Share

Bab 2

Author: Yazmin Aisyah
last update Last Updated: 2024-02-21 20:22:40

BUKAN SALAH IBU 2

Pak Emir menepati janjinya untuk tidak membawa masalah pembullyanku ke sekolah. Tapi, aku tahu diam-diam dia mengawasiku. Helena sendiri rupanya mendapat teguran keras dari Pak Emir. Dia seringkali menatapku dengan geram, tapi tak berbuat apa-apa. Sesaat, aku merasa aman. Tapi aku tahu, hanya menunggu waktu sebelum Helena melemparkan bom yang lebih besar ke wajahku.

"Biarkan saja, Nak. Tak perlu menjelaskan dirimu pada orang yang membenci. Dia tak akan percaya."

"Tapi, Ibu benar-benar nggak ada hubungan dengan Papanya Helena kan?"

Ibu menggeleng dengan wajah sendu, tapi tak berkata apa-apa. Aku menghela napas dalam-dalam. Seperti yang Ibu minta, aku hanya cukup mempercayainya. Percaya, bahwa dia tak akan pernah membuatku kecewa.

Dulu, aku menghabiskan hari untuk bertanya siapa Ayahku. Dan setiap kali itu juga, Ibu menjawab dengan gelengan kepala dan tetesan air mata. Beranjak dewasa, aku mulai berhenti bertanya. Untuk apa? Pertanyaanku hanya membuat luka di hati Ibu tak kunjung sembuh.

"Sebentar lagi kelulusanmu. Apa kau sudah memutuskan akan kuliah dimana?"

Ibu duduk di kursi makan, menatap meja yang penuh bertebaran buku pelajaran. Aku menutup buku yang masih terbuka dan menyusunnya.

"Sebaiknya, aku kerja saja, Bu. Supaya Ibu bisa berhenti dari club malam."

Raut wajah Ibu berubah seketika.

"Jangan Bella. Kamu harus kuliah. Kalau perlu setinggi mungkin.

"Tapi dari mana biayanya? Aku tak ingin Ibu terus bekerja disana. Sekarang, mungkin Ibu belum tergoda. Tapi, bagaimana nanti?"

Ibu menatapku lekat.

"Jadi kamu nggak percaya Ibu?"

"Aku … "

"Ibu nggak pernah minta apa-apa sama kamu, selain, sekolahlah setinggi mungkin. Jadi orang sukses, hingga tak ada lelaki yang dipaksa meninggalkan dirimu hanya karena kamu miskin."

Suara Ibu bergetar. Aku terdiam, mencoba merangkai makna kalimat Ibu barusan. Apakah pada akhirnya, Ibu akan menceritakan asal-usulku, dari benih siapakah aku berasal?

Ibu mendongakkan wajah, mencegah air matanya turun. Ah, bagaimana mungkin aku tega bertanya lebih lanjut? Mungkin, asal usul diriku akan tetap menjadi misteri.

***

"Teman-teman, adakah yang mau berkenalan dengan anak seorang pela-cur!"

Suara Helena kembali terdengar siang ini. Kelas riuh oleh suara orang bercakap-cakap dan bergurau. Sebabnya tentu saja, guru bidang studi yang harusnya mengajar, izin tak masuk. Sialnya, guru pengganti-pun tak ada. Kami diminta mengerjakan tugas, tapi seperti biasa, hanya separuh siswa yang datang ke sekolah untuk sungguh-sungguh belajar.

Suara Helena yang melengking membuat semua anak menghentikan aktifitasnya. Semua menatap Helana, ingin tahu kelanjutan kalimatnya. Dengan langkah gemulai, Helena beranjak dari singgasananya di pojok belakang kelas, dan berhenti hanya satu langkah di depan kursiku.

"Ini dia anaknya! Isabella. Ibunya menghidupinya dengan uang haram hasil menjual diri. Ku ingatkan, jangan dekat dengannya kalau kalian tak ingin ketularan haram. Tapi, ya nggak heran sih. Dia sendiri anak haram."

Jleb. Kata-katanya menghujam ke dalam dada. Sakit. Aku berdiri, menatap lurus sejajar dengannya. Tinggi kami sama meski dari database kelas, usiaku lebih tua delapan bulan darinya. Tapi tentu saja, Helena tak pernah sendiri. Tiga kacung setianya berdiri dengan sikap waspada, siap menyerang jika sang majikan memberi aba-aba.

