Meeting telah berakhir setengah jam yang lalu. Di dalam sebuah ruangan hanya ada Aldrich, Sebastian, dan juga Ferdi. Mereka baru saja membahas sebuah proyek penting yang akan mereka kerjakan di bulan-bulan ini. Aldrich mengusap wajahnya pelan, menjelang hari pernikahannya banyak sekali pekerjaan, dan waktunya dengan Tiana pun juga berkurang. "Biar Opa yang membawa dokumen hasil keputusan persetujuan, nanti akan Opa minta orang-orang kepercayaan Opa untuk mengerjakannya. Sisanya kau tangani dengan Papa mertuamu," ujar Ferdi meraih beberapa berkas. "Iya Opa. Tapi aku mungkin masih belum bisa menyelesaikan semua ini dalam satu Minggu ini." Aldrich menatap frustrasi tumpukan berkas di depannya. Melihat ekspresi Aldrich yang tertekan membuat Sebastian tertawa. "Al, urus saja keperluan pribadimu mana yang penting untuk bulan ini. Biar Papi sama Om Vir yang menangani urusan kantor. Kan Papi sudah bilang, menjelang pernikahanmu, kau sibuk. Iya kalau Papi sibuk, ada Mami Shela yang jadi b
Usai membersihkan tubuhnya, Aldrich langsung bergegas ke lantai satu di mana Tiana sedang menunggunya untuk makan malam bersama. Gadis itu tengah menyiapkan nasi dan lauk untuknya. "Sudah selesai," ujar Tiana begitu Aldrich mendekat. "Heem," jawabnya bergumam. Tiana tersenyum manis dan ia duduk berhadapan dengan calon suaminya tersebut. Baru Aldrich sadari kalau meja makannya kini dihias seolah-olah seperti rumah makan megah. Lilin hias, bunga-bunga, dan makanan yang lezat terhidang. "Ide siapa semuanya ini, Sayang?" tanya Aldrich tersenyum gemas. "Tentu saja ideku sendiri! Karena aku tahu kau pasti lelah kalau aku ingin mengajakmu dinner di luar. Jadi kita dinner di rumah saja, kan sama saja seperti makan malam di luar dengan hiasan seperti ini. Apalagi ini masakan spesial dariku, untuk calon suamiku yang baik!" seru Tiana berbunga-bunga. Wajah Aldrich menjadi teduh, ia tidak bisa mengungkapkan rasa terima kasihnya karena telah memiliki seorang wanita seperti Tiana. "Aku tid
"Papa dan Mama tidak pulang?! Sepuluh hari lagi aku dan Tiana akan menikah, bagaimana kalau kalian tidak datang?!" Aldrich marah-marah pada Papanya melalui sambungan telepon. Ia sengaja keluar dan duduk di teras samping rumah, karena tidak mau Tiana bangun hanya mendengar obrolan pertengkaran tersebut. "Papa sibuk, Aldrich! Kalau sempat Papa ke sana, kalau tidak biar Papa meminta seseorang untuk datang." "Pa! Aku ini anakmu, Pa! Bagaimana bisa Papa sejauh ini..."Aldrich tidak mampu berkata-kata, dia mengusap wajahnya dan tertunduk putus asa. Padahal mulanya dia pikir Papanya akan memudahkan ia dan Tiana setelah terlepasnya dari perjodohan dengan Sarah. Beberapa orang kepercayaannya Aldrich di dalam bisnis pun sampai Aldrich berikan pelukan besar bekerja sama dengan Papanya setelah Ayah Sarah memutuskan untuk tidak lagi bekerja sama. Malah perusahaan milik Papa Aldrich berjalan lebih lancar sekarang ini dibandingkan kapan hari. "Aku tidak tahu harus membujuk Papa yang bagaimana l
