“Dirimu.”Kutatap Jay dengan perasaan tidak menentu dalam hatiku. Tapi kupikir, aku memang tidak bisa menolak. Sama seperti sebelumnya. Tidak perlu berusaha terlalu keras, Jay bisa dengan mudah mendapatkanku.Kali ini juga sama. Bayangan kegagalanku bersama Neil memang menjadi beban. Tapi entah kenapa, saat ingin melakukannya bersama Jay, aku seakan lupa sudah berapa banyak wanita yang ditiduri olehnya.Mungkin kali ini, aku harus bertanya langsung pada Jay soal itu. Juga melupakan perkataanku pada Neil yang ingin berusaha untuk tidak melakukannya lagi dengan Jay.Atau haruskah aku menolaknya? Hari ini, kesadaran cukup berada dipihakku. Aku belum begitu dikuasai hasrat menginginkan tubuh Jay yang berkulit eksotis ini untuk menindihku.“Kau tidak menjawab.” Jay menggendongku, aku terdiam sesaat tanpa bisa menatap matanya.“Berapa banyak wanita yang sudah kau tiduri?” tanyaku saat Jay membaringkan tubuhku di ranjang yang permukaannya terasa cukup dingin.“Hmm ... memangnya kau kuizinkan
Menjauhkan sedikit ponsel dari telingaku, aku berkata berbisik pada Jay. “Tunggu aku di mobil.”“Baiklah, jangan terlalu lama!” Setengah berteriak, Jay berlalu meninggalkanku.Cepat-cepat aku menyapa kembali Neil diseberang. “Masih di sana, sayang?”“Ya, aku masih mendengar kalian.”Aku lega karena nada suara Neil terdengar tidak berubah. Seingatku, memang Neil tidak pernah merasa cemburu pada Jay. Dia tahu kapasitasnya sebagai orang kedua.Tapi, apa benar Neil akan bisa bertahan lebih lama lagi dari ini?“Kalian akan berangkat bersama?”“Ya, kebetulan aku dan Jay diminta menginap di rumah Kakek Hamlet.”“Kalau begitu, pergilah. Kau harus bekerja, bukan?”“Hem. Kututup teleponnya?”“Baiklah. Kirimi aku pesan, jangan lupa untuk selalu mengingatku.”“Tentu saja, sayang. Sampai nanti.”Panggilan berakhir dan aku setengah berlari kembali ke ruang makan untuk mengambil tas, lalu bergegas menuju keluar rumah.*****Karena tidak membawa mobil, tapi harus terlihat kembali bersama-sama ke ruma
Aku menoleh untuk mendelik marah pada Jay di sampingku. “Urus saja urusanmu, Jay.” Aku menggeram sembari berbisik. Kebetulan sekali Kakek Hamlet sedang pergi menyapa para tamu lain di meja belakang. Sepertinya, ada banyak teman-temannya yang hadir di acara ini.Acara dimulai dengan makan malam yang diiringi alunan musik klasik, dari sepasang penyanyi yang melagukannya begitu merdu di sudut ruangan.Mungkin mereka memang sepasang kekasih, karena kemesraan keduanya begitu terlihat wajar dan alami.Sesekali, aku tahu Neil melihat dan tersenyum lembut ke arahku. Bahkan, aku sampai salah tingkah dibuatnya. Beruntung, Kakek hanya fokus pada makanan dihadapannya dan Jay.Jeda sepuluh menit setelah makan malam yang mengenyangkan, Jay dengan berengseknya menghalangiku untuk curi-curi pandang ke arah Neil, dengan mengajak berdansa.Kakek Hamlet yang bersemangat, justru melarangku menolak keinginan Jay.Dengan senyum terpaksa yang disadari Jay, aku berbisik saat akhirnya kami sudah berada di la
