'Apa yang terjadi di antara Shela dan Mama? Apa yang mereka bincangkan kemarin pagi?' Sebastian sibuk memikirkan hal itu. Semalaman ia tidak tidur hingga subuh-subuh hari, setengah enam dia duduk di teras samping sambil membawa kalung milik Mamanya, di mana sang istri memintanya untuk mengembalikan kalung itu pada Monica. "Huhh..." Sebastian memijit pangkal hidungnya pelan. "Papi," panggil sang buah hati lirih. Suara Tiana membuat Sebastian menoleh ke belakang. Anak perempuannya itu berdiri di tengah ambang pintu membawa selimut dan botol minum kesayangannya. "Sini Sayang. Kenapa sudah bangun?" Sebastian mengulurkan tangannya dan mengangkat tubuh Tiana sebelum dipangku. "Tiana ke bangun ke kamar Mami, tapi Papi tidak ada. Di ruangan kerja tidak ada juga, ternyata Papinya Tiana di sini," jawab anak itu dengan muka bantalnya. Sebastian tersenyum, dia mengecup pipi Tiana dan menutupkan selimut wol merah muda pada tubuh mungil sang putri. Anak itu menatap sekitar, di mana kabut mu
"Maaf ya Nyonya Morgan, saya baru bisa berkunjung dan menjenguk Nyonya hari ini." Ucapan itu begitu tulus dan lembut terucap dari bibir Elmma. Mama dari Aldrich, sekaligus istri dari rekan kerja Sebastian. Mereka sengaja sore ini datang menjenguk Shela setelah tahu Shela baru keluar dari rumah sakit. Kunjungan mereka pun disambut baik dan hangat. "Terima kasih kunjungannya, Nyonya Hubert. Saya sangat senang dengan kedatangan Nyonya." Shela tersenyum manis. "Emm, ngomong-ngomong... Aldrich katanya sering ke sini ya?" tanya Elmma pada Shela, wanita itu menatap Aldrich yang sedang bersama Tiana di teras. "Oh iya. Dia sering ke sini, aku juga menyukai Aldrich yang mau menolong Tiana belajar." "Kak Aldrich itu seperti Lalat Buah, Tante. Tidak mau menyingkir sebentar saja dari Adikku!" sinis Tino dengan kedua alis yang bertaut. "Sebal deh!"Mendengar hal itu, Elmma pun tertawa. Baru kali ada yang berani memberikan julukan se-miris itu pada putranya. Namun melihat kedekatan Aldrich da
"Kami tidak akan melarang Sebastian bertanggung jawab padamu. Tapi yang kami inginkan, bantu Sebastian kembali menganggap kita benar-benar orang tuanya. Tolong, jangan pernah gagal menjadi istri yang baik untuknya, Shela." Penuturan dengan baik dan lembut terucap dari bibir Graham pada menantunya. Dia orang ini datang merayunya untuk meminta Sebastian kembali pada mereka dengan membujuknya. Apa Shela bisa? Bukankah sulit sekali membujuk Sebastian yang memang notabenya tidak akan mampu dikendalikan oleh siapapun? Apa Shela bisa?"Kami tidak tahu harus meminta bantuan pada siapa lagi selain padamu." Graham mengembuskan napasnya panjang. "Papa tahu, Mamamu ini sudah keterlaluan. Kau pasti sakit hati, Papa tahu. Tapi lebih sakit hati saat anaknya, tidak mau menanggapinya sebagai Mama. Padahal Mamamu ini, yang melahirkan mengandung dan melahirkan Sebastian. Suamimu." Shela menundukkan kepalanya dan tangannya meremas kuat rok tile merah muda yang ia pakai. Seperti deburan ombak, detak j
Tidak ada alasan lagi untuk Tiana pagi ini ingin bolos sekolah lagi. Anak itu sudah berada di sekolah dengan dua kembarannya. Berangkat lebih awal dan bermain di taman mencari bunga liar, kebiasaan Tiana yang memang tidak bisa diubah. "Tiana...!" Suara teriakan seseorang berlari ke arah Tiana menoleh ke belakang, tapi gadis kecil itu kembali lagi fokus pada bunga-bunga yang cantik di hadapannya. Sampai akhirnya Aldrich melompati sebuah pagar yang tak terlalu tinggi, anak itu mendekati Tiana dan memberikan sebuah sandwich padanya. "Ini, buat sarapan," ujarnya. Tiana mendongak, dia diam dan menggelengkan kepalanya. "Kau marah ya, denganku?" tanya anak laki-laki itu. "Iya. Tiana marah." Aldrich terkekeh, anak laki-laki itu membuka tasnya, dia kembali memasukkan sandwich itu ke dalam kotak dan meletakkan di sebuah bangku kayu, membiarkan makanan itu dibawa Tiana nantinya. "Nanti aku ke sini lagi kok, aku tidak akan lama-lama perginya, Tiana." Aldrich berjongkok di hadapan Tiana.
