~Dari awal takdir sudah menentang kita~
...."Lyn, ada apa denganmu? Tatapanmu seakan ingin membunuhku." celetuk Rose."Ya. Aku sangat ingin membunuhmu!" balas Lynelle.Saat ini suasana hatinya sedang buruk ditambah lagi dengan Rose yang tiba-tiba datang memberitahukannya untuk mengumpulkan tugas Mr. Zerc minggu ini."Bukankah aku sudah bilang? kerjakan juga punyaku bodoh!" rutuk Lynelle.Rose menggaruk tengkuknya sambil cengengesan."Maaf, aku lupa. Lagian pula saat itu kau mengatakannya dengan suara ciuman pria disampingmu, bagaimana bisa aku menangkap ucapanmu dengan baik." bela Rose.Lynelle melirik Rose membunuh."Ahh, beruntunglah kau temanku!"Rose mengedikan bahunya, matanya memicing sesaat ketika melihat Jay berjalan menghampiri mereka."Priamu datang." komentarnya.Lynelle menoleh kearah pandangan Jay. Sh*t! Pria itu semakin menggoda saja, ada apa dengan pakaiannya hari ini? Sangat panas.Lynelle menjilat bibirnya seduktif saat Jay tiba dihadapannya.Tanpa banyak kata ia langsung menyambar bibir pria tersebut. Mereka berciuman intens di depan koridor,mengabaikan fakta Rose disamping mereka.Selang tak lama Lynelle melepas ciuman mereka dengan nafas yang memburu. Ia hendak kembali mencium Jay namun Rose tiba-tiba menyenggolnya. Bukan tanpa alasan pasalnya wanita itu baru saja melihat siluet Ashton di ujung koridor."Apa? Kau sangat menganggu Rose!" sentak Lynelle. Ia sedikit emosi karena kegiatannya diganggu."Calm down girl, priamu takkan kemana-mana dan ingat ini fakultas bukan bar!" balas Rose tak kalah sewot.Saat ia menoleh siluet Ashton telah menghilang.Jay menatap Rose curiga."Apa yang kau lihat?" Pria itu mengikuti arah pandang Rose, merasa tertarik Lynelle juga mengikuti."Tidak. Ia sudah pergi!" gumam Rose."Siapa yang pergi?" potong Lynelle.Rose menoleh "Kenapa kau penasaran sekali? Urusi saja nafsumu, aku harus bergegas mengumpulkan tugasku."Belum sempat Rose beranjak, kerahnya telah lebih dahulu ditarik Lynelle."Sorry, Jay. Sepertinya aku juga harus mengerjakan tugasku. Aku akan menghubungimu nanti." kedip Lynelle.Jay mengangguk mengerti dan pamit pergi."Kenapa kau menahanku?" protes Rose.Lynelle menatapnya intens "Kenapa? YA BANTU AKU BODOH!'"Tck!"...Ashton berjalan tenang mengitari Fakultas Kedokteran. Ia menatap sekeliling berusaha mencari orang yang dicarinya."Ashton! Disini !" Teriak seseorang.Ia tersenyum kala orang yang meneriakinya sama dengan yang sedang dicarinya."Hai Ben...!"Ben, lelaki berdarah london itu menyambut hangat kedatangan Ashton."Aku sudah mencarimu kemana-mana, ternyata kau disini. Mengapa handphonemu tidak aktif?""Pacarku menyitanya." balas Ben.Ashton duduk dihadapannya, posisi mereka lumayan jauh dari keramaian."Kau sangat takut pada Qerty bung."Ben mengangguk."Yeah..Jadi bagaimana?" tanyanya to the point.Ashton menyeringai samar."Aku mendapat target yang lumayan mudah."Ben menyerngit "Maksudmu? Targetku bahkan perdana menteri.""Kau pasti kenal dia mengingat kalian berada di Fakultas yang sama, Lynelle Ainsley! Dia targetku, dude."Ben membuka mulutnya lebar. Siapa yang tak mengenal Lynelle? Playgirl satu itu sangat populer. Bahkan kemarin pada saat pesta ulang tahunnya, wanita itu membuat kekacauan dengan menantang Ashton."Lynelle? Kau yakin? Kau