BUKAN SALAH IBU
"Dasar anak pel-acur! Berani-beraninya kamu sekolah disini!"Sepasang tangan mendorongku dengan keras dari belakang. Aku terjerembab dan jatuh ke lantai sekolah yang menyisakan jejak-jejak tapak sepatu berdebu. Mendongakkan kepala, kudapati Helena dan gerombolannya, berdiri sambil bertolak pinggang. Aku menelan ludah, berusaha berdiri tapi sepatu putih gadis itu telah mendarat di atas kepalaku.Sungguh, ini adalah hinaan yang paling menyakitkan. Aku berontak, berusaha berdiri, dan kejap berikutnya, kudorong gadis itu sekuat tenaga, tanganku mencari-cari bagian tubuhnya, apa saja, yang bisa kupakai untuk membalasnya."Ibuku bukan pelacur!" teriakku histeris.Tentu saja aku kalah. Helena dan ketiga temannya memiting tanganku, menyandarkan tubuhku ke dinding. Gadis itu menamparku berulang kali, keras sekali, hingga kurasakan cairan asin menetes dari sudut bibir."Ibumu menjual dirinya pada laki-laki! Apa namanya kalau bukan pel-acur?!" teriak Helena di depan wajahku."Ibuku bekerja sebagai pelayan di club. Dia tidak menjual tubuhnya."Cuih!Sepercik ludah milik Helena mendarat tepat di pipiku. Darahku mendidih oleh amarah yang kian membara. Tapi, aku tak bisa berbuat apa-apa. Kedua teman Helena mencengkram tangan kiri dan kananku, sementara satu orang lagi, meremas daguku kuat-kuat hingga kepalaku bahkan tak bisa bergerak. Sial bagiku, Helena memilih teman-teman bertubuh besar untuk menjadi bodyguardnya."Kau tidak tahu, Bella! Setiap malam, Ibumu dibawa pergi lelaki ke hotel. Aku tidak akan peduli seandainya salah satu dari lelaki itu bukan ayahku! Bukan ayahku! Kau dengar?!"Helena berteriak kuat-kuat. Ada titik bening yang mengembun di sela-sela matanya, bercampur dengan amarah. Untuk terakhir kalinya, dia menendangku kuat-kuat, tepat mengenai perut hingga rasa sakitnya tak terperi. Aku menjerit dengan sisa tenaga. Sebelum kegelapan menyambutku dengan sempurna, kudengar sebuah suara berseru keras!"Ya Tuhan! Isabella, Helena! Hentikan!"***Aku terbangun oleh suara lirih seseorang. Membuka mata dan menghirup napas pertama secara sadar, aroma khas rumah sakit menusuk hidung. Ada selang di hidungku, dan tiang infus yang tersambung ke punggung tangan kiri. Gerakan lemahku membuat seseorang yang sedang menelepon itu, menoleh, menurunkan ponsel dari telinganya dan berdiri menghampiriku."Pak Emir?""Kamu sudah sadar, Bella? Saya takut sekali karena kamu tak juga bangun."Pak Emir, guru olahragaku. Aku ingat, suaranyalah yang kudengar terakhir kali sebelum jatuh pingsan."Berapa lama saya pingsan, Pak?""Sekitar tiga jam. Ini sudah hampir malam."Malam seperti ini, Ibu tentu sedang bersiap berangkat bekerja. Oh, apakah benar yang dituduhkan Helena tadi siang? Bahwa Ibu bukan hanya bekerja menjadi pelayan, tapi … menjual dirinya?"Saya menghubungi Ibumu, beliau katanya akan segera datang."Tidak! Jangan sampai Pak Emir bertemu Ibu. Bagaimana kalau tuduhan Helena benar dan ternyata semua orang tahu hal yang sebenarnya tentang Ibu?"Kenapa teman-temanmu melakukan hal ini?""Mereka bukan teman saya," ucapku getir. Ya, mana mungkin ada teman seperti