Pov : Dimas Jarum jam hampir menunjuk angka 12 malam. Aku masih termenung di depan kontrakan Ayu. Para tetangga sudah pulang ke rumah masing-masing. Suara tangis Ahmad yang tadi terdengar cukup keras pun sudah mulai hilang. Mungkin dia sudah tidur dengan nyenyak sekarang. Aku masih belum bisa berpikir jernih. Kulihat rumah di seberang jalan yang biasa menjadi istanaku melepas lelah, rumah yang nyaman dengan segala fasilitasnya, rumah yang tenang dan dipenuhi cinta pemiliknya, kini seolah menertawakan kehancuranku. "Bawa sini kunci mobilnya, Mas. Ini mobil kantor jadi kamu sudah nggak berhak untuk memakainya karena kamu sudah dipecat papa!" Suara Lisha yang kembali ke sini beberapa menit lalu untuk mengambil kunci mobil masih terngiang di benak. Teganya dia mengambil mobilnya di tengah malam begini. Aku yang tadinya sudah semangat ingin ke rumah Arnila mendadak terdiam tanpa kata. membiarkanku tidur di luar berteman dengan nyamuk, sementara dia kembali bersama papa ke rumahnya. Tak
|Aku pulang, Mas. Semoga kamu bahagia dengan istri mudamu! Jangan pernah mencariku apalagi merayu ibuku agar kamu bisa kembali. Aku tak Sudi!| Sebuah pesan dari Ayu muncul di layar. Kuhembuskan napas perlahan. Bayangan Ahmad kembali hadir dalam ingatan. Anak itu semakin hari semakin membuatku rindu dan menggemaskan. Entah kapan aku bisa menemuinya kembali. Mengajaknya bermain dan tertawa bersama seperti sebelumnya. "Mas, tumben banget kamu ke sini pagi-pagi?" Pertanyaan Arnila membuatku terjaga dari lamunan. Dia datang dengan secangkir teh dan kue bolu di atas nampan lalu meletakkannya ke meja. "Aku mau cerai dengan Lisha, Nil. Untuk sementara aku tinggal di sini, ya?" ucapku pada Nila yang masih keheranan dan cukup kaget saat mendengar sekelumit kisah rumah tanggaku. Aku yang benar-benar akan bercerai dengan Lisha."Maksudmu, Mas? Kamu beneran pisah dengan istrimu yang kaya itu?" tanya Nila tiba-tiba. Entah mengapa mendadak aku fokus dengan kata kaya. Darimana dia tahu kalau istri
Suara dering ponsel tak henti sedari tadi. Entah siapa yang menelepon. Pikiranku masih cukup kacau memikirkan pengirim pesan di ponsel Arnila dua hari lalu. Dua hari ini aku juga disibukkan dengan membuat lamaran kerja. Mau tak mau aku harus segera mendapatkan pekerjaan. Jika terus menganggur di rumah bisa runyam semuanya. Ditambah teror pesan itu makin membuatku sakit kepala. Arnila tak pernah mengaku dan tak tahu siapa pengirimnya padahal jelas di sana tertulis namanya. Astaghfirullah, benar-benar kacau hidupku sekarang. Ibu dan Bapak yang tadinya begitu ramah, entah mengapa dua hari ini cukup berbeda. Aku merasa tatapan mereka tak sama seperti sebelumnya. Mungkin karena aku sudah jujur apa yang terjadi, aku segera bercerai dengan Lisha. Mobil yang kupakai tiap hari pun mobil kantor, bukan mobilku sendiri. Ponsel kembali berdering. Terpaksa aku mengambilnya dari atas meja. Ibu? Sepertinya kali ini aku akan mendapat amukan ibu. Kuucap istighfar banyak-banyak sebelum mengangkat t