"Aku bukan anak haram, Helena. Dan satu lagi, Ibuku bukan pela-cur!" ujarku tenang. Ya, aku harus tenang. Tak akan kubiarkan dia mengobrak abrik hidupku seperti kemarin.

Helena tertawa kencang, para pelayannya mengikuti, sementara kelas hening menantikan drama ini. Helena siswi baru di sekolah ini, tapi dengan uangnya, dia mampu menggaet teman yang luar biasa banyak. Dua hari di rumah sakit, tak satupun teman menjenguk, hanya Pak Emir, yang datang memberikan amplop berisi beberapa lembar uang merah dan sekeranjang buah. Hal itu menunjukkan betapa besar pengaruh Helena di kelas ini.

"Lalu ini apa?"

Helena melemparkan selembar kertas ke dadaku. Kertas itu jatuh ke lantai, tepat di ujung sepatuku, di bawah puluhan pasang mata yang memandang. Aku memungutnya dengan dada berdebar. Sekilas, aku melihat siluet seseorang yang kukenal disana.

Itu Ibu, yang berada diluar nightclub tempatnya bekerja. Ibu berdiri amat dekat, terlalu dekat dengan seorang lelaki yang tak kukenal.

"Dan ini!"

Helena melamparkan selembar lagi foto. Kali ini, wajah Ibu tampak jelas di bawah sinar lampu sebuah lobby hotel. Ibu dengan lelaki yang sama, ada di hotel.

Dadaku bergetar. Wajahku pastilah sudah panas karena malu. Benarkah ini? Ibu ada di hotel bersama seorang lelaki. Lalu apa makna ucapan Ibu yang terus memintaku percaya padanya, padahal dia …

"Dia seorang pela-cur! Entah kau benar-benar tak tahu atau pura-pura tak tahu. Yang jelas, katakan pada Ibumu untuk menjauhi Papaku. Kalau tidak, bukan hanya kau yang akan menderita, Bella!. Akan kubalas kalian!" jerit Helena. Dia kehilangan kontrol dirinya dan berlari maju hendak menjambak rambutku. Aku yang didera rasa terkejut luar biasa, tak mampu mengelak.

Helena menarik rambutku kencang sekali hingga rasanya kulit kepalaku akan lepas dari kepala. Dia bermaksud menjedotkan kepalaku ke tembok. Aku meronta, menendang kakinya hingga dia jatuh dan pegangannya terlepas. Tapi, ketiga bodyguard nya yang berbadan besar itu langsung menggantikan tugasnya menyiksaku.

"Berhenti!"

Sebuah suara muncul di ambang pintu. Orin, salah satu kacung Helena tadi melepaskan jambakannya di rambutku.

"Kalian membuat ulah lagi?!"

Pak Emir berlari menghampiri. Dia masih memakai kaos olahraga dengan titik-titik keringat yang jelas terlihat. Beberapa orang siswa dari kelas lain yang rupanya baru kembali dari lapangan olahraga, mengintip dari balik jendela.

"Sekali ini, saya tak akan diam lagi. Kalian berempat, pergi ke ruang BP!"

Wajah Helena merah padam. Pak Emir menoleh padaku yang masih berusaha meredakan napas yang memburu.

"Kamu nggak apa-apa, Bella?"

Suaranya berubah lembut, dan bukan hanya aku yang menyadari itu. Tapi aku tak peduli. Pikiranku hanya tertuju pada Ibu, pada foto-foto yang kini kuremas dalam genggaman tangan. Aku harus tahu kebenarannya sekarang juga.

Aku menepis tubuh Pak Emir yang berusaha melindungiku, menyambar tas di atas bangku dan berlari secepat kilat keluar dari kelas. Aku tak peduli pada teriakan kaget seisi kelas. Aku tak peduli Helena dan ketiga temannya menyorakiku, aku tak peduli ketika nyaris saja menabrak Revan si ketua OSIS yang baru saja datang dari arah toilet. Kuabaikan dadaku yang nyaris meledak. Dengan motor tua yang setiap hari kugunakan untuk pergi dan pulang sekolah, aku pulang. Aku harus segera bertemu Ibu.

