Kenzo dan Kezia menunduk seraya memejamkan mata ketika kata sah bergumam dari para saksi, sementara Arkan membuang wajah menyembunyikan air matanya yang terus berderai. Sera melihat ke arah pria yang ia cintai dan juga tak kuasa menahan tangis, kali ini dirinya resmi menjadi istri seorang Gading. Makan tutup semua perasaan, mau tidak mau, suka tidak suka, ia harus mencoret nama Arkan dalam-dalam dari hatinya.Selepas ijab kabul dilaksanakan, seluruh tamu undangan menikmati makanan yang sudah dihidangkan, sementara beberapa lainnya ada yang naik ke pelaminan sekadar mengucapkan selamat. Begitu juga Arkan dan anak-anaknya. "Selamat untuk kalian berdua, semoga selalu dilimpahkan kebahagiaan," ucap Arkan berusahalah tegar, meski merah di matanya tak bisa ditutupi.Sementara Kenzo dan Kezia tak mengucapkan satu patah kata pun, mereka hanya menunduk seraya menekuk wajahnya. "Terimakasih sudah datang," jawab Gading."Aku menitipkan Sera padamu untuk selamanya dijaga dan disayangi!"Gading
"Tante Sera ..." Kezia beranjak, kemudian ia menyalami Sera, begitu juga dengan Kenzo, diikuti oleh Kalina terakhir. Tidak lupa Sera pun memberi salam pada Bu Haliza yang masih terlihat sama seperti delapan tahun yang lalu. Sementara anak-anak yang ia bawa ditempatkan tak jauh dari mereka, Arkan pun meminta pada pihak restoran untuk memesan ruangan khusus agar bisa lebih leluasa.Suasana seketika menjadi canggung, Sera terlihat beberapa kali membetulkan posisi duduknya, ia kini berhadapan langsung dengan Arkan. Sementara Arkan tak kuasa untuk tidak terus menatapnya, seandainya bisa, ia ingin menghambur ke dalam pelukan Sera."Kita sudah kuliah Tante!" ujar Kezia.Sera tersenyum, rasanya begitu bahagia bisa melihat mereka kembali, setiap harinya rindu sedikitpun tak pernah terkikis, bahkan sampai saat ini ia masih menyimpan selembar foto yang pernah diambil beberapa tahun lalu."Tante bangga sama kalian, sejak awal Tante tahu kalian itu anak yang luar biasa hebat!"Si kembar tersenyum.
Pertemuan ini berakhir dengan Sera yang pulang ke Bandung, pelukan hangat mengiringi memberikan hawa sejuk di tengah dinginnya hati karena hancur berpuing-puing."Hati-hati di jalan, Ra!" ucap Arkan.Sera mengangguk dengan senyumnya yang khas. "Pesanku waktu itu belum dibalas!""Pesan yang mana? Perasaan aku membalas semua pesanmu!""Aku meminta nomor rekening Mas Arkan untuk membayar yang kemarin.""Yang itu lupakan saja!""Tapi aku gak enak, Mas!" "Gak usah dipikirin!""Tetap saja, Mas!""Sudah gak apa-apa. Hati-hati pulangnya!"Sera mengangguk pelan, kemudian masuk ke dalam mobil dan tak lama setelahnya meluncur sampai menghilang di balik gelapnya malam.Sepanjang jalan Sera hanya tertidur karena merasakan lelah yang luar biasa, beberapa jam kemudian ia pun tiba di rumah. Sebuah rumah yang sangat cantik meski tidak terlalu besar, berada di perumahan elite kota Bandung, ia membeli dengan hasil kerja kerasa selama satu tahun ini.Keesokan harinya dengan membawa sendiri kendaraannya
"Sedang apa, Zia?"Suara itu mengagetkan Zia seketika, ponsel yang dipegangnya pun terjatuh seiring dengan sesuatu yang turut jatuh dari meja.Sera membawa langkahnya untuk mendekat pada Kezia, ia terlihat menelisik menatap curiga, sampai akhirnya mereka tidak berjarak, Sera kemudian melihat benda jatuh itu dan mengambilnya terburu-buru."Tante harap kamu tidak menyentuh apa pun bagian pribadi milik Tante.""I ... iya Tante, aku minta maaf," jawab Kezia sedikit terbata. Seketika ia melihat Sera sembilan tahun yang lalu yang sedang memarahinya.Sera tak banyak menjawab, ia kemudian membalikkan badan dan masuk ke dalam kamar sambil membawa sesuatu yang dijatuhkan Kezia tadi."Tante ... aku sungguh minta maaf!" Kezia mengejarnya dan merasa sangat bersalah.Sera menghentikan langkah, ia menghela napas panjang dan melihat ke arah Kezia. "Its oke. Tinggallah dengan nyaman di sini."Kezia mengangguk, terlihat sekali di wajahnya ia merasa begitu bersalah."Makanlah. Tante sudah memasak makana
