Dering ponsel kembali terdengar. Entah sudah ke berapa kalinya. Aku sengaja tak menggubris. Biar saja dia bosan. Aku tak terlalu peduli dengan segala urusan atau kebohongannya lagi
Lima hari sudah Mas Dimas tak pulang ke rumah, masih dengan alasan yang sama ada pekerjaan penting yang belum bisa dia tinggalkan, takut papa marah, katanya. Aku hanya tersenyum malas membaca pesan-pesan yang dikirimkannya. Pesan yang kadang hanya satu atau dua kali kubalas. Tak seperti biasanya, aku begitu antusias tiap kali Mas Dimas mengirimkan pesan padahal isinya hanya sekadar membalas pertanyaan-pertanyaan dari pesanku sebelumnya. Tak ada lagi kekhawatiran dalam dada, apakah dia sudah makan. Apakah dia bisa tidur dengan nyenyak. Apakah dia capek. Apakah dia sakit. Kecemasan yang selama ini selalu menggangguku tiap kali dia tak ada di rumah seolah lenyap begitu saja. Berganti dengan luka dan air mata. Kalau tahu dia sudah menikah sebelumnya, tak sudi rasanya aku dijadikan yang kedua apalagi jika alasan pernikahan yang dia lakukan hanyalah karena iba dan harta. Iba karena aku lumpuh dan harta papa yang menumpuk sementara aku pewaris tunggal karena aku anak sema
Deru mobil Mas Dimas memasuki garasi. Entah mengapa ada rasa malas untuk menyambut. Tak seperti biasanya momen seperti ini yang paling kunanti. Hari-hari sebelumnya, tiap kali kudengar suara klakson mobil Mas Dimas, aku pasti sudah dandan begitu rapi dan menyiapkan air hangat untuknya. Tak lupa kusiapkan juga teh dan roti panggang kesukaannya, menata kamar sedemikian rapi agar dia semakin nyaman saat membaringkan badan karena kelelahan. Apalagi jika ada tugas luar kota seperti ini. Biasanya, gegas kuputar kursi roda menuju teras untuk menyambutnya dengan senyum termanis. Mencium punggung tangannya dan membawakan tas jinjing atau koper yang dia bawa. Iya, itu hari-hari biasanya. Hari yang terlalu berbeda dengan detik ini. Kini aku yang justru pura-pura terlelap di atas sofa. Tak mempedulikan kedatangannya dan pura-pura tak mendengar suara berisik dari sepatunya. Dia yang dulu kupikir kerja sekuat tenaga untuk memajukan perusahaan papa, nyatanya justru mengham
Lisha!" Panggilan Mas Dimas dari garasi cukup membuatku terkejut. Aku bahkan hampir tersedak teh hangat karena mendengar teriakannya. Di luar, sepertinya dia mengomel entah apa. Tumben dia pulang kantor teriak-teriak begitu. Biasanya selalu berseri-seri apalagi kalau abis nelepon istri pertamanya atau dapat kiriman paket. Seperti yang dibilang Fina, wajahnya tampak berbeda, ada manis-manisnya. Manis ngeselin! Apa jangan-jangan dia sudah cek gajinya bulan ini yang sisa lima juta saja, sedangkan 20 jutanya sudah aku potong sekalian. Itu yang jadi jatah bulananku sekarang. Mendadak aku tersenyum geli membayangkan ekspresinya saat tahu jatah bulanannya. Biar kapok! Setahun lebih dia transfer 20 juta per bulan untuk istri pertamanya tanpa kuminta sepeser pun, sekarang gantian aku yang menikmati jatahku. Jika dia ingin memberi nafkah istrinya, bisa cari kerja sampingan. Aku tak peduli. Aku yakin Mas Dimas pasti sangat jengkel melihat rekeningnya yang hanya bertambah lim