Dia kudapati baru saja bangun dari tidur dan sedang mengaduk kopi. Kuabaikan raut terkejutnya melihatku menerobos pintu depan. Di depan wajah Ibu, di atas meja makan, kuletakkan foto yang sudah tak berbentuk karena kuremas tadi. Aku ingin menjerit, ingin marah, ingin berteriak. Tapi, melihat wajahnya yang lelah, yang keluar dari mulutku justru pertanyaan yang mengandung tangisan.

"Jelaskan padaku, apa yang Ibu lakukan di hotel dengan Papanya Helena."

***

Related chapters

  • BUKAN SALAH IBU   Bab 3

    BUKAN SALAH IBU 3Dengan tangan gemetar, Ibu meraih foto itu. Kulihat beliau meneguk ludah dengan susah payah, seakan-akan, ada segumpal batu besar menyumbat di kerongkongannya."Itu Papanya Helena," desisku."Jadi, ini Ayahnya temanmu, yang membuat kamu terluka waktu itu?"Aku mengangguk. "Jadi, benar? Ibu tidur dengan Papanya Helena?"Rasa kecewa membuat suaraku bergetar. Aku ingin menangis, tapi juga ingin marah. Ibu telah membohongiku selama ini. Bagaimana mungkin aku masih punya muka untuk datang ke sekolah? Seisi kelas tahu, seluruh sekolah akan segera tahu, bahwa Ibuku, Ibu dari Isabella, si juara umum sekolah, adalah seorang pela-cur. Sungguh tak ada artinya semua prestasi yang kutorehkan. Semua terhapus oleh aib yang Ibu corengkan di jidatku.Tapi, Tiba-tiba Ibu tersenyum, meski tampak getir."Jadi, kamu nggak percaya sama Ibu, Bella?"Aku menatap Ibu tak mengerti. Bagaimana aku harus percaya jika bukti ini amat meyakinkan?"Ibu memang pergi ke hotel itu dan bertemu Mas Wisn

    Last Updated : 2024-02-21
  • BUKAN SALAH IBU   Bab 4

    BUKAN SALAH IBU 4"Kenapa aku tidak punya Ayah?""Siapa bilang? Bella punya kok. Tapi, Ayah sedang pergi.""Kapan pulangnya?""Suatu saat nanti."Pertanyaan itu sudah berpuluh kali kuucapkan hingga delapan belas tahun usiaku ini. Tapi, sekalipun, aku tak pernah mendapat jawaban yang memuaskan. Janji Ibu membuatku punya sebuah kegemaran, duduk di teras depan rumah seraya menatap ke ujung jalan, berharap sesosok tubuh lelaki tegap dan tampan datang dan memeluk serta menggendongku, lalu berkata : Ini ayah, Ayahmu sudah pulang."Bella, nggak capek kau duduk di situ? Bapakmu nggak akan pulang!" seru Wak Rusni, tetangga sebelah kanan rumah. Aku bergeming."Mau sampai kapanpun kau tunggu, dia nggak akan pulang, Bella." Nek Romlah tetangga sebelah kiri ikut bicara. Aku tetap tak peduli. Yang kupegang adalah kata-kata Ibu, bahwa suatu saat, dia akan kembali.Hingga usiaku sembilan tahun, akhirnya aku mengerti bahwa Ibu hanya membohongiku. Aku berlari masuk ke dalam rumah setelah maghrib nyaris

    Last Updated : 2024-02-21
  • BUKAN SALAH IBU   Bab 5

    BUKAN SALAH IBU 5Satu jam kemudian, mobil yang kutunggu-tunggu akhirnya datang. Mobil Papanya Helena yang sudah kuhapal nomor polisinya. Aku memutar kunci motor, menguncinya, dan menunggu pintu mobil itu terbuka dengan dada berdebar kencang.Lalu, pintu sebelah sopir terbuka dan sepasang sepatu kets putih melompat turun. Aku terkejut, ternyata yang memakai mobil itu bukan Papanya Helena, melainkan Helena sendiri. Dia lalu menuju pintu masuk yang dijaga oleh dua orang bertubuh besar.Jantungku berdegup kencang. Mau apa mereka kesini? Aku ingat Ibu, dan tubuhnya yang mungil itu, bagaimana jika Helena kesini mencari Ibu dan memarahinya? Atau yang lebih parah lagi, memukuli Ibu seperti yang dia lakukan padaku?Tanpa pikir panjang, aku berlari menuju pintu masuk, tapi dua orang bertubuh besar itu langsung menghadang."KTP."Aku belum punya KTP. Meski usiaku sudah delapan belas tahun, aku kemana-mana masih menggunakan kartu pelajat. Kupikir nanti saja setelah lulus. Tapi rupanya, aku salah

