Lelaki dengan helm hitam serta masker yang menutupi wajahnya itu, menarik paksa Parmi masuk ke dalam rumah. Ia masih membekap mulut Parmi dengan tangannya. Seketika perut Parmi menjadi mual, tangan perampok tersebut sangat bau amis, tepatnya amis ikan asin dicabein pake rokok. Parmi berusaha menahan mualnya serta mencoba mengatur nafasnya agar tidak sesak, akibat dari sekapan mulut yang ia terima. Satu orang lagi, sibuk membuka satu persatu kamar yang ada di dalam rumah dokter Alan.
"Di mana kamar manjikan kamu?!"
Sentak lelaki yang membekap Parmi.
"Eeemmm ... eeemmmm."
"Bicara yang benar, di mana?" Bentaknya lagi.
"Eeehhhmmm....eeehhmmmmm..."
"Eh, bisu ya nih pembantu!" Lelaki tersebut semakin terlihat marah.
Temannya yang masih celingak-celinguk memeriksa keadaan di luar, khawatir ada yang datang menoleh kepada temannya yang sedang membekap Parmi.
"Bego lu, San! Mana bisa ngomong dia, mulutnya lu tutup gitu!
Semilir angin menerpa dinginnya pagi di perkampungan. Cicit burung saling sahut dan saling sapa antar penduduk desa menghiasi pagi yang begitu indah. Kepulan awan beriak, menaungi langit yang begitu tampak memesona saat kedua mata kita melihat ke langit. Satu dua wanita beserta para lelaki paruh baya tengah bersiap melangkahkan kakinya menuju sawah, tempat dimana mereka bekerja mencari rezeki.Di sawah mereka bisa berceloteh riang, sekedar membicarakan harga gabah yang selalu naik tapi tidak pernah turun. Menikmati hari di tengah sawah mampu menenangkan hati mereka, apalagi memandang jauh di hamparan padi yang hampir menguning. Tanda panen raya akan segera tiba."Mbak Parti, tadi saya lewat depan rumahnya. Ada tukang pos datang," ucap salah seorang tetangga bu Parti memberi tahu bu Parti."Terima kasih, Bu," sahut bu Parti sambil tersenyum. Ia kembali melanjutkan pekerjaannya di sawah. Meskipun bukan sawah miliknya, namun Bu Parti sangat senang menjalankan
Kendaraan roda dua yang dinaiki Anton melaju dengan kecepatan tinggi, sesuai dengan perintah Anton. Beberapa kali supir ojek online tersebut mengerem mendadak, sehingga mau tidak mau tubuh Anton berbenturan dengan punggung ojol tersebut."Pelan, Bang!" seru Anton saat ojol kembali mengerem dadakan."Lha, kata Mas, saya disuruh ngebut. Sekarang saya udah ngebut, disuruh pelan, bingung aku tuh, Mas." Masih dengan suara mendayu-dayu.Anton menggertakkan giginya. Sumpah, ia sudah sangat kesal dengan ojol yang kegenitan ini. Namun ia juga harus segera sampai di pasar yang disebutkan bibik tadi. Agar bisa segera menemukan Parmi.Cckiiitt!Ojol itu kembali mengerem mendadak. Namun kali ini, Anton memegang kuat jok belakang motor dan menjauhkan tubuhnya. Sehingga saat mengerem dadakan, tubuhnya tidak harus berbenturan."Takut ya, Mas. Tadikan saya bilang peluk saya, ga papa, Mas. Saya jomblo kok." Dibalik helemnya ojol itu tersenyum malu malu-malu.