"Huhhh, sekarang rumah benar-benar terasa sangat sepi sekali." Shela menatap sekeliling rumah yang sunyi, tidak ada suara jeritan anak-anaknya. Tino dan Tiano pergi kursus, sedangkan Tiana diajak jalan-jalan oleh keluarga Hubert. Selang menunggu Sebastian kembali mengantarkan si kembar, Shela melangkah masuk ke dalam ruangan kerja suaminya. Ia sangat ingin masuk ke dalam ruangan itu. Aroma ruangan yang segar menyapa Shela. Wanita itu berjalan mendekati meja kerja suaminya. "Dia masih merokok," gumam Shela menatap beberapa putung rokok di sana. "Padahal dia janji untuk tidak merokok lagi." Shela merapikan beberapa berkas di atas meja, sampai akhirnya dia menemukan sebuah berkas di sana. Berkas bertuliskan 'Gevan Dillsen' yang membuat Shela terdiam sejenak. "Nama Papa," lirih Shela melihat ada berkas milik mendiang Papa kandung Shela. Shela duduk di kursi kerja milik Sebastian, dia melihat isi berkas itu. Di sana tertulis kalau perusahaan milik Papanya itu beralih tangan menjadi
Tiana menata beberapa boneka barunya di dalam rak yang ada di kamarnya. Juga tiga kaca mata baru dengan bingkai bermacam warna, anak perempuan itu senang koleksi bonekanya bertambah, tapi dia sedih temannya harus pergi."Tidak boleh nangis," ujar Tiano merangkul kembaran perempuannya. "Tiana tidak nangis kok," jawab anak itu menatap Tiano dan tersenyum. "Bagus! Mulai besok kalau di sekolah, kau hanya boleh main denganku dan Tino. Jangan main dengan anak-anak yang lain ya, Tiana..." Tiana mengangguk paham. Dia kembali mengambil boneka ikan paus di dalam rak, memeluknya seperti dia memeluk Aldrich. 'Besok pagi Aldrich akan pergi ke Italia. Aku akan mencari teman baru, Aldrich bilang kalau aku besar nanti aku harus menjadi Bu Guru, kalau aku jadi Bu Guru, pasti aku punya banyak teman.' Perasaan sedih bercampur aduk di dalam hati Tiana. Anak itu berjalan ke arah ranjangnya dan berbaring memeluk boneka paus miliknya. Sementara Tino duduk di ujung ranjang dan memainkan miana robot kap
Semangat yang disiapkan Tiana sejak pagi pun sirna. Begitu sampai di sekolah, ternyata Aldrich menunggu di sana dengan kedua orang tuanya. Anak laki-laki itu sudah bersiap ingin pergi ke Italia pagi ini. Tapi dia marah pada Papanya karena ingin menemui Tiana lebih dulu di sekolah. "Jangan menangis, aku akan kembali, Tiana..." Aldrich memeluk Tiana yang kini menangis memeluknya dengan erat."Tiana tidak akan punya teman lagi, Aldrich," ucap anak perempuan itu. "Sayang, kan di sekolah ada banyak teman. Tiana tidak akan kesepian," ujar Elmma mengusap rambut Tiana. Pelukan Tiana pada Aldrich pun terlepas, anak laki-laki mundur satu langkah. Dia tersenyum manis pada Tiana sebelum menatap Tino dan Tiano, juga Madam Ellin yang berada bersama mereka."Sudah Al, ayo berangkat," ajak Roghan pada sang putra. Aldrich melambaikan tangannya pada Tiana. Namun Tiana sama sekali tidak melihatnya, Tiana menangis dan menundukkan kepalanya saja. "Tiana," panggil Aldrich saat masuk ke dalam mobil.
