Jang Nara memalingkan wajahnya sambil menepuk dahi pelan. kedua ibu itu dipersilakan masuk oleh Terryn. Jang Nara bergegas masuk menuju dapur dan mencoba menyiapkan segala pertanyaan yang pasti akan diajukan oleh ibunya yang super teliti.
“Yang tadi itu siapa, Yin?” tanya ibu mertuanya yang sekilas melihat punggung Jang Nara menjauh. Ibu Imelda melongo memanjangkan lehernya berkali-kali untuk mencari sosok yang tadi dilihatnya.
“Ouh, itu Nara, ponakan bi Ira yang gantikan bi Ira sementara, ” jawab Terryn sambil ikut melongo ke arah dapur.
“Penampilannya kok aneh gitu, Yin?” Ibu Imelda kemudian duduk dengan tenang menatap menantunya.
“Kok bisa siih Yin Sayang kamu pergi gitu
“Non Terryn mencari Nara?” tanya Jang Nara dengan nafas memburu dan dahinya yang basah karena keringat. Dia tiba tepat waktu saat Terryn hendak mendekati lemari pakaiannya.“Kamu dari mana sampai ngos-ngosan begini?” Terryn mengamati wajah Jang Nara dan jempolnya segera mematikan sambungannya pada nomer ponsel Deva.“Dari kebun, Non. Petik daun singkong buat masak sayur karena lauk kita udah habis.” jawab Jang Nara sambil mengelap dahinya dengan punggung tangannya.“Non cari Nara?” Jang Nara mengulangi lagi pertanyaanya karena dia menemukan Terryn berada dalam kamarnya. Terryn mengangguk pelan.“Aku sepertinya ketagihan dengan pijatanmu kemarin, boleh aku dipijat lagi?”
“Non Terryyyn! Perasaan tadi Nara menggeleng yang artinya tidak, kenapa Non iyakan tawaran tuan Jerichooo?” bibir Jang Nara membulat dan ekspresinya sangat kesal pada keputusan Terryn. Mereka masih berada di ruang tamu sepulangnya Jericho.“Yaa saya gak enak aja Nara, sebenarnya Jericho itu orangnya baik kok, cuma memang rada-rada tukang pamer.” Terryn terkekeh karena tahu isi kepala Jang Nara yang tidak suka pada Jericho.“Harus banget yaa kita berdua ke sana?” tanya Jang Nara ragu sambil memilin ujung rambutnya.“Aku penasaran pengen ketemu sama arsitek vila itu, rancangannya jadi buah bibir seantero desa, katanya vilanya bagus banget.” Terryn menghabiskan teh bunga mawar yang tadi dibuatkan Jang Nara.
Tubuh Terryn melorot terkulai lemas dan dengan sigap Deva menangkap istrinya, diangkatnya tubuh Terryn yang bagai seringan daun dalam pelukannya. Desta memberi jalan kepada Deva agar Terryn dibawanya pulang kembali ke rumah. Pak Suwiryo berkali-kali minta maaf atas kejadian ini, begitu pula dengan Jericho yang tak menyangka jika undangan makan malamnya ini justru berujung petaka bagi Terryn.Desta membukakan pintu mobil dan menemani Deva untuk pulang. Tegas dia mengatakan kepada Jericho sebelum mereka meninggalkan tempat itu jika Terryn adalah istri dari Deva Danuarta. Jericho tersentak kaget dan wajahnya memucat dia, rasa bersalah semakin menghantam Jericho.“Tolong nanti telpon ibuku Des, dan minta beliau mengirimkan dokter keluarga kami.” Pinta Deva yang masih mendekap Terryn yang terkulai tak bergerak. Nafasnya terasa
Deva menggeleng pelan, dia tertawa dengan ekspresi sedih mendengar penuturan ibu Asih. Tertawa dalam raut sedih. Ibu Asih mengundurkan bahunya hingga tepat bersandar pada sandaran kursinya sambil menatap menantunya dengan cemas.“Aku tidak akan pernah menceraikan Terryn, Bu. Tidak akan pernah. Bahkan jika aku harus membayar kebersamaanku dengan Terryn memakai separuh nyawaku untuknya aku akan memberikannya dengan suka rela. Tapi jangan minta aku pergi darinya,Bu.” Deva meneguk teh manisnya kemudian memutar piring nasi gorengnya.“Aku akan makan ini, aku akan menghabiskannya, aku butuh banyak energi dan tenaga untuk merawat istriku, dia kan baik-baik saja bersamaku.”“Nak Deva, Ibu minta maaf, Ibu tidak bermaksud untuk—“