    Last Updated : 2024-02-21
  • BUKAN SALAH IBU   Bab 6

    BUKAN SALAH IBU 6Helena berdiri tegak di depanku sambil menyilangkan kedua tangannya. Tak ada senyum di bibirnya yang tipis itu. Tapi, itu tampak lebih baik karena senyum yang selalu keluar dari bibir gadis berwajah oriental itu sinis dan mengandung maksud lain."Mulai saat ini, aku berjanji tidak akan memukulku, menendang atau bahkan menyentuhmu lagi, Bella."Aku diam, menunggu kelanjutan kata-katanya. Tentu saja ini bukanlah akhir, karena aku tahu akan ada kelanjutannya yang pasti lebih mengerikan."Tapi, aku akan menyakitimu lebih dari ini. Aku, perlahan-lahan akan menghancurkan hatimu, mengambil apapun yang kau miliki hingga kau merasakan penderitaan lebih dari ini!"Wajah kami hanya berjarak satu jengkal saja. Aku menatap wajah ovalnya yang dibalut rambut hitam pekat dan lurus sempurna. Beberapa detik lamanya, tak ada dari kami yang mengalah, sampai kemudian, aku tersenyum."Baiklah, aku menunggu."…"Isabella, Helena, kalian bertengkar lagi?!"Sebuah suara menginterupsi. Helena

    Last Updated : 2024-03-05
  • BUKAN SALAH IBU   Bah 7

    BUKAN SALAH IBU 7"Bella, ada apa?"Aku menoleh, sejenak tadi terlupa bahwa Pak Emir mengantarku pulang. Demi melihat ada orang lain datang, Ibu duduk tegak, menghapus sisa air mata yang sejenak tadi kutangkap jelas di wajahnya. Detik berikutnya, beliau telah tersenyum sambil berdiri, menyapa Pak Emir dengan ramah seolah-olah tadi tak terjadi apa-apa."Ya Allah, Bella. Ada teman kamu, kok nggak suruh ikut masuk?"Teman?Aku melirik Pak Emir. Seragam gurunya tertutup oleh jaket berhodie. Dan tanpa seragam itu, dia memang terlihat masih sangat muda. Usia kami hanya terpaut enam tahun. Aku mengetahuinya saat tak sengaja membuka database para guru dan staff di situs sekolah."Ibu, ini Pak Emir, guru aku di sekolah," ujarku pelan. Ibu semakin terkejut."Loh? Ya Allah, maaf … maaf … "Ibu dengan cepat menguasai diri. Pak Emir tersenyum dan tanpa kuduga mengulurkan tangannya, menyalami Ibu. Dia mencium tangan Ibu tanpa canggung."Waduh, saya jadi nggak enak ini." Pak Emir tersenyum dan meng

    Last Updated : 2024-03-05
  • BUKAN SALAH IBU   Bab 8

    BUKAN SALAH IBU 8PoV IBUFLASHBACK, SEMBILAN BELAS TAHUN YANG LALUAku menatap alat tes kehamilan bergaris dua itu dengan perasaan campur aduk. Entah, apakah harus sedih atau bahagia. Satu bulan menikah, Tuhan langsung memberiku hadiah. Sesosok janin kini bersemayam di rahimku. Tapi, seminggu sudah berlalu, kenapa dia tak juga kembali?Wisnu Wardhana, seorang lelaki dari keluarga terpandang. Selain kaya raya karena orang tuanya punya beberapa pabrik kain yang tersebar di banyak kota di Indonesia, dia juga lelaki tampan yang penuh pesona. Dia kakak kelasku di SMA. Sebuah keajaiban bagaimana lelaki itu bisa jatuh hati padaku, seorang gadis yatim piatu yang susah payah menyelesaikan sekolah sambil bekerja. Seperti dongeng cinderella, lelaki itu lalu datang dan menawarkan cinta. Aku masih sangat muda kala itu. Tujuh belas tahun. Tak terpikir olehku bahwa seharusnya aku mundur ketika tahu orang tuanya tak memberi restu. Ya, bagaimana mungkin sang pangeran memungut gadis miskin dan sebat