harus membunuhnya?" Bisik Ben terkejut. Ini hal yang baru, Tuan Ferland (Tuan atau bos Ashton saat ini) sungguh gila, bagaimana bisa dia mengincar wanita 20 tahun tersebut?Ashton mengangguk "Ya. Aku harus, aku dibayar untuk itu bung."Ben benar-benar tak mengerti. "Apa kau sudah menanyakan alasan kau harus membunuhnya?""Tidak! Yang aku tahu dia putri tunggal pewaris Ainsley Corp, ia hanya memiliki seorang adik perempuan. Tuan Ferland mengatakan bahwa dia saingan berat yang harus segera disingkirkan, itu saja." jelas Ashton.Ben menyandarkan bahunya."Hmm.. Good luck! Ku rasa kau akan cepat. Oh ya soal Nola.. Itu benar-benar gila, mengapa kalian tidak langsung membunuhnya?"Ashton memijit pelipisnya sesaat "Kami ingin, hanya saja ada seorang bocah yang lewat dan menggagalkan rencana kami."Ben sontak tertawa "Bocah? Kau takut pada bocah? Hmmph-hahaha sungguh!"Ashton melayangkan tatapan dinginnya "Bocah yang kau maksud itu Lynelle!" koreksinya.Ben berhenti tertawa "What? Wow.. Dia benar-benar sesuatu. Dia bahkan pernah melakukan hubungan intim denganmu, melihat aksimu dan sekarang menjadi targetmu? Hebat bukan? Ini seperti Takdir!"Ashton bergeming "Takdir kematian tepatnya.".........Jam kelas telah menunjukan Pukul 07:03 P.M tepat ketika mata kuliah berakhir.Lynelle menguap pelan sembari melangkah keluar kelas, menuju parkiran dimana mobilnya terparkir.Namun langkahnya terhenti begitu hazelnya menangkap seseorang disamping mobilnya.Semakin dekat, ia semakin mengenali orang itu."Aish br*ngsek!' umpatan itu mengalun spontan.Ashton yang mendengarnya segera mendongak, mengabaikan layar handphone-nya, ia beralih menatap Lynelle."Apa maumu? Ah kau ingin mengganti handphone-ku?" Lynelle berspekulasi.Ashton hanya menyeringai mendengarnya."Sayangnya, aku tidak sebaik itu nona."Lynelle menatap Ashton tak bersahabat. "Jadi, kenapa kau kemari? Apa kau ingin mengajakku berkelahi?""Apa aku terlihat seperti itu?" balas Ashton.Lynelle menyandarkan tubuhnya pada mobilnya, menatap Ashton penuh curiga."Aku hanya mampir dan sedang menunggu temanku. Ini mobilmu? Aku bahkan tak tahu."Ashton berucap cuek diatas motornya, sesekali ia melirik handphone-nya.Belum sempat Lynelle membalas, Jay tiba-tiba muncul di belakan mereka."Lynelle? Ashton?"Ashton melirik pria itu sesaat namun kembali tak peduli, berbeda dengan Lynelle.Entah bagaimana ceritanya mereka sudah berlumat panas.Ashton sedikit terganggu tapi ia coba mengabaikannya."Jay, Ayo Pergi." ucapan Lynelle menjadi akhir kehadiran mereka.Entah, Ashton tak peduli.Lima belas menit kemudian Ben pun muncul."Maaf membuatmu menunggu dude." sesal Ben.Ashton mengibaskan tangannya tak masalah.Saat ini ia membutuhkan Ben untuk mendapatkan sedikit informasi serta bantuan darinya.Ayolah, cuma dia temannya tang berasal dari fakultas ini dan jika di telusuri sepertinya Ben cukup dekat dengan Lynelle. Cuma dia satu-satunya sumber saat ini."Bisakah kita singgah di Bar pamanku dulu? Ada sesuatu yang harus kuambil disana."Ashton bergumam pelan "Ya, Baiklah."Ben pun masuk kedalam mobilnya sedangkan Ashton bersiap mengendarai motornya.Tak butuh waktu lama mereka pun tiba, Ashton dan Ben segera masuk kedalam.Paman Bob menyapa mereka begitu mereka menginjakan kaki di pintu