“Ini tentang pesta pernikahan kita. Aku sudah menemukan tempat yang lebih melindungi privasimu daripada tempat yang kemarin kau rencanakan,” jelas Neil, penuh keantusiasan dari suara lembutnya yang kudengar.
Lihat, betapa manis dan baik hatinya dia. Begitu sangat berbeda dengan seseorang. Ugh, andai posisi mereka bisa ditukar, aku tidak akan pernah mau menikah dua kali, apalagi sampai memiliki dua orang suami.Cukup Neil dalam hidupku, dalam hatiku.“Oh, benarkah? Neil, kau hebat. Selalu bisa membuatku bahagia. Terima ka—”“Avaaa! Di mana handuk biruku?”Mengejutkan saja! Aku menoleh dan melihat Jay berkacak pinggang di ambang pintu dapur. Selaannya membuat Neil terdiam di seberang.“Maaf, aku akan menghubungimu lagi nanti.” Suara canggungku keluar dengan lembut, perlahan. Sungguh, aku tidak ingin menyakitinya.“Iya sayang, tidak apa-apa. Aku mengerti. Sampai nanti,” jawab Neil, membalasku dengan lembut. Oh, aku memang sangat mencintai pria ini. Dia tulus, aku tahu itu.Setelah memutuskan panggilan, aku menghampiri Jay yang belum merubah posisinya, masih berkacak pinggang.Kulewati dia tanpa sepatah katapun menuju kamarnya sendiri. Kubuka lemari Jay, mengacak seluruh pakaiannya dan menemukan handuk biru bertuliskan ‘Honey’ dengan benang timbul di ujungnya.Kuhampiri dia kembali yang masih berdiri di ambang pintu, berwajah kusut—meski ketampanannya sama sekali tidak hilang—dan rambut tebal berantakan yang terlihat lucu. Tapi aku tidak berniat untuk tertawa karena hal itu.“Jaga sikapmu saat aku sedang menerima panggilan!” Kulemparkan handuk itu tepat ke wajahnya, sebelum terjatuh, Jay dengan cepat menangkapnya.“Oh, itu tidak ada dalam surat perjanjian yang kutandatangani,” protes Jay, menyeringai.“Lain kali aku akan lebih kejam saat mengusir para jalangmu itu dari rumah ini!” Nada ancaman yang rendah lebih berpengaruh untuk Jay, dan itu benar.Dia terdiam di tempat, rahangnya menegang dengan tonjolan urat-urat di sekitar lehernya. Aku yakin setelah ini dia akan marah besar atau setidaknya melempar barang yang pertama kali dia lihat saat marah.Benar, Jay menendang sebuah meja kecil di sudut, tempat beberapa miniatur mobil dan pesawat yang terbuat dari kayu terpajang rapi, kini jatuh berantakan di lantai.Untuk hal seperti ini, aku jelas tidak ingin melawan. Biasanya, aku membiarkan Jay mengamuk sesuka hatinya, lalu dia akan membereskan semua kekacauan seperti ini sebelum aku tiba di rumah.Di rumah ini, apapun itu, kami kerjakan masing-masing. Termasuk menyiapkan sarapan, membersihkan kamar dan rumah, kecuali mencuci pakaian. Biasanya, aku dan Jay—secara terpisah—akan membawa pakaian kotor ke penatu, beberapa hari sekali.Bukan tanpa alasan, kami menghindari siapapun orang luar yang akan mengetahui bagaimana tidak harmonisnya kehidupan rumah tangga kami.Dengan adanya pelayan rumah, akan menambah satu lagi hal yang pasti memicu kecurigaan dunia luar tentang bagaimana rumah tangga kami tidak berjalan sesuai apa yang menjadi panutan banyak orang.Ya, kalimat ‘Pernikahan yang menjadi panutan banyak orang’ itu, sungguh menakutkan!Aku dan Jay akan terus berpura-pura saling merangkul dengan wajah penuh kebahagiaan, memeluk satu sama lain bersama bahasa tubuh yang harus kupaksa menyatu dengan Jay dalam sebuah hubungan saling berlandaskan cinta, sungguh membuatku gila!“Harusnya kau buatkan juga untukku,” protes Jay. Dia menyeret kursi makan dan duduk dengan tindakan tak sabaran, merebut sepiring pancake stroberi yang buru-buru kusiapkan untuk sarapan.Aku tidak akan ambil pusing untuk kegilaan Jay di waktu sarapan. Jadi aku membiarkan pancake itu disantap tanpa sisa olehnya.“Kau tak suka pancake stroberi, itulah kenapa aku membuatnya.” Kuraih segelas susu, meneguk dengan cepat. Aku harus segera pergi menemui Neil. Selain akan mengurus pakaian pernikahan, aku juga ingin mengunjunginya tiba-tiba. Sebagai kejutan.