"Ibu berdoa semoga perkawinan kalian panjang, ibu setuju banget kalau sama Renata, sudah cantik, baik dan juga sayang sama anak-anak, itu poin paling pentingnya!""Bu ...." Arkan mencoba menyela."Iya, Alhamdulillah. Kami juga bahagia mendapatkan calon menantu seperti Nak Arkan, orangnya sangat baik. Insyaallah bisa membimbing anak kami Renata!" ucap Ayah Renata.Dihadapkan pada posisi seperti ini seketika membuat Arkan seperti berada di sebuah persimpangan jalan yang tidak tahu harus menentukan langkah kemana. Senyum di bibir ibunya, orang tua Renata dan juga Renata sendiri berbanding terbalik dengan apa yang kini di hatinya.Haruskah ia patahkan semua suka cita ini? Hanya itu yang terbesit di kepalanya saat ini. Bila ia diam saja, maka perasaannya pada Sera tidak akan pernah menemukan tempatnya.Ia pun menghela napas panjang, mencoba bicara sebaik mungkin agar sampainya tidak terlalu sakit apalagi untuk Renata dan keluarganya yang sudah membayangkan lebih dari ekspektasi mereka."Pa
"Bagaimana kalau setelah ini kita jalan-jalan, itung-itung double date," ucap Renata."Boleh! Ide bagus! Mau kemana?" jawab Gading."Nonton saja gimana? Sudah lama aku tidak nonton. Gimana, Mas?""Aku ikut saja!" ucap Arkan."Anak-anak gimana, Mas?" tanya Renata pada Arkan. Dimanapun ia berada, entah kenapa pikirannya selalu pada anak-anak."Ada Ibu sama Bi Inah, katanya Bi Inah mulai besok menginap di rumah karena keluarganya semua pulang kampung.""Oh, syukurlah!"Merekapun pergi meninggalkan kafe ini dan masuk ke sebuah gedung bioskop, Gading dan Arkan memesan tiket dan makanan sementara Renata dan Sera menunggu di sebuah kursi."Kamu cocok banget loh sama Gading!" ucap Renata membuka percakapan, karena sejak tadi Sera lebih banyak diam."Kami hanya berteman," jawab Sera."Ah masa sih? Gak keliatan teman loh!"Belum sempat Sera menjawab pertanyaan Renata, Gading dan Arkan pun menghampiri, kemudian langsung masuk ke dalam studio karena film sebentar lagi akan dimulai.Nomor kursi y
Satu tahun lebih di rumah Arkan banyak cerita bahkan ketika ia mendengar permohonan Kenzo dan Kezia adalah bentuk bila dirinya sudah menemukan tempat untuk di terima.Tapi ... akhirnya semua sudah tiba di penghujung cerita, kata penutup terbaiknya adalah selamat tinggal. Sera menganggap semuanya sudah usai, meski begitu ia tidak akan serta Merta melupakan bila Arkan dan semua yang ada di rumah itu adalah tokoh penting dalam hidupnya.Ada sebuah perasaan sesak yang menerabas dinding hati Arkan. Menyayatnya perlahan sehingga lukanya terasa jauh lebih sakit dari apa yang ia duga sebelumnya."Ayah kenapa tidak menahan Tante Sera!" Kenzo mendekati ayahnya."Sudahlah, Kenzo! Kita kan masih punya Tante Renata!" ujar Kezia masih dengan tangisnya.Kemudian Haliza mengambil Kalina dari gendongan Arkan, sementara anaknya itu masih saja membisu, Arkan kemudian naik ke kamarnya untuk bersiap ke kantor, dan sesampainya di sana, sisi lemahnya sebagai seorang pria tak dapat terbendung.Ia menangis di
