Acara pernikahan berjalan dengan baik di hari yang cerah. Seperti yang Aldrich inginkan selama ini, dia berhasil pada satu misi di hidupnya, yaitu mendapatkan Tiana untuk menjadi miliknya seumur hidup. Mereka kini sudah menjadi pasangan yang resmi, di usia yang masih sangat-sangat muda. Tiana merasakan seperti ada sesuatu yang hilang pada dirinya setelah ia menjadi istri Aldrich beberapa menit yang lalu. Gadis itu diam menundukkan kepalanya di tengah acara pesta. "Kenapa?" tanya Aldrich menatap Tiana yang diam. Tiana mengangkat wajahnya. "Seperti ada yang lain, seperti ada yang hilang dari Tiana," jawabnya sembari tersenyum. Aldrich terkekeh pelan, ia mengusap punggung Tiana dengan lembut. "Kau tetap menjadi anak Mami dan Papi, tetap menjadi kembaran Tino dan Tiano seperti biasanya. Hanya saja, ada aku sebagai orang baru dalam hidup kalian. Dan, tanggung jawab Papi sekarang pindah ke tanganku." Tiana mengangguk patuh, dia merapikan gaun pengantinnya dan menatap semua tamu di sa
Pukul dua dini hari Tiana terbangun dari tidurnya. Gadis itu mengeliat di atas ranjang sembari mendusal dalam pelukan Aldrich. Tiana membuka kedua matanya, pandangannya yang buram membuat ia mencari-cari kaca matanya yang entah kini ada di mana. "Apa jangan-jangan ketinggalan ya?" lirih Tiana nyaris tak bersuara. Dengan sangat pelan ia melepaskan pelukan Aldrich, perlahan Tiana merayapkan tangannya di atas nakas berniat mencari kaca matanya. Tiana turun dari atas ranjang, di dalam kamar yang minim cahaya dan pandangannya yang buram membuat Tiana kesusahan melihat segalanya. "Aduhh..!" Gadis itu memekik sakit saat terjatuh entah tersandung sesuatu. "Tiana!" Aldrich langsung terbangun mendengar pekikan keras istrinya. Laki-laki itu menyalakan penerangan kamar dan melihat Tiana duduk di lantai memegangi lututnya. "Ya ampun, mau ke mana Sayang?" tanya laki-laki itu mendekatinya. "Kaca mata punya Tiana ketinggalan, ya?" tanya gadis itu memegangi lengan Aldrich. "Tidak. Aku menyimp
"Eunghh... Aldrich." Lenguhan kecil terdengar dari bibir Tiana, gadis itu membuka kedua matanya pelan saat merasakan gerah di sekujur tubuhnya. Pelukan hangat dan erat melilit tubuh Tiana yang kini terasa sangat-sangat lelah. Ia merasakan pelukan Aldrich kian erat padanya, sebelum sebuah kecupan mendarat di wajah Tiana. "Terima kasih banyak, Sayang," bisik Aldrich tersenyum hangat. Tiana sudah berkali-kali mendengar kata terima kasih dari bibir suaminya sejak tadi. "Capek tahu, Aldrich..." Tiana cemberut dan menarik tinggi-tinggi selimutnya menutup tubuhnya yang polos. "Maaf Sayang." Aldrich tersenyum gemas. Masih terekam jelas di ingatannya begitu Tiana menangis memeluknya hingga semuanya berakhir dengan penuh cinta. Aldrich berbaring di sampingnya dengan tubuhnya dibalut kimono berwarna putih. Laki-laki itu menyangga kepala dan mengusap-usap pipi Tiana yang memerah. "Jam berapa ini?" tanya Tiana mengerjap. "Sembilan," jawab laki-laki itu tanpa membuang tatapannya dari waj