“Itu berarti, lain kali kau harus buatkan pancake pisang untukku,” tambah Jay, bicara dengan mulut mengunyah perlahan-lahan.“Bukan tugasku membuatkan sarapan untukmu, Jay.” Mendorong kursi ke belakang, aku meraih kunci mobil di samping gelas susu.“Sesekali lakukan itu, Ava. Imbalan atas kemurahan hatiku, membiarkanmu menikah lagi.”Aku tertawa menghina, melirik tajam pada Jay, lalu mengukir senyum sinis sebelum berkata. “Kau boleh melakukan hal yang sama Jay. Kita tinggal saling menyepakati perjanjian lagi.”“Terserah kau saja!” Melempar serbet ke atas meja, Jay ikut beranjak dari kursi. Dia berjalan menuju ke kamarnya.Merasa menang, aku berjalan menjauhi ruang makan ke arah garasi. Tubuh, pikiran dan hatiku sudah siap menyambut bahagia bersama Neil Cedric Harrison.***Selesai mengurusi berbagai hal untuk persiapan pernikahan, aku sudah dalam perjalanan menuju ke rumah Neil, ketika panggilan dari Ibu mertuaku, seketika membuatku keheranan.“Ya, halo Bu?”“Ravabia, kau ada di mana sayang?” Tanpa basa-basi, itulah ciri khas—Vivian—Ibunya Jay.“Di perjalanan menuju ke salah satu gerai-ku, Bu. Kenapa, Bu?”“Waah, kebetulan, aku dan teman-temanku akan mengadakan pertemuan. Bisakah kau hadir untuk mengatur dan mempersiapkan segalanya di gerai-mu?”Ah, sial!“Di gerai yang mana Ibu akan mengadakan pertemuan?” Suara manisku, jauh berbeda dengan wajahku saat ini.“Yang terdekat dengan rumahku saja. Aku tunggu kau di sana. Kau tidak keberatan, bukan?”Sangat keberatan Ibu mertua!“Tidak, Bu. Tentu saja tidak.” Aku meremas kemudi dengan geram. Kenapa bisa Bu Vivian yang terhormat ini, menggangguku di saat yang sangat tidak tepat?Kekesalan meluap dari kepalaku, dengan cepat, kuputar kemudi menuju sudut kota Madeline, di salah satu gerai Vigor Food's milikku, ah, tidak, maksudku, milik keluargaku.“Ibu mertuaku sudah tiba?” Aku bertanya pada salah satu karyawan sambil kedua mataku menyapu seluruh ruangan. Aku tiba setelah lima belas menit berlalu dengan mobil yang kulajukan bersama kecepatan di atas rata-rata.“Sudah, Bu. Nyonya Vivian memilih taman belakang untuk acaranya. Baru lima menit yang lalu dia bertanya padaku tentang keberadaan Anda,” jelas karyawanku.Dasar tidak sabaran! Dia persis seperti Putra liciknya itu.“Bantu aku untuk menyiapkan semuanya dengan lancar. Kerahkan juga teman-temanmu yang lain.” Tanpa menunggu karyawanku mengangguk, aku berjalan menuju taman belakang. Biasanya tempat itu hanya digunakan oleh pelanggan yang datang bersama Anak atau keluarga besar mereka.Aku sedikit terkejut karena dia tidak memilih ruang VIP untuk pertemuannya.“Bagaimana, Bu? Apa yang ingin Ibu lakukan, biar aku bisa bantu mempersiapkannya sekarang juga,” kataku ketika Ibu memilih untuk menyambutku dengan pelukan. Konon, kata Kakek, Bu Vivian sangat menyukaiku. Aku istimewa, katanya.“Sederhana saja, sayang. Aku ingin seperti pesta kebun yang penuh kehangatan, karena acara ini bersifat santai dan tenang,” jelasnya.“Hmm ... baiklah. Berarti semua ini diserahkan padaku?” tanyaku, memastikan. Setidaknya, setelah mengurus ini dengan cepat, aku bisa menyelinap pergi untuk bertemu Neil.“Tentu, sayang. Atur saja. Mereka akan tiba dua puluh menit lagi.”"Baik, Bu. Aku mengerti.” Dengan cepat aku mengangguk sambil tersenyum. Benar. Hanya butuh kurang lebih tiga puluh menit lagi untuk memastikan semuanya lancar. Maka aku bisa langsung terbang untuk bertemu kekasih hatiku.Aku tersenyum senang, ketika semua persiapan berjalan lancar dan tamu-tamu Ibu mertuaku berdatangan tepat setelah minuman juga makanan pembuka dihidangkan.Jumlah mereka sekitar sebelas sampai tiga belas orang dengan tampilan yang lebih menonjol dari si pemilik acara. Satu hal yang paling kusukai dari Ibu mertuaku, penampilan yang sederhana, namun tetap terlihat bahwa dia berasal dari kalangan kelas atas.Saat kulihat Ibu mertua sudah sibuk dengan teman-temannya, aku mundur, perlahan-lahan berniat untuk menyelinap karena Neil bisa saja sudah tidak lagi berada di rumahnya. Meski Neil sering terlambat berangkat ke Harrison Express, aku tetap tidak ingin kehilangan kesempatan untuk bertemu.