itu?"Saya akan melaporkan kasus bullying yang kamu alami ke pihak sekolah. Kalau kamu sudah membaik, kepala sekolah akan mempertemukan kamu dan Ibumu, dengan keempat temanmu beserta orang tuanya masing-masing."Mataku seketika membola. Tanpa peduli apapun, kucabut dengan kasar selang oksigen itu dan duduk di atas pembaringan, tak peduli perutku langsung mual dan kepala pusing akibat bergerak secara mendadak."Jangan, Pak. Tidak perlu sampai ke sekolah. Saya akan menyelesaikan ini sendiri."Pak Emir menatapku lama sekali."Cerita sama Bapak, Bella. Apa yang sebenarnya terjadi?"Suaranya lembut sekali. Sesaat, aku tertegun menatap lelaki itu. Pak Emir, guru olahraga yang tampan, idola para gadis di sekolahku. Dia belum menikah. Konon, usianya baru dua puluh empat tahun.Aku membuang pandang, meredam getaran yang tiba-tiba muncul di dada."Terima kasih Bapak sudah menolong saya. Tapi, saya mohon beri kesempatan saya dan Ibu menyelesaikannya sendiri."Bagaimana mungkin aku membiarkan seluruh sekolah tahu profesi Ibu?Pak Emir pamit pulang ketika malam telah larut dan Ibu tak kunjung datang. Tak mungkin baginya menemaniku, berduaan saja di kamar kelas satu ini. Kamar kelas satu! Astaga, bagaimana cara Ibu membayarnya nanti?Aku panik, mencoba menghubungi Ibu dengan smartphone murah yang Ibu beli untukku sekedar agar bisa berkomunikasi, tapi hingga aku lelah dan putus asa, beliau tak juga mengangkat teleponku. Selama ini aku tak pernah menelepon jika Ibu bekerja karena beliau melarang. Namun, kata-kata Helena tadi kembali terngiang. Kata-kata yang diucapkannya sambil menangis.Benarkah Ibu seorang pel-acur? Benarkah Ibu menjual diri, bukan sekedar menjadi pelayan? Dan benarkah, bahwa Papanya Helena tidur dengan Ibu?***Pagi-pagi sekali, Ibu datang. Wajahnya yang cantik tampak sangat lelah."Kenapa Ibu nggak angkat teleponku?"Ibu menoleh sejenak, memberi jeda pada kegiatannya membuka kotak styrofoam yang beraroma bubur ayam."Ibu kerja, Nak.""Apakah pekerjaan Ibu lebih penting dari aku? Bagaimana kalau aku mati saat Ibu lagi kerja?"Ibu tampak sangat terkejut. Dia benar-benar berhenti menyajikan makanan di atas meja."Bella, jangan bilang seperti itu. Ibu melakukan ini untukmu."Mataku terasa panas. Air mata yang berusaha keras menerobos pertahananku sejak semalam, kini mendesak keluar."Apa benar Ibu bukan hanya menjadi pelayan di club? Apa benar Ibu menjual diri?"Kini, Ibu sempurna terkejut."Siapa yang bilang begitu?"Bibir dan suaranya bergetar. Dipandanginya wajahku yang kini basah air mata. Peristiwa kemarin, dan ketidakhadiran Ibu semalam cukup menjadi alasanku menangis. Hatiku nelangsa dan perih tak terhingga. Semalam, aku berharap dia datang, berharap tidur dalam pelukannya setelah menjalani hari yang berat."Apa benar, Ibu tidur dengan Ayahnya temanku?"Pertanyaan terakhir itu akhirnya lolos juga. Ibu seperti kehilangan kemampuannya bernapas dalam waktu beberapa detik lamanya. Dan tiba-tiba saja, Ibu merengkuh kepalaku, tenggelam dalam pelukannya."Anakku, tolong jangan berkata seperti itu. Jangan bertanya dan jangan dengarkan orang lain. Bisakah kau