Tiana bangun tidur di sore hari, gadis itu berjalan perlahan keluar dari dalam kamar. Rumah sangat sepi saat ini dan Tiana bangun tanpa Aldrich di sampingnya. Langkah Tiana yang sangat lamban menuruni anak tangga. Di sana Tiana melihat suaminya yang duduk di sofa ruang tamu, Aldrich meluruskan kedua kakinya di atas meja, mendongakkan kepala menutup dengan lengan kanannya yang tertekuk di atas muka. "Dia pasti lelah," gumam Tiana mendekat. Gadis itu mengulurkan tangannya menyentuh kepala Aldrich dengan lembut hingga sukses membuat sang empu terkejut. "Astaga, Sayang..." Laki-laki itu membuka matanya. Tiana tersenyum manis, wajahnya kini sudah terlihat segar. Dia menundukkan kepalanya mengecup pipi Aldrich. "Capek ya? Tiana tidak bantu-bantu tadi," ujar Tiana memutar sofa dan berdiri di hadapan Aldrich. "Tidak papa. Tino baru saja pulang," balas Aldrich. "Kak Tino?!" "Heemmm, dia ke sini mengantarkan berkas yang dibawa Om Vir. Sejak tadi siang dia di sini mengerjakan dokumen Ba
"Aldrich besok mau ke kantor, ya? Tidak jadi libur satu minggu?" Pertanyaan itu terlontar dari Tiana yang sedang duduk di tepi ranjang menatap suaminya. Aldrich menoleh dan tersenyum tipis seraya menyunggar rambut cokelatnya di depan cermin. "Mungkin hanya meeting saja, setelah itu aku langsung pulang, Sayang. Kenapa memangnya?" tanya Aldrich berbalik berjalan mendekati Tiana. Tatapan mata Tiana yang sayu membuat telapak tangan Aldrich melekat menangkup satu pipi wanitanya. Aldrich mengelusnya dengan ibu jari secara lembut. "Tiana di rumah sendirian dong..." "Ikut saja bagaimana? Nanti diam di dalam ruanganku, pulangnya kita jalan-jalan, bagaimana?" tawar suaminya. "Semua orang nanti lihatin Tiana terus." Cemberut gadis itu. Aldrich terkekeh, ia membungkukkan badannya dan menarik lepas kaca mata yang Tiana pakai. Laki-laki itu semakin mendekatkan wajahnya hingga terasa hangat embusan napas yang menyapu kulit pipi Tiana. "Biar saja semua orang melihat, kau kan memang istriku.
Setelah menunggu beberapa menit bersama Misora di dalam ruangan, Tiana kini mengajak teman barunya itu keluar sebentar. "Saya tidak berani keluar dari sini, nanti Pak Tiano akan marah Nyonya Tiana," ujar Sora, dia mencekal pergelangan tangan Tiana. "Tidak akan, tenang saja... Ayolah, kita makan siang di kantin yuk! Kalau menunggu mereka selesai meeting, kita bisa mati kelaparan, Sora!" seru Tiana menarik lengan Sora. Mau tidak mau Sora pun langsung ikut dengan Tiana. Mereka berdua berjalan keluar dari dalam ruangan tersebut dan menuju ke lantai dasar. Tiana kelaparan kalau harus makan siang menunggu Aldrich yang tidak kunjung kembali. Aldrich dan Tiano, mereka pasti kalau meeting sampai ke akar-akarnya akan dibahas. "Sora, kau benar-benar dari Jepang, ya?" tanya Tiana kini berjalan berdampingan dengan gadis itu. "Betul Nyonya, Mama dan Papa saya asli orang Jepang, lalu Papa meninggal dan Mama menikah lagi, kita pindah ke Inggris saat saya berusia lima tahun, tapi saat saya sekol
"Al, kenapa dari tadi Oma telepon tidak dijawab-jawab! Dari mana saja kau ini, hah?!" Suara Karen terdengar memarahi Cucu laki-lakinya. Aldrich mendengkus pelan mendengar omelan sang Nenek. "Aku baru saja mengajak Tiana jalan-jalan, ada apa sih Oma?" Aldrich melepaskan tuxedo hitamnya dan ia duduk di sofa kamar. "Jalan-jalan? Bukannya pagi tadi waktu Oma telpon katanya kau meeting..." "Iya pagi siang tadi, sorenya kan sudah selesai." Aldrich menoleh ke pintu kamar mandi, Tiana berjalan keluar dengan pakaiannya yang sudah diganti dan tubuh segarnya. Gadis itu menatap Aldrich yang tengah bertelepon dengan Neneknya. "Setelah pulang kerja itu ya pulang ke rumah! Istirahat, bukannya malah pergi. Itu hanya menambah lelahmu saja!" omel Karen, dia kadang menyebalkan sama seperti Roghan. "Ck! Sudahlah Oma..." "Jangan terlalu memanjakan Tiana! Kalau kau tidak melatihnya, kapan dia akan dewasa?! Kau akan lelah sendiri diakali terus oleh gadis yang kekanakan. Oma tahu dia gadis yang sang