Pagi-pagi sekali Mas Dimas sudah pergi. Sejak cekcok soal gaji tempo hari, mungkin dia memang cari pekerjaan sampingan. Iya, sepertinya begitu sebab dia berangkat ke kantor selalu awal dan pulang selalu telat. Sepertinya dia sengaja membuatku kesal karena keterlambatannya. Tapi aku tak peduli. Rasa khawatir yang dulu selalu bersemayam dalam hati itu benar-benar sudah mulai mati. Dulu aku selalu menanyakan keadaan dan keberadaannya tiap kali pulang telat, sibuk mempersiapkan makan malam dan air hangat. Sekarang? Semua kubiarkan berjalan sesukanya. Sekali dua kali kuminta dia agar bisa mengatur waktu namun sia-sia. Justru hanya ada percekcokan lagi dan lagi, mengungkit masalah gaji itu kembali, hingga akhirnya aku seperti detik ini. Tak peduli. Pulang atau menginap, rasanya bukan urusanku lagi. Kalau tak mengingat kesehatan papa, sudah aku gugat cerai dia jauh-jauh hari. Sayangnya papa begitu mempercayainya dan tak mungkin percaya begitu saja dengan apa yang kuk
Pov : Dimas Dimas. Sesingkat itu nama yang diberikan kedua emak dan bapak untukku. Sesingkat kurasakan dekapan dan cinta kasih mereka. Tak sampai delapan tahun kurasakan hangat mesra kasih mereka, mereka sudah pergi ke hadapanNya. Saat usiaku tujuh tahun, bapak meninggalkanku dan emak pergi selamanya ke hadapan Illahi. Sejak saat itu pula emak sering sakit-sakitan, hingga menyusul bapak enam bulan kemudian. Begitulah ... belum genap delapan tahun aku sudah yatim piatu. Berjuang sendiri untuk bertahan hidup. Membantu tetangga membenarkan genting rumah, menyapu halaman, mengangkat dagangan, kuli panggul, membersihkan kebun, mencangkul dan sebagainya sudah pernah kulakukan dulu, pasca sepulang sekolah. Sedih sekali jika membayangkan kembali kejadian beberapa tahun silam. Di saat teman-teman masih asyik dengan dunia bermainnya, aku harus sudah sibuk dengan dunia yang seharusnya kulalui setelah dewasa. Tapi sudahlah. Aku percaya jalan takdirku ini memang yang terbaik. Seper
Pov : Dimas Ponsel di atas meja kerja berdering begitu nyaring sejak beberapa menit lalu. Rasanya malas untuk sekadar melihat layarnya. Sudah pasti Rahayu, siapa lagi yang sibuk menerorku sepagi ini kalau bukan dia. Makin lama dibiarkan bukannya berhenti, justru semakin membuat polusi telinga. Terpaksa, mau tak mau aku harus mengangkatnya juga. Kalau tidak, dia tak akan pernah berhenti meneror. Kadang aku nggak habis pikir, berapa pun uang yang kukirim tiap bulan untuk Ayu pasti habis tak bersisa. Kupikir buat tabungan namun ternyata buat membeli barang-barang branded yang sekadar dijadikan pajangan semata. Diupload di sosial medianya agar dipandang wah oleh orang lain. Transfer banyak atau pun sedikit, tak ada bedanya sama sekali. Dia juga bakal minta jatah lagi dan lagi. Bahkan 15 juta yang kuberi seringkali habis belum pada waktunya. Tiap akhir bulan dia minta lagi sekian juta untuk sekadar makan bersama teman atau beli susu buat anak. Padahal sudah kuminta dia kasih A