hanya percaya pada Ibu saja?"Suaranya bergetar dan mengandung tangis. Tanpa kuminta, bagai sebuah slide film, hidup kami yang entah selama ini membayang di mataku. Sosok Ayah yang tak pernah ada, membuat Ibu harus bekerja keras membesarkan aku seorang diri. Segala pekerjaan telah Ibu lakoni. Berdagang sarapan, menjadi buruh cuci gosok, hingga menjadi pelayan di kios buah. Disanalah Ibu bertemu dengan teman lamanya yang kemudian mengajaknya bekerja di club malam. Hanya sebagai pelayan, janji Ibu padaku waktu itu."Bisakah kau tak menanyakan hal itu lagi, Bella? Percaya sama Ibu. Tolong, Nak. Apa artinya hidup Ibu jika satu-satunya alasan Ibu bertahan sejauh ini, justru meragukan Ibu?"Aku tergugu, melepaskan diri dari pelukannya. Kutatap wajahnya yang sendu, dengan dua garis air mata menganak sungai. Di matanya itu, terbayang kepahitan hidup yang telah sama-sama kami lalui. Pada wajahnya yang sendu, terpeta rasa cintanya yang luar biasa padaku. Bagaimana mungkin aku meragukan dirinya?Bukan seberat ini beban yang seharusnya ada di pundak Ibu. Ini bukan salah Ibu."Ibu, maafkan aku, Ibu."Kami bertangisan, di subuh yang dingin diiringi suara gerimis yang menelusup masuk lewat jendela. Seharusnya, semua tidak seperti ini. Seharusnya, Ibu tak perlu bersusah payah seperti ini. Jika saja lelaki yang menyebabkan diriku hadir ke dunia, tak meninggalkan kami.Jika saja, lelaki yang katanya mencintai Ibu, bisa dipercaya.***BUKAN SALAH IBU 2Pak Emir menepati janjinya untuk tidak membawa masalah pembullyanku ke sekolah. Tapi, aku tahu diam-diam dia mengawasiku. Helena sendiri rupanya mendapat teguran keras dari Pak Emir. Dia seringkali menatapku dengan geram, tapi tak berbuat apa-apa. Sesaat, aku merasa aman. Tapi aku tahu, hanya menunggu waktu sebelum Helena melemparkan bom yang lebih besar ke wajahku."Biarkan saja, Nak. Tak perlu menjelaskan dirimu pada orang yang membenci. Dia tak akan percaya.""Tapi, Ibu benar-benar nggak ada hubungan dengan Papanya Helena kan?"Ibu menggeleng dengan wajah sendu, tapi tak berkata apa-apa. Aku menghela napas dalam-dalam. Seperti yang Ibu minta, aku hanya cukup mempercayainya. Percaya, bahwa dia tak akan pernah membuatku kecewa.Dulu, aku menghabiskan hari untuk bertanya siapa Ayahku. Dan setiap kali itu juga, Ibu menjawab dengan gelengan kepala dan tetesan air mata. Beranjak dewasa, aku mulai berhenti bertanya. Untuk apa? Pertanyaanku hanya membuat luka di hati Ibu
BUKAN SALAH IBU 3Dengan tangan gemetar, Ibu meraih foto itu. Kulihat beliau meneguk ludah dengan susah payah, seakan-akan, ada segumpal batu besar menyumbat di kerongkongannya."Itu Papanya Helena," desisku."Jadi, ini Ayahnya temanmu, yang membuat kamu terluka waktu itu?"Aku mengangguk. "Jadi, benar? Ibu tidur dengan Papanya Helena?"Rasa kecewa membuat suaraku bergetar. Aku ingin menangis, tapi juga ingin marah. Ibu telah membohongiku selama ini. Bagaimana mungkin aku masih punya muka untuk datang ke sekolah? Seisi kelas tahu, seluruh sekolah akan segera tahu, bahwa Ibuku, Ibu dari Isabella, si juara umum sekolah, adalah seorang pela-cur. Sungguh tak ada artinya semua prestasi yang kutorehkan. Semua terhapus oleh aib yang Ibu corengkan di jidatku.Tapi, Tiba-tiba Ibu tersenyum, meski tampak getir."Jadi, kamu nggak percaya sama Ibu, Bella?"Aku menatap Ibu tak mengerti. Bagaimana aku harus percaya jika bukti ini amat meyakinkan?"Ibu memang pergi ke hotel itu dan bertemu Mas Wisn
