"Papi dan Mami selalu menunggu kepulanganmu, Tiano. Kau malah tidak pernah pulang! Sengaja?!" Sebastian melontarkan kata-kata tajam pada putranya yang kini hanya diam duduk bersandar di sofa. "Aku sibuk, Pi..." Tiano mengelaknya lagi dan lagi. "Sibuk apa? Seminggu ke depan kau tidak ada meeting! Pulang...! Kasihan Adik dan Mamiku selalu bertanya-tanya tentangmu!" Sebastian mengomelinya lagi. "Setiap hari aku dan Tiana video call, Pi!" terang pemuda itu. "Papi tidak mau mendengar bantahanmu, Tiano... Pulang! Kalau Papi bilang pulang, pulang!" serunya. Pintu ruangan itu terbuka, nampak Sora berjalan masuk ke dalam sana membawa beberapa berkas di pelukannya. Tino yang asik bermain menatap layar ponselnya, tiba-tiba ia tersenyum sumringah saat melihat Sora. "Pi, ini gadis yang aku bicarakan! Dia kekasihku!" seru Tino tiba-tiba dengan ekspresi jahilnya.Sontak saja Sora melotot menatap kembaran Tiano tersebut. Gadis itu membeku di tempat seketika hingga Tiano berdecak sebal. Lanta
"Emmm, aku harus mencari cara, pokoknya aku tidak mau terlalu bergantung seperti ini!" Sora berjalan dengan perasaan kalut, gadis itu melewati lorong kantor menuju lift yang berada di depan sana. "Apa aku harus meminta tolong pada Rachel?" gumam Sora menghentikan langkahnya. "Dia kan punya pekerjaan sampingan di malam hari? Lagipula sekarang aku juga mengerjakan pekerjaan tambahan saat subuh, kan?" Sora langsung mengambil ponselnya di dalam tas yang ia pakai. Gadis itu mencoba menghubungi Rachel, satu-satunya teman Sora di kantor. "Halo Rachel, kau sudah pulang? Ohh... Tunggu ya, tunggu aku akan turun sekarang! Ada yang ingin aku bicarakan denganmu!" pekik Sora antusias. Gadis itu menutup panggilannya dan ia berlari menuju lift dengan sangat terburu-buru. Sedangkan Tiano baru saja muncul dari dalam sebuah ruangan bersama dengan Tino. Laki-laki itu menatap punggung Sora yang menjauh dan nampaknya gadis itu terburu-buru entah ke mana. "Bukannya itu tadi Sora? Dia mau ke mana?" ta
Malam ini Sora mengerjakan pekerjaannya yang belum selesai, gadis itu benar-benar mengurangi jam tidurnya. Bahkan di saat kini jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Tiano yang baru saja keluar dari dalam kamarnya, laki-laki itu hendak mengambil air di dapur, namun ia menghentikan langkahnya saat melihat Sora duduk di ruang makan, sibuk dengan laptopnya. "Dia tidak tidur?" gumam Tiano bingung. Laki-laki itu mulanya hendak pergi ke Birmingham, namun urung. Kini Tiano mendekati Sora. "Kau tidak tidur?" tanya Tiano tiba-tiba. Tubuh Sora tersentak kaget dengan suaranya. Gadis itu mendongak dan tersenyum sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku tidak mengantuk, nanti saja," jawabnya kembali fokus pada laptopnya. "Nanti? Nanti jam berapa? Lihat sekarang sudah hampir setengah tiga!" seru Tiano meraih botol minum di atas meja. Sora diam membisu. Jemarinya pun juga berhenti mengetik, sampai akhirnya Tiano duduk di sampingnya. "Tidur, jangan terlalu menomor satukan pekerjaan se