    Last Updated : 2024-03-13
  • BUKAN SALAH IBU   Bab 9

    BUKAN SALAH IBU 9"Saat itu, Mas datang ke perusahaan Om Andri untuk mencari pekerjaan. Dia sahabat baik Papa yang paling dekat dsngan keluarga kami. Kupikir, dia mau membantuku karena selama ini dia sangat baik padaku."Mas Wisnu memulai penjelasannya. Bella akhirnya melunak, mungkin dia merasakan hal yang sama denganku, membutuhkan penjelasan setelah bertahun-tahun kami menantinya. Mas Wisnu duduk dengan canggung di kursi paling depan, dekat dengan pintu. Aku duduk di depannya, sementara Bella bertahan berdiri di sisi kursi kayu yang kududuki. Sejenak tadi, dapat kulihat mata Mas Wisnu yang tampak sedih melihat keadaan rumah yang lapuk disana sini dan lebih layak disebut gubuk. Uang yang kudapatkan tidak banyak, dan bagiku, pendidikan Bella adalah yang utama. Aku tak akan membiarkan hidupnya terhina dan tersisih seperti aku."Mas disuruh menunggu di ruangan pribadi Om Andri. Lama sekali sampai-sampai Mas sempat makan makanan yang diantar oleh OB. Mas pikir, itu karena Om Andri mengh

    Last Updated : 2024-03-13
  • BUKAN SALAH IBU   Bab 10

    BUKAN SALAH IBU 10PoV BELLAHari sabtu, sekolah masuk setengah hari. Aku membuka celenganku, uang yang kudapat dari mengajar anak-anak SMP. Sepertinya aku perlu membeli ban motor baru karena kemarin kempes total, dan mungkin tak bisa lagi ditambal. Tak apa-apa, lagipula, bannya memang sudah gundul dan perlu diganti."Ibu lupa nanya, motor kamu kenapa?" tanya Ibu saat aku sedang memakai sepatu."Kempes, Bu. Nanti mungkin aku pulang agak terlambat, mau ganti ban dulu."Ibu masuk lagi dan tak lama keluar. Diserahkannya tiga lembar uang seratusan padaku."Ini uangnya, Nak. Bawalah motormu ke bengkel."Aku tersenyum, mengeluarkan uangku sendiri dari dalam tas."Aku punya kok, Bu. Kan aku ngajarin anak-anak yang mau ujian kemarin. Lumayan, dapat tujuh ratus ribu, hihihi … "Ibu tersenyum melihatku tertawa. Entahlah, sejak kedatangan orang yang mengaku sebagai Ayahku dan mendengarkan semua penjelasannya, hatiku lega. Ada banyak fakta yang baru kuketahui. Satu hal yang jelas, ibuku bukan pe

    Last Updated : 2024-03-13

Latest chapter

  • BUKAN SALAH IBU   Bab 50 (ENDING)

    BUKAN SALAH IBU 50 (ENDING)Aku, Ayah dan Ibu nyaris berlari menuju bangsal rumah sakit umum, rumah sakit terdekat dengan rumah tahanan khusus wanita tempat Tante Meira ditahan. Berita itu sepertinya belum masuk televisi dan kami dihubungi langsung oleh pihak rutan karena kamilah keluarga yang tertera di data tahanan.Subuh tadi, terjadi kebakaran hebat di rutan, diduga karena adanya hubungan arus pendek. Kondisi subuh yang dingin, disaat nyaris semua penghuninya sedang lelap di alam mimpi, membuat korban berjatuhan. Salah satunya Tante Meira. Kini, bersama puluhan korban lainnya, Tante Meira telah berada di IGD rumah sakit.Ponselku berulang kali bergetar. Helena terus menelepon, ingin tahu keadaan Mamanya. Susah payah aku membujuknya agar tetap tenang."Aku akan segera pulang, Bella. Mas Abim akan cari tiket. Ya Allah, Bella, tolong, bilang dokter untuk selamatkan Mama. Mama mungkin bukan orang baik, tapi dia orang yang melahirkan aku."Di seberang telepon, Helena menangia tersedu-s