BUKAN SALAH IBU 4"Kenapa aku tidak punya Ayah?""Siapa bilang? Bella punya kok. Tapi, Ayah sedang pergi.""Kapan pulangnya?""Suatu saat nanti."Pertanyaan itu sudah berpuluh kali kuucapkan hingga delapan belas tahun usiaku ini. Tapi, sekalipun, aku tak pernah mendapat jawaban yang memuaskan. Janji Ibu membuatku punya sebuah kegemaran, duduk di teras depan rumah seraya menatap ke ujung jalan, berharap sesosok tubuh lelaki tegap dan tampan datang dan memeluk serta menggendongku, lalu berkata : Ini ayah, Ayahmu sudah pulang."Bella, nggak capek kau duduk di situ? Bapakmu nggak akan pulang!" seru Wak Rusni, tetangga sebelah kanan rumah. Aku bergeming."Mau sampai kapanpun kau tunggu, dia nggak akan pulang, Bella." Nek Romlah tetangga sebelah kiri ikut bicara. Aku tetap tak peduli. Yang kupegang adalah kata-kata Ibu, bahwa suatu saat, dia akan kembali.Hingga usiaku sembilan tahun, akhirnya aku mengerti bahwa Ibu hanya membohongiku. Aku berlari masuk ke dalam rumah setelah maghrib nyaris
BUKAN SALAH IBU 5Satu jam kemudian, mobil yang kutunggu-tunggu akhirnya datang. Mobil Papanya Helena yang sudah kuhapal nomor polisinya. Aku memutar kunci motor, menguncinya, dan menunggu pintu mobil itu terbuka dengan dada berdebar kencang.Lalu, pintu sebelah sopir terbuka dan sepasang sepatu kets putih melompat turun. Aku terkejut, ternyata yang memakai mobil itu bukan Papanya Helena, melainkan Helena sendiri. Dia lalu menuju pintu masuk yang dijaga oleh dua orang bertubuh besar.Jantungku berdegup kencang. Mau apa mereka kesini? Aku ingat Ibu, dan tubuhnya yang mungil itu, bagaimana jika Helena kesini mencari Ibu dan memarahinya? Atau yang lebih parah lagi, memukuli Ibu seperti yang dia lakukan padaku?Tanpa pikir panjang, aku berlari menuju pintu masuk, tapi dua orang bertubuh besar itu langsung menghadang."KTP."Aku belum punya KTP. Meski usiaku sudah delapan belas tahun, aku kemana-mana masih menggunakan kartu pelajat. Kupikir nanti saja setelah lulus. Tapi rupanya, aku salah
BUKAN SALAH IBU 6Helena berdiri tegak di depanku sambil menyilangkan kedua tangannya. Tak ada senyum di bibirnya yang tipis itu. Tapi, itu tampak lebih baik karena senyum yang selalu keluar dari bibir gadis berwajah oriental itu sinis dan mengandung maksud lain."Mulai saat ini, aku berjanji tidak akan memukulku, menendang atau bahkan menyentuhmu lagi, Bella."Aku diam, menunggu kelanjutan kata-katanya. Tentu saja ini bukanlah akhir, karena aku tahu akan ada kelanjutannya yang pasti lebih mengerikan."Tapi, aku akan menyakitimu lebih dari ini. Aku, perlahan-lahan akan menghancurkan hatimu, mengambil apapun yang kau miliki hingga kau merasakan penderitaan lebih dari ini!"Wajah kami hanya berjarak satu jengkal saja. Aku menatap wajah ovalnya yang dibalut rambut hitam pekat dan lurus sempurna. Beberapa detik lamanya, tak ada dari kami yang mengalah, sampai kemudian, aku tersenyum."Baiklah, aku menunggu."…"Isabella, Helena, kalian bertengkar lagi?!"Sebuah suara menginterupsi. Helena
