Esther membuka mata dan mendapati sebuah pemandangan yang telah begitu familiar. Kegelapan yang meliputi kamar tersebut membuat dia hanya bisa menebak bahwa sekarang barangkali telah tengah malam. Dia juga bisa mendengar ada suara napas teratur yang berasal dari sebelahnya, tanpa melihat pun Esther sudah tahu dari siapa suara napas itu berasal. Dia bertanya-tanya pada dirinya sendiri mengapa dia kerap terbangun di tempat tidur orang lain. Ah, bukan. Lebih tepatnya dia selalu terbangun di kamar Gaara.Esther kemudian bangkit untuk duduk, dan sekejap saja dia tidak dapat menahan dirinya untuk tidak tersenyum mendapati sosok Gaara yang terlelap di sampingnya. Lelaki itu hanya mengenakan jeans belel, dengan posisi tidur telungkup, kepalanya terkulai di atas bantal dengan mulut sedikit terbuka. Esther menemukan kedua matanya tertarik untuk menatap punggung telanjang lelaki disampingnya, tatapannya mulai menjelajahi setiap inchi otot punggung lelaki itu dengan seksama, hingga mencapai pingg
“Jadi kau lebih suka kalau aku jahat padamu?”“Bukan begitu!” sergah Esther cepat. “Hanya saja karena kau itu temannya si Vinson, dan kau juga tidak pernah ikut campur saat dia berbuat jahat padaku, jadi aku rasa tidak ada alasan bagimu untuk menolongku.”“Ya, aku memang temannya Vinson, tapi aku sudah memikirkan kata-katamu saat di kedai ice cream. Kurasa kau benar, dan itu sedikit menyadarkanku. Maksudku orang yang paling jahat justru adalah orang yang diam saja saat melihat oranglain disakiti. Lagipula saat ini aku mampu menolongmu, jadi kenapa aku harus diam saja ketika aku tahu sabab musababnya?”Esther tertegun mendengar pidato singkat dari Gaara. Butuh beberapa saat baginya hingga dapat mencerna seluruh perkataan lelaki itu. Dia sempat tidak percaya ketika mengetahui bahwa Gaara masih ingat apa yang dia katakan padanya, padahal kejadian itu sudah berlalu cukup lama. Namun secara perlahan, Esther tersenyum dan berbisik dengan suaranya yang paling halus.“Terima kasih, Gaara.”En
Keheningan yang tercipta terpecah, dan samar Esther bisa mendengar kekehan Gaara.“Jadi, kau lapar ya?”Itu memalukan! Sangat memalukan!Dari sekian banyak moment yang terjadi, mengapa harus sekarang dia mendeklarasikan rasa lapar?“M—maaf,” ujar Esther nyaris mencicit. Dia sungguh ingin menenggelamkan diri ke dasar lautan sekarang juga. Dia tidak sanggup menatap Gaara yang sudah pasti menertawakan dia sekarang. Dalam hati dia mengumpat sendiri, lantaran perutnya tidak bisa diajak berkompromi dengan otaknya sebelum mengeluarkan bunyi sekeras itu dalam situasi canggung seperti ini.“Tidak apa, kau tidak usah malu. Lagipula kau kan memang belum makan apapun sejak kita tiba.” Gaara tiba-tiba saja bangkit dari posisinya. “Biar kusuruh seseorang untuk menyiapkan sesuatu.”“Jangan! Tidak usah!” Tangan Esther secara refleks bergerak untuk menahan lengan lelaki itu dan mencegah dia untuk turun dari ranjang guna merealisasikan niatan.“Kenapa?” pandangan bingung langsung tersorot ke arah muka
Akhirnya Esther terus melihat seisi album sampai habis. Begitu selesai, gadis itu menyadari bahwa ada sesuatu yang aneh. Kecuali dihalaman pertama album tersebut, tidak ditemukan adanya foto ayahnya Gaara. Album itu hanya berisi foto pertumbuhan Gaara yang sedang sendirian atau saat bersama ibunya. Selain itu, ada satu keganjilan lain lagi. Tetapi karena Esther rasa itu bukan ranahnya untuk berkomentar, maka gadis itu menelan pertanyaan tersebut untuk dirinya sendiri.Gaara mengizinkan Esther melihat album selanjutnya. Album tersebut tidak berbeda jauh dengan yang pertama, berisi potret ibunya Gaara dengan berbagai pose dalam balutan beragam macam pakaian. Tiba di satu potret setengah badan berwarna hitam putih seukuran satu halaman penuh. Esther terpaku pada sosok yang ada di foto tersebut, tampa sadar dia menekuni wajahnya. Tulang pipi yang tinggi seperti milik Gaara, sepasang mata gelap yang besar, rambut coklat yang panjang, semua komponen itu sebenarnya ada pada diri semua peremp