"Pakaian apa yang kau pakai itu Shela?! Lepas!" Suara pekikan Sebastian membuat Shela menatap pantulan wajah suaminya di cermin yang berdiri di belakangnya. Dress di atas lutut berwarna violet, dengan lengan Sabrina. Mungkin akan terlihat modis di mata orang lain, tapi Sebastian benci kalau istrinya memakai pakaian semacam ini. "Kenapa memangnya? Bukannya kau suka yang seperti ini?" Shela sebenarnya sangat malu mengatakan hal ini. "Shela, lepas pakaian itu atau aku yang melepaskannya!" Sebastian mendekat, namun Shela lebih dulu mundur dan mengarahkan satu tangannya untuk membuat suaminya itu terhenti.Tatapan mata berkilatan dari Sebastian, patutlah dia marah. Laki-laki egois ini tidak suka dengan pemandangan yang istrinya berikan. "Bu-bukannya ini adalah fashion wanita jaman sekarang? Aku hanya sedang mengikuti saja. Cardina mengatakannya," ujar Shela menunjukkan wajah sedih."Mana mungkin Cardina seperti itu, hah?!" Sebastian masih tak percaya. Laki-laki itu membuka beberapa p
Sebuah acara makan malam yang begitu yang begitu menyenangkan di musim dingin di kediaman keluarga Morgan. Meskipun hanya dengan anak dan menantunya yang berkumpul di sana, namun kebersamaan ini membuat Shela merasa senang dan bahagia. "Kalau seperti ini setiap hari, Mami akan senang sekali. Andai saja kalian mau membeli rumah di sekitar sini," ujar Shela mantap para anak-anaknya. "Kakak kan sudah tinggal sama Mami," jawab Tiana membantu Shela menyiapkan makanan di meja. "Kami akan sering-sering ke sini, Mi," sahut Irish. Shela mengangguk, wanita itu tersenyum manis pada mereka. Sadari mereka semua memiliki keputusan yang tepat untuk kehidupannya masing-masing. Meskipun para anak-anaknya sudah dewasa, namun di mata Shela mereka adalah anak kecil yang dulu dia asuh dan ditimang ke mana-mana sendirian. "Mamimu sangat takut kalian jarang berkunjung," ujar Sebastian yang duduk berhadapan dengan Shela. "Tentu saja! Mami kan sayang sama kita, Pi. Dari bayi juga cuma Mami yang merawa
Beberapa Bulan Kemudian...Waktu berjalan dengan sangat cepat, hari-hari yang dilalui penuh dengan kebahagiaan untuk Irish dan Tino. Apalagi kini mereka telah menjadi orang tua, setelah kemarin Irish melahirkan anak pertama mereka. Doa-doa yang setiap harinya dia panjatkan ternyata dikabulkan oleh Tuhan. Dia memiliki seorang anak perempuan yang sangat-sangat cantik. "Mereka bertiga seperti anak kembar, ya?" Irish terkekeh melihat putri kecilnya dibaringkan bersama dua anak Sora dan Tiano. Sora dan Tiano memiliki anak kembar laki-laki yang lahir dua minggu lebih dulu dari Irish. "Seperti aku dan Kakak dulu ini, aku perempuan sendiri, dua saudara kembarku laki-laki!" seru Tiana sembari duduk di samping Irish. "Tapi tetap saja! Yang nangisnya paling kenceng seperti Mamanya, tetap Arabelle!" sahut Tino kini menggendong Arabelle yang memeluk botol susu cokelat miliknya. Anak manis berusia hampir satu tahunan itu merengek-rengek ingin turun setelah dibuat menangis oleh Tino. Irish me