Alamat rumah yang diberikan Parmi ternyata tidak terlalu jauh lokasinya dari pasar. Cukup sepuluh menit naik ojek online, Parmi sudah sampai di depan pintu gerbang besar itu. Ia turun dengan cukup kesusahan, karena memegang belanjaan sekaligus dengan perut cukup besar."Hati-hati, Mbak." Lelaki itu mengingatkan Parmi agar turun hati-hati."Iya, ini juga hati-hati. Cerewet!" Parmi mendadak sewot. Membuat ojol tersebut melongo mendengar ucapan ketus Parmi."Sabar, bawaan orok!" Pikir ojol tersebut."Berapa, Mbak? Eh ... salah lagi deh tuh. Berapa, Mas?" Parmi menyeringai, mengeluarkan dompet dari dalam tas selempang kecil miliknya."Lima belas ribu aja, Mbak, soalnya deket kok," sahutnya sambil tersenyum."Sepuluh dong. Saya gak dikasih helm, jadi diskon ya!""Itu, tadi gebetan saya yang pake helm saya, Mbak." Ojol kembali tersipu malu, mengingat wajah Anton."Apa? Gerekan?"Ojol tersebut menggaruk kepalanya ya
Suara deru motor berhenti di depan pagar rumah Anton. Sedu sedan Anton seketika ia hentikan. Ia menyeka air matanya dengan punggung tangan."Assalamualaikum," suara wanita di seberang sana. Kelihatan hanya ujung rambutnya yang menyembul dari atas pagar."Wa'alaykumussalam," sahut bibik dan Bu Rasti bersamaan. Keduanya saling pandang. Bu Rasti meminta bibik untuk melihat siapa tamunya. Sedangkan Anton sudah berjalan masuk ke dalam rumah. Diikuti oleh bu Rasti. Mungkin minta sumbangan. Bu Rasti bermonolog, membawa kakinya masuk ke dalam kamar."Cari siapa Mbak?" tanya bibik sambil memperhatikan wanita di depannya dari ujung kaki sampai ujung rambut."Betul ini rumah pak guru Anton Yasin?""Iya betul, Mbak siapa ya?""Mmm ... saya teman dekat Mas Anton!" Dengan suara pelan mendayu malu dan wajah bersemu merah sambil menunduk, Susi memperkenalkan diri sebagai teman dekat Anton.Tentu saja hal itu membuat mata bibik melot
****Pagi-pagi sekali, Anton tengah bersiap di kamarnya. Setelah sholat shubuh, ia membuat dua lapis roti dan segelas susu. Setelahnya, ia juga minum multivitamin, agar tubuh, hati dan pikirannya, mampu menghadapi segala kemungkinan yang terjadi setelah ia sampai di kampung Parmi nanti. Alhamdulillah, Iqbal setuju untuk mengantarnya hari ini. Sehingga bisa menambah kekuatan dan semangatnya untuk menghadapi keluarga Parmi, nanti. Anton menyisir rambutnya yang sudah gondrong lalu mengolesi minyak tawon di pangkal hidung, keningnya yang setiap hari tertempel koyo juga ia olesin. Serta tengkuknya yang selalu saja terasa kesemutan.Jangan lupa, bahwa ia masih mengalami mual muntah ya. Sehingga ia juga memasukkan satu pack kantong plastik hitam ke dalam tasnya, sebagai antisipasi jika ia mabuk dan muntah di jalan nanti. Ia juga membawa antimo, tolak angin cair, balsam dan juga minyak kayu putih.(Cem nenek-nenek mau piknik ya,rempong🤣🤣🤣)
Iqbal memijat kepalanya dengan keras. Ini sudah pemberhentian kesepuluh yang ia lakukan, karena Anton sepupunya, benar-benar kepayahan dalam mengontrol rasa mual muntahnya. Perjalanan Jakarta-Sleman yang harusnya memakan waktu kurang lebih delapan jam.Tampaknya akan lebih panjang. Karena setiap satu jam sekali Anton meminta Iqbal menepikan mobil di rest area atau di pom bensin atau dimana saja, yang penting harus berhenti sesaat. Sepanjang jalan Anton menahan mulutnya agar tidak muntah, tubuhnya juga terlihat sudah sangat lemas.Iqbal menyarankan agar mereka kembali saja ke Jakarta, jika Anton telah pulih, maka Iqbal berjanji akan menemani Anton kembali ke kampung Parmi. Namun, Anton tetap bersikeras melanjutkan perjalanan sampai di kampung Parmi.Ia harus segera menemukan Parmi. Bayang-bayang Parmi dengan perut buncitnya, selalu hadir dalam mimpinya. Wajah sang istri terlihat sendu meskipun tampak sesekali tertawa. Tidak, ia harus segera menemukan Parmi.