“Apa?” Aku tertawa tidak percaya. Lelucon macam apa itu? “Maksudnya, mungkin dia kagum padaku karena ....” Mendadak aku berhenti bicara. Tidak mungkin kukatakan padanya jika tadi Nathan melihatku bercumbu panas dengan Jay di toilet.“Karena apa?” Neil menunggu, jelas penasaran.“Karena ... mungkin aneh melihatku dengan gerak tidak teratur seperti tadi di lantai dansa,” dalihku.“Bukannya kagum?” Neil mengingatkan. “Kau sama sekali tidak melakukan gerakan aneh di lantai dansa, sayang.”Aku hampir lupa, pria ini tidak mudah melupakan karena selalu menyimak setiap apa yang kubicarakan, walau hal sekecil apapun.Dia pantas mendapat julukan pendengar yang baik. Itu berarti, bertambah lagi daftar ketidak pantasanku bersanding dengannya.Benar-benar pria sempurna, tapi tipikal yang menutup diri. Tega sekali mantan kekasihnya menghancurkan perasaan dan cinta tulus serta murni milik Neil.Ah, sudahlah. Dia menyia-nyiakan seseorang yang berharga, dan aku yang akan membahagiakan Neil seumur hidu
Aku baru akan mengambil tas dan menghampiri Kakek Hamlet, saat mataku melihat Nathan sedang berbisik pada Kakek dan mereka berdua segera berbalik untuk melihatku.Seperti tersengat listrik bukan di saat tengah bercinta, kedua kakiku lemas, kembali duduk bersama tas di atas pangkuanku.“Ava!”Aku mendongak dengan wajah terkejut saat melihat Kakek Hamlet sudah hampir mencapai meja dan mengernyit memandangku. “Aku terus memanggilmu, apa kau tidak mendengarku?”“Oh, maafkan aku, Kakek. Aku sedang memikirkan sesuatu.” Gugup, aku melihat Nathan mengikuti Kakek Hamlet berjalan dari arah belakangnya.Apa Nathan berniat membongkarnya di depanku dan Kakek Hamlet? Begitukah cara dia memperlakukan orang lain? Aku istri Kakaknya. Tidak bisakah aku memberitahunya soal itu?“Kau memikirkan Jay?” Kakek duduk di sisiku, dan Nathan menarik keluar kursi diseberangku.“Itu ... iya, Kek.” Aku berbohong. Tapi jujur, sedikit penasaran kemana si berengsek itu pergi tanpa ingin mencari tahu.“Jay mendapat pan
Jay memilih untuk berendam dalam jarak sedekat mungkin denganku. Aku diposisikan Jay di atas pangkuannya. Entah mungkin karena sedang dalam suasana hati yang sedih, aku tidak menolak sama sekali.Kurasa tidak masalah. Dia suamiku. Tidak ada yang salah dengan mandi bersama. Lagipula, ini pertama kalinya setelah dua tahun berlalu begitu saja di antara kami.“Ibu menikah dengan Ayah, karena Ayah menghamili Ibu.” Jay bicara tanpa kuminta.Menyembunyikan keterkejutan akan fakta tidak sesuai dengan apa yang kulihat selama ini, aku hanya menggerakkan jari telunjuk untuk membuat garis lurus di sepanjang lengan kanan Jay yang tidak terendam air.“Tapi bayi itu bukan aku. Kakakku yang gugur di usia kehamilan enam minggu. Aku ada setelah dua tahun berlalu.” Jay terdiam. Dia memegangi pergelangan tanganku yang masih melukis garis di lengannya. Mungkin dia merasa geli.Kulirik dia melewati bahu kiriku, tidak tampak tanda-tanda dia berhasrat meski kami sudah dalam keadaan tanpa pakaian, berendam di
“Itu akan jadi urusanku, Ava.” Jay santai bersandar di kepala ranjang. Dia baru saja mendengar keluhanku tentang Nathan. “Kau yakin?” Tidak ragu untuk kemampuan Jay, tapi tak meyakinkan tentang kesungguhannya. Dia terlalu santai, tampak menyepelekan lawan. “Jika tidak yakin, aku tak akan bersedia menerima risiko apapun, Ava.” Diam, aku merasa harus tetap berusaha sendiri. Tipikal orang yang tak sabaran dan tidak terbiasa mengandalkan kekuatan orang lain, meski itu bantuan yang bisa kudapatkan dengan mudah dari Ayah dan Ibuku. Ponselku berdering, itu pasti Neil. Aku lupa membalas pesannya karena terlalu fokus mengurusi cara menjauhkan Nathan dari segala rasa ingin tahunya padaku. Menuruni ranjang dengan terburu, aku justru tersandung slipper dan jatuh dalam posisi terduduk. Kudengar langkah kaki Jay terburu-buru mendekat, jadi aku menunggunya untuk menolongku berdiri. Saat melihat ke arahnya, aku justru mendapati kenyataan bahwa Jay meraih ponselku dan menjawab panggilan Neil. “
