Kemudian Sera dibawa kembali pulang dengan perasaan hampa, ternyata sesaknya masih ada, tapi sudah jauh lebih baik. Hampir 45 menit di perjalanan, akhirnya Sera dan Reza tiba di rumah."Teteh kenal sama yang mesan tadi?" tanya sang Adik.Sera hanya mengangguk."Mau aku buatkan makanan? Teteh belum makan dari tadi.""Nanti saja, Za. Teteh mau istirahat. Kamu juga istirahat, kita bahkan belum tidur sejak semalam."Reza mengangguk. Tidak menyangka bila ternyata adiknya adalah sosok yang baik, sejak kecil memang mereka tidak dekat, apalagi ketika Sera memutuskan untuk tidak lagi tinggal di rumah semenjak masuk SMA.Terlebih lagi, ibunya selalu bilang bila adiknya sosok yang nakal dan pemalas. Ternyata itu berbanding terbalik sekarang.Beberapa hari ke depan ini orderan kue penuh sampai seminggu berikutnya, setidaknya ini membuat dirinya sedikit tenang untuk biaya hidup selanjutnya.Di tempat lain, Gading kelimpungan, beberapa kali ia mencoba menghubungi Sera tapi tidak bisa terhubung."Di
Dua Minggu menuju pernikahannya dengan Arkan, Renata menghabiskan banyak malam untuk bersujud, meminta pada sang maha kuasa akan ketetapan hati. Ia tak ingin sebuah perasaan cinta membawanya pada sebuah kebencian, ketakutan dan hal lain yang mungkin tidak bisa dirinya kuasai."Kenapa kok akhir-akhir ini ibu perhatikan kamu banyak melamun, Nak.""Tidak apa-apa, Bu!" jawab Renata sambil berjibaku dengan kue kue kering yang akan ia buat."Dua Minggu lagi loh pernikahanmu, kamu masih menerima pesanan. Kan sibuk pastinya.""Gak apa-apa, Bu. Insyaallah keburu." Hati seorang ibu tidak bisa dibohongi, ada yang lain dari sang anak. Tak seperti biasanya, ia bahkan tak nampak ceria menuju hari pernikahannya."Cerita sama ibu, ada apa, Ren?""Kenapa, Bu? Apa aku tidak terlihat baik-baik saja?"Ibunya mengangguk.Renata menghela napas panjang, sejenak ia hentikan aktivitasnya. "Beberapa waktu ini aku merasa kehilangan diriku, Bu.""Kenapa bisa begitu, Ren?""Di satu sisi aku senang akan menikah d
"Ada siapa, Sayang?"Sera nampak ragu untuk menjawab, ia takut kejujurannya akan menimbulkan salah paham dan menjadi sebuah perdebatan, Sera malas dengan itu."Umh ... ada Mas Arkan dan anak-anak," jawab Sera ragu.Terlihat dari ujung telepon sana Gading diam sejenak, raut wajahnya berubah."Mas ....""Oh, lagi pada main, salam ya buat mereka."Sera mengangguk."Ya sudah ... Have fun ya. Nanti kalau sudah senggang langsung kabari aku."Sera kembali mengangguk, tidak nampak kemarahan di sana. Gading memang nyaris tak pernah menunjukkan sikap marah sepanjang Sera mengenalnya."Aku tutup teleponnya, ya! Miss u!"Sera hanya tersenyum, sejenak ia melihat ke arah Arkan yang membuang muka. Kemudian panggilan pun ditutup."Tante, siapa itu?" Kezia panik dan mendekat.Sera nampak ragu untuk menjawab dan gugup. "Teman Tante!""Teman kok panggil sayang!"."Neng, makanan sudah siap!" Terdengar suara dari dalam."Iya, Bi!" jawab Sera. "Yuk makan dulu, makanannya enak loh!" Sera mengalihkan pembica
