Jay memilih untuk berendam dalam jarak sedekat mungkin denganku. Aku diposisikan Jay di atas pangkuannya. Entah mungkin karena sedang dalam suasana hati yang sedih, aku tidak menolak sama sekali.Kurasa tidak masalah. Dia suamiku. Tidak ada yang salah dengan mandi bersama. Lagipula, ini pertama kalinya setelah dua tahun berlalu begitu saja di antara kami.“Ibu menikah dengan Ayah, karena Ayah menghamili Ibu.” Jay bicara tanpa kuminta.Menyembunyikan keterkejutan akan fakta tidak sesuai dengan apa yang kulihat selama ini, aku hanya menggerakkan jari telunjuk untuk membuat garis lurus di sepanjang lengan kanan Jay yang tidak terendam air.“Tapi bayi itu bukan aku. Kakakku yang gugur di usia kehamilan enam minggu. Aku ada setelah dua tahun berlalu.” Jay terdiam. Dia memegangi pergelangan tanganku yang masih melukis garis di lengannya. Mungkin dia merasa geli.Kulirik dia melewati bahu kiriku, tidak tampak tanda-tanda dia berhasrat meski kami sudah dalam keadaan tanpa pakaian, berendam di
“Itu akan jadi urusanku, Ava.” Jay santai bersandar di kepala ranjang. Dia baru saja mendengar keluhanku tentang Nathan. “Kau yakin?” Tidak ragu untuk kemampuan Jay, tapi tak meyakinkan tentang kesungguhannya. Dia terlalu santai, tampak menyepelekan lawan. “Jika tidak yakin, aku tak akan bersedia menerima risiko apapun, Ava.” Diam, aku merasa harus tetap berusaha sendiri. Tipikal orang yang tak sabaran dan tidak terbiasa mengandalkan kekuatan orang lain, meski itu bantuan yang bisa kudapatkan dengan mudah dari Ayah dan Ibuku. Ponselku berdering, itu pasti Neil. Aku lupa membalas pesannya karena terlalu fokus mengurusi cara menjauhkan Nathan dari segala rasa ingin tahunya padaku. Menuruni ranjang dengan terburu, aku justru tersandung slipper dan jatuh dalam posisi terduduk. Kudengar langkah kaki Jay terburu-buru mendekat, jadi aku menunggunya untuk menolongku berdiri. Saat melihat ke arahnya, aku justru mendapati kenyataan bahwa Jay meraih ponselku dan menjawab panggilan Neil. “
“Katakan, ada apa, Nathan?” Aku sudah duduk cemas yang tidak kuperlihatkan padanya.“Aku ingin membangun usaha yang mirip dengan bisnismu ini.”“Lalu?” Ada rasa tidak percaya pada pria yang tampak menggunakan topeng bagiku ini. Dia menyembunyikan wajah aslinya. Aku yakin, dia bukan tipikal seseorang yang seceria ini.“Kau lupa penjelasan Kakek suamimu kemarin malam?” Nathan menaikkan kedua alis.“Oh, ah itu ....” Mendadak ingat, aku kesal pada kenyataan bahwa dia jauh lebih peka dariku. Nathan juga tampak lebih pintar dalam menilai seseorang dibandingkan dengan Neil.Nathan bahkan terlihat seperti sedang menahan tawanya memandangiku yang resah. Dia paham situasi, pintar dalam menilai.“Jadi, apa yang kau butuhkan? Karena hubunganmu dan Kakek cukup dekat, akan kuusahakan untuk membantu sebisaku.” Aku tersenyum, berpura-pura ramah.“Aku ingin kau yang merancang segalanya. Mulai dari menu makanan dan minumannya, wadah, atau kemasan untuk produknya. Semuanya ....” Nathan merentangkan kedu