"Itu siapa, Neng? Bibi kaget banget, hampir saja bibi siram pakai air tadi!" ucap asisten rumah tangga Sera sambil menunjuk ke arah Arkan yang masih meringkuk di sofa. Semalam setelah puas menangis, ia kembali turun ke bawah dan membawakan selimut untuk Arkan yang sudah terlelap."Ayahnya Kezia, Bi!"Pria paruh baya itu mengangguk. "Ganteng ya, Neng!""Bibi tahu saja yang ganteng."Si bibi nyengir kuda, ia kembali berjibaku menyiapkan sarapan, tak berapa lama Kezia pun keluar dari kamar sudah rapi, ia membangunkan ayahnya yang terlihat masih nyenyak."Yah ... bangun, Yah! Udah siang ini!"Arkan mengerjap dan melihat ke arah Kezia, ia terkejut ketika melihat matahari sudah terang, dalam sekejap Arkan langsung beranjak duduk."Ayah salat subuh tidak?" Kezia menatapnya dengan raut wajah menelisik.Arkan mengangguk. "Ayah salat tadi, terus ketiduran.""Bener?" Kezia meyakinkan.Arkan kembali mengangguk. Tak berapa lama Sera datang membawakan handuk. "Mandi dulu, Mas! Setelah itu kita sar
"Jaga mulutmu!" Mata Arkan membulat tajam, tidak ada pukulan yang ia layangkan karena ditahan oleh Sera. Sementara Gading tidak memberikan perlawanan apa pun, ia hanya menatap Arkan penuh rasa benci."Lepaskan, Mas!" ucap Sera pada Arkan. Meski hasrat ingin memukul Gading meledak, Arkan melepaskan tangannya dengan napas terengah-engah."Sekarang kamu pergi dari rumahku, Mas! Dan aku mohon jangan datang lagi. Tentang kita semuanya sudah selesai, aku mau apa pun dan sama siapapun sekarang, itu sudah bukan urusanmu. Berbahagialah dengan apa yang kamu pilih, jangan pikir aku tidak tahu, Mas! Kamu pernah menjemput seorang wanita menggunakan mobil yang kamu hadiahkan padaku."Gading termangu. Ia tidak menyangka bila Sera tahu akan hal itu dan selama menjadi istrinya ia hanya diam saja."Aku tahu, Mas! Dua tahun terakhir kita itu tidak baik-baik saja. Tapi aku diam dan berharap semua kembali seperti semula, aku ingin pernikahan yang utuh. Tapi sekuat apa pun bentengku, semua runtuh karena ak
Tak terlintas dalam pikiran Sera bika Arkan akan melamarnya dengan cara seperti ini, membuatnya benar-benar diam dan terpaku tak bisa berkata-kata. Sementara seluruh mata yang berada di ruangan ini menatap ke arahnya dengan tatapan yang cukup menakutkan."Bagaimana, Ra?" tanya bapaknya.Sera masih dengan diamnya, termangu beberapa saat memahami yang sedang terjadi. "Boleh aku meminta waktu untuk berpikir?""Tidak, Ra!" jawab Arkan cepat. "Kamu hanya perlu menjawab iya atau tidak, sepuluh tahun ini rasanya sudah cukup. Aku tidak akan menunggu lagi walau cuma satu hari."Sera menghela napas panjang, ia sama sekali tak bisa lantang, Arkan menatapnya dengan sorotan tajam, terlihat sekali ia menanti sebuah jawaban. Suasana ruangan ini seketika menjadi hening, satu persatu Sera tatap semua orang yang ada di sini. Sebetulnya luka perceraian itu masih begitu membekas di hatinya, terlebih lagi kekurangannya sebagai seorang wanita yang membuat dirinya semakin tidak percaya diri."Sebelum menja