Pov : Niken Rahayu (Ayu) Aku adalah anak tunggal. Bapak sudah pergi semenjak aku sekolah dasar. Aku dibesarkan oleh seorang ibu yang bekerja serabutan sebagai buruh cuci di rumah-rumah orang. Selain bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidup, ibu juga harus membayar hutang-hutang bapak yang dia tinggalkan. Sedih, kecewa dan kesal mungkin ibu rasakan, tapi apa mau dikata. Hutang tetap harus dibayar sebab tanggungjawabnya sampai akhirat. Ibu jelas nggak ingin bapak sengsara karena hutangnya di dunia belum terselesaikan. Sekalipun bapak tak pernah mempedulikan ibu, tapi ibu tetap dan mencintai dan menghormatinya sebagai suami. Ibu paham bagaimana kodrat seorang istri. Selama ini, kami hidup di bawah garis kemiskinan bukan karena ibu malas bekerja atau karena aku foya-foya, namun memang karena bapak kurang bertanggung jawab atas keluarga. Bahkan saat pergi pun harus menyisakan hutang puluhan juta yang ibu sendiri tak paham, uang-uang itu digunakan untuk apa. Bapak selal
Pov : Lisha Weekend. Hari ini aku ingin ke rumah papa. Sudah cukup lama aku tak menengoknya. Selain melepas rindu, aku juga ingin menenangkan pikiran. Sepertinya aku harus belajar mengontrol emosi karena boleh jadi mulai hari ini banyak masalah yang harus aku hadapi. Semua berawal dari Mas Dimas yang akan mengajak perempuan itu ke Jakarta. "Lisha ... besok Ayu sama anaknya datang ke sini. Kamu nggak apa-apa, kan? Kasihan dia jarang ketemu suaminya. Mungkin di rumah kesepian, makanya mau ke kota sekadar cari hiburan," ucap mas Dimas kemarin sore, saat aku duduk di gazebo belakang sembari membaca novel online. Aku memang tetap bersandiwara seperti biasanya. Pura-pura tak tahu dan tak kenal siapa Rahayu sebenarnya."Kamu bilang sekadar cari hiburan, Mas? Memangnya kamu pikir rumah ini tempat wisata? Lagipula di kampung bukannya ada ibunya? Kesepian gimana sih?" tanyaku sekenanya. Tak menoleh sedikit pun ke arah Mas Dimas sampai dia ikut duduk di sampingku lalu mencomot pi
POV : Dimas Aku tak tahu siapa yang harus kucurigai perihal foto menjijikkan itu kecuali Brama. Namun sepertinya dugaan Nila ada benarnya. Ayu bukan tipe perempuan yang mudah menyerah, dia bahkan tipe perempuan ambisius yang menghalalkan segala cara demi impiannya. Ketiga istriku, hanya dia yang memiliki sifat paling berbeda. Dia terlalu kasar sementara istriku yang lain cenderung lembut dan lebih sopan. Setidaknya, mereka masih lebih menghargai statusku sebagai suami dan tak semena-mena. Kebetulan hari ini ada interview di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa. Aku berharap kali ini lamaranku diterima, sebab telah puluhan email kukirimkan ke sana-sini tapi sia-sia. Sebagian perusahaan menginginkan calon karyawan yang berpengalaman dengan lampiran surat pengalaman kerja masing-masing, sayangnya aku tak memiliki itu sebab dipecat begitu saja oleh Lisha. Perusahaan lain menginginkan karyawan yang fresh graduate, sementara aku justru sebaliknya. Aku hanya bisa pasrah dan per
POV : Dimas Beban hidup terasa semakin berat serang. Ekonomi belum stabil ditambah harus menuruti kemauan Ayu yang terkadang kelewat batas. Dia semakin menjadi sejak berpisah dengan mantan suaminya itu. Kesakitan karen pengkhianatan yang dilakukan suaminya, seolah dia lampiaskan padaku yang tak tahu apa-apa. Harusnya aku tak perlu menghidupinya, tapi Adam tetaplah anak kandungku. Bagaimana mungkin aku tega melihat dia kedinginan dan kelaparan bersama ibunya, sementara aku bisa tidur lelap dengan perut kenyang sekalipun banyak beban pikiran. Mau tak mau aku mengontrakkan Ayu dan Adam tak jauh dari kontrakanku. Di sana Ayu bekerja sebagai tukang cuci gosok, cukup buat makan sehari-hari sementara uang kontrakan tetaplah aku yang membayarnya. Awalnya Nila menolak, tapi mau tak mau dia harus mengiyakannya sebab nggak mungkin juga meminta Ayu dan Adam untuk tinggal satu atap di sini. Kasihan juga dia kalau nggak kucarikan kontrakan. Ayu sudah tak memiliki rumah di kampung dan ta