"Kenapa, Mas?" tanya Sera dengan bibir bergetar."Masuk ke dalam mobil!" Perintah gading. Tanpa banyak bicara Sera menurut, jantungnya berdebar karena ketakutan, untuk pertama kali Sera melihat Gading seperti ini.Tanpa banyak bicara Gading melajukan mobilnya meninggalkan mall, diam masih menyelimuti keduanya. Gading terlihat beberapa kali mengatur napas."Mau sampai kapan?" Gading membuka percakapan."Apa Mas?" tanya Sera tidak mengerti. Ia masih takut melihat wajah calon suaminya."Mau sampai kapan seperti itu, Ra? Aku ini calon suami kamu, aku ini mencintai kamu, sakit melihat kamu dengan orang lain!""Maaf, Mas!" Sera menundukkan wajah."Selama ini aku diam, tapi ternyata aku tidak sekuat itu. Apa kamu pikir aku tidak tahu selama ini kamu sering berbalas pesan dengan Arkan? Seandainya posisi itu di balik ke kamu, kira-kira kamu marah gak? Sakit tidak? Cemburu tidak."Sera diam, ia masih menundukkan wajah."Kita ini mau menikah, Ra! Aku ini calon suamimu, aku tidak ingin kamu meli
Kenzo dan Kezia menunduk seraya memejamkan mata ketika kata sah bergumam dari para saksi, sementara Arkan membuang wajah menyembunyikan air matanya yang terus berderai. Sera melihat ke arah pria yang ia cintai dan juga tak kuasa menahan tangis, kali ini dirinya resmi menjadi istri seorang Gading. Makan tutup semua perasaan, mau tidak mau, suka tidak suka, ia harus mencoret nama Arkan dalam-dalam dari hatinya.Selepas ijab kabul dilaksanakan, seluruh tamu undangan menikmati makanan yang sudah dihidangkan, sementara beberapa lainnya ada yang naik ke pelaminan sekadar mengucapkan selamat. Begitu juga Arkan dan anak-anaknya. "Selamat untuk kalian berdua, semoga selalu dilimpahkan kebahagiaan," ucap Arkan berusahalah tegar, meski merah di matanya tak bisa ditutupi.Sementara Kenzo dan Kezia tak mengucapkan satu patah kata pun, mereka hanya menunduk seraya menekuk wajahnya. "Terimakasih sudah datang," jawab Gading."Aku menitipkan Sera padamu untuk selamanya dijaga dan disayangi!"Gading
"Tante Sera ..." Kezia beranjak, kemudian ia menyalami Sera, begitu juga dengan Kenzo, diikuti oleh Kalina terakhir. Tidak lupa Sera pun memberi salam pada Bu Haliza yang masih terlihat sama seperti delapan tahun yang lalu. Sementara anak-anak yang ia bawa ditempatkan tak jauh dari mereka, Arkan pun meminta pada pihak restoran untuk memesan ruangan khusus agar bisa lebih leluasa.Suasana seketika menjadi canggung, Sera terlihat beberapa kali membetulkan posisi duduknya, ia kini berhadapan langsung dengan Arkan. Sementara Arkan tak kuasa untuk tidak terus menatapnya, seandainya bisa, ia ingin menghambur ke dalam pelukan Sera."Kita sudah kuliah Tante!" ujar Kezia.Sera tersenyum, rasanya begitu bahagia bisa melihat mereka kembali, setiap harinya rindu sedikitpun tak pernah terkikis, bahkan sampai saat ini ia masih menyimpan selembar foto yang pernah diambil beberapa tahun lalu."Tante bangga sama kalian, sejak awal Tante tahu kalian itu anak yang luar biasa hebat!"Si kembar tersenyum.