“Katakan, ada apa, Nathan?” Aku sudah duduk cemas yang tidak kuperlihatkan padanya.“Aku ingin membangun usaha yang mirip dengan bisnismu ini.”“Lalu?” Ada rasa tidak percaya pada pria yang tampak menggunakan topeng bagiku ini. Dia menyembunyikan wajah aslinya. Aku yakin, dia bukan tipikal seseorang yang seceria ini.“Kau lupa penjelasan Kakek suamimu kemarin malam?” Nathan menaikkan kedua alis.“Oh, ah itu ....” Mendadak ingat, aku kesal pada kenyataan bahwa dia jauh lebih peka dariku. Nathan juga tampak lebih pintar dalam menilai seseorang dibandingkan dengan Neil.Nathan bahkan terlihat seperti sedang menahan tawanya memandangiku yang resah. Dia paham situasi, pintar dalam menilai.“Jadi, apa yang kau butuhkan? Karena hubunganmu dan Kakek cukup dekat, akan kuusahakan untuk membantu sebisaku.” Aku tersenyum, berpura-pura ramah.“Aku ingin kau yang merancang segalanya. Mulai dari menu makanan dan minumannya, wadah, atau kemasan untuk produknya. Semuanya ....” Nathan merentangkan kedu
Aku tidak tahu kapan Jay pergi dari kamarku. Ketika terbangun, aku justru melihat Dira sedang meletakkan nampan berisi makan siang.“Dira ... kau tahu ada seseorang tadi bersamaku?” Cemas, aku takut hanya kembali berhalusinasi melihat dan merasakan Jay ada bersama denganku.Dira menggeleng bingung. “Tadi Nyonya Martha memanggilku untuk mengambil parfait greek yogurt buatannya untuk Anda, dan kami berbincang sebentar. Tapi aku tidak melihat siapapun yang keluar dari rumah.” Penjelasan Dira membuatku ragu, bahwa aku dan Jay baru saja melewati sesi bercinta yang menyenangkan.Benar-benar tidak ingat, tapi aku yakin sejak pagi kami bersama. Jejak percintaanku dan Jay masih terasa di tubuhku. Tapi dia pergi tanpa pamit, mungkin dia menghilang saat sudah berhasil membuatku tidur nyenyak dalam pelukannya.Neil pulang lebih cepat, sekitar jam empat sore. Dengan wajah berseri-seri, Neil naik ke ranjang setelah dia selesai mandi. Menciumku tanpa ragu, dia berhenti sejenak dan tampak terkejut, m
Melewati trimester pertama, perutku semakin besar dari kehamilan normal yang sering kulihat di manapun. Kecuali satu yang kutahu, aku mengandung bayi kembar. Tebakanku tidak salah dan keyakinan ibu jelas benar, karena hasil Ultrasonografi menunjukkan hal itu.Kehamilan enam belas minggu, terlihat seperti dua puluh tujuh minggu. Itu mengembirakan sekaligus mengundang cemas banyak orang terdekat, terutama diriku. Padahal dokter sudah berulang kali mengatakan bahwa kandunganku sehat.Banyak hal yang semakin sulit kulakukan tanpa merasa cepat kelelahan. Bahkan ibu dan Neil melarang keras agar aku tidak lagi datang untuk mengurus gerai.Sekarang masih pagi, Neil sudah kuusir secara halus dengan alasan dia juga harus mengurus Harrison Express atau kami akan kelaparan. Itu hanya alasan, aku tahu Neil menurutiku karena dia juga merasa perlu bertanggung jawab pada perusahaannya. Jadi dia pergi dengan sedikit enggan.Seorang pelayan wanita bernama Andira, diperintahkan ibu untuk menemani, terut