  • BUKAN SALAH IBU   Bab 49

    BUKAN SALAH IBU 49PoV BELLASuara minyak yang sudah panas terdengar mendesis. Kumasukkan bumbu berupa dua macam bawang, cabai merah, kunyit dan jahe yang sudah diiris halus, menambahkannya dengan daun jeruk, daun salam, serta lengkuas dan sereh yang sudah di geprek. Setelah semuanya layu dan menguarkan aroma harum, kumatikan kompor, dan memindahkan bumbu tadi ke dalam rebusan tulang iga yang sedang menggelegak. Tak lama, aroma harum pindang iga memenuhi dapur, membawaku ke masa setahun yang lalu.Setahun yang lalu, sehari sebelum berangkat ke Samarinda, tempatnya sekarang tinggal, Helena memintaku mengajarinya masak pindang iga. Itu makanan kesukaannya. Dia bisa menghabiskan satu mangkuk penuh jika Ibu memasaknya. Dan karena sejak kecil aku sudah suka membantu Ibu, aku tahu bagaimana cara memasaknya. Meski dulu, kami hanya bisa makan daging seperti itu setahun sekali, saat lebaran idul adha."Syukurlah bumbunya diiris saja, aku nggak bisa ngulek."Helena cekikikan. "Apa gunanya Chop

  • BUKAN SALAH IBU   Bab 48

    BUKAN SALAH IBU 48Dia pergi, membawa setengah hatiku bersamanya. Sungguh singkat kebersamaan kami. Sembuh dari sakit, lalu menikah. Hari-hari yang kami lalui seakan berlompatan. Tahu-tahu, dia dibawa pergi suaminya. Suaminya. Adikku Helena kini telah menjadi seorang istri. Dia menjelma menjadi istri yang manis dan menyenangkan. Helena yang dulu membully-ku disekolah benar-benar telah mati. Ulat itu telah bermetamorfosis menjadi kupu-kupu dengan sayapnya yang indah.(Kami transit di Jakarta. Tiba-tiba saja aku ingin merasakan malam di kota tua. Jadi kami menunda keberangkatan. Untung saja kamu kasih saran untuk nggak pesan tiket langsung ke Kalimantan.)Pesannya masuk kemudian, disusul foto-fotonya berpose di kota tua. Aku tersenyum, dia tampak sangat cantik dengan dandanan ala Nonik Belanda.(Pastikan kau selalu bersama Abimanyu.)(Okey)(Apa kepalamu masih suka sakit?)(Nggak lagi. Aku bahagia. Kakak jangan mengkhawatirkan aku. Sekarang waktunya Kakak memikirkan diri Kakak sendiri.

  • BUKAN SALAH IBU   Bab 47

    BUKAN SALAH IBU 47"Helen, aku … ""Aku sayang kakak."Helena tiba-tiba memelukku. Aku terkejut, menyambut tubuhnya dan membalas pelukan itu. Hatiku menghangat oleh rasa haru. Oh, Tuhan, salahkah jika aku ingin dia amnesia selamanya? Biarlah dia melupakan masa lalu. Biarlah dia hanya mengingat aku, Ayah dan Ibu sebagai keluarganya saja. Dosakah aku, Tuhan?"Kakak juga sayang kamu. Ayo masuk, sebentar lagi magrib, nggak baik ada diluar rumah.""Aku masih suka duduk disini.""Kita akan sering duduk disini, asalkan tidak menjelang magrib.""Tapi aku suka kursi ini. Bolehkah kursi ini untukku?"Aku tertegun sejenak. Kursi rotan itu, baru, dibeli Ayah untuk menggantikan kursi kayu yang dulu kugunakan untuk duduk menunggunya. Seperti de javu, apa yang ku katakan pada Helena sekarang adalah, apa yang sering dikatakan Ibu padaku dulu : masuklah, Bels, tak baik diluar menjelang magrib begini."Tentu saja. Tak ada yang boleh duduk disini selain dirimu."Helena tersenyum, dengan manja dia mengge