Hujan rintik-rintik terasa syahdu dan romantis menemani malam ini, dua insan memadu kasih menumpahkan kerinduan yang setelah bertahun-tahun dipendam. Hasrat laki-laki Arkan membara tak terjeda, sekian lama menahan diri dari godaan yang datang menghantam luar biasa akhirnya kini mendapatkan tempatnya. Gelora mengangkasa, keduanya dideru perasaan tak terkira, sampai akhirnya sebuah lenguhan panjang terdengar, Sera dibawa ke puncak surgawi dan keduanya terjatuh dalam pelukan dengan keringat yang bercucuran."Aku sayang kamu, Mas!" ucap Sera lirih, napasnya masih terengah-engah."Aku juga!" Arkan membenamkan dirinya dalam pelukan yang sangat dalam, kemudian setelahnya mereka membersihkan diri dan beranjak untuk tidur tanpa melepaskan pelukan masing-masing.Sera bangun lebih dulu ketika sayup-sayup adzan subuh terdengar, ia langsung beranjak ke kamar mandi untuk mencuci muka, kemudian setelah itu membangunkan Arkan."Mas bangun, salat subuh dulu!"Arkan terlihat mengerjap dan masih sangat
Beberapa saat setelahnya, Dila terbangun. Kini Sera pun menyusul ke rumah sakit, Arkan sengaja memberitahunya menggunakan ponsel yang biasa ia pakai untuk bekerja, ia tak ingin terjadi lagi sebuah kesalahpahaman dan menimbulkan banyak huru hara di rumah tangganya."Mas, sepertinya dia depresi berat!""Iya, dia butuh penanganan pada bidang yang tepat!""Dia pasti butuh seseorang untuk mendengarkan, alangkah lebih baiknya dibawa ke psikiater, Mas."Arkan hanya mengangguk, kemudian setelah itu keduanya diam seraya menatap Dila yang kembali berbaring, keluarganya tidak ada satu pun yang datang, ia yakin bila permasalahan terbesar dalam hidup Sera adalah keluarganya sendiri.Sebagai rasa kemanusiaan, Sera pun akan mendampingi Dila semampunya, ia akan dijadwalkan untuk bertemu dengan psikiater dan ditangani perlahan kesehatan mentalnya.Dila pun dirawat beberapa hari di rumah sakit dan ditunggu bergantian oleh beberapa karyawan Arkan.Sementara Sera dan Arkan sibuk menyiapkan persiapan lama
Waktu seolah bergerak lambat ketika mobil yang Sera tumpangi melewati mobil suaminya."Bu ...," ucap sang supir pelan, ia menyadari bila yang baru saja di lihat adalah majikannya. Sang supir yang bernama Arman itu memelankan laju mobilnya."Lanjut saja dan cepat bawa mobilnya! Katya harus segera dibawa ke rumah sakit!" ucap Sera dengan suara yang tertahan, jelas sekali ia menahan segala macam perasaan yang selama ini bergelayut."Baik, Bu!" jawab supirnya, kemudian ia melajukan mobilnya lebih cepat dan sekitar 15 menit kemudian keduanya sampai di rumah sakit, Katya terlihat kejang dan langsung ditangani oleh dokter. Sementara Arkan hanya mengantarkan karyawannya itu sampai ke depan penginapan. "Sekali lagi terimakasih banyak, Pak!" ucap Dila dengan bibir bergetar.Arkan hanya mengangguk, tak banyak bicara ia pun berlalu meninggalkan Dila. Sesampainya di rumah, ia tidak mendapati Sera di sana, ketika membuka ponselnya, panggilan telepon dan pesan beruntun.[Mas pulang kapan? Katya de