Langit mulai gelap, suara jangkrik menemani suasana magrib yang kian syahdu di perkampungan Parmi. Suara gemericik air dari kamar mandi yang berada di belakang rumah, tak membuat seorang pria dewasa sadar dari pingsannya. Bahkan ini sudah lebih dari tiga jam.Seorang wanita paruh baya keluar dari kamar mandi yang hanya ditutupi pintu yang terbuat dari seng. Wajahnya sudah lebih segar dan tenang. Ia memakai kaus kebesaran berwarna hitam, di pinggangnya terlilit kain batik yang sudah memudar warnanya. Ia berjalan melewati Iqbal yang sedang menunggui Anton yang masih belum sadar, sehabis pingsan tadi. Kepalanya yang dengan keras di keplak oleh mertuanya, membuat ia roboh seketika."Baru pake tangan dikeplak udah pingsan tiga jam, gimana kalau saya keplak pake arit saya? Mana baru diasah pula. Saya jamin, saudara kamu ini langsung almarhum," ucap sinis Bu Parti yang melirik ke arah Anton dan Iqbal. Lelaki yang sedari tadi menunggui Anton, hanya bisa menel
Parmi di kamarnya sedang memijat pelan kakinya. "Kaki Parmi apa kaki gajah ya? Gede banget," gumamnya sambil memperhatikan kedua kakinya yang kian membengkak. Matanya turun ke perut besarnya. Sudah hampir enam bulan usia kandungannya, alhamdulillah sehat.Parmi tersenyum hangat sambil mengusap perutnya sayang. Ia turun dari ranjang. Berjalan ke arah lemari, membuka salah satu laci lemari disana. Ia mengeluarkan selembar kertas hasil USG pertama kali yang ia lakukan. Hasil yang tadianya ingin ia perlihatkan kepada suaminya bersamaan dengan garis dua tes pack. Parmi memandang kertas USG dalam diam."Kita pasti bisa tanpa ayah ya," bisiknya pelan sambil mengusap air matanya. Sampai saat ini ia tidak tahu. Bagaimana nanti setelah ia melahirkan. Siapa yang akan mengurusnya?bagaimana nanti saat ia harus bekerja untuk memberi makan anaknya."Teh...," suara Ali dari balik pintu kamar Parmi. Dengan cepat Parmi mengusap air matanya."Iya, Den." Parmi membukak
Empat bulan berlalu semenjak kejadian tragis itu. Berdasarkan pasal 340 KUHP, barang siapa yang sengaja dengan rencana terlebih dahulu, yang bisa mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang, maka pertanggung jawabannya adalah hukuman mati atau penjara seumur hidup, atau paling lama dua puluh tahun. Hakim memutuskan, Safira akhirnya dihukum dua puluh tahun penjara, sedangkan bik Isah dihukum selama lima belas tahun.Parmi yang masih merasa sangat khawatir, memilih mengajak ibu dan tetehnya untuk tinggal bersama. Suatu keharuan tersendiri bagi Parmi. Saat suaminya memberikan kunci rumah baru untuk Parmi. Rumah yang sudah ia beli dengan kerja kerasnya. Kini ia berikan atas nama Parmi, istrinya.Anton juga mendatangkan seorang lagi saudara Parmi yang bisa membantu untuk menjaga si kembar."Apa?teteh pacaran dengan mas Iqbal!" pekik Parmi tidak percaya, saat Parni membisikkan sesuatu di telinga Parmi."Huuusstt....jangan denger Anton, teteh malu." Parni menu
Parmi menangis sejadi-jadinya di depan ruang NICU, ketiga bayi kembarnya tidak sadarkan diri, setelah keracunan obat yang mengandung obat tidur. Bahkan Parmi pingsan hingga dua kali. Betapa hancur hatinya melihat di tubuh ketiga puterinya, dipasang alat. Untuk membantu mereka tetap bernafas dan membantu mereka mengeluarkan racun dari dalam tubuh.Bu Rasti yang baru saja tiba, ikut menangis hingga terduduk di lantai tepat di depan ruang NICU. Ia sangat kaget, saat ditelepon oleh bibik, kalau si Kembar mengeluarkan busa dari dalam mulutnya. Bu Rasti yang saat itu sedang ada rapat dengan Kementrian Agama, meninggalkan ruang rapat begitu saja. Kakinya serasa tidak menapak, pikiran buruk berkecamuk di kepalanya. Ia tidak sanggup jika harus kehilangan cucu kembar tiganya."Mamah, anak saya, Mah," lirih Parmi dengan lemah menghampiri ibu mertuanya. Mereka berpelukan erat."Kenapa bisa seperti ini, Mi?""Ada yang sengaja memasukkan obat tidur ke dalam badan