Kabar kehamilan Irish sudah diketahui oleh semua keluarga, tentu saja mereka semua bahagia. Bahkan di kemungkinan besar Irish dan Sora akan memiliki anak yang seumuran nantinya, hanya selisih satu bulan saja. Kini Irish berada di rumahnya, gadis itu baru saja menghubungi Sora dan Tiana, untuk memberikan kabar bahagia pada saudarinya kalau dia hamil. "Rish, kau sudah makan?" tanya Tino mendekati istrinya yang tengah rebahan di sofa yang berada ruang keluarga di lantai satu. Gadis itu menoleh dan menggelengkan kepalanya. "Tino... Aku tidak lapar, aku nanti bisa mual kalau makan terlalu banyak. Aku tidak mau," seru gadis itu menggelengkan kepalanya lagi. Tino pun tersenyum tipis dan menarik lengan gadis itu dengan pelan. "Makan sekarang, Sayang!" serunya dengan nada menekan dan memaksa. "Pemaksaan sekali, Tino..." gerutu Irish dengan wajah cemberutnya. "Aku mau makan, tapi suapi aku, ya!" "Iya! Aku akan menyuapimu. Sekarang ayo makan dulu," seru Tino lagi. Irish duduk dengan pel
Hari dengan hari berjalan jemu, Irish sering kali merasa kesepian beberapa waktu ini. Suaminya rupanya sangat sibuk, selalu pulang terlambat, dan pergi saat Irish masih tertidur. Bahkan di minggu ketiga di mana Tino selalu sibuk dengan pekerjaan di kantor milik Sebastian kini, Irish merasa benar-benar membutuhkannya di saat dia tidak sehat kondisi tubuhnya. Irish bangun pukul delapan pagi, dan hari ini Tino masih di rumah. Kesempatan yang baik untuk Irish berbincang dengannya. "Sayang..." Suara Irish memanggil dari luar di lantai dasar. Gadis itu mencari-cari, dia menuruni anak tangga dan memperhatikan sekitar yang sepi. Sampai akhirnya langkah Irish benar-benar terhenti di penghujung tangga. "Hari ini jadwal saya akan padat Pak Kyle, boleh diundur sampai hari Senin besok? Tidak ada waktu luang sama sekali, Minggu ini saya juga akan ke luar kota untuk mengecek proyek. Satu jam dari sekarang saya ada meeting!" Suara penuh riuh kesibukan itu membuat Irish kembali menelan kesediha
Keesokan paginya, Irish dan Tino asik menghabiskan waktu untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di kawasan Salzburg. Mereka menikmati momen berdua di sebuah taman yang sangat indah. "Andai saja liburannya bisa diperpanjang," ujar Irish menyandarkan kepalanya di pundak Tino. "Aku juga tidak ingin pulang," jawab laki-laki itu mengecup pucuk kepala Irish. "Heem, kita menikmati momen yang indah di sini." Irish mengembuskan napasnya pelan, ia beranjak dari duduknya dan berdiri di hadapan Tino, memegangi satu tangan Tino dan menatap sekitar. Sedangkan Tino masih selalu memperhatikan istrinya dengan tatapan kagum, ia yang selalu mencintai dan menyayangi Irish, tak mungkin bisa berpaling darinya. Sampai tiba-tiba sebuah bole menggelinding di bawah kaki Irish. Gadis itu menatap bola merah di bawah kakinya, sebelum ada seorang anak kecil perempuan yang baru saja bisa berjalan, menuju ke arahnya. "Wahhh, ini bola mi-milikmu ya?" Irish menekuk kedua lututnya dan mengulurkan tangannya me
Hari sudah malam, Tino kali ini bersama dengan Paman Caesar di sebuah rumah kaca setelah ia meninggalkan istrinya yang sibuk berjalan-jalan dengan Bibi Alpen dan juga sopirnya ke kota. Kini Tino berdua saja dengan Paman Caesar, laki-laki itu menuangkan sebuah minuman ke gelas berukuran kecil di hadapan Tino. "Huffttt... Aku tidak pernah menyangka kalau Irish akan memiliki suami sepertimu," ujar Paman Caesar tiba-tiba. "Kenapa begitu, Paman?" tanya Tino menatap laki-laki di depannya itu dengan tatapan tak biasa. Caesar menghela napasnya pelan. "Irish anak yang sangat aneh, Tino. Tidak mudah baginya untuk dekat dengan sembarang orang, Irish... Irish punya masa lalu yang buruk sekalipun dia anak orang terpandang. Makanya aku mengajukanmu, dari keluarga Morgan untuk menjadi suaminya. Aku tahu kau tidak akan menyakitinya." Tino sedikit tercubit dengan kata-kata Caesar barusan, karena pada awalnya dia tidak sebaik ini pada Irish. "Irish tidak gagap, Tino," ujar Caesar lagi. Detak jan
