Aryo Ramadhan, atau yang biasa dipanggil dengan julukan ‘Adhan’, adalah seorang Presma (Presiden Mahasiswa) yang menjabat di kampus tempat Eva dan Ika kuliah, dulu, setengah dekade lalu.
Mengingat namanya, membawa memori Eva pada malam-malam larut dan hari-hari sibuk, di mana dirinya dulu asyik mempersiapkan diri sebagai seorang manusia dewasa—proses mempersiapkan diri dalam kehidupan yang sebenarnya.
Eva dan Adhan adalah sebuah power couple, alias pasangan yang sama-sama berkuasa. Adhan bertemu dengan Eva yang saat itu menjabat sebagai ketua Organisasi Jurnalistik pada acara ospek mahasiswa baru, satu angkatan di bawah mereka, saat mereka berkuliah di tahun kedua.
Adhan dulunya adalah pemuda yang kritis, logis dalam berfikir, dan mempunyai jiwa kepemimpinan dominan. Dia merupakan mahasiswa jurusan
Bastian Cokro duduk dengan gelisah di kantornya. Acara berita di televisi yang menyala tertempel di dinding ruangannya, menampilkan wajah Eva Sania yang menawan. Eva yang belum memberinya kabar setelah pertemuan mereka terakhir kali, seminggu yang lalu.‘Apa jangan-jangan dia beneran mau nolak, ya?’ pikir Bastian berkecamuk.Tak sampai dua menit kemudian, lelaki itu mengangkat gagang telepon di atas mejanya.Telepon di meja Nisa berdering. Dua detik, adalah waktu yang dibutuhkan perempuan muda itu untuk mengangkatnya.“Ya, halo? Kantor Pandora, dengan asisten Bapak Bastian Cokro berbicara, ada yang bisa saya—”“Ini saya, Nis,” potong Bastian di ujung sana.
Eva Sania bisa merasakan jemari hangat itu membelai rambutnya. Kecupan di kening terasa, mesra. “Kamu tau kan, Eva, kalau kamu itu satu-satunya ….” Suara lelaki yang familier di telinga Eva terdengar. Dekat. Saat Eva menoleh, terlihat wajah Adhan yang tersenyum ke arahnya. Lelaki itu mendekatkan wajah, dan mengecup tulang pipi Eva. Lalu hidungnya. Lalu pelipisnya. “Kalau memang aku satu-satunya, kenapa kamu nikah sama orang lain?” tanya Eva tiba-tiba. Dia tidak tau kenapa dari mulutnya bisa keluar kalimat itu. “Kamu ngomong apa sih, Sayang? Kan aku mau nikahnya sama kamu.” Adhan merangkul Eva dekat-dekat, kali ini membelai pipinya. “Habis lulus nanti kita jadi nikah, ya?” Adhan kembali bertanya.
“Satu, dua, ti—loh, Eva? Kok nggak senyum?” Teguran suara Tommy yang sedang memegang ponsel, siap ber-selfie, membuat Eva mengerjap sadar. “Eh-eh, iya. Oke, coba lagi,” ucap Eva secara terbata. “Satu … dua … ti—ga! Nah, mantep!” Tommy tersenyum puas. “Nggak nyangka nih seumur-umur punya temen kuliah yang jadi artis.” Eva tersenyum kecut menanggapi pujian Tommy barusan. Dia sama sekali tidak berniat membalas dengan kalimat bahagia, sebab Eva bisa merasakan badai yang akan datang menghampirinya sebentar lagi. “Eva?” Suara itu membuat sang empunya nama bergidik seketika. Eva menegakkan punggungnya dan menoleh ke belakang. Aryo Ramadhan berdiri di sana.
Eva memulai pagi itu dengan suara ketukan di pintu unit apartemennya—ralat, bukan ketukan, tapi gedoran! Rasanya pintu itu seperti hendak didobrak dari luar saja. “Iya, iya, sebentar!” pekik Eva dari arah dapur. Perempuan itu sedang menyiapkan sarapannya sendiri untuk hari ini: roti gandum dengan potongan alpukat mentega, ditaburi madu asli. Perut Eva yang keroncongan, tidur tak nyenyak karena insiden bertemu mantan malam reuni kemarin, serta gedoran di pintu unit yang memekakkan telinga sukses membuat kesabarannya tersulut habis. Akibatnya, Eva membuka pintu itu dengan wajah tertekuk, masam. “Mbak, bantuin.” Risna, adik kandungnya, berdiri di ambang pintu sambil menggendong Bimo, lengkap dengan tas besar disanding di satu bahu.