Kemudian Sera dibawa kembali pulang dengan perasaan hampa, ternyata sesaknya masih ada, tapi sudah jauh lebih baik. Hampir 45 menit di perjalanan, akhirnya Sera dan Reza tiba di rumah."Teteh kenal sama yang mesan tadi?" tanya sang Adik.Sera hanya mengangguk."Mau aku buatkan makanan? Teteh belum makan dari tadi.""Nanti saja, Za. Teteh mau istirahat. Kamu juga istirahat, kita bahkan belum tidur sejak semalam."Reza mengangguk. Tidak menyangka bila ternyata adiknya adalah sosok yang baik, sejak kecil memang mereka tidak dekat, apalagi ketika Sera memutuskan untuk tidak lagi tinggal di rumah semenjak masuk SMA.Terlebih lagi, ibunya selalu bilang bila adiknya sosok yang nakal dan pemalas. Ternyata itu berbanding terbalik sekarang.Beberapa hari ke depan ini orderan kue penuh sampai seminggu berikutnya, setidaknya ini membuat dirinya sedikit tenang untuk biaya hidup selanjutnya.Di tempat lain, Gading kelimpungan, beberapa kali ia mencoba menghubungi Sera tapi tidak bisa terhubung."Di
Dua Minggu menuju pernikahannya dengan Arkan, Renata menghabiskan banyak malam untuk bersujud, meminta pada sang maha kuasa akan ketetapan hati. Ia tak ingin sebuah perasaan cinta membawanya pada sebuah kebencian, ketakutan dan hal lain yang mungkin tidak bisa dirinya kuasai."Kenapa kok akhir-akhir ini ibu perhatikan kamu banyak melamun, Nak.""Tidak apa-apa, Bu!" jawab Renata sambil berjibaku dengan kue kue kering yang akan ia buat."Dua Minggu lagi loh pernikahanmu, kamu masih menerima pesanan. Kan sibuk pastinya.""Gak apa-apa, Bu. Insyaallah keburu." Hati seorang ibu tidak bisa dibohongi, ada yang lain dari sang anak. Tak seperti biasanya, ia bahkan tak nampak ceria menuju hari pernikahannya."Cerita sama ibu, ada apa, Ren?""Kenapa, Bu? Apa aku tidak terlihat baik-baik saja?"Ibunya mengangguk.Renata menghela napas panjang, sejenak ia hentikan aktivitasnya. "Beberapa waktu ini aku merasa kehilangan diriku, Bu.""Kenapa bisa begitu, Ren?""Di satu sisi aku senang akan menikah d
"Ada siapa, Sayang?"Sera nampak ragu untuk menjawab, ia takut kejujurannya akan menimbulkan salah paham dan menjadi sebuah perdebatan, Sera malas dengan itu."Umh ... ada Mas Arkan dan anak-anak," jawab Sera ragu.Terlihat dari ujung telepon sana Gading diam sejenak, raut wajahnya berubah."Mas ....""Oh, lagi pada main, salam ya buat mereka."Sera mengangguk."Ya sudah ... Have fun ya. Nanti kalau sudah senggang langsung kabari aku."Sera kembali mengangguk, tidak nampak kemarahan di sana. Gading memang nyaris tak pernah menunjukkan sikap marah sepanjang Sera mengenalnya."Aku tutup teleponnya, ya! Miss u!"Sera hanya tersenyum, sejenak ia melihat ke arah Arkan yang membuang muka. Kemudian panggilan pun ditutup."Tante, siapa itu?" Kezia panik dan mendekat.Sera nampak ragu untuk menjawab dan gugup. "Teman Tante!""Teman kok panggil sayang!"."Neng, makanan sudah siap!" Terdengar suara dari dalam."Iya, Bi!" jawab Sera. "Yuk makan dulu, makanannya enak loh!" Sera mengalihkan pembica
"Kenapa, Mas?" tanya Sera dengan bibir bergetar."Masuk ke dalam mobil!" Perintah gading. Tanpa banyak bicara Sera menurut, jantungnya berdebar karena ketakutan, untuk pertama kali Sera melihat Gading seperti ini.Tanpa banyak bicara Gading melajukan mobilnya meninggalkan mall, diam masih menyelimuti keduanya. Gading terlihat beberapa kali mengatur napas."Mau sampai kapan?" Gading membuka percakapan."Apa Mas?" tanya Sera tidak mengerti. Ia masih takut melihat wajah calon suaminya."Mau sampai kapan seperti itu, Ra? Aku ini calon suami kamu, aku ini mencintai kamu, sakit melihat kamu dengan orang lain!""Maaf, Mas!" Sera menundukkan wajah."Selama ini aku diam, tapi ternyata aku tidak sekuat itu. Apa kamu pikir aku tidak tahu selama ini kamu sering berbalas pesan dengan Arkan? Seandainya posisi itu di balik ke kamu, kira-kira kamu marah gak? Sakit tidak? Cemburu tidak."Sera diam, ia masih menundukkan wajah."Kita ini mau menikah, Ra! Aku ini calon suamimu, aku tidak ingin kamu meli