Tiana di rumah sendiri hari ini, ia harus membiasakan diri dan berani sendirian di rumah. Aldrich mengajarkan padanya untuk menganggap rumah besar itu sebagai miliknya agar dia tidak takut.Dan kini Tiana membersihkan beberapa ruangan-ruangan megah dan besar di lantai satu. Sampai dia menemukan ruangan berdiri penuh dengan foto-foto keluarga yang dipajang di sepanjang dinding. "Wahhh, ini keluarga besar Aldrich? Dari Nenek, Kakeknya ya?" gumam Tiana menatap semuanya satu persatu. "Emm, ini kan Aldrich, dengan siapa?" gumam lirih Tiana melihat foto Aldrich saat masih remaja dulu bersama seorang gadis yang memeluk lengannya dan tersenyum manis. Tiana mendekat, menyamakan wajah gadis itu dengan keluarga yang lainnya, tidak ada yang sama. Bahkan rambut gadis itu berwarna pirang, keluarga Hubert keturunan asli dari Belanda, tidak memiliki keturunan berambut pirang. "Siapa ya? Kenapa Aldrich tidak pernah bercerita padaku?" Tiana kembali merapikan ruangan tersebut, ia membersihkan lemar
Sebuah acara makan malam yang begitu yang begitu menyenangkan di musim dingin di kediaman keluarga Morgan. Meskipun hanya dengan anak dan menantunya yang berkumpul di sana, namun kebersamaan ini membuat Shela merasa senang dan bahagia. "Kalau seperti ini setiap hari, Mami akan senang sekali. Andai saja kalian mau membeli rumah di sekitar sini," ujar Shela mantap para anak-anaknya. "Kakak kan sudah tinggal sama Mami," jawab Tiana membantu Shela menyiapkan makanan di meja. "Kami akan sering-sering ke sini, Mi," sahut Irish. Shela mengangguk, wanita itu tersenyum manis pada mereka. Sadari mereka semua memiliki keputusan yang tepat untuk kehidupannya masing-masing. Meskipun para anak-anaknya sudah dewasa, namun di mata Shela mereka adalah anak kecil yang dulu dia asuh dan ditimang ke mana-mana sendirian. "Mamimu sangat takut kalian jarang berkunjung," ujar Sebastian yang duduk berhadapan dengan Shela. "Tentu saja! Mami kan sayang sama kita, Pi. Dari bayi juga cuma Mami yang merawa
Beberapa Bulan Kemudian...Waktu berjalan dengan sangat cepat, hari-hari yang dilalui penuh dengan kebahagiaan untuk Irish dan Tino. Apalagi kini mereka telah menjadi orang tua, setelah kemarin Irish melahirkan anak pertama mereka. Doa-doa yang setiap harinya dia panjatkan ternyata dikabulkan oleh Tuhan. Dia memiliki seorang anak perempuan yang sangat-sangat cantik. "Mereka bertiga seperti anak kembar, ya?" Irish terkekeh melihat putri kecilnya dibaringkan bersama dua anak Sora dan Tiano. Sora dan Tiano memiliki anak kembar laki-laki yang lahir dua minggu lebih dulu dari Irish. "Seperti aku dan Kakak dulu ini, aku perempuan sendiri, dua saudara kembarku laki-laki!" seru Tiana sembari duduk di samping Irish. "Tapi tetap saja! Yang nangisnya paling kenceng seperti Mamanya, tetap Arabelle!" sahut Tino kini menggendong Arabelle yang memeluk botol susu cokelat miliknya. Anak manis berusia hampir satu tahunan itu merengek-rengek ingin turun setelah dibuat menangis oleh Tino. Irish me