BUKAN SALAH IBU 7"Bella, ada apa?"Aku menoleh, sejenak tadi terlupa bahwa Pak Emir mengantarku pulang. Demi melihat ada orang lain datang, Ibu duduk tegak, menghapus sisa air mata yang sejenak tadi kutangkap jelas di wajahnya. Detik berikutnya, beliau telah tersenyum sambil berdiri, menyapa Pak Emir dengan ramah seolah-olah tadi tak terjadi apa-apa."Ya Allah, Bella. Ada teman kamu, kok nggak suruh ikut masuk?"Teman?Aku melirik Pak Emir. Seragam gurunya tertutup oleh jaket berhodie. Dan tanpa seragam itu, dia memang terlihat masih sangat muda. Usia kami hanya terpaut enam tahun. Aku mengetahuinya saat tak sengaja membuka database para guru dan staff di situs sekolah."Ibu, ini Pak Emir, guru aku di sekolah," ujarku pelan. Ibu semakin terkejut."Loh? Ya Allah, maaf … maaf … "Ibu dengan cepat menguasai diri. Pak Emir tersenyum dan tanpa kuduga mengulurkan tangannya, menyalami Ibu. Dia mencium tangan Ibu tanpa canggung."Waduh, saya jadi nggak enak ini." Pak Emir tersenyum dan meng
BUKAN SALAH IBU 8PoV IBUFLASHBACK, SEMBILAN BELAS TAHUN YANG LALUAku menatap alat tes kehamilan bergaris dua itu dengan perasaan campur aduk. Entah, apakah harus sedih atau bahagia. Satu bulan menikah, Tuhan langsung memberiku hadiah. Sesosok janin kini bersemayam di rahimku. Tapi, seminggu sudah berlalu, kenapa dia tak juga kembali?Wisnu Wardhana, seorang lelaki dari keluarga terpandang. Selain kaya raya karena orang tuanya punya beberapa pabrik kain yang tersebar di banyak kota di Indonesia, dia juga lelaki tampan yang penuh pesona. Dia kakak kelasku di SMA. Sebuah keajaiban bagaimana lelaki itu bisa jatuh hati padaku, seorang gadis yatim piatu yang susah payah menyelesaikan sekolah sambil bekerja. Seperti dongeng cinderella, lelaki itu lalu datang dan menawarkan cinta. Aku masih sangat muda kala itu. Tujuh belas tahun. Tak terpikir olehku bahwa seharusnya aku mundur ketika tahu orang tuanya tak memberi restu. Ya, bagaimana mungkin sang pangeran memungut gadis miskin dan sebat
BUKAN SALAH IBU 9"Saat itu, Mas datang ke perusahaan Om Andri untuk mencari pekerjaan. Dia sahabat baik Papa yang paling dekat dsngan keluarga kami. Kupikir, dia mau membantuku karena selama ini dia sangat baik padaku."Mas Wisnu memulai penjelasannya. Bella akhirnya melunak, mungkin dia merasakan hal yang sama denganku, membutuhkan penjelasan setelah bertahun-tahun kami menantinya. Mas Wisnu duduk dengan canggung di kursi paling depan, dekat dengan pintu. Aku duduk di depannya, sementara Bella bertahan berdiri di sisi kursi kayu yang kududuki. Sejenak tadi, dapat kulihat mata Mas Wisnu yang tampak sedih melihat keadaan rumah yang lapuk disana sini dan lebih layak disebut gubuk. Uang yang kudapatkan tidak banyak, dan bagiku, pendidikan Bella adalah yang utama. Aku tak akan membiarkan hidupnya terhina dan tersisih seperti aku."Mas disuruh menunggu di ruangan pribadi Om Andri. Lama sekali sampai-sampai Mas sempat makan makanan yang diantar oleh OB. Mas pikir, itu karena Om Andri mengh