"Heh, Lalat Buah... Semalam kau tidak macam-macam dengan adikku, kan?!" Tatapan tajam Tino tertuju pada Aldrich yang duduk di depannya. Di samping Aldrich ada Tiano yang memangku laptop. Aldrich mendengkus kesal. "Tanyakan sendiri pada adik kembaranmu. Aku apakan dia," seru Aldrich menjawabnya. "Halah wajah-wajah suka mencari kesempatan dalam kesempitan, sudah terlihat!" seru Tino menuduhnya. "Kau sendiri, ke Italia ngapain? Ngurung anak orang ya, kabarnya?" sindir Aldrich. Tiano langsung menoleh. "Ngurung anak orang?" "Tidak! Jangan dengarkan Lalat Buah!" pekik Tino mengelak. Aldrich langsung tertawa, mereka yang seumuran adik bagi Aldrich sangat lucu bila dalam keributan seperti ini. Sampai akhirnya muncul Tiana membawa sebuah nampan berisi camilan dan jus. Gadis itu langsung mengambil posisi duduk di samping Aldrich, bersandar di lengan calon suaminya. "Kakak nanti berangkat lagi, Tiana. Papi dan Mami belum kembali, ikut dengan Aldrich lagi ya," ujar Tino. Kedua mata Tian
Hari-hari berjalan dengan cepat sesuai dengan yang Aldrich inginkan. Pernikahannya dengan Tiana tinggal menghitung hari dan semua persiapan pun sudah selesai. Malam ini Aldrich tengah bersama beberapa teman-temannya di kediamannya merayakan pesta lajang. Ia tidak membuat acara di mana-mana. "Jangan sampai mabuk, Al! Aku adukan Tiana, mampus kau!" Tino menyahuti dengan ekspresi mengejek. Diiringi suara tawa Tiano dan tiga pemuda lainnya. "Aldrich pernah mabuk dan membuat onar. Jangan diulangi lagi momen memalukan itu!" sahut Samuel mengangkat botolnya. Aldrich mendengkus kesal. "Aku yang sekarang tidak semudah itu mabuk ya, sialan!" "Gini nih kalau menikah sama kembaran teman sendiri! Ulah dikit saja diaduin, begini sedikit diaduin!" sahut Arven seraya mengepulkan asap rokoknya. "Itu risiko, bro!" Tiano terkekeh menyahut kotak rokok di hadapannya. Carrel menyandarkan punggungnya pada Tino dan ia sudah mabuk sejak tadi. Di kediaman itu tidak hanya ada para lelaki, namun juga a
Tiana tidur bersama dengan Emma semalam. Bahkan hingga larut malam mereka masih berbincang dan bercerita sampai-sampai pagi ini Tiana belum bangun hingga pukul enam. Dengan langkah mengendap-endap, Aldrich masuk ke dalam kamar Mamanya dan mengunci pintunya dari dalam. Ia terkekeh melihat Tiana yang diselimuti hangat-hangat oleh Emma. "Pagi Sayang... Kau tidak bangun?" Aldrich berbaring dan memeluk Tiana. Gadis itu menarik selimutnya dan malah mendusal dalam dekapan Aldrich. "Semalam diajak dongeng sama Mama? Sampai-sampai masih ngantuk, hem?" tanya Aldrich merapikan anak rambut di wajah Tiana. "Diam! Aku masih marah," ujar Tiana membungkam bibir Aldrich dengan mata yang masih terpejam.Aldrich mengembuskan napasnya pelan, ia pikir perkara semalam Tiana lupa. Bahkan setelah ditinggal tidurpun, belum sepenuhnya bangun, dia masih ingat. Memang wanita mempunyai ingatan yang tinggi, apalagi kalau pasangannya berbuat salah, beginilah Aldrich saat Tiana marah. Seperti bocah kebingungan
Hari sudah malam, di kediaman Sebastian sangat ramai besok acara pernikahan Tiana. Meskipun dilaksanakan di sebuah hotel, namun beberapa rekan Sebastian dan Shela berkumpul di rumah. Di antara semua orang yang ada, Tiana tidak menemukan kembarannya, Tiano. Dia duduk sendirian di teras belakang. "Tiano," sapa Tiana berjalan mendekatinya. Tiano menoleh dan tersenyum. "Sini Sayang," panggilnya, dia begitu perhatian dan lembut pada Mami dan Adik kembarannya. Tiana mendekat dan duduk memeluknya. "Kak Tiano kenapa duduk di sini sendirian? Ada masalah ya? Soal pekerjaan tadi?" desak Tiana mendongak memasang wajah sedih. Laki-laki itu mengangguk. "Seseorang menghancurkan karierku, Tiana." "Hah? Si-siapa?" "Seseorang yang menuduhku menghabisi istrinya. Padahal waktu itu aku..." Tiano terdiam menggantunh ucapannya. "Jelas-jelas bukan aku yang menabrak wanita itu. Tapi mereka menuduhku dan tidak ada orang yang membelaku di pusat. Mereka seperti persekongkolan yang memang ingin menendangku