Hari ketiga Terryn di rawat di rumah sakit, keadaannya sudah mulai jauh membaik. Desta dan Willy bergantian menjenguknya dan ikut ngobrol dengan Jang Nara. Saat itu kedua sahabat Deva datang lagi menjenguk Terryn bersamaan. Namun, sebenarnya keduanya datang pada Deva untuk meminta Deva menandatangani dokumen-dokumen penting perusahaan. Awalnya Willy sangat terkejut dan tidak bisa mengenali sama sekali sosok Deva dalam diri Jang Nara. Willy berjuang berat untuk tidak tertawa di depan Terryn hingga urusan mereka selesai.“Kenapa siih Kak Desta dan Kak Willy rajin banget jengukin Terryn? Jangan bilang kalau kalian ada yang suka sama Jang Nara yaa!” goda Terryn pada keduanya. Willy menggeleng keras juga Desta di waktu yang bersamaan, Jang Nara hanya tersenyum malu-malu sambil memilin ujung rambutnya.“Selama Deva gak ad
Jang Nara mendorong kursi roda Terryn masuk ke dalam rumah, dia sudah bisa dipulangkan dan berobat jalan. Terryn tidak boleh melakukan pekerjaan berat dan tidak boleh lelah serta terpapar asap yang mengganggu jalan pernafasannya. Sesuai janji kedua pemuda itu, Desta dan Willy mengantarkan mereka pulang serta membantu apapun keperluan Terryn.“Nara, aku bisa berjalan, aku pasien paru-paru bukan pasien lumpuh.” ucap Terryn keberatan dengan permintaan kursi roda oleh Jang Nara.‘Andai aku tidak menyamar jadi Jang Nara kursi roda ini memang tidak dibutuhkan karena aku yang akan menggendongmu sendiri, Yin.’ Deva membatin sambil terus mendorong kursi roda istrinya.“Non Terryn baru saja keluar dari rumah sakit, tidak boleh lelah jadi kursi roda ini ak
Darah Deva mengalir membasahi sebagian wajahnya, Terryn menjadi syok dan terduduk di lantai sementara Desta dan Willy segera menghambur untuk melihat kondisi Deva.“Astaga, Will! Kening Deva sobek harus dijahit ini!” seru Desta yang lekas membuka kemeja yang dipakainya untuk menekan luka Deva.“Kita bawa ke rumah sakit terdekat, eeh tapi ini desa, gak ada rumah sakit. Puskesmas … Iya kita ke puskesmas!” seru Wily yang tak kalah panik.“Terryn, di mana Puskesmas terdekat?” Desta menatap Terryn yang masih terduduk dengan wajah pucat.“Aku gak sengaja melempar ke wajahnya, aku … aku ingin melempar ke dinding …” desis Terryn dengan tu
Mata Terryn ditutup menggunakan kain oleh Deva, dengan hati-hati dia membimbing istrinya agar tidak salah pijak. Hari ini ulang tahun Terryn tepat sepuluh hari setelah insiden vas bunga yang nyasar ke kepala Deva. Rumah Terryn sudah selesai dan Deva menambahkan di rancangan Terryn yang terasa kurang.Tema rumah Terryn adalah rumah pantai sehingga Deva ingin membawa pantai dan laut pindah ke rumah kecil Terryn di perkebunan teh itu. Rumah Terryn pun tak jauh dari kebun bunga yang dibelinya.“Satu … Dua … Tiga!” seru Deva setelah dia membuka penutup mata Terryn. terryn memandang penuh takjub sekeliling rumahnya itu. Rumah yang dominan kayu itu dicat berwarna putih dengan kombinasi biru dan sedikit aquamarine yang seakan-akan mereka sedang berada di pantai. Perabot dan beberapa hiasan rumah pu
Apapun bisa terjadi jika Tuhan berkehendak. Dalam kasus Terryn bisa saja dia tidak akan bisa punya bayi yang lucu dan sehat, kegigihannya untuk menjalani program hamil hanya butuh waktu yang singkat. Semua adalah kebesaran Tuhan yang tidak akan pernah berhenti disyukuri Terryn. Hidup dengan paru-paru baru juga merupakan kemurahan Tuhan lainnya, bahkan Deva suaminya yang sudah siap menjadi pendonor di detik-detik terakhir digantikan oleh pendonor lain. Manusia memang berencana dan rencana Tuhan yang akan tetap berlaku dalam hidup manusia. Terryn sedang memilihkan baju untuk Sheira, usianya kini enam bulan. Artinya sudah setengah tahun juga operasi besar yang dijalani Terryn sudah berlalu. Walaupun harus meminum obat seumur hidupnya, Terryn bisa beraktifitas seperti biasa. Hanya saja Deva mengawasi Terryn dengan ketat a