Pov : DimasSurat undangan sidang tergeletak begitu saja di atas meja. Detik ini, pikiranku benar-benar kacau. Di saat seperti ini, tak ada seorang pun yang bisa kuajak berbagi. Dulu selalu ada Lisha yang menemani dan memberiku support tiap kali ada masalah di kantor atau pun masalah dengan klien. Lisha memang tipe yang cukup tenang dalam memecahkan sesuatu, serius tapi tak gegabah. Sungguh berbeda denganku yang sering kali mengambil jalan instan. Di saat penat dengan urusan kantor, biasanya aku menjenguk Ayu di rumah. Wajahnya yang cantik, manja dan pencemburu sering kali membuatku rindu. Aku rindu omelannya saat aku belum pulang karena urusan kantor belum kelar. Dia yang merajuk membuatku semakin jatuh cinta, menambah rindu menggelora dalam dada. Kini, dia pun pergi meninggalkanku sendiri. Kuusap wajah dan membuangnya kasar. Aku benar-benar frustasi memikirkan semua yang terjadi. Bahkan sampai detik ini belum bisa berpikir jernih bagaimana caranya ke luar dari masalah pelik ini se
Sebuah kebohongan akan diikuti kebohongan-kebohongan lain untuk menutupinya. Ya ... begitu lah. Wajah pias dan salah tingkah Arnila tiap kali menerima telepon seseorang membuatku curiga. Dia memang tak pernah bicara tentang masa lalunya, karena bagiku sudah cukup dia menerimaku apa adanya meski dulu dia tahu sudah memiliki istri.Tapi ...Akhir-akhir ini, Arnila semakin berubah. Kupikir karena masalah keuangan namun sepertinya bukan karena itu saja. Ada hal lain yang memang dia sembunyikan dariku. Aku bukan laki-laki b0d0h. Belajar dari Lisha yang bermain cantik, aku pun melakukan hal yang sama pada Arnila. Menyadap ponsel dan memasang cctv di ruang tamu dan ruang keluarga saat bapak tidur siang, sementara Nila dan ibu ke baby shop belanja untuk persiapan si kecil. |Nila, aku ingin bertemu kamu. Jika kamu memang nggak ingin menemuiku, aku akan langsung menemui suamimu. Kita harus bicara, Nil. Aku sudah berulang kali minta maaf sama kamu. Aku mohon, maafkan aku.|Sebuah pesan muncul d
Pov : Dimas Zaman sekarang mencari pekerjaan cukup susah, apalagi aku tak memiliki surat pengalaman kerja meski sudah cukup berpengalaman menjadi staf dan manager keuangan saat bekerja di kantor papa. Tapi mungkin saja tak ada yang percaya karena tak ada bukti yang bisa menguatkan keteranganku. Seminggu belakangan aku terpaksa menerima ajakan tetangga untuk menjadi karyawan bagian catering di Sasmita Wedding Organizer. Setidaknya ada penghasilan masuk untuk tabungan biaya persalinan Arnila sambil mencari pekerjaan lain yang lebih menjanjikan, paling tidak sesuai jurusan kuliahku-- manajemen keuangan. Meskipun Nila belum mencintaiku sepenuhnya, tapi aku tetap bertanggungjawab atas janin yang ada dalam kandungannya. Dua pernikahanku sebelumnya gagal, aku berusaha untuk menyelamatkan pernikahanku kali ini, namun dalam hati masih begitu penasaran apa alasan Arnila mau menerima lamaranku. Entah lah, kadang pikiran mendadak kacau tiap kali mengingat pesan dan ancaman laki-laki itu. Kub
Pov : Dimas "Sore, Pak, Bu. Maaf, boleh saya menjenguk Nila?" Suara seorang laki-laki terdengar dari ambang pintu. Aku, ibu dan bapak menoleh ke arahnya hampir bersamaan. Betapa kagetnya aku saat melihat laki-laki kekar itu berdiri di sana dengan senyum lebarnya. Dia ... ada hubungan apa dengan Arnila? Bapak dan Ibu menoleh ke arahku hampir bersamaan. Mereka hanya diam tak menjawab. "Silakan," jawabku singkat. Mempersilakan dia masuk ke dalam menemui Arnila. Perempuan yang baru