"Apa-apaan kamu, Ren?"Renata masih berdiri di tempatnya dan biasa saja, ia tak berusaha menutupi diri atau pun melakukan hal lainnya."Aku kenapa? Aku sedang berada di kamar dan mengenakan pakaian tidur. Aku tidak keluar kamar dengan pakaian seperti ini, Mas?""Kamu tahu aku akan datang kan?""Lampu mati seketika, aku panik jadi aku tidak berpikir apa pun."Tak ingin berdebat panjang, Arkan segera keluar dari kamar ini, tak menyangka bila dirinya akan melihat hal seperti ini dari Renata. Sementara wanita itu hanya diam dan berdiri di tempat yang sama tanpa melakukan pergerakan apa pun.Arkan meraih gagang pintu hendak keluar kamar, tapi dalam waktu sekejap Renata mengambil gagang pintu itu dan menatap Arkan penuh makna. Jarak mereka kini sangatlah dekat, bahkan nyaris tak berjarak ketika Renata menempelkan tubuhnya."Aku tidak berniat menggodamu, Mas. Tapi sepertinya aku sangat kesepian."Arkan melepaskan Renata, menjauhkan wanita itu dari dekatnya, tapi tidak disangka bila wanita ya
"Detak jantung janin tidak terdengar, Dok!" ucap salah satu bidan yang sedang memeriksa."Coba periksa sekali lagi," ujar Gading.Sera nampak menahan sakit, seketika mulas semakin terasa, ia tak banyak bersuara, mulutnya tak henti berzikir, peluh bercucuran di kening, wajahnya memucat. Bidan kembali memeriksa, sudah ada pembukaan lima.Gading mendekat pada mantan istrinya itu lalu berbisik. "Zikir aja jangan putus, insyaallah bisa melahirkan normal."Sera mengangguk pelan, kemudian Gading pun keluar menghampiri Arkan yang juga terlihat cemas berada di dalam. "Detak jantung janin tidak terdengar," ucap Gading mendekat."Lalu? Maksudnya? Anak saya baik-baik saja kan?""Berdoa saja, Bang! Semoga Allah memberikan kelancaran dan keselamatan untuk keduanya."Arkan masih tidak karuan, kemudian ia diizinkan masuk ke dalam ruangan untuk menemani Sera. Istrinya itu tak banyak mengaduh, bila sakit terasa maka ia memegang tangan Arkan dengan kencang.Rasa mulas yang dirasakan Sera semakin menjad
Rambut basah dan dada bidang itu seketika tidak lagi mempesona ketika pesan terakhir Sera baca di ponsel milik suaminya. Sementara Arkan di ujung sana tersenyum penuh makna, menatap istrinya yang begitu cantik dan seksi di sisi ranjang. Pakaian kebangsaan warna hitam selalu menjadi kesukaannya, Sera berkali lipat jauh lebih cantik dari itu.Ia mendekat dan langsung berhambur memeluk istrinya, tapi seketika Sera menghindar dengan raut wajah yang tidak semanis tadi."Kenapa sayang?" Arkan mengernyitkan dahi."Ada pesan dari Renata? Kalian saling bertemu?""Astaghfirullah ... aku lupa ngabarin. Kemarin saat masih di Bandung Renata ngabarin kalau bapaknya meninggal dunia, jadi aku menyempatkan untuk takziah.""Inalillahi wa inalillahi rajiun," ucap Sera. "Tapi kenapa Mba Renata bisa tahu nomor, Mas? Apa sebelumnya kalian sempet tukeran nomor?""Ya Allah, Sayang ... kamu ini sedang cemburu kah?"Sera diam sejenak, menatapnya dengan tatapan tajam. "Apa perlu yang kaya gitu ditanyain, Mas?"
"Ren ...," sapa Arkan ramah. Ini adalah pertemuan pertama setelah waktu itu pernikahannya batal, sudah bertahun-tahun dan lama sekali."Mas Arkan sedang apa di sini?""Istriku dapat musibah dan dirawat di sini, sekarang sedang mengurus administrasi untuk pulang."Renata mengernyitkan dahi. "Sudah nikah, Mas?"Arkan mengangguk. Renata tersenyum tipis, sudah sembilan tahun berlalu, ternyata masih ada perasaan sesak, tapi ia yakin bila ini bukan perasaan yang dulu, hanya sisa dari kenangannya saja."Menikah dengan orang mana, Mas? Selamat ya, meski terlambat,"jawab Renata mengembangkan senyumnya yang masih tetap cantik seperti dulu. Ia pun tak nampak menua, semakin cantik di usia yang semakin matang "Dengan Sera, Ren."Waktu kemudian hening sejenak, ia tertegun beberapa saat. Enam tahun yang lalu dirinya pernah tak sengaja' bertemu Renata saat di Jogja, mereka berbincang sejenak dan saat itu Renata mengetahui bila Sera sudah menikah dan bukan dengan Arkan."Jodoh tidak kemana ya, Mas!"