bar."Paman, pesananku yang kemarin apakah sudah dipisahkan?" tanya Ben."Ahh..! Paman belum memisahkannya, aku sangat sibuk hari ini. Masuklah kedalam ruangan lalu pisahkan sendiri."Ben menatap Ashton memelas "Sepertinya kita akan sedikit lama."Sementara Ben pergi, Ashton terduduk di depan meja bartender sambil menyesap vodka yang disediakan.Obsidiannya bergerak mengamati seisi bar hingga terhenti pada sosok yang sangat ia kenal di pojok bar."Bukankah itu Jay dan Lynelle?" lirihnya.Dan benar saja, itu memang Lynelle. Wanita itu berdiri sebentar dan beranjak menuju bilik Toilet.Seketika Ashton meletakan Vodkanya lalu mengikuti Lynelle dalam diam.......Flassh backSesaat yang lalu didalam mobil Lynelle, Jay mengatakan pada wanita itu untuk ke bar. Ia menginginkan minuman untuk membuatnya tenang karena beberapa masalah, Lynelle mengiyakannya.Dan disinilah mereka, namun entah mengapa sedari tadi Lynelle merasa pusing sekaligus mual dengan bau minuman-minuman keras yang menyengat tersebut.Dia mencoba bertahan dengan mencium ganas bibir Jay namun sama saja.Rasa pusing dan mualnya semakin menjadi-jadi. Disela-sela ciuman mereka ia mengerut sesaat, kepalanya terasa pening, sesuatu dalam dirinya bergejolak ingin segera dimuntahkan. Dengan kasar ia mendorong Jay dan terburu-buru menuju toilet."Hoek.. Ahhh.."Lynelle menyerngit aneh begitu tak ada satu pun yang keluar dari mulutnya. Ia yakin, ia merasa sangat mual saat ini."Hoek..Hoekk.." ia mencobanya lagi namun nihil, hasilnya tetap sama.Lynelle berjongkok pelan guna menahan rasa pusing yang mendera."Sh*t!" umpatnya begitu rasa mualnya kembali menyeruak.Dia berdiri berusaha memuntahkan apapun namun sama. Dia menjerit tertahan. "ARRRGHHH!"Lynelle tertunduk sembari menahan kedua lututku yang mendadak lemas. "Ada apa ini? Aku bisa gila." gumamnya lemah.Dengan lunglai Lynelle memutuskan keluar dari bilik tersebut namun baru beberapa langkah ia merasa hazelnya memburam dan yang terakhir yang terlihat hanyalah kegelapan.......BRAKAshton dengan sigap menahan tubuh Lynelle tepat setelah wanita tersebut membuka pintu.Ia sudah sedikit curiga mendengar suara wanita itu yang seakan memuntahkan sesuatu.Tanpa sadar Ashton meletakan punggung tangannya pada kening Lynelle."Tidak demam." ujarnya begitu mendapati suhu tubuh Lynelle baik-baik saja.Ia pun mengangkat wanita tersebut keluar dari dalam bar melalui pintu belakang.Ia mengirimi pesan pada Ben bahwa ia telah pergi, karena ada sesuatu yang harus diurus.Seulas seringai membahayakan terpatri di bibirnya."Aku mendapatkanmu tanpa bersusah payah."...~Kadang takdir sebercanda itu~.....Ashton berjalan pelan di lorong sebuah gedung tua sambil membopong Lynelle di punggungnya.Hentakan demi hentakan langkahnya menggelegar di seluruh gedung.Gedung tua nan kosong ini adalah bekas pabrik tekstil tak terpakai lagi akibat kebakaran beberapa tahun yang lalu.Sedikit berhat-hati Ashton meletakan tubuh Lynelle yang tak sadarkan diri di lantai mermar penuh debu tersebut. Dan dengan cekatan ia membuka tasnya, mengambil masker dan topi serta sarung tangan. Bagaimana pun ia harus berjaga dalam situasi ini, apapun bisa saja terjadi mungkin wanita itu akan tersadar. Saat ini keadaan darurat. Suatu kesempatan yang tidak ia duga dan rencanakan, sialnya ia tak membawa bius maupun suntik sianida dalam tasnya, jadi ia harus menyelesaikannya secepat mungkin. Ini adalah kesempatan satu-satunya.Setelah menggunakan perlengkapannya, pada akhirnya ia mengeluarkan sepaket peralatan dari kantong tasnya yang paling terakhir. Ia harus membedah dan membawa or