delapan bulan kunikahi secara siri itu tampak begitu cemas dan ketakutan. Terlihat sekali jika ada sesuatu yang memang dia sembunyikan. Perlahan telapak tangannya menarik lenganku agar aku tak meninggalkannya. Terpaksa aku kembali duduk di kursi samping pembaringannya. "Perkenalkan, Mas. Saya Brama, laki-laki yang beberapa bulan lalu kamu pukuli di dekat alun-alun," ucap laki-laki kekar itu memperkenalkan diri. Dia tersenyum tipis menatapku sembari mengulurkan tangannya. Kujabat tangan kasarnya asal. Dia
Pov : Lisha "Lisha, apa aku boleh bertanya sesuatu?" tanya Dokter Akbar saat papa mengajakku makan malam bersama di Adelia Resto. Papa yang nyatanya nggak datang, dengan alasan mendadak mengantuk. Aku yakin itu hanya alasan papa agar aku dan Dokter Akbar makan malam berdua. "Tanya apa ya, Dok?" tanyaku singkat. "Sudah kubilang jangan panggil dokter, kan?" ucap Dokter Akbar dengan tawa kecilnya. "Dulu kamu nggak manggil itu," ucapnya lagi, mulai mengingatkanku dengan masa lalu saat masih dekat dengannya. Aku memang dulu memanggilnya dengan sebutan Abang. Tapi sejak menikah dengan Mas Dimas, aku mulai membiasakan diri untuk memanggilnya Dokter Akbar, seperti panggilan papa untuknya. "Oke, aku panggil Abang seperti sebelumnya," jawabku lirih tanpa menatap kedua matanya. Aku mengalihkan pandangan dengan memainkan sedotan di gelas berisi cappuccino latte, minuman favoritku. "Begitu jauh lebih bagus dan enak terdengar," ucap Dokter Akbar lagi sambil tersenyum lebar."Kamu nggak tan
POV : Dimas Aku tak tahu siapa yang harus kucurigai perihal foto menjijikkan itu kecuali Brama. Namun sepertinya dugaan Nila ada benarnya. Ayu bukan tipe perempuan yang mudah menyerah, dia bahkan tipe perempuan ambisius yang menghalalkan segala cara demi impiannya. Ketiga istriku, hanya dia yang memiliki sifat paling berbeda. Dia terlalu kasar sementara istriku yang lain cenderung lembut dan lebih sopan. Setidaknya, mereka masih lebih menghargai statusku sebagai suami dan tak semena-mena. Kebetulan hari ini ada interview di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa. Aku berharap kali ini lamaranku diterima, sebab telah puluhan email kukirimkan ke sana-sini tapi sia-sia. Sebagian perusahaan menginginkan calon karyawan yang berpengalaman dengan lampiran surat pengalaman kerja masing-masing, sayangnya aku tak memiliki itu sebab dipecat begitu saja oleh Lisha. Perusahaan lain menginginkan karyawan yang fresh graduate, sementara aku justru sebaliknya. Aku hanya bisa pasrah dan per
POV : Dimas Beban hidup terasa semakin berat serang. Ekonomi belum stabil ditambah harus menuruti kemauan Ayu yang terkadang kelewat batas. Dia semakin menjadi sejak berpisah dengan mantan suaminya itu. Kesakitan karen pengkhianatan yang dilakukan suaminya, seolah dia lampiaskan padaku yang tak tahu apa-apa. Harusnya aku tak perlu menghidupinya, tapi Adam tetaplah anak kandungku. Bagaimana mungkin aku tega melihat dia kedinginan dan kelaparan bersama ibunya, sementara aku bisa tidur lelap dengan perut kenyang sekalipun banyak beban pikiran. Mau tak mau aku mengontrakkan Ayu dan Adam tak jauh dari kontrakanku. Di sana Ayu bekerja sebagai tukang cuci gosok, cukup buat makan sehari-hari sementara uang kontrakan tetaplah aku yang membayarnya. Awalnya Nila menolak, tapi mau tak mau dia harus mengiyakannya sebab nggak mungkin juga meminta Ayu dan Adam untuk tinggal satu atap di sini. Kasihan juga dia kalau nggak kucarikan kontrakan. Ayu sudah tak memiliki rumah di kampung dan ta