"Stok darah kosong dok!" ujar salah satu asisten dokter.Suasana di ruangan ini semakin panik dan tidak terkendali, sementara Sera terbaring di sana berjuang antara hidup dan mati.Gading berusaha tenang, yang saat ini ia lakukan adalah bagaimana caranya memberikan yang terbaik, menyelamatkan keduanya.Sementara Arkan di luar ruangan nampak tak bisa bersikap tenang, ia duduk di sebuah kursi tunggu, kemudian beranjak mencoba melihat situasi di dalam, kemudian membawa langkahnya ke tempat lain, ia benar-benar tidak tenang, peluh bercucuran, tangannya dingin juga basah."Tenang, Nak. Jangan kaya gini. Sera pasti baik-baik saja!" ucap ibunya menghampiri."Gimana aku bisa tenang, Bu? Di sana Istriku sedang berjuang antara hidup dan mati, tidak hanya Sera, ada anakku juga di sana!"Arkan seperti sedang mengulang mimpi buruk ketika ia mendampingi Shanum 10 tahun yang lalu. Ia tak ingin mengulang kesakitan yang sama harus berpisah ruang dan waktu, ia ingin bersama Sera lebih lama, kemudian me
Semenjak akta cerai ada di tangannya, Sera dan Gading sama sekali tidak pernah lagi berkomunikasi, bahkan Sera memblokir nomornya semenjak kejadian tempo hari ketika Gading mengembalikan barang-barangnya."Usia kehamilan sudah 12 Minggu," ucap Gading menatap layar USG. Mau tidak mau ia harus menyampaikan semua informasi ini, walau tangannya masih bergetar. Saat mereka masih bersama dan rutin mengunjungi dokter untuk melakukan program kehamilan, nyaris semua pemeriksaan mengarah pada Sera yang bermasalah, sementara keadaan dirinya bisa dikatakan normal. Tapi hari ini, Tuhan seolah sedang menunjukkan sesuatu, wanita yang pernah ia abaikan kini tengah menangis bahagia karena seorang nyawa hadir di rahimnya, yang berbeda bukan tangannya yang kali ini ia pegang, melainkan tangan orang lain.Sementara saat bersamanya, tangis itu adalah kesedihan karena merasa tak mampu sempurna menjadi seorang istri yang diharapkan."Mas aku betul hamil?" tanya Sera. Arkan mengangguk, seraya mengecup keni
Hujan rintik-rintik terasa syahdu dan romantis menemani malam ini, dua insan memadu kasih menumpahkan kerinduan yang setelah bertahun-tahun dipendam. Hasrat laki-laki Arkan membara tak terjeda, sekian lama menahan diri dari godaan yang datang menghantam luar biasa akhirnya kini mendapatkan tempatnya. Gelora mengangkasa, keduanya dideru perasaan tak terkira, sampai akhirnya sebuah lenguhan panjang terdengar, Sera dibawa ke puncak surgawi dan keduanya terjatuh dalam pelukan dengan keringat yang bercucuran."Aku sayang kamu, Mas!" ucap Sera lirih, napasnya masih terengah-engah."Aku juga!" Arkan membenamkan dirinya dalam pelukan yang sangat dalam, kemudian setelahnya mereka membersihkan diri dan beranjak untuk tidur tanpa melepaskan pelukan masing-masing.Sera bangun lebih dulu ketika sayup-sayup adzan subuh terdengar, ia langsung beranjak ke kamar mandi untuk mencuci muka, kemudian setelah itu membangunkan Arkan."Mas bangun, salat subuh dulu!"Arkan terlihat mengerjap dan masih sangat