“Sayang ... bisakah kalian ikut bergabung bersama kami?” Suara panggilan Ibu mencegatku, ketika aku bersiap untuk berbalik.Tapi, tunggu, kalian? Aku menoleh ke arah pintu. Ternyata ada sosok suami berengsekku sedang melangkah seraya melambai ke arahku. Ah, sial!Ini pasti ulah Bu Vivian. Tapi apa Jay
“Omong kosong! Kakekku tidak akan setuju. Jadi lupakan tentang apa yang pernah aku usulkan padamu waktu itu,” kata Jay, berjalan mengitari mobil, membuka pintu dan masuk.Begitupun aku. Walau ingin marah dan berniat terus membujuk Jay, aku merasa pembicaraan ini tidak akan menghasilkan apa pun. Jadi lebih baik aku bergegas menuju mobilku sendiri, dan pergi menemui Neil. Tapi sebelum sempat membuka pintu, tangan kekar Jay menahannya.“Kenapa kau tidak ikut bersamaku saja? Tidak sadar bahwa ini akan menimbulkan kecurigaan?”Aku mendengus kasar, tertawa mengejek, “Sejak kapan kau peduli?”“Karena ada Ibuku di dalam. Aku hanya tidak ingin menambah masalah.” Jay menoleh ke kiri dan kanan.Ya, baiklah. Sedikit masuk akal. Tapi sebelumnya dia tidak pernah seperti ini. Aku mengikuti Jay ke mobilnya, memeriksa ponsel setelah duduk dan membaca semua pesan Neil yang berisikan sapaan juga pemberitahuan.[Sayang, aku sarapan sandwich hari ini, sedikit asin karena terlalu banyak keju. Apa sarapanmu
“Istri macam apa yang berkeliaran di jam malam seperti ini?” Ibu langsung menyerangku dengan cercaan menusuk saat kedua kakiku melangkah di ruang tamu. “Apa temanmu yang sakit itu tidak punya keluarga sampai kau harus menjaganya dua puluh empat jam?”Aku memandang Ibu dengan wajah malas. “Ibu salah informasi. Aku tidak menjaganya selama itu ...” Aku menoleh pada Jay yang duduk diam dengan wajah bingung. Apa-apaan dia, kutatap Ibu kembali, “aku baru beberapa jam di sana, sejak tadi siang. Dia hidup jauh dari keluarganya. Jadi aku—”“Ah, hentikan! Itu hanya alasanmu, Ava!” Dengan telunjuk mengacung, kedua mata Ibu mendelik marah padaku. “Sejak kapan kau memiliki teman lain selain Britta dan Sully?”Aku diam, tidak berniat menjawab, menoleh lagi pada Jay. Benar, aku hanya memiliki dua teman baik selama hidupku, tapi keduanya bisa langsung menusukku dari belakang dengan mengencani suamiku.Meski pria itu Jay, yang hampir tidak pernah kuanggap sebagai suami selama kami menikah, tetap saja,
“Fantasimu tentangku? Hei, apa kau memiliki hal itu di pikiranmu?” Jay tampak menahan diri di antara ingin mengejek dan menertawaiku.“Bukan seperti yang kau pikirkan!” Kulempar bantal ke wajahnya.Mengernyit marah, dia mengambil bantal yang jatuh di pangkuannya dan balik melempar tepat mengenai kepalaku.Entah kapan dimulai, kami berdua mulai saling lempar bantal tanpa suara. Tiba-tiba Jay mendekat dan menindihku. Membuatku terkejut tapi tidak dapat melakukan apapun.Jika aku berteriak atau mengumpat padanya, Ibu jelas akan bangun dan memarahiku. Sudah dapat kupastikan sejak awal menikah, Ibu lebih berpihak pada Jay daripada diriku putrinya sendiri.Mungkin Ibu masih menganggap aku akan menyakiti hati Jay—si suami idaman—karena kami dijodohkan oleh para Kakek. Tampak jelas di mata serta sikapku yang menolak perjodohan kami waktu itu, dua tahun yang lalu. Aku yakin, Ibu mulai berasumsi sendiri tentang ketidaksukaanku pada Jay.“Kita berpura-pura saja atau langsung melakukannya?” bisik