POV : Lisha Sejak menikah dengan Bang Akbar, hari-hariku semakin bahagia. Dia tulus, tak seperti mantan suamiku yang ternyata hanya modus. Perhatian dan cinta yang diberikan Bang Akbar membuat duniaku terasa lebih indah. Aku lebih bisa menghargai diri sendiri dan semakin yakin jika Allah memberikan sesuatu di saat yang tepat bukan terlambat. Kehamilan ini masuk minggu ke-18. Menginjak trimester dua yang tak lagi mual dan pusing seperti trimester sebelumnya. Aku sudah mulai mau makan dan tak lagi pusing jika mencium aroma menyengat. Syukuran empat bulanan sudah digelar beberapa hari yang lalu dengan dihadiri para tetangga dan saudara. Mereka mengucapkan selamat dan mendoakan kebaikan untukku dan janin yang ada dalam rahimku. Teringat kembali ucapan mereka saat itu. "Mbak Lisha, selamat berbahagia akhirnya merasakan hamil yang begitu mendebarkan dan menggemaskan. Aku yakin nanti kalau anaknya cewek, pasti bakal cantik seperti mamanya dan kalau cowok pasti tampan seperti papan
Pov : Dimas Hari-hari buruk akan mulai menyapaku lagi. Aku yang baru mulai bangkit, kembali diterpa badai karena kedatangan Ayu tiba-tiba. Iya, Niken Rahayu. Dia mantan istri pertamaku yang kini kembali ke Jakarta untuk menemuiku bersama Ahmad, buah hatiku dengannya yang kini berusia dua tahunan. Mau tak mau, bisa tak bisa aku mengajak Ayu ke kontrakan. Tak mungkin tega membiarkan dia lontang-lantung dengan Ahmad di kota sebesar ini, bukan? Jelas aku tak tega, sekalipun aku dengannya sudah tak memiliki hubungan apa-apa. Kecuali sebatas mantan dan orang tua kandung Ahmad saja. "Itu kontrakanku bersama keluarga Nila. Tolong jangan jaga sikapmu pada mereka, sebab aku tak ingin membuat masalah lagi," ucapku setelah mematikan motor dan meminta Ayu untuk turun. "Harusnya aku yang bilang begitu, Mas. Kalau kamu nggak banyak tingkah, hidup kita juga aman saja. Nggak berantakan," balas Ayu sengit. "Sudah. Sudah. Nggak ada gunanya saling menyalahkan. Semua ini salah kita karena memanfaa
Pov : Dimas Kehidupan jungkir balik mulai kulalui. Tenggelam dalam sesal jelas kurasakan. Namun hidup terus berjalan. Aku ngga mungkin selalu dirasuki rasa bersalah berlarut-larut. Lisha sudah bahagia dan aku harusnya juga begitu. Sama-sama bahagia meski dari ekonomi jelas berbeda. Tak mengapa, aku benar-benar ingin belajar dari nol hingga sukses. Lagipula, sebelum bertemu Lisha aku juga hidup dengan sangat sederhana. Aku bekerja keras untuk membahagiakan Ibu dan Niken. Iya, Niken. Entah bagaimana kabarnya. Terakhir kali aku mengiriminya uang tiga bulan yang lalu. Sampai sekarang aku belum transfer lagi karena memang nggak ada dana yang bisa dikirim. Buat makan sekeluarga aja sangat susah dan amat seadanya. Aku nggak mungkin kirim uang untuk Niken jika keluarga di sini masih sangat kekurangan. Biarlah. Lagipula suaminya juga bertanggungjawab, InsyaAllah dia nggak kekurangan jika sekadar makan. Nanti setelah ekonomi ku stabil, aku janji akan mengiriminya uang lagi untuk Ahmad.