Bastian Cokro selasa kehilangan separuh nyawanya ketika melihat perempuan itu berdiri di hadapannya. Potongan lirik lagu ‘kau cantik hari ini’ berputar di dalam kepala Tian bagai soundtrack pikirannya saat itu. Eva Sania duduk di sana, mengenakan sundress kuning menawan, sambil menggendong balita yang bertengger manis di pinggulnya—tampak sedang menunggu di dalam restoran. Tian mengumpulkan keberanian untuk menghampiri restoran itu, menyapa Eva berbekal rasa malu yang ia tekan dalam-dalam. “Halo, Eva Sania.” Tian memberikan senyum sempurnanya. “Mas Tian? Hai, kok ada disini?” Suara sopran menyapa telinga Tian, membuat lelaki itu memiringkan kepala sejenak. Eva balas tersenyum, namun tampak sedikit terkejut. “Harusn
[Katanya, jodoh itu setara. Layaknya sebuah cermin, selalu mengaca pada diri. Kalau kamu baik, maka jodohmu juga baik. Maka dari itu, perbaikilah dirimu, agar baik juga jodohmu ….] Suara dari acara motivasi di TV depan ruangan Bastian Cokro menyambut pendengaran lelaki itu ketika ia baru saja membuka pintu. Meja asistennya, Nisa, yang terletak dekat pintu ruangannya itu, tampak kosong. Buru-buru Bastian mengeluarkan ponsel, menelepon Nisa yang saat ini—pada jam makan siang—sedang nihil keberadaannya. “Nisa, kamu di mana?” todong Tian seketika. “Lagi makan, Mas, sama Aura, Arta, sama Wira.” Nisa menjawab di ujung sana sambil menyebutkan beberapa nama karyawan Tian yang lain. “Oh, gitu. Nanti kalau sudah selesa
Bagi Nisa, Bastian Cokro bukanlah sekadar bos biasa. Lelaki yang lebih tua 8 tahun darinya itu sudah menjelma sebagai kakak, keluarga, bahkan malaikat penyelamat yang mengubah hidup Nisa jadi lebih baik sekarang ini. Khoir Annisa, nama panjang perempuan muda yang saat ini menjabat sebagai asisten pribadi CEO Pandora, merupakan anak tunggal dari keluarga tak berada. Ayahnya adalah buruh pabrik, yang di-PHK beberapa tahun lalu, mengakibatkan Nisa, yang bersekolah SMK, tidak dapat melanjutkan pendidikan ke bangku perkuliahan sebab keterbatasan biaya. Nisa mencoba peruntungannya melamar ke sana-sini, menjadi apa saja—OB, cleaning service, bahkan pramusaji—karena tuntutan ekonomi keluarga yang harus dipikulnya sejak lulus SMK, bergantung pada gaji pekerjaan paruh waktu di bawah UMR demi mencukupi hidup Nisa dan kedua orang tuanya. Sampai suatu hari, Nisa diterima
Ruang tata busana di kantor studio Channel 5 merupakan tempat di mana Eva berganti pakaiannya siang itu. Eva baru saja selesai melaksanakan tugasnya membacakan berita siang di Flash Headline. Hari itu terdapat dua berita perampokan, satu penganiayaan pada perempuan, dan sebuah berita yang menjadi headline adalah kasus korupsi salah satu pejabat pemerintahan. Bagi Eva pribadi, berita terakhir adalah yang paling kejam. Perempuan itu paling benci terhadap koruptor. “Lho, Mbak Eva, kok mukanya ditekuk begitu? Sakit giginya kumat, ya?” Ojah, seorang office girl berbadan gemuk yang baru memasuki ruangan itu dengan membawa laundry bersih baju-baju kostum sebuah acara, menyapa Eva. “Saya nggak sakit gigi, Jah … gigi saya tuh cuma sensitif.” Eva tersenyum pada office girl itu. “Enggak, ini … biasalah, beritanya biki