Acara pernikahan berjalan dengan baik di hari yang cerah. Seperti yang Aldrich inginkan selama ini, dia berhasil pada satu misi di hidupnya, yaitu mendapatkan Tiana untuk menjadi miliknya seumur hidup. Mereka kini sudah menjadi pasangan yang resmi, di usia yang masih sangat-sangat muda. Tiana merasakan seperti ada sesuatu yang hilang pada dirinya setelah ia menjadi istri Aldrich beberapa menit yang lalu. Gadis itu diam menundukkan kepalanya di tengah acara pesta. "Kenapa?" tanya Aldrich menatap Tiana yang diam. Tiana mengangkat wajahnya. "Seperti ada yang lain, seperti ada yang hilang dari Tiana," jawabnya sembari tersenyum. Aldrich terkekeh pelan, ia mengusap punggung Tiana dengan lembut. "Kau tetap menjadi anak Mami dan Papi, tetap menjadi kembaran Tino dan Tiano seperti biasanya. Hanya saja, ada aku sebagai orang baru dalam hidup kalian. Dan, tanggung jawab Papi sekarang pindah ke tanganku." Tiana mengangguk patuh, dia merapikan gaun pengantinnya dan menatap semua tamu di sa
Sebuah acara makan malam yang begitu yang begitu menyenangkan di musim dingin di kediaman keluarga Morgan. Meskipun hanya dengan anak dan menantunya yang berkumpul di sana, namun kebersamaan ini membuat Shela merasa senang dan bahagia. "Kalau seperti ini setiap hari, Mami akan senang sekali. Andai saja kalian mau membeli rumah di sekitar sini," ujar Shela mantap para anak-anaknya. "Kakak kan sudah tinggal sama Mami," jawab Tiana membantu Shela menyiapkan makanan di meja. "Kami akan sering-sering ke sini, Mi," sahut Irish. Shela mengangguk, wanita itu tersenyum manis pada mereka. Sadari mereka semua memiliki keputusan yang tepat untuk kehidupannya masing-masing. Meskipun para anak-anaknya sudah dewasa, namun di mata Shela mereka adalah anak kecil yang dulu dia asuh dan ditimang ke mana-mana sendirian. "Mamimu sangat takut kalian jarang berkunjung," ujar Sebastian yang duduk berhadapan dengan Shela. "Tentu saja! Mami kan sayang sama kita, Pi. Dari bayi juga cuma Mami yang merawa
Beberapa Bulan Kemudian...Waktu berjalan dengan sangat cepat, hari-hari yang dilalui penuh dengan kebahagiaan untuk Irish dan Tino. Apalagi kini mereka telah menjadi orang tua, setelah kemarin Irish melahirkan anak pertama mereka. Doa-doa yang setiap harinya dia panjatkan ternyata dikabulkan oleh Tuhan. Dia memiliki seorang anak perempuan yang sangat-sangat cantik. "Mereka bertiga seperti anak kembar, ya?" Irish terkekeh melihat putri kecilnya dibaringkan bersama dua anak Sora dan Tiano. Sora dan Tiano memiliki anak kembar laki-laki yang lahir dua minggu lebih dulu dari Irish. "Seperti aku dan Kakak dulu ini, aku perempuan sendiri, dua saudara kembarku laki-laki!" seru Tiana sembari duduk di samping Irish. "Tapi tetap saja! Yang nangisnya paling kenceng seperti Mamanya, tetap Arabelle!" sahut Tino kini menggendong Arabelle yang memeluk botol susu cokelat miliknya. Anak manis berusia hampir satu tahunan itu merengek-rengek ingin turun setelah dibuat menangis oleh Tino. Irish me