“Hai, sayang.” Neil menyapaku dan menyambut dengan senyum lembut seperti biasanya.Aku melirik Jay. Raut wajahnya tanpa ekspresi. Datar dan tidak dapat kutebak.“Duduklah, Neil.” Aku mendekatinya, dan Neil mengikutiku. Sedikit canggung, tapi aku berusaha menutupinya.Ini kali pertama kami bertiga bertemu. Tapi suasananya sangat tidak menyenangkan. Canggung dengan udara yang terasa sesak. Walau aku tahu, sebelum mereka bertemu denganku, keduanya sudah saling mengenal.“Kau mau minum apa?” Pertanyaan basa-basi untuk diam yang menyelimuti kami bertiga.Jay masih berdiri bersandar di dinding dengan tangan terlipat di depan dada, Neil duduk tenang tanpa melepas pandangan dariku dan aku merasa resah ada di antara mereka berdua.“Apa saja, sayang.”“Baiklah, tunggu sebentar.” Aku beranjak pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Padahal aku ingin bertanya tentang bagaimana Neil bisa ada di sini tanpa pemberitahuan dan semua panggilan juga pesanku yang tidak berbalas darinya.Jay mengikutiku, aku be
“Tidak,” tolak Jay.Sekarang aku menyesal, hanya mengenakan gaun longgar melewati lutut dengan celana pendek tidak terlalu ketat yang begitu mudah ditarik turun begitu saja oleh Jay, walau kami dalam posisi berdiri.Sialan kau, Jay!“Jay!” Rasanya benar-benar akan meledak. Aku sudah mencengkeram lengan Jay erat-erat. Napasku beradu bersama Jay dan kami lupa daratan. Aku melupakan Neil lagi dan lagi!Jay menarik diri di tengah aksi. Itu menjengkelkan, tentu saja. Kedua mataku mengerjap bingung. Oh, ayolah Jay. Lakukan sesuatu!Jay menyeringai. “Ini terlalu menyenangkan untuk ditinggal, bukan?” Jay memandangi tubuhku dengan pakaian utuh. Hanya dalaman bagian bawah saja yang sudah terlepas, tapi tertutup gaunku yang sudah diturunkan oleh Jay perlahan-lahan.“Harusnya kau tidak memulainya, Jay.” Kesal, aku juga menjauh, sedikit membungkuk untuk memungut dalamanku.Jay menepis tanganku. “Jangan sentuh itu! Gunakan yang lain. Kau lupa peringatanku sebelumnya?” Jay melotot. Ah, ternyata dia
Bu Vivian muncul bersama Ibuku di salah satu gerai Vigor Food's yang kebetulan sedang kukunjungi pagi ini, untuk keperluan pemeriksaan akhir bulan.Tumben sekali, ada apa dengan mereka berdua? Bahkan Ibu dan mertuaku itu tampak tidak peduli padaku yang berdiri dalam jarak pandang lima meter dari tempat mereka duduk.Dengan alasan sopan santun, aku berjalan mendekat untuk sekalian mengantar donat dan pancake ke meja kedua wanita dewasa yang sekilas terlihat seperti dua sahabat akrab itu.“Oh, kau tampak sehat, Nak.” Ibu tertawa kecil, menyambut kehadiranku.Aku membungkuk untuk sekedar memeluk dan mempertemukan kedua pipi kami bergantian. Hal serupa juga kulakukan pada Bu Vivian yang tampak sehat luar dalam.Tidak kutemukan sosok histeris, meski kucoba mencari celahnya. Bu Vivian tampak cantik dengan gaun panjang berwarna biru cerah dan rambut hitam legam yang tergulung rapi. Dan selalu, riasan seadanya serta tampak alami.Jika malam itu aku tidak melihat dengan kedua mataku sendiri, m
[Ayo, bicara. Ini tentang kau yang tidak akan pulang sebelum perasaanmu membaik. Aku butuh penjelasan]Kupadamkan ponsel setelah membaca satu pesan dari Jay. Aku baru saja tiba di kamar hotel. Sedang tidak ingin ada gangguan, apalagi berdebat dengannya.Kupikir Jay akan protes. Padahal ini hanyalah gertakan yang hanya tampak di depan para ibu sebagai bukti bahwa aku kecewa dan terluka.Jika dia memaksa, aku akan kembali ke rumah sesuai isi dari surat perjanjiannya. Aku tidak akan ingkar, harusnya dia tahu itu.Sedikit kecewa ketika kudapati Neil tidak ada di kamar. Bahkan lampu kamar mandi juga padam, tanda tidak ada siapapun di sini. Aku sendirian.Meski tidak pernah percaya pada hal berbau mistis, tetap saja tempat ini mencekam. Dengan dua kasus kehilangan nyawa menggunakan cara yang berbeda, tentu saja membuat bulu kudukku sedikit meremang.Mandi dengan terburu-buru, aku tetap tidak melihat kepulangan Neil. Seperti inikah rasanya dia menungguku selama ini? Tidak peduli pada situasi