“HACHIM!!!”Eva menggosok hidungnya yang gatal karena bersin. Debu dari sudut planetarium ini sepertinya telah membangkitkan alerginya—atau mungkin, ada yang sedang membicarakannya di luar sana. Entahlah.“Gimana, Mbak?” tanya Gama yang kini menghampiri Eva.Pemuda itu mengecek smartphone-nya beberapa kali, hasil memotret sudut-sudut museum dan planetarium ini, sementara Bisma dan Fardi sibuk merekam berbagai lokasi dan ruangan dengan kamera mereka, sebagai bahan laporan dan rekaman untuk episode pilot nanti.“Kok tanya saya? Menurut kalian sendiri, gimana ini lokasinya?” Eva melemparkan pertanyaan balas pada Gama.“Hehe. Maksudnya, gimana menurut Mbak Eva, memungkinkan nggak ng
Pagi yang padat menjadi pembuka hari Bastian di Surabaya. Selain mendampingi Eva sebagai orang kepercayaan Channel 5, dia sendiri juga memiliki beberapa agenda pribadi yang harus dijalankannya. “Lho, Mas Tian nggak ikut ke lokasi kedua? Ini beneran saya saja sama anak-anak kreatif, nih?” Gama bertanya ketika Tian hendak melepas kepergian mereka ke lokai kedua. “Iya, saya ada janji dengan salah satu investor Pandora. Nanti kita ketemu lagi pas makan malam,” jelas Tian kepada rombongannya. “Oke Mas Tian, hati-hati!” Fardi melambaikan tangan. Salah satu anggota tim kreatif itu sedang membawa tas kamera yang terlihat lumayan berat. “See you soon, then ….” Eva melepas Tian dengan senyum tipis. Berpisah sementara memberi Tian
“Uhuk—uhuk!!!” Tian menepuk-nepuk dadanya. Eva refleks ikut menepuk punggung kukuh lelaki itu, untuk kemudian tersadar akan apa yang dia lakukan, dan buru-buru kembali menarik tangan. Batuk Tian itu masih berlangsung selama beberapa detik sebelum akhirnya CEO Pandora itu berucap, “kamu salah sangka, Gama.” Lelaki yang diajak bicara oleh Tian itu seketika mengerutkan kening. “Maksud Mas?” tanyanya. “I—itu ...” Kini giliran Eva yang membuka suara. “Anu, Gama, tolong di-keep dulu masalah ini. Jangan sampai ketahuan orang luar, apalagi media. Bahkan orang kantor juga … please, kalau bisa jangan sampai tau.” Perkataan Eva barusan tidak hanya membuat Gama bungkam, tapi juga Tian yang seketika melongo. Pasalnya, Eva seakan-akan mengkonfirmasi jika ada sesuatu di antara mereka. Sesuatu yang rancu. “Ooooh, jadi beneran toh,” simpul Gama. Empat rekan tim kreatif yang lain ikut manggut-manggut juga. “Tenang aja, Mbak. Rahasia Mbak Eva sama Mas Tian aman kok sama
Bastian Cokro terbangun dengan perasaan senang yang baru. Ada aroma familier yang menggelitik hidungnya; paduan teh hijau dan eucalyptus yang segar dan halus. Saat membuka mata, dia melihat Eva Sania terlelap di ranjang hadapannya. ‘Kemenangan kecil’, begitu gumam Tian dalam benaknya sebelum bangun dari sofa bed tempatnya semalaman. Tian merasa sukses karena dia sudah bisa menjaga sikap, tidak memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan untuk membuat Eva tidak nyaman. Kalau Tian brengsek, bisa saja malam tadi dia menggunakan modus untuk bisa seranjang dengan perempuan idamannya itu. Tapi tidak, Tian masih menghormati Eva, dan juga dia lebih memikirkan efek jangka panjangnya. Kenikmatan sesaat bisa saja menjadi tiket menuju hancurnya hubungan secara permanen. Tian, tentu