Kenzo dan Kezia menunduk seraya memejamkan mata ketika kata sah bergumam dari para saksi, sementara Arkan membuang wajah menyembunyikan air matanya yang terus berderai. Sera melihat ke arah pria yang ia cintai dan juga tak kuasa menahan tangis, kali ini dirinya resmi menjadi istri seorang Gading. Makan tutup semua perasaan, mau tidak mau, suka tidak suka, ia harus mencoret nama Arkan dalam-dalam dari hatinya.Selepas ijab kabul dilaksanakan, seluruh tamu undangan menikmati makanan yang sudah dihidangkan, sementara beberapa lainnya ada yang naik ke pelaminan sekadar mengucapkan selamat. Begitu juga Arkan dan anak-anaknya. "Selamat untuk kalian berdua, semoga selalu dilimpahkan kebahagiaan," ucap Arkan berusahalah tegar, meski merah di matanya tak bisa ditutupi.Sementara Kenzo dan Kezia tak mengucapkan satu patah kata pun, mereka hanya menunduk seraya menekuk wajahnya. "Terimakasih sudah datang," jawab Gading."Aku menitipkan Sera padamu untuk selamanya dijaga dan disayangi!"Gading
Beberapa saat setelahnya, Dila terbangun. Kini Sera pun menyusul ke rumah sakit, Arkan sengaja memberitahunya menggunakan ponsel yang biasa ia pakai untuk bekerja, ia tak ingin terjadi lagi sebuah kesalahpahaman dan menimbulkan banyak huru hara di rumah tangganya."Mas, sepertinya dia depresi berat!""Iya, dia butuh penanganan pada bidang yang tepat!""Dia pasti butuh seseorang untuk mendengarkan, alangkah lebih baiknya dibawa ke psikiater, Mas."Arkan hanya mengangguk, kemudian setelah itu keduanya diam seraya menatap Dila yang kembali berbaring, keluarganya tidak ada satu pun yang datang, ia yakin bila permasalahan terbesar dalam hidup Sera adalah keluarganya sendiri.Sebagai rasa kemanusiaan, Sera pun akan mendampingi Dila semampunya, ia akan dijadwalkan untuk bertemu dengan psikiater dan ditangani perlahan kesehatan mentalnya.Dila pun dirawat beberapa hari di rumah sakit dan ditunggu bergantian oleh beberapa karyawan Arkan.Sementara Sera dan Arkan sibuk menyiapkan persiapan lama
Waktu seolah bergerak lambat ketika mobil yang Sera tumpangi melewati mobil suaminya."Bu ...," ucap sang supir pelan, ia menyadari bila yang baru saja di lihat adalah majikannya. Sang supir yang bernama Arman itu memelankan laju mobilnya."Lanjut saja dan cepat bawa mobilnya! Katya harus segera dibawa ke rumah sakit!" ucap Sera dengan suara yang tertahan, jelas sekali ia menahan segala macam perasaan yang selama ini bergelayut."Baik, Bu!" jawab supirnya, kemudian ia melajukan mobilnya lebih cepat dan sekitar 15 menit kemudian keduanya sampai di rumah sakit, Katya terlihat kejang dan langsung ditangani oleh dokter. Sementara Arkan hanya mengantarkan karyawannya itu sampai ke depan penginapan. "Sekali lagi terimakasih banyak, Pak!" ucap Dila dengan bibir bergetar.Arkan hanya mengangguk, tak banyak bicara ia pun berlalu meninggalkan Dila. Sesampainya di rumah, ia tidak mendapati Sera di sana, ketika membuka ponselnya, panggilan telepon dan pesan beruntun.[Mas pulang kapan? Katya de
"Apa-apaan kamu, Ren?"Renata masih berdiri di tempatnya dan biasa saja, ia tak berusaha menutupi diri atau pun melakukan hal lainnya."Aku kenapa? Aku sedang berada di kamar dan mengenakan pakaian tidur. Aku tidak keluar kamar dengan pakaian seperti ini, Mas?""Kamu tahu aku akan datang kan?""Lampu mati seketika, aku panik jadi aku tidak berpikir apa pun."Tak ingin berdebat panjang, Arkan segera keluar dari kamar ini, tak menyangka bila dirinya akan melihat hal seperti ini dari Renata. Sementara wanita itu hanya diam dan berdiri di tempat yang sama tanpa melakukan pergerakan apa pun.Arkan meraih gagang pintu hendak keluar kamar, tapi dalam waktu sekejap Renata mengambil gagang pintu itu dan menatap Arkan penuh makna. Jarak mereka kini sangatlah dekat, bahkan nyaris tak berjarak ketika Renata menempelkan tubuhnya."Aku tidak berniat menggodamu, Mas. Tapi sepertinya aku sangat kesepian."Arkan melepaskan Renata, menjauhkan wanita itu dari dekatnya, tapi tidak disangka bila wanita ya