Gaara tiba-tiba merasa dirinya kembali menjadi bocah sebelas tahun yang mendengar kabar bahwa ibunya telah meninggal. Dia berdiri disana menatap wajah sang ibu untuk terakhir kalinya sebelum dibawa ke liang lahat. Paman Yoshi memeluknya sambil menangis tersedu, kakek dan neneknya yang datang dengan ekspresi dingin diwajah dan ayahnya yang menghabiskan waktu merokok selama berjam-jam tanpa meneteskan air mata sudah cukup membuka pemikiran Gaara saat itu.“Cinta itu adalah hal yang sangat bodoh, bukan? Ibu jadi mati konyol karena cintanya yang terlalu besar kepada orang yang salah.” Suaranya tiba-tiba menjadi rendah nyaris seperti bisikan. “Padahal … padahal aku masih disana, masih membutuhkan Ibu dan bersedia melakukan apa saja untuknya. Kalau dia mau aku akan memberikan apa saja, bahkan seluruh cintaku untuknya supaya dia tidak mati. Tapi Ibu tidak menginginkan itu.”Esther bersumpah bahwa selama sedetik tadi dia melihat ada rasa sakit yang berkelebat di kedua bola mata pemuda itu. Na
Kedua tangan terangkat menyentuh dada. Walau itu hanya sebatas persepsi, tetapi Esther tidak bisa mencegah dirinya untuk berandai-andai bahwa Gaara telah mempercayai. Pikiran menyenangkan tersebut tiba-tiba saja sudah menjalar ke setiap sel inti. Senyum mengembang di bibir ketika pikirannya melayang tinggi. Mungkin terlalu jauh karena dia berani untuk sampai pada titik fantasi.Gaara dan Esther…Kedengarannya agak serasi, bukan?Tetapi mendadak, layaknya sebuah bola Meriam yang meledak. Wajah menyebalkan Vinson datang dan menghancurkan sekelebat bayangan hangat tersebut dalam satu waktu. Menghempas khayalan yang telah di bangun tinggi jatuh ke bumi. Hampir seketika itu pula Esther membuka mata.Esther sadar bahwa tidak seharusnya dia berhayal yang tidak-tidak sampai titik menjatuhkan hati. Dia malah punya misi untuk membuat lelaki itu patah hati.Tapi, haruskah? Sebuah tanya masuk dalam kepala.Apakah kehidupan kampusnya yang tenang betul-betul sepadan dengan menghancurkan hati orang?
Esther tadinya memang berniat langsung ke kampus. Tetapi dia tiba-tiba saja merasa perlu pulang. Karena itulah dia melipir sejenak dan memarkir Range Rover-nya Gaara di pelataran parkir dan Esther sempat mendapati ada sebuah mobil yang juga terparkir disana. Tetapi itu bukan sesuatu yang menjadi bagian dari fokusnya, karena sekarang dia hanya berpikir untuk berganti pakaian dan membawa beberapa buku yang dia perlukan.Begitu membuka pintu kos-annya, jantung Esther nyaris copot melihat ada orang yang masuk dan duduk di ruang tamu kosannya. Saking kagetnya, Esther menemukan dirinya membeku di tempat dan kehilangan kata-kata.Lelaki dengan rambut gondrongnya lantas menoleh ke arah Esther dan mengalihkan perhatiannya dari ponsel yang dia pegang. Dia bahkan bangkit dari posisinya menuju ke arah Esther. Tinggi badannya yang mencapai enam kaki serta langkahnya yang mantap entah bagaimana membuat Esther jadi menciut.Begitu lelaki itu berdiri tepat di depannya, Esther hanya bisa menundukan ke
Semuanya berawal setahun lalu. Siang itu cuaca luar biasa panas, dan rasa gerah yang timbul menelusup hingga ke dalam jiwa seorang pemuda yang tampaknya merasa hari itu dia akan berakhir sia-sia bila dihabiskan dengan belajar dikelas.Nara sendiri bukan tipikal seorang mahasiswa yang paling rajin di sekolah, dan punya predikat sebagai mahasiswa dengan tingkat bolos tertinggi sepanjang sejarah kampus. Kebanyakan kalau pun masuk pemuda itu lebih memilih tidur dikelas alih-alih mengikuti pelajaran dari sang dosen.Tetapi walau bukan yang paling rajin, tetapi bakat dan otak encernya tetap tidak bisa ditandingi. Seandainya kalau dia tidak punya bakat jenius, dia mungkin sudah banyak bermasalah dengan sekolah tempat dirinya menimba ilmu. Tapi berhubung sekarang sudah bukan SMA lagi, mau masuk atau tidak bukan urusan pihak kampus lagi. Toh, mahasiswa sudah bukan lagi bocah kemarin sore yang perlu didikte untuk melakukan sesuatu diluar keinginannya. Makanya tidak ada yang berkomentar walau Na