Malam sudah terlampau larut. Sepertiga terakhir menunjukkan waktu dini hari, namun Bastian Cokro masih berstatus tamu buangan karena tidak menemukan tempat untuk bermalam.Sudah lebih dari sepuluh menit dia duduk di sofa lobi Celestial Hotel, menggulir gawainya untuk mencari penginapan lain untuk disinggahi. Hasilnya selalu sama: unavailable, fully booked.Ah, mencari kamar dadakan di ibukota provinsi pada jam-jam segini memang sungguh misi yang mustahil.“Sudahlah, Mas, di kamar ini saja. Saya nggak keberatan, kok, kita sharing berdua.”Eva masih setia menemani Tian di lobi, masih menggenggam kartu kamar terakhir yang dipesankan Nisa untuk rombongannya, dan masih belum naik ke kamar itu sendiri.&ldqu
Turbulensi ringan menyambut kedatangan Eva, Tian, dan rombongan di bumi Surabaya. Penerbangan singkat dari bandara Soekarno-Hatta menuju Juanda itu berjalan lancar, malahan, dua orang dari tim kreatif, Bisma dan Fardi, tertidur pulas di kursi mereka.Eva menanggapi posisinya sebagai satu-satunya perempuan di rombongan itu dengan santai. Toh dia dikelilingi orang-orang yang dikenal dan terpercaya; adalah Tian dan juga rekan-rekan satu kantornya di Channel 5.Sembari menunggu pesawat mendarat dan mereka diperbolehkan turun, terlihat Gama hendak mengajak Eva bicara.“Mbak Eva nanti katanya yang bakal nge-lead gantiin Pak Bram, ya?” Suara Gama, pemuda dari tim kreatif yang duduk dua kursi di sebelah kirinya, menyapa Eva.“Emmm … iya sih, rencananya g
Ketukan di pintu unit apartemen Eva membuat sang nona rumah berlari kecil ke arah sumber suara. Eva menyempatkan diri mengintip penampilannya di pantulan layar hitam flat TV ruang tengahnya. Tubuhnya dibalut terusan katun yang ringan, tanpa model yang terlalu rumit, juga rambut yang dikeringkan dan di-blow dry buru-buru—kini tersanggul dalam jepitan besi berhias mutiara imitasi. Riasan wajah? Bah, jangan harap. Eva hanya sempat melembabkan bibir dengan lip balm transparan agar tidak pecah-pecah dihantam pendingin ruangan, pun wajahnya hanya berbalut pelembab tanpa ada pulasan bedak. Rasanya penampilan Eva jauh lebih polos dari sebelum-sebelumnya, saat ia menemui Bastian di lingkungan kantor atau di photoshoot. Di sana, Eva selalu tampak berpoles dan presentable. Pantas untuk dilihat.
“Apa benar kamu akan ikut trip ke Surabaya bersama Bastian Cokro?” Pak Bram bertanya dengan nada serius.Eva seketika gugup, dan berusaha menjawab dengan anggukan. “Benar, Pak,” ucapnya kemudian.“Hmmm, oke. Kapan berangkatnya?” Pak Bram meneruskan.“Malam ini.”“Oke, good. Kamu yang akan jadi perwakilan saya kalau begitu.”Pernyataan Pak Bram barusan membuat Eva terbelalak kaget.“Eeeeh … maksudnya gimana, Pak?” bingung Eva.“Sebenarnya, saya juga diundang untuk ikut dalam work trip ke Surabaya itu. Tapi, pas sekali nanti malam saya harus ke Singapore
Eva Sania berangkat kerja dengan pikiran yang tak fokus. Berkali-kali ingatannya terseret pada rangkaian kalimat yang dilontarkan Ika, sang sahabat, kemarin saat Eva mengepak barang sebelum keberangkatannya malam nanti. “I’m telling you, Bastian itu mandul, Va .…” Ika mengulang kalimat yang sukar dipercaya itu. Ika juga melanjutkan, “ini nggak sesuai sama misi lu buat punya anak, Va. Kalau lu beneran butuh ayah jabang bayi, kemungkinan besar Tian bukan orangnya.” TING! Elevator terbuka. Eva kembali ke masa kini, di lobi kantornya, terburu-buru memasuki lift untuk naik ke studio broadcast. ‘Tega bener kamu ngasih tau aku kabar begitu, Ka …,’ pikir Eva sambil melamun di dalam lift. ‘Aku harus gimana sekarang?’ lanjutnya da