"Detak jantung janin tidak terdengar, Dok!" ucap salah satu bidan yang sedang memeriksa."Coba periksa sekali lagi," ujar Gading.Sera nampak menahan sakit, seketika mulas semakin terasa, ia tak banyak bersuara, mulutnya tak henti berzikir, peluh bercucuran di kening, wajahnya memucat. Bidan kembali memeriksa, sudah ada pembukaan lima.Gading mendekat pada mantan istrinya itu lalu berbisik. "Zikir aja jangan putus, insyaallah bisa melahirkan normal."Sera mengangguk pelan, kemudian Gading pun keluar menghampiri Arkan yang juga terlihat cemas berada di dalam. "Detak jantung janin tidak terdengar," ucap Gading mendekat."Lalu? Maksudnya? Anak saya baik-baik saja kan?""Berdoa saja, Bang! Semoga Allah memberikan kelancaran dan keselamatan untuk keduanya."Arkan masih tidak karuan, kemudian ia diizinkan masuk ke dalam ruangan untuk menemani Sera. Istrinya itu tak banyak mengaduh, bila sakit terasa maka ia memegang tangan Arkan dengan kencang.Rasa mulas yang dirasakan Sera semakin menjad
Rambut basah dan dada bidang itu seketika tidak lagi mempesona ketika pesan terakhir Sera baca di ponsel milik suaminya. Sementara Arkan di ujung sana tersenyum penuh makna, menatap istrinya yang begitu cantik dan seksi di sisi ranjang. Pakaian kebangsaan warna hitam selalu menjadi kesukaannya, Sera berkali lipat jauh lebih cantik dari itu.Ia mendekat dan langsung berhambur memeluk istrinya, tapi seketika Sera menghindar dengan raut wajah yang tidak semanis tadi."Kenapa sayang?" Arkan mengernyitkan dahi."Ada pesan dari Renata? Kalian saling bertemu?""Astaghfirullah ... aku lupa ngabarin. Kemarin saat masih di Bandung Renata ngabarin kalau bapaknya meninggal dunia, jadi aku menyempatkan untuk takziah.""Inalillahi wa inalillahi rajiun," ucap Sera. "Tapi kenapa Mba Renata bisa tahu nomor, Mas? Apa sebelumnya kalian sempet tukeran nomor?""Ya Allah, Sayang ... kamu ini sedang cemburu kah?"Sera diam sejenak, menatapnya dengan tatapan tajam. "Apa perlu yang kaya gitu ditanyain, Mas?"
"Ren ...," sapa Arkan ramah. Ini adalah pertemuan pertama setelah waktu itu pernikahannya batal, sudah bertahun-tahun dan lama sekali."Mas Arkan sedang apa di sini?""Istriku dapat musibah dan dirawat di sini, sekarang sedang mengurus administrasi untuk pulang."Renata mengernyitkan dahi. "Sudah nikah, Mas?"Arkan mengangguk. Renata tersenyum tipis, sudah sembilan tahun berlalu, ternyata masih ada perasaan sesak, tapi ia yakin bila ini bukan perasaan yang dulu, hanya sisa dari kenangannya saja."Menikah dengan orang mana, Mas? Selamat ya, meski terlambat,"jawab Renata mengembangkan senyumnya yang masih tetap cantik seperti dulu. Ia pun tak nampak menua, semakin cantik di usia yang semakin matang "Dengan Sera, Ren."Waktu kemudian hening sejenak, ia tertegun beberapa saat. Enam tahun yang lalu dirinya pernah tak sengaja' bertemu Renata saat di Jogja, mereka berbincang sejenak dan saat itu Renata mengetahui bila Sera sudah menikah dan bukan dengan Arkan."Jodoh tidak kemana ya, Mas!"
