hindun mempercepat langkah agar cepat sampai ke ruangan itu. Begitu aku sampai di depan ruangan tempat Bang Ridwan diobati, seorang wanita datamg menghampiri."Anda Ibu Tiwi?" tanyanya. Aku mengangguk."Saya yang menelepon tadi. Ayo ikut saya, kita harus segera menemui dokter. Ibu harus segera menandatangani surat persetujuan dilakukanya operasi pada suami Ibu. Ada pembekuan darah di kepalanya, dan harus segera dioperasi."Aku mengikuti wanita itu menuju salah satu ruangan di rumah sakit ini. Setelah menandatangani surat persetujuan itu, Para perawat langsung memindahkan Bang Ridwan ke ruang operasi. Operasi terhadap Bang Ridwan segera dilakukan.Diluar ruang operasi aku menunggu dengan cemas. Mulutku serasa terkunci, aku tak mampu berbicara apa pun selama Bang Ridwan masih di dalam sana. Wanita yang meneleponku tadi juga masih di sini bersama suaminya. Aku belum sempat bertanya apa-apa pada mereka. Nanti sajalah, setelah operasinya selesai, pikirku. Sekitar sat