~Dari awal kita salah, ini permainan takdir~....Ashton menggeram pelan, sudah terhitung lebih dari beberapa kali ia berusaha membangunkan Lynelle namun hasilnya tetap sama. "Sebenarnya dia pingsan atau tertidur?" jengah Ashton.Saat ini mereka berada di depan apartemennya, dengan terpaksa ia harus membawa Lynelle kesini. Semula ia sempat menghubungi Ben untuk menanyakan alamat Lynelle namun sama saja, lelaki itu juga tak tahu dimana tepatnya alamat rumah Lynelle. Setelah memasukan password, pintu pun terbuka. Sambil membopong Lynelle, Ashton melangkah masuk kedalam apartemennya tersebut. Dihempasnya tubuh Lynelle diatas ranjang."Ahh sial!" umpatnya seraya merenggangkan otot tubuhnya. C'mon berat badan Lynelle bisa di katakan lumayan. Ashton beranjak merapikan apartemennya menyembunyikan beberapa alat berbahaya yang berserakan begitu saja, memasukan semuanya kedalam brankas miliknya. Helaan nafas panjang terdengar memenuhi ruangan, setelah semuanya selesai. Ia melirik Lynelle se
~ Permainan takdir kita sedikit kejam~.....Lynelle Pov...Awan mulai menggelap bertanda hujan musim dingin akan mengguyur kota Chicago yang padat. Aku masih bergelung di balik selimutku, padahal waktu setempat sudah menunjukan pukul tujuh sore. Sepulang dari rumah sakit, aku langsung ke rumah dan mengurung diri didalam kamar. Tok.. Tok.. "Lyn.. It's me, Lyvi."Suara pintu yang diketuk diikuti suara khas Lyvi membuatku beranjak sebentar. "Ada apa?" tanyaku bersandar pada pintu. "Semalam kau kemana? Dad pulang dan ia menanyakanmu." seru Lyvi sambil melenggang masuk, duduk di atas ranjangku. Aku mengikutinya lalu duduk di tepi ranjang "Aku menginap di rumah teman."Lyvi menaikan satu alasnya, menatapku tak percaya. "Teman yang mana? Dad bahkan menghubungi Rose."Aku memasang raut malas. Ayolah temanku bukan Rose seorang. "Please to the point.. Apa yang Dad katakan dan ingin kau sampaikan padaku?" jengahku. "Hmm.. Sepertinya Dad ingin kau memegang bisnisnya. Dad sempat murka saa
~ Kita bisa memilih, menantang takdir atau mengikutinya dan hancur bersama~Ashton Pov.... "Kau akan mati, j*lang! ""AKHHHH!! "PRANK.. Kaca mobil milik Lynelle dalam sekejap retak. Sayang tinjuanku melesat mengenainya. Aku tidak perduli dia wanita.Aku tertawa mengejek menatap telapak tanganku yang tergores. Jujur aku hendak melayangkan tanganku memukul Lynelle kala itu,namun beruntunglah dengan cepat ia menghindar. Lynelle merosot perlahan, meringkuk ketakutan di samping mobil. Hazelnya menatap obsidianku penuh akan kewaspadaan.Aku ikut merunduk, berjongkok dihadapannya. Aku mengamati Lynelle. sesaat dengan gigi bergemeletuk Kuangkat dagunya kasar dan memaksa hazelnya menatapku. Aku menyesal tidak membunuhnya malam itu.. Sungguh..! "Sejak kapan?" desisku menatapnya nyalang. "B-berapa hari yang lalu." suara Lynelle mengalun bergetar, hazelnya berkedip tak tenang mencoba menghindari tatapanku. Aku menatapnya tak percaya. Ini gila, tak masuk akal! Aku mendesah berbahaya, piki