Pertemuan ini berakhir dengan Sera yang pulang ke Bandung, pelukan hangat mengiringi memberikan hawa sejuk di tengah dinginnya hati karena hancur berpuing-puing."Hati-hati di jalan, Ra!" ucap Arkan.Sera mengangguk dengan senyumnya yang khas. "Pesanku waktu itu belum dibalas!""Pesan yang mana? Perasaan aku membalas semua pesanmu!""Aku meminta nomor rekening Mas Arkan untuk membayar yang kemarin.""Yang itu lupakan saja!""Tapi aku gak enak, Mas!" "Gak usah dipikirin!""Tetap saja, Mas!""Sudah gak apa-apa. Hati-hati pulangnya!"Sera mengangguk pelan, kemudian masuk ke dalam mobil dan tak lama setelahnya meluncur sampai menghilang di balik gelapnya malam.Sepanjang jalan Sera hanya tertidur karena merasakan lelah yang luar biasa, beberapa jam kemudian ia pun tiba di rumah. Sebuah rumah yang sangat cantik meski tidak terlalu besar, berada di perumahan elite kota Bandung, ia membeli dengan hasil kerja kerasa selama satu tahun ini.Keesokan harinya dengan membawa sendiri kendaraannya
"Sedang apa, Zia?"Suara itu mengagetkan Zia seketika, ponsel yang dipegangnya pun terjatuh seiring dengan sesuatu yang turut jatuh dari meja.Sera membawa langkahnya untuk mendekat pada Kezia, ia terlihat menelisik menatap curiga, sampai akhirnya mereka tidak berjarak, Sera kemudian melihat benda jatuh itu dan mengambilnya terburu-buru."Tante harap kamu tidak menyentuh apa pun bagian pribadi milik Tante.""I ... iya Tante, aku minta maaf," jawab Kezia sedikit terbata. Seketika ia melihat Sera sembilan tahun yang lalu yang sedang memarahinya.Sera tak banyak menjawab, ia kemudian membalikkan badan dan masuk ke dalam kamar sambil membawa sesuatu yang dijatuhkan Kezia tadi."Tante ... aku sungguh minta maaf!" Kezia mengejarnya dan merasa sangat bersalah.Sera menghentikan langkah, ia menghela napas panjang dan melihat ke arah Kezia. "Its oke. Tinggallah dengan nyaman di sini."Kezia mengangguk, terlihat sekali di wajahnya ia merasa begitu bersalah."Makanlah. Tante sudah memasak makana
Beberapa saat setelahnya, Dila terbangun. Kini Sera pun menyusul ke rumah sakit, Arkan sengaja memberitahunya menggunakan ponsel yang biasa ia pakai untuk bekerja, ia tak ingin terjadi lagi sebuah kesalahpahaman dan menimbulkan banyak huru hara di rumah tangganya."Mas, sepertinya dia depresi berat!""Iya, dia butuh penanganan pada bidang yang tepat!""Dia pasti butuh seseorang untuk mendengarkan, alangkah lebih baiknya dibawa ke psikiater, Mas."Arkan hanya mengangguk, kemudian setelah itu keduanya diam seraya menatap Dila yang kembali berbaring, keluarganya tidak ada satu pun yang datang, ia yakin bila permasalahan terbesar dalam hidup Sera adalah keluarganya sendiri.Sebagai rasa kemanusiaan, Sera pun akan mendampingi Dila semampunya, ia akan dijadwalkan untuk bertemu dengan psikiater dan ditangani perlahan kesehatan mentalnya.Dila pun dirawat beberapa hari di rumah sakit dan ditunggu bergantian oleh beberapa karyawan Arkan.Sementara Sera dan Arkan sibuk menyiapkan persiapan lama
Waktu seolah bergerak lambat ketika mobil yang Sera tumpangi melewati mobil suaminya."Bu ...," ucap sang supir pelan, ia menyadari bila yang baru saja di lihat adalah majikannya. Sang supir yang bernama Arman itu memelankan laju mobilnya."Lanjut saja dan cepat bawa mobilnya! Katya harus segera dibawa ke rumah sakit!" ucap Sera dengan suara yang tertahan, jelas sekali ia menahan segala macam perasaan yang selama ini bergelayut."Baik, Bu!" jawab supirnya, kemudian ia melajukan mobilnya lebih cepat dan sekitar 15 menit kemudian keduanya sampai di rumah sakit, Katya terlihat kejang dan langsung ditangani oleh dokter. Sementara Arkan hanya mengantarkan karyawannya itu sampai ke depan penginapan. "Sekali lagi terimakasih banyak, Pak!" ucap Dila dengan bibir bergetar.Arkan hanya mengangguk, tak banyak bicara ia pun berlalu meninggalkan Dila. Sesampainya di rumah, ia tidak mendapati Sera di sana, ketika membuka ponselnya, panggilan telepon dan pesan beruntun.[Mas pulang kapan? Katya de