BUKAN SALAH IBU 50 (ENDING)Aku, Ayah dan Ibu nyaris berlari menuju bangsal rumah sakit umum, rumah sakit terdekat dengan rumah tahanan khusus wanita tempat Tante Meira ditahan. Berita itu sepertinya belum masuk televisi dan kami dihubungi langsung oleh pihak rutan karena kamilah keluarga yang tertera di data tahanan.Subuh tadi, terjadi kebakaran hebat di rutan, diduga karena adanya hubungan arus pendek. Kondisi subuh yang dingin, disaat nyaris semua penghuninya sedang lelap di alam mimpi, membuat korban berjatuhan. Salah satunya Tante Meira. Kini, bersama puluhan korban lainnya, Tante Meira telah berada di IGD rumah sakit.Ponselku berulang kali bergetar. Helena terus menelepon, ingin tahu keadaan Mamanya. Susah payah aku membujuknya agar tetap tenang."Aku akan segera pulang, Bella. Mas Abim akan cari tiket. Ya Allah, Bella, tolong, bilang dokter untuk selamatkan Mama. Mama mungkin bukan orang baik, tapi dia orang yang melahirkan aku."Di seberang telepon, Helena menangia tersedu-s
BUKAN SALAH IBU 49PoV BELLASuara minyak yang sudah panas terdengar mendesis. Kumasukkan bumbu berupa dua macam bawang, cabai merah, kunyit dan jahe yang sudah diiris halus, menambahkannya dengan daun jeruk, daun salam, serta lengkuas dan sereh yang sudah di geprek. Setelah semuanya layu dan menguarkan aroma harum, kumatikan kompor, dan memindahkan bumbu tadi ke dalam rebusan tulang iga yang sedang menggelegak. Tak lama, aroma harum pindang iga memenuhi dapur, membawaku ke masa setahun yang lalu.Setahun yang lalu, sehari sebelum berangkat ke Samarinda, tempatnya sekarang tinggal, Helena memintaku mengajarinya masak pindang iga. Itu makanan kesukaannya. Dia bisa menghabiskan satu mangkuk penuh jika Ibu memasaknya. Dan karena sejak kecil aku sudah suka membantu Ibu, aku tahu bagaimana cara memasaknya. Meski dulu, kami hanya bisa makan daging seperti itu setahun sekali, saat lebaran idul adha."Syukurlah bumbunya diiris saja, aku nggak bisa ngulek."Helena cekikikan. "Apa gunanya Chop
BUKAN SALAH IBU 48Dia pergi, membawa setengah hatiku bersamanya. Sungguh singkat kebersamaan kami. Sembuh dari sakit, lalu menikah. Hari-hari yang kami lalui seakan berlompatan. Tahu-tahu, dia dibawa pergi suaminya. Suaminya. Adikku Helena kini telah menjadi seorang istri. Dia menjelma menjadi istri yang manis dan menyenangkan. Helena yang dulu membully-ku disekolah benar-benar telah mati. Ulat itu telah bermetamorfosis menjadi kupu-kupu dengan sayapnya yang indah.(Kami transit di Jakarta. Tiba-tiba saja aku ingin merasakan malam di kota tua. Jadi kami menunda keberangkatan. Untung saja kamu kasih saran untuk nggak pesan tiket langsung ke Kalimantan.)Pesannya masuk kemudian, disusul foto-fotonya berpose di kota tua. Aku tersenyum, dia tampak sangat cantik dengan dandanan ala Nonik Belanda.(Pastikan kau selalu bersama Abimanyu.)(Okey)(Apa kepalamu masih suka sakit?)(Nggak lagi. Aku bahagia. Kakak jangan mengkhawatirkan aku. Sekarang waktunya Kakak memikirkan diri Kakak sendiri.