Jantung Terryn berdegup kencang ketika mobil sudah terhenti tepat di halaman rumah, Deva membukakan pintu mobil untuknya dan membimbingnya keluar dari mobil. Ibu Asih dan ibu Imelda sudah menyambut kedatangannya dengan penuh sukacita. Dalam gendongan ibu Asih tampak bayi Sheira yang menatap ke arahnya. Mata Terryn berkaca-kaca ketika tangan Sheira bergerak-gerak seakan ingin menggapainya. “Hey … Baby Sheira, Mama kangen banget Sayang….” Terryn mengambil tangan mungil itu dan mengecupnya, apalah daya Terryn belum bisa menggendong Sheira karena bekas operasi di dadanya itu. “Selamat datang kembali, Nak.” sambut ibu Asih sambil membelai kepala Terryn lembut. Bergantian dengan Ibu Asih kini Ibu Imelda yang hati-hati memeluknya dan mencium dahi Terryn lembut. Deva masih sibuk membawakan barang-barang Terryn dan memasukkannya ke kamar mereka. Matanya hanya mampu membaca betapa bahagianya kedua ibunya menyambut kepulangan Terryn dan betapa berbahagianya pula Terryn melihat putrinya. “Y
Terryn tertawa kecil mendengar lelucon Ashiqa sahabatnya, setelah melahirkan Sheira Terryn baru sekali saja melihatnya. Selebihnya Sheira dirawat di ruang khusus anak dan dirinya pun terkulai tak berdaya di kamar ini.“Jika jodoh mereka tak akan kemana.” Terryn menyunggingkan senyumnya.“Oh yaa Yin, aku dengar dari ibu Asih kalau kak Deva nyaris saja jadi pendonor paru untukmu, gak nyangka banget kalau perjuangan cinta kak Deva memang benar-benar total sama kamu. Untungnya kakak ipar kamu, mba Aluna menemukan donor yang tepat lebih cepat hingga dia meyakinkan adiknya kalau dia tidak perlu jadi donor.” Ashiqa memandang wajah Terryn yang tiba-tiba menegang. Tentunya Terryn tidak pernah tahu tentang rencana suaminya untuk menjadi pendonor baginya.
“Sudah berapa lama Deva tertidur, Bu?” Deva kembali memungut botol minuman yang terlepas dari tangannya. Dengan kegusaran dia menghela nafas berharap mimpinya tadi bukan pertanda buruk.“Sekitar hampir sejam, kau pastinya kelelahan, Nak. Tentang Terryn jangan khawatir, Aluna dan rekan dokter lainnya sedang mengusahakan yang terbaik untuk istrimu.” Ibu Imelda mengusap bahu anaknya dengan lembut. Deva mengangguk perlahan, dengan kekuatan yang tersisa di dalam dirinya dia berusaha untuk tetap tenang.Tak lama kemudian Aluna muncul dan Deva berdiri untuk menyambutnya serta bersiap mendengarkan apa kata kakak perempuannya itu.“Kak ….” Deva hanya mampu menyapanya pendek tak mampu untuk menanyakan lebih lanjut kondisi Te
Deva bergegas menyusuri lorong rumah sakit, jantungnya berdegup tidak karuan. Selain memikirkan operasi Terryn tentunya dia juga gugup dengan operasinya sendiri yang dimajukan lebih cepat dari jadwalnya. Willy tetap berusaha menenangkan Deva yang jelas terlihat cemas.Di ujung selasar matanya menangkap sosok perempuan yang sangat dikenalinya, Aluna. Kakak perempuan Deva itu merentangkan tangannya, jauh-jauh dia terbang dari San Fransisco untuk mendampingi adik dan adik iparnya yang tengah dalam masa sulit. Aluna memeluk erat Deva sambil terisak, dia tidak menyangka jika adik ipar kesayangannya itu akan terbaring dengan kondisi yang memprihatinkan.Aluna berbisik-bisik mengatakan sesuatu pada Deva yang membuatnya tersentak dan melepas pelukan Aluna sambil memandang heran.