"Apa-apaan kamu, Ren?"Renata masih berdiri di tempatnya dan biasa saja, ia tak berusaha menutupi diri atau pun melakukan hal lainnya."Aku kenapa? Aku sedang berada di kamar dan mengenakan pakaian tidur. Aku tidak keluar kamar dengan pakaian seperti ini, Mas?""Kamu tahu aku akan datang kan?""Lampu mati seketika, aku panik jadi aku tidak berpikir apa pun."Tak ingin berdebat panjang, Arkan segera keluar dari kamar ini, tak menyangka bila dirinya akan melihat hal seperti ini dari Renata. Sementara wanita itu hanya diam dan berdiri di tempat yang sama tanpa melakukan pergerakan apa pun.Arkan meraih gagang pintu hendak keluar kamar, tapi dalam waktu sekejap Renata mengambil gagang pintu itu dan menatap Arkan penuh makna. Jarak mereka kini sangatlah dekat, bahkan nyaris tak berjarak ketika Renata menempelkan tubuhnya."Aku tidak berniat menggodamu, Mas. Tapi sepertinya aku sangat kesepian."Arkan melepaskan Renata, menjauhkan wanita itu dari dekatnya, tapi tidak disangka bila wanita ya
"Detak jantung janin tidak terdengar, Dok!" ucap salah satu bidan yang sedang memeriksa."Coba periksa sekali lagi," ujar Gading.Sera nampak menahan sakit, seketika mulas semakin terasa, ia tak banyak bersuara, mulutnya tak henti berzikir, peluh bercucuran di kening, wajahnya memucat. Bidan kembali memeriksa, sudah ada pembukaan lima.Gading mendekat pada mantan istrinya itu lalu berbisik. "Zikir aja jangan putus, insyaallah bisa melahirkan normal."Sera mengangguk pelan, kemudian Gading pun keluar menghampiri Arkan yang juga terlihat cemas berada di dalam. "Detak jantung janin tidak terdengar," ucap Gading mendekat."Lalu? Maksudnya? Anak saya baik-baik saja kan?""Berdoa saja, Bang! Semoga Allah memberikan kelancaran dan keselamatan untuk keduanya."Arkan masih tidak karuan, kemudian ia diizinkan masuk ke dalam ruangan untuk menemani Sera. Istrinya itu tak banyak mengaduh, bila sakit terasa maka ia memegang tangan Arkan dengan kencang.Rasa mulas yang dirasakan Sera semakin menjad
Rambut basah dan dada bidang itu seketika tidak lagi mempesona ketika pesan terakhir Sera baca di ponsel milik suaminya. Sementara Arkan di ujung sana tersenyum penuh makna, menatap istrinya yang begitu cantik dan seksi di sisi ranjang. Pakaian kebangsaan warna hitam selalu menjadi kesukaannya, Sera berkali lipat jauh lebih cantik dari itu.Ia mendekat dan langsung berhambur memeluk istrinya, tapi seketika Sera menghindar dengan raut wajah yang tidak semanis tadi."Kenapa sayang?" Arkan mengernyitkan dahi."Ada pesan dari Renata? Kalian saling bertemu?""Astaghfirullah ... aku lupa ngabarin. Kemarin saat masih di Bandung Renata ngabarin kalau bapaknya meninggal dunia, jadi aku menyempatkan untuk takziah.""Inalillahi wa inalillahi rajiun," ucap Sera. "Tapi kenapa Mba Renata bisa tahu nomor, Mas? Apa sebelumnya kalian sempet tukeran nomor?""Ya Allah, Sayang ... kamu ini sedang cemburu kah?"Sera diam sejenak, menatapnya dengan tatapan tajam. "Apa perlu yang kaya gitu ditanyain, Mas?"
"Ren ...," sapa Arkan ramah. Ini adalah pertemuan pertama setelah waktu itu pernikahannya batal, sudah bertahun-tahun dan lama sekali."Mas Arkan sedang apa di sini?""Istriku dapat musibah dan dirawat di sini, sekarang sedang mengurus administrasi untuk pulang."Renata mengernyitkan dahi. "Sudah nikah, Mas?"Arkan mengangguk. Renata tersenyum tipis, sudah sembilan tahun berlalu, ternyata masih ada perasaan sesak, tapi ia yakin bila ini bukan perasaan yang dulu, hanya sisa dari kenangannya saja."Menikah dengan orang mana, Mas? Selamat ya, meski terlambat,"jawab Renata mengembangkan senyumnya yang masih tetap cantik seperti dulu. Ia pun tak nampak menua, semakin cantik di usia yang semakin matang "Dengan Sera, Ren."Waktu kemudian hening sejenak, ia tertegun beberapa saat. Enam tahun yang lalu dirinya pernah tak sengaja' bertemu Renata saat di Jogja, mereka berbincang sejenak dan saat itu Renata mengetahui bila Sera sudah menikah dan bukan dengan Arkan."Jodoh tidak kemana ya, Mas!"