POV : Lisha Sejak menikah dengan Bang Akbar, hari-hariku semakin bahagia. Dia tulus, tak seperti mantan suamiku yang ternyata hanya modus. Perhatian dan cinta yang diberikan Bang Akbar membuat duniaku terasa lebih indah. Aku lebih bisa menghargai diri sendiri dan semakin yakin jika Allah memberikan sesuatu di saat yang tepat bukan terlambat. Kehamilan ini masuk minggu ke-18. Menginjak trimester dua yang tak lagi mual dan pusing seperti trimester sebelumnya. Aku sudah mulai mau makan dan tak lagi pusing jika mencium aroma menyengat. Syukuran empat bulanan sudah digelar beberapa hari yang lalu dengan dihadiri para tetangga dan saudara. Mereka mengucapkan selamat dan mendoakan kebaikan untukku dan janin yang ada dalam rahimku. Teringat kembali ucapan mereka saat itu. "Mbak Lisha, selamat berbahagia akhirnya merasakan hamil yang begitu mendebarkan dan menggemaskan. Aku yakin nanti kalau anaknya cewek, pasti bakal cantik seperti mamanya dan kalau cowok pasti tampan seperti papan
Pov : Dimas Hari-hari buruk akan mulai menyapaku lagi. Aku yang baru mulai bangkit, kembali diterpa badai karena kedatangan Ayu tiba-tiba. Iya, Niken Rahayu. Dia mantan istri pertamaku yang kini kembali ke Jakarta untuk menemuiku bersama Ahmad, buah hatiku dengannya yang kini berusia dua tahunan. Mau tak mau, bisa tak bisa aku mengajak Ayu ke kontrakan. Tak mungkin tega membiarkan dia lontang-lantung dengan Ahmad di kota sebesar ini, bukan? Jelas aku tak tega, sekalipun aku dengannya sudah tak memiliki hubungan apa-apa. Kecuali sebatas mantan dan orang tua kandung Ahmad saja. "Itu kontrakanku bersama keluarga Nila. Tolong jangan jaga sikapmu pada mereka, sebab aku tak ingin membuat masalah lagi," ucapku setelah mematikan motor dan meminta Ayu untuk turun. "Harusnya aku yang bilang begitu, Mas. Kalau kamu nggak banyak tingkah, hidup kita juga aman saja. Nggak berantakan," balas Ayu sengit. "Sudah. Sudah. Nggak ada gunanya saling menyalahkan. Semua ini salah kita karena memanfaa
Pov : Dimas Kehidupan jungkir balik mulai kulalui. Tenggelam dalam sesal jelas kurasakan. Namun hidup terus berjalan. Aku ngga mungkin selalu dirasuki rasa bersalah berlarut-larut. Lisha sudah bahagia dan aku harusnya juga begitu. Sama-sama bahagia meski dari ekonomi jelas berbeda. Tak mengapa, aku benar-benar ingin belajar dari nol hingga sukses. Lagipula, sebelum bertemu Lisha aku juga hidup dengan sangat sederhana. Aku bekerja keras untuk membahagiakan Ibu dan Niken. Iya, Niken. Entah bagaimana kabarnya. Terakhir kali aku mengiriminya uang tiga bulan yang lalu. Sampai sekarang aku belum transfer lagi karena memang nggak ada dana yang bisa dikirim. Buat makan sekeluarga aja sangat susah dan amat seadanya. Aku nggak mungkin kirim uang untuk Niken jika keluarga di sini masih sangat kekurangan. Biarlah. Lagipula suaminya juga bertanggungjawab, InsyaAllah dia nggak kekurangan jika sekadar makan. Nanti setelah ekonomi ku stabil, aku janji akan mengiriminya uang lagi untuk Ahmad.