Kabar kehamilan Irish sudah diketahui oleh semua keluarga, tentu saja mereka semua bahagia. Bahkan di kemungkinan besar Irish dan Sora akan memiliki anak yang seumuran nantinya, hanya selisih satu bulan saja. Kini Irish berada di rumahnya, gadis itu baru saja menghubungi Sora dan Tiana, untuk memberikan kabar bahagia pada saudarinya kalau dia hamil. "Rish, kau sudah makan?" tanya Tino mendekati istrinya yang tengah rebahan di sofa yang berada ruang keluarga di lantai satu. Gadis itu menoleh dan menggelengkan kepalanya. "Tino... Aku tidak lapar, aku nanti bisa mual kalau makan terlalu banyak. Aku tidak mau," seru gadis itu menggelengkan kepalanya lagi. Tino pun tersenyum tipis dan menarik lengan gadis itu dengan pelan. "Makan sekarang, Sayang!" serunya dengan nada menekan dan memaksa. "Pemaksaan sekali, Tino..." gerutu Irish dengan wajah cemberutnya. "Aku mau makan, tapi suapi aku, ya!" "Iya! Aku akan menyuapimu. Sekarang ayo makan dulu," seru Tino lagi. Irish duduk dengan pel
Hari dengan hari berjalan jemu, Irish sering kali merasa kesepian beberapa waktu ini. Suaminya rupanya sangat sibuk, selalu pulang terlambat, dan pergi saat Irish masih tertidur. Bahkan di minggu ketiga di mana Tino selalu sibuk dengan pekerjaan di kantor milik Sebastian kini, Irish merasa benar-benar membutuhkannya di saat dia tidak sehat kondisi tubuhnya. Irish bangun pukul delapan pagi, dan hari ini Tino masih di rumah. Kesempatan yang baik untuk Irish berbincang dengannya. "Sayang..." Suara Irish memanggil dari luar di lantai dasar. Gadis itu mencari-cari, dia menuruni anak tangga dan memperhatikan sekitar yang sepi. Sampai akhirnya langkah Irish benar-benar terhenti di penghujung tangga. "Hari ini jadwal saya akan padat Pak Kyle, boleh diundur sampai hari Senin besok? Tidak ada waktu luang sama sekali, Minggu ini saya juga akan ke luar kota untuk mengecek proyek. Satu jam dari sekarang saya ada meeting!" Suara penuh riuh kesibukan itu membuat Irish kembali menelan kesediha
Keesokan paginya, Irish dan Tino asik menghabiskan waktu untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di kawasan Salzburg. Mereka menikmati momen berdua di sebuah taman yang sangat indah. "Andai saja liburannya bisa diperpanjang," ujar Irish menyandarkan kepalanya di pundak Tino. "Aku juga tidak ingin pulang," jawab laki-laki itu mengecup pucuk kepala Irish. "Heem, kita menikmati momen yang indah di sini." Irish mengembuskan napasnya pelan, ia beranjak dari duduknya dan berdiri di hadapan Tino, memegangi satu tangan Tino dan menatap sekitar. Sedangkan Tino masih selalu memperhatikan istrinya dengan tatapan kagum, ia yang selalu mencintai dan menyayangi Irish, tak mungkin bisa berpaling darinya. Sampai tiba-tiba sebuah bole menggelinding di bawah kaki Irish. Gadis itu menatap bola merah di bawah kakinya, sebelum ada seorang anak kecil perempuan yang baru saja bisa berjalan, menuju ke arahnya. "Wahhh, ini bola mi-milikmu ya?" Irish menekuk kedua lututnya dan mengulurkan tangannya me
Hari sudah malam, Tino kali ini bersama dengan Paman Caesar di sebuah rumah kaca setelah ia meninggalkan istrinya yang sibuk berjalan-jalan dengan Bibi Alpen dan juga sopirnya ke kota. Kini Tino berdua saja dengan Paman Caesar, laki-laki itu menuangkan sebuah minuman ke gelas berukuran kecil di hadapan Tino. "Huffttt... Aku tidak pernah menyangka kalau Irish akan memiliki suami sepertimu," ujar Paman Caesar tiba-tiba. "Kenapa begitu, Paman?" tanya Tino menatap laki-laki di depannya itu dengan tatapan tak biasa. Caesar menghela napasnya pelan. "Irish anak yang sangat aneh, Tino. Tidak mudah baginya untuk dekat dengan sembarang orang, Irish... Irish punya masa lalu yang buruk sekalipun dia anak orang terpandang. Makanya aku mengajukanmu, dari keluarga Morgan untuk menjadi suaminya. Aku tahu kau tidak akan menyakitinya." Tino sedikit tercubit dengan kata-kata Caesar barusan, karena pada awalnya dia tidak sebaik ini pada Irish. "Irish tidak gagap, Tino," ujar Caesar lagi. Detak jan