Kabar kehamilan Irish sudah diketahui oleh semua keluarga, tentu saja mereka semua bahagia. Bahkan di kemungkinan besar Irish dan Sora akan memiliki anak yang seumuran nantinya, hanya selisih satu bulan saja. Kini Irish berada di rumahnya, gadis itu baru saja menghubungi Sora dan Tiana, untuk memberikan kabar bahagia pada saudarinya kalau dia hamil. "Rish, kau sudah makan?" tanya Tino mendekati istrinya yang tengah rebahan di sofa yang berada ruang keluarga di lantai satu. Gadis itu menoleh dan menggelengkan kepalanya. "Tino... Aku tidak lapar, aku nanti bisa mual kalau makan terlalu banyak. Aku tidak mau," seru gadis itu menggelengkan kepalanya lagi. Tino pun tersenyum tipis dan menarik lengan gadis itu dengan pelan. "Makan sekarang, Sayang!" serunya dengan nada menekan dan memaksa. "Pemaksaan sekali, Tino..." gerutu Irish dengan wajah cemberutnya. "Aku mau makan, tapi suapi aku, ya!" "Iya! Aku akan menyuapimu. Sekarang ayo makan dulu," seru Tino lagi. Irish duduk dengan pel
Hari dengan hari berjalan jemu, Irish sering kali merasa kesepian beberapa waktu ini. Suaminya rupanya sangat sibuk, selalu pulang terlambat, dan pergi saat Irish masih tertidur. Bahkan di minggu ketiga di mana Tino selalu sibuk dengan pekerjaan di kantor milik Sebastian kini, Irish merasa benar-benar membutuhkannya di saat dia tidak sehat kondisi tubuhnya. Irish bangun pukul delapan pagi, dan hari ini Tino masih di rumah. Kesempatan yang baik untuk Irish berbincang dengannya. "Sayang..." Suara Irish memanggil dari luar di lantai dasar. Gadis itu mencari-cari, dia menuruni anak tangga dan memperhatikan sekitar yang sepi. Sampai akhirnya langkah Irish benar-benar terhenti di penghujung tangga. "Hari ini jadwal saya akan padat Pak Kyle, boleh diundur sampai hari Senin besok? Tidak ada waktu luang sama sekali, Minggu ini saya juga akan ke luar kota untuk mengecek proyek. Satu jam dari sekarang saya ada meeting!" Suara penuh riuh kesibukan itu membuat Irish kembali menelan kesediha
Keesokan paginya, Irish dan Tino asik menghabiskan waktu untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di kawasan Salzburg. Mereka menikmati momen berdua di sebuah taman yang sangat indah. "Andai saja liburannya bisa diperpanjang," ujar Irish menyandarkan kepalanya di pundak Tino. "Aku juga tidak ingin pulang," jawab laki-laki itu mengecup pucuk kepala Irish. "Heem, kita menikmati momen yang indah di sini." Irish mengembuskan napasnya pelan, ia beranjak dari duduknya dan berdiri di hadapan Tino, memegangi satu tangan Tino dan menatap sekitar. Sedangkan Tino masih selalu memperhatikan istrinya dengan tatapan kagum, ia yang selalu mencintai dan menyayangi Irish, tak mungkin bisa berpaling darinya. Sampai tiba-tiba sebuah bole menggelinding di bawah kaki Irish. Gadis itu menatap bola merah di bawah kakinya, sebelum ada seorang anak kecil perempuan yang baru saja bisa berjalan, menuju ke arahnya. "Wahhh, ini bola mi-milikmu ya?" Irish menekuk kedua lututnya dan mengulurkan tangannya me
Hari sudah malam, Tino kali ini bersama dengan Paman Caesar di sebuah rumah kaca setelah ia meninggalkan istrinya yang sibuk berjalan-jalan dengan Bibi Alpen dan juga sopirnya ke kota. Kini Tino berdua saja dengan Paman Caesar, laki-laki itu menuangkan sebuah minuman ke gelas berukuran kecil di hadapan Tino. "Huffttt... Aku tidak pernah menyangka kalau Irish akan memiliki suami sepertimu," ujar Paman Caesar tiba-tiba. "Kenapa begitu, Paman?" tanya Tino menatap laki-laki di depannya itu dengan tatapan tak biasa. Caesar menghela napasnya pelan. "Irish anak yang sangat aneh, Tino. Tidak mudah baginya untuk dekat dengan sembarang orang, Irish... Irish punya masa lalu yang buruk sekalipun dia anak orang terpandang. Makanya aku mengajukanmu, dari keluarga Morgan untuk menjadi suaminya. Aku tahu kau tidak akan menyakitinya." Tino sedikit tercubit dengan kata-kata Caesar barusan, karena pada awalnya dia tidak sebaik ini pada Irish. "Irish tidak gagap, Tino," ujar Caesar lagi. Detak jan