POV : Dimas Aku tak tahu apa yang kurasakan detik ini saat kembali membayangkan Lisha bersanding dengan dokter itu di pelaminan. Rasanya benar-benar sulit dijelaskan. Sakit dan nelangsa. Teringat kembali ucapan Lisha waktu itu bahwa ada kalanya dia kecewa dan terluka karena pengorbanan dan kesetiaannya selama ini aku sia-siakan. Nyatanya kini roda itu benar-benar berputar. Dia sudah menemukan kebahagiaan dan cinta sejatinya, sementara aku justru sebaliknya. Aku tenggelam pada deretan masalah pelik yang selama ini belum pernah kurasakan. Depresi Nila belum sepenuhnya sembuh, ditambah masalah baru tentang tunggakan rumah ibu. Empat juta yang harus kulunasi minggu ini. Tak hanya itu saja, hutang ibu pun semakin menumpuk di warung karena memang hanya mengandalkan aku sebagai tulang punggung. Sebenarnya tak masalah hanya aku yang mengurus keuangan rumah, etidaknya bapak dan ibu lebih menghargai kerja kerasku. Tak selalu menuntut ini itu bahkan seolah meremehkan usaha yang sudah kul
Pov : Lisha Hari-hari belakangan kujalani dengan penuh semangat dan bahagia sebab acara pernikahanku dengan Bang Akbar tinggal menghitung hari saja. Semua akan digelar dengan cukup meriah dengan mengundang banyak kerabat, teman dan para tetangga. Detik ini, aku kembali ke butik untuk mengambil kebaya untuk akad dan resepsi nanti. Baju pengantin dan jas milik Bang Akbar pun sudah jadi. Dia pasti semakin keren dengan baju pengantin berwarna abu muda dan salem itu. Untuk akad nikah aku akan memakai kebaya abu muda sementara resepsinya pakai warna salem senada dengan pakaian yang akan dikenakan Bang Akbar. Kulihat papa masih asyik ngobrol dengan tukang parkir di depan butik. Begitulah papa, selalu ramah dengan siapapun tak memandang status sosialnya. Akhir-akhir ini papa memang selalu mengantarku ke mana-mana, seolah menjadi body guard untuk anak kesayangannya. Papa bilang, tak apalah karena esok atau lusa mungkin papa sudah tak akan mengantar lagi karena sudah ada pengganti. Papa
Perempuan itu menghentikan aktivitasnya lalu buru-buru memasukkan ponselnya ke saku bajunya. Aku tersenyum menatapnya, sementara dia begitu gugup dan salah tingkah saat aku mendekatinya. "Aku tahu kok kalau Mbak Anita yang menerorku akhir-akhir ini. Tapi tenang saja, aku tak akan mempermalukan Mbak di sini. Aku tak akan setega itu. Hanya saja Mbak harus tahu kalau aku tak akan pernah membiarkan semua ini terjadi begitu saja. Aku tetap akan memberitahu Bang Akbar untuk berhati-hati dengan perempuan culas sepertimu. Baik di depan, tapi di belakang berbisa," ucapku penuh penekanan pada perempuan cantik di sebelahku. Dia mendongak beberapa saat lalu kembali menunduk diam. Tak ada sepatah katapun yang dia ucapkan. "Bisa saja aku menelpon nomormu sekarang dan menceritakan kelicikanmu pada mereka. Namun lagi-lagi aku tak seburuk itu. Aku tak pandai bermuka dua sepertimu. Namun kalau kamu nggak jera, aku bisa mempermalukanmu kapan saja. Aku nggak takut, Mbak!" Lagi-lagi kubisikkan kata
Pagi-pagi aku sudah siap-siap ke butik peninggalan almarhum mama yang kini diserahkan padaku. Aku yang sudah mengembangkannya beberapa tahun terakhir, tepatnya semenjak mama tak lagi fit untuk pergi ke sana-sini sesukanya. Sakit kanker yang menggerogotinya, membuat mama harus banyak istirahat di rumah. Tak boleh terlalu kecapaian apalagi banyak beban pikiran. Akhirnya, papa memintaku untuk mengurus semuanya. "Bi, saya berangkat ke butik dulu. Mau sekalian cek gaun pengantin. Mungkin pulangnya agak telat. Misal nanti kemalaman, seperti biasa Bibi tidur saja. Saya sudah bawa kunci rumahnya," pamitku pada Bi Minah yang masih sibuk membersihkan isi kulkas. Bi Minah mengangguk pelan lalu memintaku untuk berhati-hati di jalan. Setiap dua hari sekali Bi Minah memang membersihkan kulkas untuk memilah-milah mana sayuran yang sudah agak layu dan mana yang masih segar. Yang agak layu itulah yang biasanya dimasak Bibi lebih dulu. Kupacu mobil merahku itu dengan kecepatan sedang. Mobil mula