"Sora, nanti jadi kan? Aku sudah bilang Boss-ku kalau kau ikut bekerja denganku." Rachel mendekati Sora yang kini berdiri mengantre makan siang dengannya.Sora pun mengangguk dengan pelan. "Jadi. Aku tidak peduli meskipun Tiano melarangku, aku tidak betah rasanya. Bukannya aku kurang bersyukur karena dia sangat baik padaku Rachel, tapi aku tidak bisa hidup di dalam sangkar seperti ini." Rachel menatapnya sedih. "Heem, aku tahu bagaimana perasaanmu." Anggukan Sora berikan, gadis itu kembali menatap sahabatnya dan mereka kini pun bergegas memesan makan siang. Sora dan Rachel sibuk membicarakan pekerjaan mereka nanti. Sora antusias dan ia sangat tidak sabar mengumpulkan banyak uang untuk mengganti uangnya pada Tiano. "Biasanya kau pulang jam berapa?" tanya Sora pada Rachel. "Emmm, tidak terlalu malam kok. Pukul sepuluh kadang sudah diminta pulang, karena di sana kan pemiliknya juga sudah tua, jadi mereka peka kalau pegawainya juga butuh istirahat." Rachel terkekeh. Rasa tak sabar
Pukul sembilan malam Tiano pulang dari pertemuan dengan beberapa rekannya. Laki-laki itu menghubungi penjaga rumahnya dan benar saja penjaga mengatakan kalau Sora belum pulang sama sekali. Tiano sudah curiga dengan gelagat gadis itu, Sora yang terus menerus menentang dan ingin mendapat pekerjaan baru. "Dia pasti ikut dengan Rachel," gumam Tiano seraya berdecak. "Ke mana pula gadis itu bekerja!"Kali ini Tiano meraih ponselnya, ia kembali mencoba menghubungi Sora lagi, namun panggilannya tidak dijawab. Hal ini membuat Tiano mengumpat kesal. "Kau memang kadang membuat kesabaranku menipis, Sora," gumam Tiano kesal. Mau tidak mau Tiano menghubungi beberapa orang kantor dan menanyakan di mana Rachel bekerja sampingan, hingga akhirnya Tiano tahu di mana gadis itu berada. Tiano pun langsung menuju ke tempat yang diinformasikan oleh beberapa orang kantor padanya. Di sebuah rumah makan kecil di tepi jalan, tempat yang kini sudah sepi pengunjung karena sudah malam. Dan dengan jelas sekali
"Bu, Sora ingin pulang..." Sora berucap tanpa suara, gadis itu menekuk kedua lututnya duduk bersandar sembari menangis tak sudah-sudah. Gadis itu merasakan dirinya semakin hari semakin tersiksa. Sora memang sangat berterima kasih atas kebaikan hati Tiano, tapi Sora tidak bisa hidup seperti ini terus menerus. "Apa yang harus aku lakukan?" lirih Sora mengusap air matanya. Tiba-tiba ponsel milik Sora bergetar, di layar nampak sebuah pesan masuk tanpa nama. Sora meraih ponselnya dan ia membaca pesan itu. "Tino," gumamnya. Kembaran Tiano itu kini menelfonnya, barulah Sora menjawab panggilan tersebut. "Halo..." Sora memelankan suaranya. "Woi Sora! Tiano ada di rumah atau tidak?!" pekik Tino di balik panggilan itu. "Ti-Tiano?" "Heem, kau kenapa? Kau menangis ya?" tanya Tino di balik panggilan itu. "Kenapa kau menangis hah? Tiano macam-macam denganmu?" "Tidak Tino, aku tidak papa," jawab Sora berbohong. "Jangan bohong! Dari suaramu aku tahu kau menangis! Ada apa? Kenapa menangis?