“Darimana kau bisa tahu aku ada di sini?” Pertanyaan yang memang pantas kutanyakan pada Jay, ketika dia tepat muncul di ruanganku.Menyeringai, Jay menghampiri mejaku. Duduk di atasnya tanpa ragu. “Memangnya di mana lagi aku bisa menemukanmu?” Jay tertawa. “Kau selalu ke Vigor Food’s di ujung kota setiap akhir bulan untuk pemeriksaan. Benar, bukan?”Ah, dia ingat rupanya. Aku lupa memperkirakan itu karena kepalaku dipenuhi Neil dan kegiatan kami pagi tadi.“Jadi, ada apa?”“Kau mengabaikan pesanku.”“Hanya ada satu pesan, jadi kukira itu bukan hal yang penting,” dalihku. Tetap sibuk memeriksa beberapa laporan yang tidak begitu banyak di mejaku.Aku berhenti bergerak ketika merasakan Jay mengendusku. Dia menatapku dengan wajah tanpa seringaian dan tawa seperti tadi.“Kau melakukannya?”“Apa?”“Tidak salah lagi. Kau bercinta dengan Neil.”“Itu bukan urusanmu.” Aku kembali fokus pada laporan, tapi hatiku gelisah. Untuk apa dia membicarakan hal ini di sini? Lagipula, kenapa dia bisa tahu
Aku tidak tahu kapan Jay pergi dari kamarku. Ketika terbangun, aku justru melihat Dira sedang meletakkan nampan berisi makan siang.“Dira ... kau tahu ada seseorang tadi bersamaku?” Cemas, aku takut hanya kembali berhalusinasi melihat dan merasakan Jay ada bersama denganku.Dira menggeleng bingung. “Tadi Nyonya Martha memanggilku untuk mengambil parfait greek yogurt buatannya untuk Anda, dan kami berbincang sebentar. Tapi aku tidak melihat siapapun yang keluar dari rumah.” Penjelasan Dira membuatku ragu, bahwa aku dan Jay baru saja melewati sesi bercinta yang menyenangkan.Benar-benar tidak ingat, tapi aku yakin sejak pagi kami bersama. Jejak percintaanku dan Jay masih terasa di tubuhku. Tapi dia pergi tanpa pamit, mungkin dia menghilang saat sudah berhasil membuatku tidur nyenyak dalam pelukannya.Neil pulang lebih cepat, sekitar jam empat sore. Dengan wajah berseri-seri, Neil naik ke ranjang setelah dia selesai mandi. Menciumku tanpa ragu, dia berhenti sejenak dan tampak terkejut, m
Melewati trimester pertama, perutku semakin besar dari kehamilan normal yang sering kulihat di manapun. Kecuali satu yang kutahu, aku mengandung bayi kembar. Tebakanku tidak salah dan keyakinan ibu jelas benar, karena hasil Ultrasonografi menunjukkan hal itu.Kehamilan enam belas minggu, terlihat seperti dua puluh tujuh minggu. Itu mengembirakan sekaligus mengundang cemas banyak orang terdekat, terutama diriku. Padahal dokter sudah berulang kali mengatakan bahwa kandunganku sehat.Banyak hal yang semakin sulit kulakukan tanpa merasa cepat kelelahan. Bahkan ibu dan Neil melarang keras agar aku tidak lagi datang untuk mengurus gerai.Sekarang masih pagi, Neil sudah kuusir secara halus dengan alasan dia juga harus mengurus Harrison Express atau kami akan kelaparan. Itu hanya alasan, aku tahu Neil menurutiku karena dia juga merasa perlu bertanggung jawab pada perusahaannya. Jadi dia pergi dengan sedikit enggan.Seorang pelayan wanita bernama Andira, diperintahkan ibu untuk menemani, terut