~Dari awal takdir memang menargetkan kita, bahkan semesta membantunya~...Lynelle tahu ini akan terjadi cepat atau lambat namun ia tak sadari kalau akan secepat ini.Ia akui ini salahnya karena dengan bodohnya meletakan kertas pernyataan kehamilannya di meja belajar begitu saja. Seharusnya dia lebih berhati-hati. Mendengar suara Ayahnya yang sangat marah di seberang sana membuatnya berdetak ketakutan. Sepanjang perjalanan pikirannya penuh dengan kata-kata apa yang harus ia ucapkan ke Ayahnya.Tamparan tuan Ainsley menyambut Lynelle begitu wanita itu memasuki rumah. Dari sudut matanya, Lynelle bisa melihat surat pernyataan kehamilannya tergeletak diatas meja. Mengapa ia begitu ceroboh?"LYNELLE, BISA KAU JELASKAN INI?" Seru tuan Ainsley seraya melempar surat itu tepat didepan hazel Lynelle."Itu......"Lynelle hendak menjelaskan namun entahlah bibirnya mendadak kelu, ia tidak tahu harus memulai dari mana dan pada akhirnya ia hanya terdiam."Jadi apa yang dituliskan disitu benar adany
~Takdir kita lebih gila dari yang kita duga~...Seminggu telah berlalu dengan begitu cepat sama halnya dengan ujian akhir semester yang telah usai. Lynelle melangkah gontai keluar dari gedung, diikuti Rose disampingnya."Lyn, liburan kali ini apa yang kau rencanakan?" Rose mulai bertanya sambil sesekali melirik handphone-nya.Menanggapi hal tersebut, Lynelle bergumam tak acuh "Entahlah.""Apa kau punya masalah? Kau tampak kacau belakangan ini." Komentar Rose. Ia menyimpan handphone-nya sementara, memfokuskan pandangannya pada Lynelle yang terlihat berantakan."Aku baik-baik saja, mungkin ujian membuatku sedikit berantakan." kilah Lynelle.Rose memicingkan matanya tak percaya, namun sudahlah sepertinya Lynelle tidak ingin berbagi cerita. Baru beberapa langkah mereka menuju parkiran, sesuatu yang sedikit aneh menyambut Rose. Ayolah, siapa tak aneh melihat Ashton berada di fakultasnya, seperti menunggu seseorang.. tapi siapa?"Kau sudah tiba? Cepat sekali." Lynelle berujar menghampiri A
~Perlahan Leopard menerkam mangsanya~... "Apa kau yakin dengan keputusanmu?"Kedua obsidian-nya memandang redup hamparan salju di luar. Sesekali jemari panjangnya mengguncang minuman beralkohol itu menciptakan sebuah bunyi dan gumpalan yang melonjak"Ashton... Aku sedang bicara denganmu." Ben begitu jengah, melihat sahabatnya mulai hanyut dalam dunianya sendiri. Ia tahu Ashton tengah berfantasi mengerikan tentang anak itu. Saat ini mereka sedang berada di bar milik pamannya. Sedangkan waktu sendiri telah menunjukan pukul sembilan malam lebih."Aku akan menikmatinya.""Tck! Hei, berhentilah bersikap seperti pria psikopat!"Ashton terkekeh mendengarnya, dalam sekali gerakan ia memutar tubuh dan memandang lekat pria bernama Ben di hadapannya."Singa telah menerkam mangsanya, sangat menarik bukan?" desisan itu membuat dirinya terperangah, entahlah ia merasa Ashton tak hanya sekedar mengoceh. Terlebih tatapan obsidiannya terlalu rumit untuk ditafsirkan. Samar-samar Ben mencium niat terse