Tino mengajak Sora pergi bersamanya ke suatu tempat. Mereka berdua pergi ke sebuah rumah makan mewah yang cukup jauh. Sora tidak menyangka kalau kembaran Tiano adalah sosok yang baik dan sangat friendly, tidak berlebihan dalam perasaan seperti Tiano. "Pesan makanan yang kau mau," ujar Tiano menyerahkan buku menu pada Sora. "Terima kasih, Tino..." "Heem, santai saja!" Tino mengeluarkan ponselnya dan meletakkannya di atas meja setelah membaca pesan dari Tiano yang memintanya untuk berhati-hati saat pergi bersama Sora. "Tiano ini berlebihan sekali denganmu," ujar Tino usai memesan makanan. "Kau tahu sendiri seperti apa kembaranmu itu," jawab Sora menggembungkan pipinya. "Dia tidak pernah memberikan aku naas untuk bebas. Tapi aku terus berusaha untuk bebas darinya." "Oh ya?" Tino terkekeh dengan ekspresi Sora yang sangat-sangat antusias. Gadis ini rupanya cukup gigih dan pintar, Sora yang tidak pernah memiliki perasaan aneh-aneh atau berprasangka buruk pada Tino sejak pertama ber
"Ingat kata-kataku tadi, Sora! Jangan lupa, okay!" Tino menatap Sora yang baru saja turun dari dalam mobilnya. Gadis cantik itu menganggukkan kepalanya dan tersenyum manis. "Iya Tino, jangan khawatir," jawab Sora begitu lembut. "Bagus!" Laki-laki itu muda itu mengacungkan jempolnya. "Kalau begitu aku pamit, kau cepat masuk ke rumah sebelum siluman Tiano itu mengamuk!" Mendengar julukan itu membuat Sora tertawa, ia melambaikan tangannya pada Tino yang bergegas pergi meninggalkannya saat itu juga. Sora mengembuskan napasnya panjang, gadis itu menepuk-nepuk dadanya sebelum kakinya melangkah berputar menatap ke arah rumah. Mobil berwarna putih sudah ada di depan sana, tandanya Tiano ada di rumah dan pasti dia sedang menunggu Sora untuk diomeli. "Apa dia sudah dari tadi?" gumam Sora lirih. Ia melangkah cepat menuju rumah, namun langkah Sora terhenti saat ia menaiki tangga teras. "Rumahmu sepi sekali, jadi asik berduaan, iya kan? Emmm... Tiano, ayo jalan-jalan lagi..." "Nanti dulu
Sebuah acara makan malam yang begitu yang begitu menyenangkan di musim dingin di kediaman keluarga Morgan. Meskipun hanya dengan anak dan menantunya yang berkumpul di sana, namun kebersamaan ini membuat Shela merasa senang dan bahagia. "Kalau seperti ini setiap hari, Mami akan senang sekali. Andai saja kalian mau membeli rumah di sekitar sini," ujar Shela mantap para anak-anaknya. "Kakak kan sudah tinggal sama Mami," jawab Tiana membantu Shela menyiapkan makanan di meja. "Kami akan sering-sering ke sini, Mi," sahut Irish. Shela mengangguk, wanita itu tersenyum manis pada mereka. Sadari mereka semua memiliki keputusan yang tepat untuk kehidupannya masing-masing. Meskipun para anak-anaknya sudah dewasa, namun di mata Shela mereka adalah anak kecil yang dulu dia asuh dan ditimang ke mana-mana sendirian. "Mamimu sangat takut kalian jarang berkunjung," ujar Sebastian yang duduk berhadapan dengan Shela. "Tentu saja! Mami kan sayang sama kita, Pi. Dari bayi juga cuma Mami yang merawa
Beberapa Bulan Kemudian...Waktu berjalan dengan sangat cepat, hari-hari yang dilalui penuh dengan kebahagiaan untuk Irish dan Tino. Apalagi kini mereka telah menjadi orang tua, setelah kemarin Irish melahirkan anak pertama mereka. Doa-doa yang setiap harinya dia panjatkan ternyata dikabulkan oleh Tuhan. Dia memiliki seorang anak perempuan yang sangat-sangat cantik. "Mereka bertiga seperti anak kembar, ya?" Irish terkekeh melihat putri kecilnya dibaringkan bersama dua anak Sora dan Tiano. Sora dan Tiano memiliki anak kembar laki-laki yang lahir dua minggu lebih dulu dari Irish. "Seperti aku dan Kakak dulu ini, aku perempuan sendiri, dua saudara kembarku laki-laki!" seru Tiana sembari duduk di samping Irish. "Tapi tetap saja! Yang nangisnya paling kenceng seperti Mamanya, tetap Arabelle!" sahut Tino kini menggendong Arabelle yang memeluk botol susu cokelat miliknya. Anak manis berusia hampir satu tahunan itu merengek-rengek ingin turun setelah dibuat menangis oleh Tino. Irish me