Kini giliran Neil yang mengernyit bingung. Dia menepikan mobil, tepat di bawah sebuah pohon rindang tepi jalan. Memberi pandangan bingung, aku hanya coba tersenyum.“Sayang ... bukannya kau yang ingin memintaku untuk melepaskanmu suatu saat nanti? Aku benar-benar bingung ketika pernyataanmu berubah begitu cepat.” Neil mengenggam tanganku erat-erat.Benar, aku berubah pikiran seketika. Sekarang, aku tidak bertujuan untuk meminta dia melepasku. Setelah kupikirkan lagi, akan ada saatnya di mana Neil sendiri yang akan benar-benar rela melepaskanku lebih dulu. Membiarkan salah satu dari kami pergi ke mana hati menuntun.“Jangan khawatirkan itu. Berharap saja yang terbaik untuk kita, Neil.” Saling memeluk erat, kami berbagi kehangatan.Neil tidak mengusikku lagi dengan pertanyaan itu. Kami berangkat menggunakan sopir pengganti. Neil yang menginginkannya dengan alasan harus fokus menemaniku di kursi belakang selama dua jam perjalanan.Tidak banyak yang ingin kubicarakan saat ini. Jadi aku me
Bagaimana caranya agar dia kembali seperti Neil yang pertama kali kulihat di taman dekat rumahnya? Dia yang lembut, ramah dan selalu tersenyum padaku.Sekarang dia tampak hancur, sama seperti hatiku. Bisakah aku menebus semua kesalahanku padanya?“Aku hanya mengembalikan cincinnya, bukan hal lain. Tapi, aku ingin kita membuat kesepakatan bersama.”“Kesepakatan apa?” Dia bertanya curiga.“Mari hidup bersama. Kita pergi dari sini. Anggap bayi ini anakmu. Tapi berjanjilah, ketika aku ingin kau melepasku, kau harus melepaskanku tanpa ragu, tidak ada lagi Neil yang lemah karena ditinggalkan. Apa kau sanggup seperti itu?”Tidak perlu waktu lama untuk membuat Neil mengangguk. “Baiklah, aku menyanggupinya. Akan kuurus semua yang diperlukan. Bagaimana denganmu?”“Aku juga akan mengurus semuanya. Neil, aku ingin kau tahu satu hal, meski kau terobsesi padaku, tapi aku tidak akan menganggapmu seperti itu. Aku pasti berusaha menjadi istri yang baik untukmu.”Neil terdiam, dia bergetar, pucat, dan
“Kemarilah ...” Jay membantuku berbaring di sisinya, “kita akan seperti ini sebentar.” Dia memelukku dengan lembut, terasa hangat dan nyaman.Inilah yang sesungguhnya. Benar, hatiku menyadarinya. Aku mencintai Jay entah sejak kapan. Dia yang kuinginkan, meski tidak masalah jika nanti kami akan berpisah.Semua menjadi tidak begitu penting. Perasaan harus memiliki, keinginan untuk membalas semua perbuatan buruknya selama kami menikah, seakan pupus dengan sendirinya. Aku lupa bagaimana caraku membenci selama setengah hidupku pada pria ini.“Kau banyak berubah, Ava.” Jay bergumam. Suaranya bernada keheranan.“Begitukah? Apa ini karena bayinya?” Aku coba mengalihkan.“Hmm ... mungkin tidak sepenuhnya salah, tapi kau juga ikut andil dalam hal ini.” Jay mencium jari jemariku.“Kau benar, aku jadi sangat memahami perasaanku saat ini.” Aku tersenyum. Tidak masalah jika Jay tidak mencintaiku. Bisa seperti ini sebelum berpisah, malah akan membuat perasaanku jauh lebih baik, daripada menyesal den
Benar, ini semua tentang itu.Aku dan Jay menerima tatapan tidak menyenangkan dari keduanya. Terutama ibu. Sekarang kami berada di kamarku.Entah kenapa ibu meminta kami untuk berkumpul di kamar dengan nuansa hijau mint yang tidak pernah berubah sejak terakhir kali kutinggalkan. Dan warnanya persis seperti kemeja longgar yang kukenakan sekarang.Tapi itu hanya kebetulan. Kemarahan ibu terlihat lebih nyata. Membuatku menciut seketika.“Kalian ... berani sekali kalian mengajukan perceraian setelah kakek meninggal? Dasar anak kurang ajar!” Ibu melayangkan pukulannya padaku, tamparan pertama mengenai pundak kiriku, tapi Jay melindungi dengan cepat, pukulan ibu selanjutnya malah diterima pria ini dengan sukarela.“Ibu ... maafkan kami. Sebagai gantinya, tolong pukul aku saja. Ava sedang hamil bayi kami, Bu.” Jay menunduk, tepat di hadapan Ibu.“Via ... sudah hentikan. Kau ingin tekanan darahmu naik lagi, hmm?” Ayah ikut menasihati, menarik lengan ibu agar kembali duduk di sisinya.Jay meng