BUKAN SALAH IBU 47"Helen, aku … ""Aku sayang kakak."Helena tiba-tiba memelukku. Aku terkejut, menyambut tubuhnya dan membalas pelukan itu. Hatiku menghangat oleh rasa haru. Oh, Tuhan, salahkah jika aku ingin dia amnesia selamanya? Biarlah dia melupakan masa lalu. Biarlah dia hanya mengingat aku, Ayah dan Ibu sebagai keluarganya saja. Dosakah aku, Tuhan?"Kakak juga sayang kamu. Ayo masuk, sebentar lagi magrib, nggak baik ada diluar rumah.""Aku masih suka duduk disini.""Kita akan sering duduk disini, asalkan tidak menjelang magrib.""Tapi aku suka kursi ini. Bolehkah kursi ini untukku?"Aku tertegun sejenak. Kursi rotan itu, baru, dibeli Ayah untuk menggantikan kursi kayu yang dulu kugunakan untuk duduk menunggunya. Seperti de javu, apa yang ku katakan pada Helena sekarang adalah, apa yang sering dikatakan Ibu padaku dulu : masuklah, Bels, tak baik diluar menjelang magrib begini."Tentu saja. Tak ada yang boleh duduk disini selain dirimu."Helena tersenyum, dengan manja dia mengge
BUKAN SALAH IBU 46Aku terbangun di pagi hari dalam keadaan yang jauh lebih baik. Infus di tanganku rupanya bekerja dengan cepat. Alarm tubuh membangunkanku sesaat setelah azan subuh selesai. Aku melihat Ibu yang sedang salat sendirian dan itu membuatku lega. Semalam, Ibu datang cukup larut, membantuku salat isya dan menyuruhku langsung tidur lagi. "Operasinya sukses, Helena sudah dipindahkan ke ICU. Berdoalah semoga besok dia sadar."Aku termangu. Dari rekaman CCTV di lapangan parkir kampus, Helena ternyata memang sengaja menunggu disana. Dia melihat bagaimana mobil itu nyaris menabrakku dan berlari secepat mungkin, mengorbankan diri dan keselamatannya sendiri. Teman-teman yang menceritakan hal itu. Mereka mendapat informasi dari staff keamanan. Semalaman, aku nyaris tak bisa berhenti menangis membayangkan gadis itu melakukan hal berbahaya agar aku selamat.Seandainya tak ada Helena, maka akulah yang kini berbaring di ruang ICU."Bels? Sudah bangun? Ayo Ibu bantu salat subuh."Aku m
BUKAN SALAH IBU 45PoV BELLA"Sampai besok, Bels. Jangan lupa, kasih badanmu istirahat. Kamu kelihatan capek banget."Aku melambaikan tangan pada Rena, berterima kasih atas perhatiannya. Dia sahabat baru di kampus. Rasanya menyenangkan sekali punya sahabat setelah menghabiskan masa SMA yang sepi dulu. Sejak pagi, badanku memang terasa tidak nyaman, tenggorokan sakit dan kepala sedikit pusing. Sepertinya aku akan flu berat.Dengan langkah yang kuusahakan agar cepat, aku melangkah menuju mobil. Parkiran kampus ramai sekali. Motor dan mobil sibuk lalu lalang akibat jam pulang yang berbarengan. Aku berjalan sambil menurunkan ransel, merogoh sakunya untuk mencari kunci mobil. Fokusku sedikit teralih karena kunci itu tak juga kutemukan. Sepertinya aku meletakkannya di kantong sebelah kanan, kenapa nggak ada ya?Tiinnn!"Bella! Bella! Awas!Tiinnn!Aku mendongak, merasakan atmosfer yang berubah seketika. Teriakan panik, pekikan menyebut namaku menggema, lalu suara deru mobil … Aku berbalik,