Kini giliran Neil yang mengernyit bingung. Dia menepikan mobil, tepat di bawah sebuah pohon rindang tepi jalan. Memberi pandangan bingung, aku hanya coba tersenyum.“Sayang ... bukannya kau yang ingin memintaku untuk melepaskanmu suatu saat nanti? Aku benar-benar bingung ketika pernyataanmu berubah begitu cepat.” Neil mengenggam tanganku erat-erat.Benar, aku berubah pikiran seketika. Sekarang, aku tidak bertujuan untuk meminta dia melepasku. Setelah kupikirkan lagi, akan ada saatnya di mana Neil sendiri yang akan benar-benar rela melepaskanku lebih dulu. Membiarkan salah satu dari kami pergi ke mana hati menuntun.“Jangan khawatirkan itu. Berharap saja yang terbaik untuk kita, Neil.” Saling memeluk erat, kami berbagi kehangatan.Neil tidak mengusikku lagi dengan pertanyaan itu. Kami berangkat menggunakan sopir pengganti. Neil yang menginginkannya dengan alasan harus fokus menemaniku di kursi belakang selama dua jam perjalanan.Tidak banyak yang ingin kubicarakan saat ini. Jadi aku me
Bagaimana caranya agar dia kembali seperti Neil yang pertama kali kulihat di taman dekat rumahnya? Dia yang lembut, ramah dan selalu tersenyum padaku.Sekarang dia tampak hancur, sama seperti hatiku. Bisakah aku menebus semua kesalahanku padanya?“Aku hanya mengembalikan cincinnya, bukan hal lain. Tapi, aku ingin kita membuat kesepakatan bersama.”“Kesepakatan apa?” Dia bertanya curiga.“Mari hidup bersama. Kita pergi dari sini. Anggap bayi ini anakmu. Tapi berjanjilah, ketika aku ingin kau melepasku, kau harus melepaskanku tanpa ragu, tidak ada lagi Neil yang lemah karena ditinggalkan. Apa kau sanggup seperti itu?”Tidak perlu waktu lama untuk membuat Neil mengangguk. “Baiklah, aku menyanggupinya. Akan kuurus semua yang diperlukan. Bagaimana denganmu?”“Aku juga akan mengurus semuanya. Neil, aku ingin kau tahu satu hal, meski kau terobsesi padaku, tapi aku tidak akan menganggapmu seperti itu. Aku pasti berusaha menjadi istri yang baik untukmu.”Neil terdiam, dia bergetar, pucat, dan
“Kemarilah ...” Jay membantuku berbaring di sisinya, “kita akan seperti ini sebentar.” Dia memelukku dengan lembut, terasa hangat dan nyaman.Inilah yang sesungguhnya. Benar, hatiku menyadarinya. Aku mencintai Jay entah sejak kapan. Dia yang kuinginkan, meski tidak masalah jika nanti kami akan berpisah.Semua menjadi tidak begitu penting. Perasaan harus memiliki, keinginan untuk membalas semua perbuatan buruknya selama kami menikah, seakan pupus dengan sendirinya. Aku lupa bagaimana caraku membenci selama setengah hidupku pada pria ini.“Kau banyak berubah, Ava.” Jay bergumam. Suaranya bernada keheranan.“Begitukah? Apa ini karena bayinya?” Aku coba mengalihkan.“Hmm ... mungkin tidak sepenuhnya salah, tapi kau juga ikut andil dalam hal ini.” Jay mencium jari jemariku.“Kau benar, aku jadi sangat memahami perasaanku saat ini.” Aku tersenyum. Tidak masalah jika Jay tidak mencintaiku. Bisa seperti ini sebelum berpisah, malah akan membuat perasaanku jauh lebih baik, daripada menyesal den
Benar, ini semua tentang itu.Aku dan Jay menerima tatapan tidak menyenangkan dari keduanya. Terutama ibu. Sekarang kami berada di kamarku.Entah kenapa ibu meminta kami untuk berkumpul di kamar dengan nuansa hijau mint yang tidak pernah berubah sejak terakhir kali kutinggalkan. Dan warnanya persis seperti kemeja longgar yang kukenakan sekarang.Tapi itu hanya kebetulan. Kemarahan ibu terlihat lebih nyata. Membuatku menciut seketika.“Kalian ... berani sekali kalian mengajukan perceraian setelah kakek meninggal? Dasar anak kurang ajar!” Ibu melayangkan pukulannya padaku, tamparan pertama mengenai pundak kiriku, tapi Jay melindungi dengan cepat, pukulan ibu selanjutnya malah diterima pria ini dengan sukarela.“Ibu ... maafkan kami. Sebagai gantinya, tolong pukul aku saja. Ava sedang hamil bayi kami, Bu.” Jay menunduk, tepat di hadapan Ibu.“Via ... sudah hentikan. Kau ingin tekanan darahmu naik lagi, hmm?” Ayah ikut menasihati, menarik lengan ibu agar kembali duduk di sisinya.Jay meng