Tino dan Irish benar-benar bepergian bersama ke Salzburg. Mereka berdua sudah sampai di sana beberapa jam yang lalu, dan Paman Caesar lah orang yang menjemput mereka berdua saat ini. Sembari menunggu Paman Caesar, Irish melihat pemandangan sekitar yang memang sangat indah dan jauh dari hiruk pikuk seperti di kota asalnya. "Bagus ya, di sa-sana pegunungan kelihatan," ujar gadis itu menunjuk-nunjuk ke sana dan ke sini."Kau tidak pernah ke sini sama sekali, Sayang?" tanya Tino menatapnya. "Tidak, Mama dan Pa-papa yang sering ke sini. A-aku harus belajar yang gi-giat di rumah. Ja-jadi tidak pernah pergi ke ma-manapun." Tino yang mendengar itu merasa kasihan. Irish memang anak orang sangat terpandang, namun kehidupannya tidak seindah seperti yang Tino bayangkan. "Sekarang kan aku sudah mengajakmu ke sini," ujar laki-laki itu tersenyum. "Heem, tempat yang indah. Rasanya aku tidak mau pulang." Irish mengatakan tanpa gagap sedikitpun seraya memeluk Tino. Perasaan Tino menjadi sedikit
Pagi-pagi sekali Tino datang ke kediaman Sebastian. Ia ingin mengabari Papanya kalau dia ingin liburan beberapa hari di Austria. Sebelumnya Irish terlihat sangat cemas, sepanjang perjalanan mengunjungi kediaman mertuanya, gadis itu terus mengoceh panik kalau Sebastian diam mengizinkan Tino. "Tumben datang ke sini? Biasanya juga sibuk sendiri-sendiri, sampai istri dikurung di rumah!" Kalimat sarkastik itu terucap dari bibir Tiano, yang ternyata sedang datang berkunjung. "Apa kau tidak punya cermin?! Kau sendiri juga tidak akan datang ke sini kalau tidak ditelfon dulu! Memang kau ini tipe-tipe seleb!" maki Tino duduk di sofa bersama istrinya. Irish nampak begitu senang akhirnya ia bertemu lagi dengan Sora, mereka berdua seolah mempunyai dunia sendiri dan berbincang kesenangan menceritakan banyak hal. "Tino, Irish, sebentar lagi kalian akan punya keponakan baru," ujar Shela menatap Tino. "Ke-keponakan baru?" Irish mengerjap bingung. "Iya Sayang, Irish sedang hamil sekarang." Shela
Beberapa hari berlalu, Irish sangat bekerja keras untuk mempersiapkan penampilannya dalam acara sebuah pertunjukan. Hari yang dia tunggu-tunggu pun akhirnya datang. Gadis itu sangat gugup, ia berada di belakang panggung pertunjukan sendirian. Irish perlu menenangkan diri sebelum keluar bersama beberapa temannya. "Huufffttt... Rasanya gu-gugup sekali!" Irish menepuk dadanya berkali-kali dan menarik napasnya dalam-dalam. "Bagaimana ini, bagaimana nanti kalau aku jatuh tiba-tiba?" Wajah Irish menjadi cemberut, gadis itu memainkan jemarinya di lantai sebelum ia merasakan seseorang menyentuh pipinya dari belakang. "Eh..." Irish mendongakkan kepalanya menatap siapa seseorang itu. Ternyata suaminya yang datang, Tino memberikan sebotol air mineral padanya. "Kenapa malah diam di sini, hem?" Tino ikut menekuk lututnya di samping Irish. "Aku masih mengumpulkan keberanian," jawab gadis itu. "Hemm? Mengumpulkan keberanian, kenapa? Kau tidak tampil sendirian. Ada beberapa temanmu yang ikut