Hari ini, Parmi dan Bu Rasti membawa Angkasa, juga si kembar pergi bermain ke Taman Margasatwa Ragunan. Bik Isah dan bibik tentu saja diajak. Sedangkan Anton tidak bisa meninggalkan kelas, karena sedang mengawas mahasiswa yang sedang ujian.Angkasa nampak antusias, melihat aneka hewan disana. Bahkan seolah tiada lelah, ia berlarian kesana-kemari agar cepat sampai dari satu kandang ke kandang lainnya. Angkasa sangat senang, saat berada di depan kandang gajah. Ada empat ekor gajah besar disana. Dan satu ekor gajah berukuran lebih kecil. Angkasa mengambil foto hewan-hewan tersebut dengan ponselnya. Ia juga memotret Parmi, nenek dan ketiga adiknya.Foto-foto keseruan disana, Angkasa kirimkan kepada mommy dan juga papanya. Eh iya, kepada daddy Xander, ayah sambungnya juga ia kirimkan fotonya."Bibik, kenapa?" tanya Angkasa saat tanpa sengaja melihat bik Isah memegang hidung Andrea.Bik Isah yang memang kebagian menggendong Andrea, karena Andrea tidak mau
Hujan rintik-rintik membasahi tanah pedesaan. Air mulai menggenang di selokan tanah yang berlubang. Harumnya begitu memesona, karena bercampur aroma daun segar yang ikut tersapu air hujan. Parni masih fokus dengan kegiatan merajutnya. Sesekali ia tersenyum malu-malu, sambil melirik ponselnya. Sepertinya ia sedang menunggu pesan dari seseorang.Ting! ting!Parni kaget, bahkan benang rajutnya yang bewarna merah itu, terlempar ke lantai rumah. Bunyi pesan masuk berbunyi, wajah Parni tampak gembira. Dengan cekatan, ia membuka pesan yang masuk.["De Parni sedang apa?ganggu ga kalau saya telpon."]Parni mesem-mesem, wajahnya pun merona bahagia. Apakah ia jatuh cinta?Ragu Parni mengetik balasan pesan dari seseorang itu. Ponsel masih ia genggam dengan tangan sedikit berkeringat. Jujur setelah luka lama yang menganga bertahun-tahun lalu, baru kali ini ia coba membuka hati."Udah sana masuk kamar, kalau mau teleponan!" Bu Parti tersenyum menggoda Parni
Parmi dan Anton sudah berada di bandara. Menunggu kedatangan penerbangan dari Belanda. Anton dan Parmi sudah tidak sabar melihat Angkasa. Sedari turun dari mobil, Parmi dan Anton selalu bergandengan tangan. Persis pasangan yang sedang dimabuk asmara. Anton juga tidak jengah sesekali mencium kepala Parmi."Jangan dicium terus rambutnya, Mas!" rengek Parmi, merasa cukup jengah dengan tingkah alay suaminya."Kenapa sih, Sayang? Wangi kok rambutnya," sahut Anton, sambil memegang rambut panjang Parmi."Ntar kutunya nempel di bibir, baru tahu rasa!" Anton menelan salivanya, cepat ia meraba bibirnya. Merasa kurang puas, ia mengambil ponselnya lalu membuka menu kamera depan. Ia bercermin dari layar ponselnya, memeriksa kembali bibirnya. Apakah ada kutu rambut yang menempel di sana? Tapi sepertinya tidak, bibirnya masih terlihat segar dan sedikit bengkak, efek digigit oleh Parmi.Anton bergidik ngeri bila nengingat semalam, betapa ganas istrinya. Kopi yang i