Tino dan Irish benar-benar bepergian bersama ke Salzburg. Mereka berdua sudah sampai di sana beberapa jam yang lalu, dan Paman Caesar lah orang yang menjemput mereka berdua saat ini. Sembari menunggu Paman Caesar, Irish melihat pemandangan sekitar yang memang sangat indah dan jauh dari hiruk pikuk seperti di kota asalnya. "Bagus ya, di sa-sana pegunungan kelihatan," ujar gadis itu menunjuk-nunjuk ke sana dan ke sini."Kau tidak pernah ke sini sama sekali, Sayang?" tanya Tino menatapnya. "Tidak, Mama dan Pa-papa yang sering ke sini. A-aku harus belajar yang gi-giat di rumah. Ja-jadi tidak pernah pergi ke ma-manapun." Tino yang mendengar itu merasa kasihan. Irish memang anak orang sangat terpandang, namun kehidupannya tidak seindah seperti yang Tino bayangkan. "Sekarang kan aku sudah mengajakmu ke sini," ujar laki-laki itu tersenyum. "Heem, tempat yang indah. Rasanya aku tidak mau pulang." Irish mengatakan tanpa gagap sedikitpun seraya memeluk Tino. Perasaan Tino menjadi sedikit
Pagi-pagi sekali Tino datang ke kediaman Sebastian. Ia ingin mengabari Papanya kalau dia ingin liburan beberapa hari di Austria. Sebelumnya Irish terlihat sangat cemas, sepanjang perjalanan mengunjungi kediaman mertuanya, gadis itu terus mengoceh panik kalau Sebastian diam mengizinkan Tino. "Tumben datang ke sini? Biasanya juga sibuk sendiri-sendiri, sampai istri dikurung di rumah!" Kalimat sarkastik itu terucap dari bibir Tiano, yang ternyata sedang datang berkunjung. "Apa kau tidak punya cermin?! Kau sendiri juga tidak akan datang ke sini kalau tidak ditelfon dulu! Memang kau ini tipe-tipe seleb!" maki Tino duduk di sofa bersama istrinya. Irish nampak begitu senang akhirnya ia bertemu lagi dengan Sora, mereka berdua seolah mempunyai dunia sendiri dan berbincang kesenangan menceritakan banyak hal. "Tino, Irish, sebentar lagi kalian akan punya keponakan baru," ujar Shela menatap Tino. "Ke-keponakan baru?" Irish mengerjap bingung. "Iya Sayang, Irish sedang hamil sekarang." Shela
Beberapa hari berlalu, Irish sangat bekerja keras untuk mempersiapkan penampilannya dalam acara sebuah pertunjukan. Hari yang dia tunggu-tunggu pun akhirnya datang. Gadis itu sangat gugup, ia berada di belakang panggung pertunjukan sendirian. Irish perlu menenangkan diri sebelum keluar bersama beberapa temannya. "Huufffttt... Rasanya gu-gugup sekali!" Irish menepuk dadanya berkali-kali dan menarik napasnya dalam-dalam. "Bagaimana ini, bagaimana nanti kalau aku jatuh tiba-tiba?" Wajah Irish menjadi cemberut, gadis itu memainkan jemarinya di lantai sebelum ia merasakan seseorang menyentuh pipinya dari belakang. "Eh..." Irish mendongakkan kepalanya menatap siapa seseorang itu. Ternyata suaminya yang datang, Tino memberikan sebotol air mineral padanya. "Kenapa malah diam di sini, hem?" Tino ikut menekuk lututnya di samping Irish. "Aku masih mengumpulkan keberanian," jawab gadis itu. "Hemm? Mengumpulkan keberanian, kenapa? Kau tidak tampil sendirian. Ada beberapa temanmu yang ikut