POV : Dimas Aku tak tahu apa yang kurasakan detik ini saat kembali membayangkan Lisha bersanding dengan dokter itu di pelaminan. Rasanya benar-benar sulit dijelaskan. Sakit dan nelangsa. Teringat kembali ucapan Lisha waktu itu bahwa ada kalanya dia kecewa dan terluka karena pengorbanan dan kesetiaannya selama ini aku sia-siakan. Nyatanya kini roda itu benar-benar berputar. Dia sudah menemukan kebahagiaan dan cinta sejatinya, sementara aku justru sebaliknya. Aku tenggelam pada deretan masalah pelik yang selama ini belum pernah kurasakan. Depresi Nila belum sepenuhnya sembuh, ditambah masalah baru tentang tunggakan rumah ibu. Empat juta yang harus kulunasi minggu ini. Tak hanya itu saja, hutang ibu pun semakin menumpuk di warung karena memang hanya mengandalkan aku sebagai tulang punggung. Sebenarnya tak masalah hanya aku yang mengurus keuangan rumah, etidaknya bapak dan ibu lebih menghargai kerja kerasku. Tak selalu menuntut ini itu bahkan seolah meremehkan usaha yang sudah kul
Pov : Lisha Hari-hari belakangan kujalani dengan penuh semangat dan bahagia sebab acara pernikahanku dengan Bang Akbar tinggal menghitung hari saja. Semua akan digelar dengan cukup meriah dengan mengundang banyak kerabat, teman dan para tetangga. Detik ini, aku kembali ke butik untuk mengambil kebaya untuk akad dan resepsi nanti. Baju pengantin dan jas milik Bang Akbar pun sudah jadi. Dia pasti semakin keren dengan baju pengantin berwarna abu muda dan salem itu. Untuk akad nikah aku akan memakai kebaya abu muda sementara resepsinya pakai warna salem senada dengan pakaian yang akan dikenakan Bang Akbar. Kulihat papa masih asyik ngobrol dengan tukang parkir di depan butik. Begitulah papa, selalu ramah dengan siapapun tak memandang status sosialnya. Akhir-akhir ini papa memang selalu mengantarku ke mana-mana, seolah menjadi body guard untuk anak kesayangannya. Papa bilang, tak apalah karena esok atau lusa mungkin papa sudah tak akan mengantar lagi karena sudah ada pengganti. Papa
Perempuan itu menghentikan aktivitasnya lalu buru-buru memasukkan ponselnya ke saku bajunya. Aku tersenyum menatapnya, sementara dia begitu gugup dan salah tingkah saat aku mendekatinya. "Aku tahu kok kalau Mbak Anita yang menerorku akhir-akhir ini. Tapi tenang saja, aku tak akan mempermalukan Mbak di sini. Aku tak akan setega itu. Hanya saja Mbak harus tahu kalau aku tak akan pernah membiarkan semua ini terjadi begitu saja. Aku tetap akan memberitahu Bang Akbar untuk berhati-hati dengan perempuan culas sepertimu. Baik di depan, tapi di belakang berbisa," ucapku penuh penekanan pada perempuan cantik di sebelahku. Dia mendongak beberapa saat lalu kembali menunduk diam. Tak ada sepatah katapun yang dia ucapkan. "Bisa saja aku menelpon nomormu sekarang dan menceritakan kelicikanmu pada mereka. Namun lagi-lagi aku tak seburuk itu. Aku tak pandai bermuka dua sepertimu. Namun kalau kamu nggak jera, aku bisa mempermalukanmu kapan saja. Aku nggak takut, Mbak!" Lagi-lagi kubisikkan kata
Pagi-pagi aku sudah siap-siap ke butik peninggalan almarhum mama yang kini diserahkan padaku. Aku yang sudah mengembangkannya beberapa tahun terakhir, tepatnya semenjak mama tak lagi fit untuk pergi ke sana-sini sesukanya. Sakit kanker yang menggerogotinya, membuat mama harus banyak istirahat di rumah. Tak boleh terlalu kecapaian apalagi banyak beban pikiran. Akhirnya, papa memintaku untuk mengurus semuanya. "Bi, saya berangkat ke butik dulu. Mau sekalian cek gaun pengantin. Mungkin pulangnya agak telat. Misal nanti kemalaman, seperti biasa Bibi tidur saja. Saya sudah bawa kunci rumahnya," pamitku pada Bi Minah yang masih sibuk membersihkan isi kulkas. Bi Minah mengangguk pelan lalu memintaku untuk berhati-hati di jalan. Setiap dua hari sekali Bi Minah memang membersihkan kulkas untuk memilah-milah mana sayuran yang sudah agak layu dan mana yang masih segar. Yang agak layu itulah yang biasanya dimasak Bibi lebih dulu. Kupacu mobil merahku itu dengan kecepatan sedang. Mobil mula