Aku bergeser pelan, tanpa suara bentakan atau hardikan untuk Jay. Aku benar-benar merasakan kecanggungan sentuhan serius darinya.Perlu diingat, kami hampir tidak pernah menjurus ke arah berbau seksual, selain dari kontak fisik untuk saling menolak, atau keberatan terhadap sesuatu.Bahkan saat dia masuk ke kamar mandi di saat aku sedang berendam dibalik busa, kami sama sekali tidak saling tertarik untuk melakukan hal yang lebih dari itu.Untuk menanggapi Jay, aku melakukan hal seperti menendangnya jika dia masuk tanpa izin ke kamarku, terbiasa menepis tangannya saat dia menghalangi jalanku, atau menepuk pundaknya jika ingin membangunkan dia yang tertidur di ruang keluarga.Hal-hal seperti itu dan sama sekali tidak pernah menimbulkan hasrat apapun di antara kami. Itu aneh? Tidak juga. Jay jarang pulang dan lebih sering membawa jalangnya ke sini. Meski belakangan sudah cukup jarang terjadi, tapi itu tidak memudarkan penilaianku tentangnya yang maniak seks, sering main gila di luar itu m
“Aku menginginkanya lagi.” Bisikan serupa angin dingin berhembus di telingaku, ketika pertama kali membuka kedua mata.Kesadaran paling penuh yang kulewati semalaman memang hampir tidak ada. Tapi aku ingat bagaimana kami melakukannya berulang kali seolah tanpa ampun, apalagi jeda.“Hmm?” Pura-pura bodoh, aku meraba-raba meja samping untuk mencari ponsel.“Kau kehabisan daya di ponsel-mu, jadi aku mengisinya,” kata Jay. Aku menoleh ke arahnya dan melihat dia menunjuk ke meja kecil tempat biasa aku meletakkan ponsel jika sedang disi daya baterai.Membulatkan bibir, aku mengangguk mengerti dalam kecanggungan yang tampak seperti hanya aku seorang yang mengalaminya.Jay bertingkah santai menopang kepalanya di atas telapak tangan, seolah menggoda dengan posisi berbaring miring menghadap ke arahku. “Tidak bisakah kau mengabulkan keinginanku?”Mendadak kikuk, aku berdeham. “Aku ... aku harus pergi memeriksa tempat untuk besok.” Menyibak selimut, aku hampir terpekik karena tidak ada gaun tidur
“Mau kuantar?”Aku melirik sekilas pada Jay yang berdiri dengan ponsel di tangan, di ambang pintu kamarku. Aku kembali lagi ke sini setelah tadi sudah berada di dalam mobil—siap berangkat—karena lupa membawa kotak berisi cincin pernikahan kami, aku dan Neil tentunya.Sial! Bisa-bisanya benda itu tidak ada di laciku. Aku ingat semalam masih memandanginya sebelum tidur. Tapi lupa apa yang terjadi setelah itu.“Bisa bantu aku mencari kotak cincinku?”Jay tiba dengan cepat sebelum aku sempat mendengar jawabannya. Sekarang dia sedang memeriksa bagian bawah ranjang, lalu beralih menuju lemari pakaianku.Aku juga melakukan hal yang sama di sampingnya.“Kotak dengan warna apa?”“Hitam beledu.”Beberapa menit dia sibuk dengan isi lemari pakaianku.“Tidak ada,” katanya. Dan aku yang mematung menunggu, seketika panik. “Jay, bagaimana ini?” Spontan aku malah bertanya pada pria yang setelah hari ini, sudah siap menerima pembagian waktu dengan Neil.“Masalah cincin bukan perkara serius. Jika terus
Seperti ucapan Neil, kami menghabiskan waktu dengan menikmati kegiatan menyenangkan di luar penginapan sambil mendengar suara binatang-binatang malam yang terdengar memecah hening.Tapi bagiku, terdengar lucu dan menghibur.Senja tadi, aku habiskan dengan terisak sambil menerima sesendok demi sesendok makanan yang disuapi Neil ke dalam mulutku.Di mana lagi ada pria sebaik dan setulus dirinya?“Setelah ini, kita coba lagi ya?” Kuamit lengannya. Memutuskan untuk berusaha daripada menyerah dan merasa bersalah.Sambil terus melangkah, Neil mengusap puncak kepalaku. “Baiklah, aku ingin kau melakukannya dalam keadaan tenang, tanpa perasaan terbebani.”Walau mungkin akan sulit karena aku sendiri tidak paham di mana letak kerisauan dan ketidaktenangan diriku, aku coba mengangguk paham.Belum juga jam sepuluh malam, aku sudah mengeluh lelah dan beralasan ingin kembali ke penginapan.Tujuanku sebenarnya hanya satu, ingin memberikan diriku pada Neil setelah kami resmi menikah.Dia sudah bersaba