Kabar kehamilan Irish sudah diketahui oleh semua keluarga, tentu saja mereka semua bahagia. Bahkan di kemungkinan besar Irish dan Sora akan memiliki anak yang seumuran nantinya, hanya selisih satu bulan saja. Kini Irish berada di rumahnya, gadis itu baru saja menghubungi Sora dan Tiana, untuk memberikan kabar bahagia pada saudarinya kalau dia hamil. "Rish, kau sudah makan?" tanya Tino mendekati istrinya yang tengah rebahan di sofa yang berada ruang keluarga di lantai satu. Gadis itu menoleh dan menggelengkan kepalanya. "Tino... Aku tidak lapar, aku nanti bisa mual kalau makan terlalu banyak. Aku tidak mau," seru gadis itu menggelengkan kepalanya lagi. Tino pun tersenyum tipis dan menarik lengan gadis itu dengan pelan. "Makan sekarang, Sayang!" serunya dengan nada menekan dan memaksa. "Pemaksaan sekali, Tino..." gerutu Irish dengan wajah cemberutnya. "Aku mau makan, tapi suapi aku, ya!" "Iya! Aku akan menyuapimu. Sekarang ayo makan dulu," seru Tino lagi. Irish duduk dengan pel
Hari dengan hari berjalan jemu, Irish sering kali merasa kesepian beberapa waktu ini. Suaminya rupanya sangat sibuk, selalu pulang terlambat, dan pergi saat Irish masih tertidur. Bahkan di minggu ketiga di mana Tino selalu sibuk dengan pekerjaan di kantor milik Sebastian kini, Irish merasa benar-benar membutuhkannya di saat dia tidak sehat kondisi tubuhnya. Irish bangun pukul delapan pagi, dan hari ini Tino masih di rumah. Kesempatan yang baik untuk Irish berbincang dengannya. "Sayang..." Suara Irish memanggil dari luar di lantai dasar. Gadis itu mencari-cari, dia menuruni anak tangga dan memperhatikan sekitar yang sepi. Sampai akhirnya langkah Irish benar-benar terhenti di penghujung tangga. "Hari ini jadwal saya akan padat Pak Kyle, boleh diundur sampai hari Senin besok? Tidak ada waktu luang sama sekali, Minggu ini saya juga akan ke luar kota untuk mengecek proyek. Satu jam dari sekarang saya ada meeting!" Suara penuh riuh kesibukan itu membuat Irish kembali menelan kesediha
Keesokan paginya, Irish dan Tino asik menghabiskan waktu untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di kawasan Salzburg. Mereka menikmati momen berdua di sebuah taman yang sangat indah. "Andai saja liburannya bisa diperpanjang," ujar Irish menyandarkan kepalanya di pundak Tino. "Aku juga tidak ingin pulang," jawab laki-laki itu mengecup pucuk kepala Irish. "Heem, kita menikmati momen yang indah di sini." Irish mengembuskan napasnya pelan, ia beranjak dari duduknya dan berdiri di hadapan Tino, memegangi satu tangan Tino dan menatap sekitar. Sedangkan Tino masih selalu memperhatikan istrinya dengan tatapan kagum, ia yang selalu mencintai dan menyayangi Irish, tak mungkin bisa berpaling darinya. Sampai tiba-tiba sebuah bole menggelinding di bawah kaki Irish. Gadis itu menatap bola merah di bawah kakinya, sebelum ada seorang anak kecil perempuan yang baru saja bisa berjalan, menuju ke arahnya. "Wahhh, ini bola mi-milikmu ya?" Irish menekuk kedua lututnya dan mengulurkan tangannya me