~Kita perlahan bergerak menantang takdir~...Ashton berjalan pelan memasuki ruang dimana tuan Ferland berada, pria berumur itu nampak sumringah melihat kedatangan Ashton."Akhirnya kau datang nak!""Ya, seperti itu." sahut Ashton sembari mendudukkan dirinya di depan tuan Ferland.Pria itu menatap Ashton menyeringai "Jadi bagaimana dengan rencana kita? Apakah berjalan lancar?'Ashton mengangguk dan tersenyum licik "Tentu, sepertinya psikis-nya mulai terganggu. Pagi ini ia bahkan dengan nekat menelan semua obatnya tanpa dosis dikarenakan sesuatu yang ku lakukan padanya." jelas AshtonTuan Ferland nampak keberatan mendengarnya, lelaki berumur tersebut berdiri sebentar mengitari ruangan tersebut. Ditiupnya seberkas debu pada jendela yang menopang."Jadi kau akan membunuhnya secara psikis? Tidak secara fisik?"Ashton menggeleng di balik pundak pria tersebut. "Tidak, saya di bayar bukan untuk membunuh psikis.. Seperti yang Tuan ketahui saya selama ini dibayar untuk membunuh secara fisik t
Kini Ashton duduk didepan tuan Ainsley, suasana yang ada terasa dingin dan mencekam. Pria setengah baya tersebut menatap Ashton menyelidik. Belum sampai satu bulan lebih Ashton datang kemari dan mengambil Lynelle untuk tinggal bersamanya. Tiba-tiba ia mendapat kabar bahwa Lynelle akan pulang. Selain itu permasalahan dengan tuan Ferland sudah ia tangani, pria muda didepannya hanya tinggal menunggu panggilan wawancara dan menghadiri sidang. Semua sudah terkendali dan aman, jadi... dengan alasan apa lagi Ashton ingin memulangkan putrinya?"Mengapa kau memulangkan putriku? Kau tidak ingin bertanggungjawab terhadapnya setelah semua yang terjadi?"Ashton menghembuskan nafasnya kasar, pertanyaan tuan Ainsley membuat kepalanya semakin pening, bukan ia tidak ingin bertanggungjawab, hanya... keadaan tidak memungkinkan. "Dari awal kau menginjakkan kakimu disini dan dengan enteng mengaku bahwa kau yang menghamili Lynelle, terlihat jelas bahwa kau tipe lelakinya yang tidak dapat dipercaya. Kau ba
Hari telah berganti begitu cepat, padahal baru sejenak Lynelle memejamkan matanya. Satu per satu pakaian yang ada di lemari ia ambil dan masukan kedalam koper. Sedari ia bangun sampai sekarang, ia sama sekali tidak berbicara sepatah katapun dengan Ashton. Ia lelah dengan semua sikap tertutup Ashton. Pria tersebut membuat semuanya rumit.Ashton yang baru selesai mandi, hanya terdiam depan kamar memperhatikan Lynelle yang tengah mengepak barang-barangnya. Sungguh, ia bukan ingin mengusir Lynelle.Kini Lynelle menyeret kopernya menuju mobil Ashton. Keheningan masih meliputi mereka.Ashton tahu itu kesalahannya karena menutupi semua hal dari Lynelle. Tanpa banyak kata, mobil bewarna hitam tersebut melaju, membelah jalanan kota Chicago yang padat...."Akhirnya kau pulang.. dan kau masih hidup!" seru Lyvi kala retinanya menangkap sosok sang kakak dan pacarnya di depan pintu rumah.Lynelle menghunuskan tatapan tajamnya pada Lyvi, gadis itu...sungguh!Secepat mungkin kaki mungil Lyvi berlar