BUKAN SALAH IBU 44"Kau jahat, Bella! Kau jahat!""Helen!"Bella berdiri, dan dengan gerakan cepat menarik tanganku."Kau tak sadar kalau kata-kata itu lebih pantas kau tujukan untuk dirimu sendiri?"Aku menangis terisak-isak, kata-katanya itu entah kenapa terasa sangat menyakitkan. Aku menatapnya dengan benci, bertanya-tanya dalam hati, ngkinkah hubungan kami berdua akan kembali seperti dulu lagi. Saling membenci dan saling menyakiti."Lagipula, kau belum mendengar seluruh kalimatku," ujar Bella kemudian."Kau menghasut Papa untuk melupakanku, kan?""Persis seperti apa yang kalian lakukan dulu?" Bella tersenyum sinis, "Aku tak sejahat itu. Duduk di meja dan temui Ayah."Bella menarik tanganku yang seketika menegang. Dia menyuruhku duduk di sisi Papa. Meja makan telah kosong, hanya ada sekeranjang buah di tengah meja. Sepertinya piring-piring kotor dan sisa makanan telah disingkirkan. Aku duduk kaku dan tegang, padahal, Papa duduk amat dekat denganku. Dulu, aku akan dengan segera masu
BUKAN SALAH IBU 43"Nyonya Wardhana meminta saya menjemput Nona Helen untuk menemui Ibu anda di kantor polisi. Katanya, Mama anda memaksa ingin bertemu."Aku membelalakkan mata. Jam sepuluh pagi, Abimanyu datang lagi. Aku kenal dia, asisten kepercayaan Nenek berusia akhir dua puluh yang ramah dan mudah tersenyum, tapi tegas dan tak ada toleransi untuk sebuah pelanggaran. Entah kenapa Eyang terus-terusan membuat aku bertemu dengannya."Oke. Tapi, aku bisa pergi sendiri."Abimanyu menggeleng."Tidak, Nona. Nyonya berpesan untuk mengantar dan menunggui Nona lalu memastikan Nona pulang lagi."Aku menggeram dengan marah."Kau membuatku terlihat seperti tawanan!"Abimanyu tersenyum."Mematuhi aturan, atau membatalkan kesempatan … ""Oke! Oke! Dasar sialan!"Lelaki itu hanya memutar bola mata mendengar umpatanku yang kasar. Aku masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian. Tanpa bicara apa-apa, aku keluar dan langsung naik ke mobilnya. Dia ikut melompat naik sambil tersenyum."Tersenyumlah se
BUKAN SALAH IBU 42Aku meninggalkan Ayah dan Ibu berdua saja di meja makan. Biarlah, Ibu punya caranya sendiri untuk menuntun Ayah agar kembali mengingat kami. Kami hanya perlu bersabar. Dan bukankah sudah beberapa kali kami lulus dalam ujian kesabaran itu?Kuhentikan langkah saat melihat Helena keluar dari kamarnya sambil menggeret tas. Rasanya aku hampir saja berteriak, melarangnya pergi saat melihat wajahnya yang sembab sehabis menangis. Tapi tidak, kali ini, aku belum bisa memaafkannya. Dulu, saat Tante Meira merebut Ayah dari Ibu, Helena tak tahu apa-apa. Tapi sekarang, dia bahkan menjadi salah satu sutradaranya.Helena menyandarkan koper dan berjalan ke arah dapur. Namun, langkahnya terhenti saat melihatku."Mau kemana?""Aku… mau pamit pada Papa dan Tante Ana.""Tak usah. Pergi saja. Kau bisa pamit pada Eyang.""Tapi … "Aku mendekat. Kutatap matanya tepat di maniknya yang hitam."Kau bahkan tak mengizinkan kami tahu keadaan Ayahku yang menyedihkan selama dua tahun lamanya."He