Hari sudah malam, Tino kali ini bersama dengan Paman Caesar di sebuah rumah kaca setelah ia meninggalkan istrinya yang sibuk berjalan-jalan dengan Bibi Alpen dan juga sopirnya ke kota. Kini Tino berdua saja dengan Paman Caesar, laki-laki itu menuangkan sebuah minuman ke gelas berukuran kecil di hadapan Tino. "Huffttt... Aku tidak pernah menyangka kalau Irish akan memiliki suami sepertimu," ujar Paman Caesar tiba-tiba. "Kenapa begitu, Paman?" tanya Tino menatap laki-laki di depannya itu dengan tatapan tak biasa. Caesar menghela napasnya pelan. "Irish anak yang sangat aneh, Tino. Tidak mudah baginya untuk dekat dengan sembarang orang, Irish... Irish punya masa lalu yang buruk sekalipun dia anak orang terpandang. Makanya aku mengajukanmu, dari keluarga Morgan untuk menjadi suaminya. Aku tahu kau tidak akan menyakitinya." Tino sedikit tercubit dengan kata-kata Caesar barusan, karena pada awalnya dia tidak sebaik ini pada Irish. "Irish tidak gagap, Tino," ujar Caesar lagi. Detak jan
Tino dan Irish benar-benar bepergian bersama ke Salzburg. Mereka berdua sudah sampai di sana beberapa jam yang lalu, dan Paman Caesar lah orang yang menjemput mereka berdua saat ini. Sembari menunggu Paman Caesar, Irish melihat pemandangan sekitar yang memang sangat indah dan jauh dari hiruk pikuk seperti di kota asalnya. "Bagus ya, di sa-sana pegunungan kelihatan," ujar gadis itu menunjuk-nunjuk ke sana dan ke sini."Kau tidak pernah ke sini sama sekali, Sayang?" tanya Tino menatapnya. "Tidak, Mama dan Pa-papa yang sering ke sini. A-aku harus belajar yang gi-giat di rumah. Ja-jadi tidak pernah pergi ke ma-manapun." Tino yang mendengar itu merasa kasihan. Irish memang anak orang sangat terpandang, namun kehidupannya tidak seindah seperti yang Tino bayangkan. "Sekarang kan aku sudah mengajakmu ke sini," ujar laki-laki itu tersenyum. "Heem, tempat yang indah. Rasanya aku tidak mau pulang." Irish mengatakan tanpa gagap sedikitpun seraya memeluk Tino. Perasaan Tino menjadi sedikit
Pagi-pagi sekali Tino datang ke kediaman Sebastian. Ia ingin mengabari Papanya kalau dia ingin liburan beberapa hari di Austria. Sebelumnya Irish terlihat sangat cemas, sepanjang perjalanan mengunjungi kediaman mertuanya, gadis itu terus mengoceh panik kalau Sebastian diam mengizinkan Tino. "Tumben datang ke sini? Biasanya juga sibuk sendiri-sendiri, sampai istri dikurung di rumah!" Kalimat sarkastik itu terucap dari bibir Tiano, yang ternyata sedang datang berkunjung. "Apa kau tidak punya cermin?! Kau sendiri juga tidak akan datang ke sini kalau tidak ditelfon dulu! Memang kau ini tipe-tipe seleb!" maki Tino duduk di sofa bersama istrinya. Irish nampak begitu senang akhirnya ia bertemu lagi dengan Sora, mereka berdua seolah mempunyai dunia sendiri dan berbincang kesenangan menceritakan banyak hal. "Tino, Irish, sebentar lagi kalian akan punya keponakan baru," ujar Shela menatap Tino. "Ke-keponakan baru?" Irish mengerjap bingung. "Iya Sayang, Irish sedang hamil sekarang." Shela
Beberapa hari berlalu, Irish sangat bekerja keras untuk mempersiapkan penampilannya dalam acara sebuah pertunjukan. Hari yang dia tunggu-tunggu pun akhirnya datang. Gadis itu sangat gugup, ia berada di belakang panggung pertunjukan sendirian. Irish perlu menenangkan diri sebelum keluar bersama beberapa temannya. "Huufffttt... Rasanya gu-gugup sekali!" Irish menepuk dadanya berkali-kali dan menarik napasnya dalam-dalam. "Bagaimana ini, bagaimana nanti kalau aku jatuh tiba-tiba?" Wajah Irish menjadi cemberut, gadis itu memainkan jemarinya di lantai sebelum ia merasakan seseorang menyentuh pipinya dari belakang. "Eh..." Irish mendongakkan kepalanya menatap siapa seseorang itu. Ternyata suaminya yang datang, Tino memberikan sebotol air mineral padanya. "Kenapa malah diam di sini, hem?" Tino ikut menekuk lututnya di samping Irish. "Aku masih mengumpulkan keberanian," jawab gadis itu. "Hemm? Mengumpulkan keberanian, kenapa? Kau tidak tampil sendirian. Ada beberapa temanmu yang ikut