ClekSuara pintu yang dibuka pada tengah malam, membuat Lynelle terjaga. Ia tidak tidur, meskipun matanya tertutup namun tidak dengan pikirannya. Sedari tadi ia menunggu Ashton, lelaki itu mengatakan akan pulang secepatnya, tapi...apa ini? Jarum jam yang ditampilkan layar handphone telah menunjukkan pukul empat subuh, sedikit lagi hari akan berganti. Masih pantaskah ini disebut tengah malam?"Kau pulang?" tanya Lynelle, berjalan perlahan menyalakan lampu ruang tengah.Ashton membeku. 'Mengapa Lynelle belum tidur?' "Kau bau alkohol dan rokok. Kau darimana saja? Kau bilang ada urusan penting yang mendadak harus kau urus. Apakah urusan penting itu adalah mabuk-mabukan sampai subuh bersama teman-temanmu?"Ashton berdehem, mencairkan suasana yang menegang. Dari nada bicara Lynelle, ia tahu wanita tersebut marah."Aku akan menjelaskannya nanti.""Mengapa harus nanti? Tidak bisakah sekarang? Kau selalu menyembunyikan semua hal dariku.""Aku tidak. Hanya... aku tidak ingin menganggu pemikira
Dalam perjalanan pulang, Ashton hanya diam. Pikirannya kalut memikirkan apa yang barusan dikatakan Ben di telfon beberapa menit lalu.Lynelle terus mengamati Ashton. Ia sadar ada yang berbeda dengan pria disampingnya. Ashton seketika menjadi pendiam saat keluar dari mall. Ingin sekali Lynelle menanyakan apa ada yang salah? Namun, pertanyaan itu tertahan di kerongkongannya. Lynelle takut semakin ia bertanya, semakin memperburuk keadaan yang ada."Kita sampai, turunlah."Ashton berujar dingin, dan langsung membuka bagasi mobilnya, mengambil barang-barang yang mereka beli dan meletakkannya di apartemen.Lynelle masih diam terpaku didepan pintu sembari menatap Ashton yang sibuk menata barang-barang. Gelagat Ashton yang dingin dan cuek membuat Lynelle gugup. Lynelle takut Ashton yang dulu kembali."Lynelle, maaf sepertinya hari ini aku tidak bisa menemanimu. Aku ada beberapa urusan diluar, jika kau tak bisa memasak, kau bisa pesan delivery, jangan tunggu aku."Sudah Lynelle duga ada sesuat
Lynelle memutarkan tubuh berisinya di depan cermin dengan antusias. Kali ini, ia mengenakan gaun putih sebatas lutut yang agak longgar dipadukan dengan jaket mantel dan sepatu bots. Tidak lupa syal bewarna abu mengikat leher mungilnya.Ashton mengetuk pintu kamar Lynelle dan melongokan kepalanya, memastikan apakah Lynelle sudah selesai bersiap atau tidak."Sudah selesai?""Uhm...Sudah!" Angguk Lynelle setelah sedikit merapikan poninya yang menjuntai."Kita hanya akan ke mall, mengapa kau sangat lama bersiap? Seolah-olah kita akan menghadiri sebuah pesta. Dan satu lagi.. mengapa kau menggunakan gaun? Cuaca hari ini masih dingin. Ganti lah, gunakan celana panjang."Aku merasa sesak jika menggunakan celana. Lagian aku juga menggunakan jaket mantel, jangan khawatir, aku tidak akan mati kedinginan."Ashton hanya bisa menghela nafasnya kasar. Lynelle benar-benar keras kepala. "Yasudah, ayo pergi. Perhatikan langkahmu, awas jatuh.""Wow.. kau menjadi sangat posesif."Ashton tidak membalas
Cium*n yang awalnya lembut itu perlahan menjadi panas dan berlanjut hingga ke tempat tidur Ashton.Dikukungnya Lynelle dengan kedua lengannya, bibir mereka bergerak liar, memagut dan menyecap satu sama lain, seolah menyampaikan betapa rindunya mereka akan sentuhan satu sama lain."Eungh...Ash!" desah Lynelle di sela-sela cium*n panas tersebut. "Apa aku menyakitimu?" Ashton melepaskan tautan bibir mereka dan menatap Lynelle dalam. Lynelle menggeleng kecil. "Tidak, tapi tolong pelan-pelan. Aku sedang hamil."Ashton merunduk sesaat, melihat perut Lynelle yang kelihatan mulai membesar di balik bush yang dikenakannya.Kejadian masa lalu, dimana dengan tegas ia menolak anak yang berada dalam kandungan tersebut dan menyuruh Lynelle menggugurkannya, kembali menyapa Ashton.Rasa bersalah itu muncul. Dia sangat kejam bukan? Baik pada Lynelle maupun calon bayi mereka.Jemari-jemari Ashton bergerak, mengelus perut Lynelle. Ia tersenyum sendu. Hatinya mencelos. "Jika kau tak nyaman, katakan! Aku