Parmi keluar dari kamar, sayup-sayup ia mendengar suara ibu mertuanya seperti sedang berbicara di teras. Ia berjalan menghampiri dan melihat ada siapa disana."Eh, Parmi sini, Nak." Bu Rasti menepuk kursi kosong di sampingnya, bermaksud agar Parmi ikut duduk. Parmi menurut, duduk di samping ibu mertuanya.Wanita paruh baya yang sedang duduk di lantai. Memerhatikan gerak gerik Parmi dengan seksama, sambil menyunggingkan senyum tipis."Ini, Mi. Kenalkan ibu Isah namanya, dia sedang mencari pekerjaan. Jadi mama menawarkan untuk menjaga si kembar. Bagaimana kamu mau?" bu Rasti memperkenalkan ibu yang sedang duduk di lantai pada Parmi."Emang Ibu rumahnya di mana?" tanya Parmi dengan ramah."Keluar komplek ini gang sebelah kanan, Non.""Oh deket ya, jadi ilIbu nginep apa pulang pergi kerjanya?""Saya datang pagi, lalu pulang malam. Sehabis magrib.""Bagaimana Parmi, boleh ibu ini membantu?kasian dia sedang butuh pekerjaan." Bu
Bu Rasti sedang menggendong Aleta sore ini, sedangkan Andrea dan Andini sudah tertidur pulas setelah mandi sore. Aktifitas yang tidak pernah mau ia lewatkan setiap harinya, adalah menemani cucu kembar tiganya bermain. Bu Rasti akan sangat senang jika bisa menggendong ketiganya bergantian.Cukup kerepotan memang, apalagi semenjak Parni kembali ke desa, otomatis hanya bibik yang bisa membantu Parmi sebisanya. Bu Rasti sudah coba menghubungi biro tenaga kerja ART untuk mendapatkan pengganti Parni, namun hingga sekarang belum ada yang cocok.Rata-rata dari biro jasa ART itu berusia muda, sedangkan Anton tidak menginginkan ART muda yang mengasuh bayinya, Anton menginginkan ART yang seusia bibik, agar lebih awas dan hati-hati dalam mengurus bayi."Mamah, kok melamun?" Parmi datang ke teras sambil membawa air jahe hangat untuk ibu mertuanya."Mamah pusing, Mi. Belum ketemu orang untuk bantuin jaga si Kembar."Parmi meletakkan bokongnya duduk di sebe
Rumah keluarga Anton gempar shubuh ini, dikarenakan temuan kotak kado yang berisi bangkai tiga ekor tikus. Entah siapa pengirimnya, yang jelas membuat Parmi dan seisi rumah ketakutan.Parmi bahkan terus-terusan gelisah saat menyusui si kembar. Anton melihat raut ketakutan dari wajah istrinya. Ia mendekati Parmi yang saat ini tengah duduk di ranjang menyusui Aleta."Bu, jangan takut! Mungkin itu kerjaan orang iseng saja." Anton mengusap lembut lengan Parmi."Mana ada orang iseng, ngumpulin tiga bangkai tikus dan dimasukkan ke dalam kotak, dibungkus kertas kado pula? Ini pasti sengaja, Mas. Saya takut!""Ya Allah, siapa sih yang tega bener begini sama kita ya, Mas. Apa salah kita, Mas?" Parmi menghapus air mata yang turun di pipinya, ia benar-benar ketakutan.Eeekkk...hheekkk...Bayi Aleta merengek, ia pun ikut gelisah seperti ibunya. Tidak lama, Andrea dan Andini pun ikut menangis kejer. Anton dengan sigap menggendong keduanya. Me
Acara syukuran aqiqah Andrea, Aleta dan Andini berlangsung khidmat. Ada lima puluh peserta pengajian ibu-ibu yang hadir. Termasuk tetangga, teman KUA bu Rasti, karyawan pak Andi, para sanak famili dari keluarga Anton, termasuk Iqbal juga ada disana, bersama dengan kedua orangtuanya. Ada juga beberapa mahasiswa yang datang. Bahkan dokter Alan berserta istri dan anak-anaknya juga hadir disana, membawakan aneka buah tangan.Ali terperangah begitu juga dengan orangtuanya, saat melihat Parmi yang berubah jadi cantik. Bahkan saat bersalaman, mereka hampir tidak mengenali Parmi.Ibu Parmi, Bu Parti sampai tepat semalam, ia sangat senang bisa melihat Parmi, Parni dan ketiga cucu kembarnya yang sangat cantik. Air matanya tidak berhenti mengalir saat menyaksikan prosesi gunting rambut cucunya. Begitu hikmat dan syahdu, diiringi sholawat dan ada hiburan marawis dari ibu-ibu lingkungan setempat.Aneka hidangan tersedia sudah di meja prasmanan, balon-balon cantik dan aneka h