Tino dan Irish benar-benar bepergian bersama ke Salzburg. Mereka berdua sudah sampai di sana beberapa jam yang lalu, dan Paman Caesar lah orang yang menjemput mereka berdua saat ini. Sembari menunggu Paman Caesar, Irish melihat pemandangan sekitar yang memang sangat indah dan jauh dari hiruk pikuk seperti di kota asalnya. "Bagus ya, di sa-sana pegunungan kelihatan," ujar gadis itu menunjuk-nunjuk ke sana dan ke sini."Kau tidak pernah ke sini sama sekali, Sayang?" tanya Tino menatapnya. "Tidak, Mama dan Pa-papa yang sering ke sini. A-aku harus belajar yang gi-giat di rumah. Ja-jadi tidak pernah pergi ke ma-manapun." Tino yang mendengar itu merasa kasihan. Irish memang anak orang sangat terpandang, namun kehidupannya tidak seindah seperti yang Tino bayangkan. "Sekarang kan aku sudah mengajakmu ke sini," ujar laki-laki itu tersenyum. "Heem, tempat yang indah. Rasanya aku tidak mau pulang." Irish mengatakan tanpa gagap sedikitpun seraya memeluk Tino. Perasaan Tino menjadi sedikit
Pagi-pagi sekali Tino datang ke kediaman Sebastian. Ia ingin mengabari Papanya kalau dia ingin liburan beberapa hari di Austria. Sebelumnya Irish terlihat sangat cemas, sepanjang perjalanan mengunjungi kediaman mertuanya, gadis itu terus mengoceh panik kalau Sebastian diam mengizinkan Tino. "Tumben datang ke sini? Biasanya juga sibuk sendiri-sendiri, sampai istri dikurung di rumah!" Kalimat sarkastik itu terucap dari bibir Tiano, yang ternyata sedang datang berkunjung. "Apa kau tidak punya cermin?! Kau sendiri juga tidak akan datang ke sini kalau tidak ditelfon dulu! Memang kau ini tipe-tipe seleb!" maki Tino duduk di sofa bersama istrinya. Irish nampak begitu senang akhirnya ia bertemu lagi dengan Sora, mereka berdua seolah mempunyai dunia sendiri dan berbincang kesenangan menceritakan banyak hal. "Tino, Irish, sebentar lagi kalian akan punya keponakan baru," ujar Shela menatap Tino. "Ke-keponakan baru?" Irish mengerjap bingung. "Iya Sayang, Irish sedang hamil sekarang." Shela
Beberapa hari berlalu, Irish sangat bekerja keras untuk mempersiapkan penampilannya dalam acara sebuah pertunjukan. Hari yang dia tunggu-tunggu pun akhirnya datang. Gadis itu sangat gugup, ia berada di belakang panggung pertunjukan sendirian. Irish perlu menenangkan diri sebelum keluar bersama beberapa temannya. "Huufffttt... Rasanya gu-gugup sekali!" Irish menepuk dadanya berkali-kali dan menarik napasnya dalam-dalam. "Bagaimana ini, bagaimana nanti kalau aku jatuh tiba-tiba?" Wajah Irish menjadi cemberut, gadis itu memainkan jemarinya di lantai sebelum ia merasakan seseorang menyentuh pipinya dari belakang. "Eh..." Irish mendongakkan kepalanya menatap siapa seseorang itu. Ternyata suaminya yang datang, Tino memberikan sebotol air mineral padanya. "Kenapa malah diam di sini, hem?" Tino ikut menekuk lututnya di samping Irish. "Aku masih mengumpulkan keberanian," jawab gadis itu. "Hemm? Mengumpulkan keberanian, kenapa? Kau tidak tampil sendirian. Ada beberapa temanmu yang ikut