~Ikuti perasaanmu dan semua akan baik-baik saja.~....Lynelle memandang hamparan salju yang ikut memeriahkan malam pergantian tahun bersama dengan letusan kembang api yang memekakkan.Ia disini, masih di tempat yang sama. Di balkon apartemen itu, menunggu tanpa kepastian berharap orang yang dinanti akan datang.Drrrt..Getaran benda persegi empat pada kantong celananya, membuat Lynelle tersentak pelan."Halo?""Hey Girl, apa kau tidak keluar berjalan-jalan bersama kami? Disini juga ada Jay, David, Bobby, dan masih banyak pria lainnya."Diujung sana Rose berujar antusias, teman baiknya itu nampak sangat bersenang-senang di akhir tahun ini."Lynelle, apa kau masih disana?" Suara diujung telfon kembali bertanya, memastikan orang yang ditujunya masih mendengarkan."Ya-Ya! Aku akan ikut, kalian berkumpul dimana?" Lynelle mengiyakan ajakan tersebut."Biasa... Kami di bar milik Ben."Setelah kalimat tersebut, sambungan terputus.Lynelle menatap layar handphone-nya sesaat lalu menghela nafas
~Ikuti perasaanmu dan semua akan baik-baik saja.~....Lynelle memandang hamparan salju yang ikut memeriahkan malam pergantian tahun bersama dengan letusan kembang api yang memekakkan.Ia disini, masih di tempat yang sama. Di balkon apartemen itu, menunggu tanpa kepastian berharap orang yang dinanti akan datang.Drrrt..Getaran benda persegi empat pada kantong celananya, membuat Lynelle tersentak pelan."Halo?""Hey Girl, apa kau tidak keluar berjalan-jalan bersama kami? Disini juga ada Jay, David, Bobby, dan masih banyak pria lainnya."Diujung sana Rose berujar antusias, teman baiknya itu nampak sangat bersenang-senang di akhir tahun ini."Lynelle, apa kau masih disana?" Suara diujung telfon kembali bertanya, memastikan orang yang ditujunya masih mendengarkan."Ya-Ya! Aku akan ikut, kalian berkumpul dimana?" Lynelle mengiyakan ajakan tersebut."Biasa... Kami di bar milik Ben."Setelah kalimat tersebut, sambungan terputus.Lynelle menatap layar handphone-nya sesaat lalu menghela nafas
~Terluka, dilukai, dan melukai adalah bukti bahwa kau hidup~...Ashton POV...Detik berganti menit, menit berganti jam... Terus terulang..Meskipun mataku terpejam namun aku tidak dapat tidur dengan nyenyak seperti biasanya. Pikiranku berkecamuk. Ada sesuatu yang mengganjal, yang membuatku sangat penasaran. Pengakuan Lynelle beberapa jam yang lalu mengusikku. Firasatku mengatakan ada sesuatu yang tidak beres dan itu tersembunyi rapat dari jangkauanku. Tahun dimana ayah biologis Lynelle meninggal sama dengan tahun dimana ayahku merenggang nyawanya. Itu tidak kebetulan bukan?Aku memutuskan membuka mataku dan menghela nafas berat. Di sampingku, Lynelle telah tertidur. Ia Nampak tak nyaman dengan posisinya. Aku memperhatikannya dalam diam, di benakku ada berbagai pertanyaan yang ingin ku lontarkan padanya.Sesaat aku memandangi wajahnya yang nampak tenang. Perasaan bersalah menyergapku. Kemarin bukan tanpa alasan aku memperlakukannya dengan baik, sejujurnya aku hanya ingin membuat ken