"Stok darah kosong dok!" ujar salah satu asisten dokter.Suasana di ruangan ini semakin panik dan tidak terkendali, sementara Sera terbaring di sana berjuang antara hidup dan mati.Gading berusaha tenang, yang saat ini ia lakukan adalah bagaimana caranya memberikan yang terbaik, menyelamatkan keduanya.Sementara Arkan di luar ruangan nampak tak bisa bersikap tenang, ia duduk di sebuah kursi tunggu, kemudian beranjak mencoba melihat situasi di dalam, kemudian membawa langkahnya ke tempat lain, ia benar-benar tidak tenang, peluh bercucuran, tangannya dingin juga basah."Tenang, Nak. Jangan kaya gini. Sera pasti baik-baik saja!" ucap ibunya menghampiri."Gimana aku bisa tenang, Bu? Di sana Istriku sedang berjuang antara hidup dan mati, tidak hanya Sera, ada anakku juga di sana!"Arkan seperti sedang mengulang mimpi buruk ketika ia mendampingi Shanum 10 tahun yang lalu. Ia tak ingin mengulang kesakitan yang sama harus berpisah ruang dan waktu, ia ingin bersama Sera lebih lama, kemudian me
Semenjak akta cerai ada di tangannya, Sera dan Gading sama sekali tidak pernah lagi berkomunikasi, bahkan Sera memblokir nomornya semenjak kejadian tempo hari ketika Gading mengembalikan barang-barangnya."Usia kehamilan sudah 12 Minggu," ucap Gading menatap layar USG. Mau tidak mau ia harus menyampaikan semua informasi ini, walau tangannya masih bergetar. Saat mereka masih bersama dan rutin mengunjungi dokter untuk melakukan program kehamilan, nyaris semua pemeriksaan mengarah pada Sera yang bermasalah, sementara keadaan dirinya bisa dikatakan normal. Tapi hari ini, Tuhan seolah sedang menunjukkan sesuatu, wanita yang pernah ia abaikan kini tengah menangis bahagia karena seorang nyawa hadir di rahimnya, yang berbeda bukan tangannya yang kali ini ia pegang, melainkan tangan orang lain.Sementara saat bersamanya, tangis itu adalah kesedihan karena merasa tak mampu sempurna menjadi seorang istri yang diharapkan."Mas aku betul hamil?" tanya Sera. Arkan mengangguk, seraya mengecup keni
Hujan rintik-rintik terasa syahdu dan romantis menemani malam ini, dua insan memadu kasih menumpahkan kerinduan yang setelah bertahun-tahun dipendam. Hasrat laki-laki Arkan membara tak terjeda, sekian lama menahan diri dari godaan yang datang menghantam luar biasa akhirnya kini mendapatkan tempatnya. Gelora mengangkasa, keduanya dideru perasaan tak terkira, sampai akhirnya sebuah lenguhan panjang terdengar, Sera dibawa ke puncak surgawi dan keduanya terjatuh dalam pelukan dengan keringat yang bercucuran."Aku sayang kamu, Mas!" ucap Sera lirih, napasnya masih terengah-engah."Aku juga!" Arkan membenamkan dirinya dalam pelukan yang sangat dalam, kemudian setelahnya mereka membersihkan diri dan beranjak untuk tidur tanpa melepaskan pelukan masing-masing.Sera bangun lebih dulu ketika sayup-sayup adzan subuh terdengar, ia langsung beranjak ke kamar mandi untuk mencuci muka, kemudian setelah itu membangunkan Arkan."Mas bangun, salat subuh dulu!"Arkan terlihat mengerjap dan masih sangat