"Stok darah kosong dok!" ujar salah satu asisten dokter.Suasana di ruangan ini semakin panik dan tidak terkendali, sementara Sera terbaring di sana berjuang antara hidup dan mati.Gading berusaha tenang, yang saat ini ia lakukan adalah bagaimana caranya memberikan yang terbaik, menyelamatkan keduanya.Sementara Arkan di luar ruangan nampak tak bisa bersikap tenang, ia duduk di sebuah kursi tunggu, kemudian beranjak mencoba melihat situasi di dalam, kemudian membawa langkahnya ke tempat lain, ia benar-benar tidak tenang, peluh bercucuran, tangannya dingin juga basah."Tenang, Nak. Jangan kaya gini. Sera pasti baik-baik saja!" ucap ibunya menghampiri."Gimana aku bisa tenang, Bu? Di sana Istriku sedang berjuang antara hidup dan mati, tidak hanya Sera, ada anakku juga di sana!"Arkan seperti sedang mengulang mimpi buruk ketika ia mendampingi Shanum 10 tahun yang lalu. Ia tak ingin mengulang kesakitan yang sama harus berpisah ruang dan waktu, ia ingin bersama Sera lebih lama, kemudian me
Semenjak akta cerai ada di tangannya, Sera dan Gading sama sekali tidak pernah lagi berkomunikasi, bahkan Sera memblokir nomornya semenjak kejadian tempo hari ketika Gading mengembalikan barang-barangnya."Usia kehamilan sudah 12 Minggu," ucap Gading menatap layar USG. Mau tidak mau ia harus menyampaikan semua informasi ini, walau tangannya masih bergetar. Saat mereka masih bersama dan rutin mengunjungi dokter untuk melakukan program kehamilan, nyaris semua pemeriksaan mengarah pada Sera yang bermasalah, sementara keadaan dirinya bisa dikatakan normal. Tapi hari ini, Tuhan seolah sedang menunjukkan sesuatu, wanita yang pernah ia abaikan kini tengah menangis bahagia karena seorang nyawa hadir di rahimnya, yang berbeda bukan tangannya yang kali ini ia pegang, melainkan tangan orang lain.Sementara saat bersamanya, tangis itu adalah kesedihan karena merasa tak mampu sempurna menjadi seorang istri yang diharapkan."Mas aku betul hamil?" tanya Sera. Arkan mengangguk, seraya mengecup keni
Hujan rintik-rintik terasa syahdu dan romantis menemani malam ini, dua insan memadu kasih menumpahkan kerinduan yang setelah bertahun-tahun dipendam. Hasrat laki-laki Arkan membara tak terjeda, sekian lama menahan diri dari godaan yang datang menghantam luar biasa akhirnya kini mendapatkan tempatnya. Gelora mengangkasa, keduanya dideru perasaan tak terkira, sampai akhirnya sebuah lenguhan panjang terdengar, Sera dibawa ke puncak surgawi dan keduanya terjatuh dalam pelukan dengan keringat yang bercucuran."Aku sayang kamu, Mas!" ucap Sera lirih, napasnya masih terengah-engah."Aku juga!" Arkan membenamkan dirinya dalam pelukan yang sangat dalam, kemudian setelahnya mereka membersihkan diri dan beranjak untuk tidur tanpa melepaskan pelukan masing-masing.Sera bangun lebih dulu ketika sayup-sayup adzan subuh terdengar, ia langsung beranjak ke kamar mandi untuk mencuci muka, kemudian setelah itu membangunkan Arkan."Mas bangun, salat subuh dulu!"Arkan terlihat mengerjap dan masih sangat