Wanita itu tak pernah menduga jika suatu saat nanti putranya adalah seorang laki-laki luar biasa yang melakukan pengorbanan untuk perempuan yang dicintai oleh anaknya. Tidak ada pilihan terbaik selain menyerahkan keputusan kepada Deva sendiri untuk menjadi donor paru bagi Terryn. Ibu Imelda hanya sanggup memeluk putranya itu dan merapalkan doa-doa serta harapan terbaik untuk anak dan menantunya.Senyum Terryn mengembang ketika melihat Deva masuk ke kamarnya, tangannya terulur untuk memegang tangan Deva. Wajahnya pucat dengan bibir yang keunguan, terdengar berat di setiap tarikan nafasnya meski sudah dibantu dengan tabung oksigen.“Bagaimana kondisi anak kita, Kak? Apa dia baik-baik saja?” tanya Terryn dengan suaranya yang parau nyaris seperti tercekik.
Hari yang ditentukan akhirnya tiba, Terryn harus masuk ke ruang operasi untuk melahirkan bayinya. Seorang bayi perempuan yang cantik, tapi bayi mungil itu harus mendapatkan perawatan intensif karena usianya yang lahir prematur. Deva mencium kening Terryn yang masih tak sadarkan diri di ruang perawatannya setelah dipindahkan dari ruang operasi. Berbagai alat penopang kehidupannya membalut tubuhnya yang ringkih. Nyaris tak ada lagi cahaya kehidupan di sana, Deva menahan sesak melihat wanita yang telah menjadi ibu dari putrinya itu terbaring lemah tanpa daya.“Cepatlah kembali Yin, putri kita cantik sekali, jangan iri yaa … Kata dokter dan suster putri kita sangat mirip denganku.” Deva menarik senyumnya dengan terpaksa untuk mengimbangi matanya yang basah. Dikecupnya ujung jemari Terryn lalu Deva berbalik meninggalkan ruangan Terryn untuk melihat putrinya yang juga sedan
“Home sweet home ….” bisik Terryn ketika sudah sampai di rumahnya bersama Deva di kota. Rumah yang dikiranya tidak akan ada jalan pulang kembali ke sana.“Tunggu jangan turun dulu.” Bergegas Deva turun dari mobil dan membuka pintu untuk Terryn. Laki-laki itu pun meraih tubuh Terryn agar digendongnya masuk ke dalam rumah.“A-aku bisa jalan sendiri, Kak!” seru Terryn terkejut melihat apa yang dilakukan Deva. Terryn menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan jika aksi Deva ini tidak dilihat oleh siapapun.“Diam, tidak usah bergerak dan banyak bicara.” perintah Deva lagi sambil mempererat gendongannya. Deva membawanya masuk ke kamar tidurnya bukan di kamar Terryn seperti biasa.
Ibu Asih dan ibu Imelda terlihat sangat senang datang berkunjung ke rumah Terryn. Mereka datang membawakan buah-buahan serta stok cemilan untuk Terryn. keduanya masih berbincang dengan seru ketika turun dari mobil.Bergantian mereka mengucapkan salam, ibu Asih dan ibu Imelda saling bertukar pandangan ketika pintu rumah terbuka dengan lebar tapi tak satu pun ada yang menyahuti salam mereka.“Yiiin … Ini Ibu datang, kamu di mana, Nak?” ibu Asih mengetuk pintu kamarnya dan membukanya sedikit , tidak ada sosok Terryn maupun Deva di dalam sana. Ibu Imelda menuju dapur memanggil bi Ira dan Terryn tapi tak ada sahutan juga. Ibu Imelda mencoba menelpon Deva tapi tidak diangkat, lalu mencoba menelpon Terryn. Bahunya cukup tersentak ketika mendengar dering ponsel Terryn di atas meja makan.