“Ava, apa kau memang tidak ingin diganggu, Sayang?” Suara Jay terasa sejuk terdengar di telingaku, mengisi penuh relung hati. Kenapa baru sekarang dia memanggilku dengan sebutan itu?Tapi, ya, aku sadar, Jay hanya ingin menaikkan emosi Neil di depanku.Neil menoleh ketika aku baru bersiap membuka mulut untuk bicara. Dia menatapku tajam. Aku tahu kata kuncinya. Aku jelas paham kode aman agar Neil tidak membuat kesengsaraan baru untukku, tentu saja, ancaman akan dipisah dari Jay selamanya.Tapi aku bukan wanita yang bisa bertahan di bawah ancaman. Aku tidak akan bisa diancam oleh siapapun, kecuali mendiang kakek dan ibu.“Bawa aku pulang, Jay. Aku ingin pulang bersamamu.” Air mataku mengalir. Rinduku pada Jay sudah tidak terbendung lagi, padahal kami baru berpisah beberapa jam yang lalu.“Bia!” Neil sudah mencengkeram lenganku. “Kenapa kau bersikap seperti ini padaku, hah?” Suaranya seperti tercekat, dia tampak sangat frustrasi.“Neil, maafkan aku ...” Kutatap dia dengan lekat, meski ai
“Apa aku terlihat baik?” Menaikkan alis, aku mendorong dada Nathan sedikit menjauh dariku. Dia pintar memanfaatkan situasi, mencuri kesempatan yang begitu besar dari kesempitan yang kualami. “Kapan kita keluar? Aku tidak bisa lebih lama lagi di sini.”“Tenanglah sedikit. Aku harus coba menghubungi Neil untuk memastikan dia ada di mana saat ini.” Nathan menggerutu kesal, dia meraih ponsel dan mulai menelepon.Nathan mondar-mandir di depanku. Dia berulang kali mencoba, tapi sepertinya Neil tidak berniat menjawab panggilan Nathan. Ah, ini percuma. Akan lebih baik jika aku percaya pada diriku sendiri.“Sudahlah, Nathan. Ini buang-buang waktu. Aku akan keluar seorang diri. Kau bisa menyusul setelah aku pergi.” Beranjak, aku sudah melangkah tanpa dicegah oleh Nathan.“Tapi aku tidak akan peduli pada apa yang nanti terjadi padamu, Ava. Aku sudah memperingatkanmu.” Nathan duduk santai di sofa berdebu. Dia tersenyum seolah mengejekku.Tidak peduli, aku coba meyakinkan diriku bahwa mungkin saja
Bertahan dengan kepalan kedua tangan di samping tubuh, aku mendiamkan lebih dulu niatan Nathan tanpa maksud ingin mengumpat tepat di depan wajahnya.Aku harus segera pergi dari sini, itu saja.Tidak ada lagi niatku untuk menginap di sini walau satu malam saja. Neil mengambil sikap tegas lebih dari sebelumnya. Meski aku bisa menerimanya, tapi aku tidak bisa meneruskannya lebih jauh lagi.Dan yang terpenting, aku benci berhutang budi pada siapapun. Apalagi pada tipikal pria seperti Nathan yang bagai angin. Tidak pernah bisa ditebak ke mana dia akan berhembus pergi.Jujur saja, sampai detik ini, aku tidak pernah tahu hutang budi seperti apa yang terjadi antara mendiang kakekku dan kakek Hamlet. Hingga aku dan Jay menjadi korban pernikahan konyol akibat hutang budi.Ah, sudahlah. Sudah berakhir. Semua sudah selesai sesuai dengan keinginan kedua belah pihak. Aku tidak akan pernah tahu bagaimana cara menghadapi ayah, ibu dan nenek tentang ini, tapi akan tetap kuhadapi.Berharap sungguh agar