“Ava, apa kau memang tidak ingin diganggu, Sayang?” Suara Jay terasa sejuk terdengar di telingaku, mengisi penuh relung hati. Kenapa baru sekarang dia memanggilku dengan sebutan itu?Tapi, ya, aku sadar, Jay hanya ingin menaikkan emosi Neil di depanku.Neil menoleh ketika aku baru bersiap membuka mulut untuk bicara. Dia menatapku tajam. Aku tahu kata kuncinya. Aku jelas paham kode aman agar Neil tidak membuat kesengsaraan baru untukku, tentu saja, ancaman akan dipisah dari Jay selamanya.Tapi aku bukan wanita yang bisa bertahan di bawah ancaman. Aku tidak akan bisa diancam oleh siapapun, kecuali mendiang kakek dan ibu.“Bawa aku pulang, Jay. Aku ingin pulang bersamamu.” Air mataku mengalir. Rinduku pada Jay sudah tidak terbendung lagi, padahal kami baru berpisah beberapa jam yang lalu.“Bia!” Neil sudah mencengkeram lenganku. “Kenapa kau bersikap seperti ini padaku, hah?” Suaranya seperti tercekat, dia tampak sangat frustrasi.“Neil, maafkan aku ...” Kutatap dia dengan lekat, meski ai
“Apa aku terlihat baik?” Menaikkan alis, aku mendorong dada Nathan sedikit menjauh dariku. Dia pintar memanfaatkan situasi, mencuri kesempatan yang begitu besar dari kesempitan yang kualami. “Kapan kita keluar? Aku tidak bisa lebih lama lagi di sini.”“Tenanglah sedikit. Aku harus coba menghubungi Neil untuk memastikan dia ada di mana saat ini.” Nathan menggerutu kesal, dia meraih ponsel dan mulai menelepon.Nathan mondar-mandir di depanku. Dia berulang kali mencoba, tapi sepertinya Neil tidak berniat menjawab panggilan Nathan. Ah, ini percuma. Akan lebih baik jika aku percaya pada diriku sendiri.“Sudahlah, Nathan. Ini buang-buang waktu. Aku akan keluar seorang diri. Kau bisa menyusul setelah aku pergi.” Beranjak, aku sudah melangkah tanpa dicegah oleh Nathan.“Tapi aku tidak akan peduli pada apa yang nanti terjadi padamu, Ava. Aku sudah memperingatkanmu.” Nathan duduk santai di sofa berdebu. Dia tersenyum seolah mengejekku.Tidak peduli, aku coba meyakinkan diriku bahwa mungkin saja
Bertahan dengan kepalan kedua tangan di samping tubuh, aku mendiamkan lebih dulu niatan Nathan tanpa maksud ingin mengumpat tepat di depan wajahnya.Aku harus segera pergi dari sini, itu saja.Tidak ada lagi niatku untuk menginap di sini walau satu malam saja. Neil mengambil sikap tegas lebih dari sebelumnya. Meski aku bisa menerimanya, tapi aku tidak bisa meneruskannya lebih jauh lagi.Dan yang terpenting, aku benci berhutang budi pada siapapun. Apalagi pada tipikal pria seperti Nathan yang bagai angin. Tidak pernah bisa ditebak ke mana dia akan berhembus pergi.Jujur saja, sampai detik ini, aku tidak pernah tahu hutang budi seperti apa yang terjadi antara mendiang kakekku dan kakek Hamlet. Hingga aku dan Jay menjadi korban pernikahan konyol akibat hutang budi.Ah, sudahlah. Sudah berakhir. Semua sudah selesai sesuai dengan keinginan kedua belah pihak. Aku tidak akan pernah tahu bagaimana cara menghadapi ayah, ibu dan nenek tentang ini, tapi akan tetap kuhadapi.Berharap sungguh agar