  • BUKAN SALAH IBU   Bab 46

    BUKAN SALAH IBU 46Aku terbangun di pagi hari dalam keadaan yang jauh lebih baik. Infus di tanganku rupanya bekerja dengan cepat. Alarm tubuh membangunkanku sesaat setelah azan subuh selesai. Aku melihat Ibu yang sedang salat sendirian dan itu membuatku lega. Semalam, Ibu datang cukup larut, membantuku salat isya dan menyuruhku langsung tidur lagi. "Operasinya sukses, Helena sudah dipindahkan ke ICU. Berdoalah semoga besok dia sadar."Aku termangu. Dari rekaman CCTV di lapangan parkir kampus, Helena ternyata memang sengaja menunggu disana. Dia melihat bagaimana mobil itu nyaris menabrakku dan berlari secepat mungkin, mengorbankan diri dan keselamatannya sendiri. Teman-teman yang menceritakan hal itu. Mereka mendapat informasi dari staff keamanan. Semalaman, aku nyaris tak bisa berhenti menangis membayangkan gadis itu melakukan hal berbahaya agar aku selamat.Seandainya tak ada Helena, maka akulah yang kini berbaring di ruang ICU."Bels? Sudah bangun? Ayo Ibu bantu salat subuh."Aku m

  • BUKAN SALAH IBU   Bab 45

    BUKAN SALAH IBU 45PoV BELLA"Sampai besok, Bels. Jangan lupa, kasih badanmu istirahat. Kamu kelihatan capek banget."Aku melambaikan tangan pada Rena, berterima kasih atas perhatiannya. Dia sahabat baru di kampus. Rasanya menyenangkan sekali punya sahabat setelah menghabiskan masa SMA yang sepi dulu. Sejak pagi, badanku memang terasa tidak nyaman, tenggorokan sakit dan kepala sedikit pusing. Sepertinya aku akan flu berat.Dengan langkah yang kuusahakan agar cepat, aku melangkah menuju mobil. Parkiran kampus ramai sekali. Motor dan mobil sibuk lalu lalang akibat jam pulang yang berbarengan. Aku berjalan sambil menurunkan ransel, merogoh sakunya untuk mencari kunci mobil. Fokusku sedikit teralih karena kunci itu tak juga kutemukan. Sepertinya aku meletakkannya di kantong sebelah kanan, kenapa nggak ada ya?Tiinnn!"Bella! Bella! Awas!Tiinnn!Aku mendongak, merasakan atmosfer yang berubah seketika. Teriakan panik, pekikan menyebut namaku menggema, lalu suara deru mobil … Aku berbalik,

  • BUKAN SALAH IBU   Bab 44

    BUKAN SALAH IBU 44"Kau jahat, Bella! Kau jahat!""Helen!"Bella berdiri, dan dengan gerakan cepat menarik tanganku."Kau tak sadar kalau kata-kata itu lebih pantas kau tujukan untuk dirimu sendiri?"Aku menangis terisak-isak, kata-katanya itu entah kenapa terasa sangat menyakitkan. Aku menatapnya dengan benci, bertanya-tanya dalam hati, ngkinkah hubungan kami berdua akan kembali seperti dulu lagi. Saling membenci dan saling menyakiti."Lagipula, kau belum mendengar seluruh kalimatku," ujar Bella kemudian."Kau menghasut Papa untuk melupakanku, kan?""Persis seperti apa yang kalian lakukan dulu?" Bella tersenyum sinis, "Aku tak sejahat itu. Duduk di meja dan temui Ayah."Bella menarik tanganku yang seketika menegang. Dia menyuruhku duduk di sisi Papa. Meja makan telah kosong, hanya ada sekeranjang buah di tengah meja. Sepertinya piring-piring kotor dan sisa makanan telah disingkirkan. Aku duduk kaku dan tegang, padahal, Papa duduk amat dekat denganku. Dulu, aku akan dengan segera masu

  • BUKAN SALAH IBU   Bab 43

    BUKAN SALAH IBU 43"Nyonya Wardhana meminta saya menjemput Nona Helen untuk menemui Ibu anda di kantor polisi. Katanya, Mama anda memaksa ingin bertemu."Aku membelalakkan mata. Jam sepuluh pagi, Abimanyu datang lagi. Aku kenal dia, asisten kepercayaan Nenek berusia akhir dua puluh yang ramah dan mudah tersenyum, tapi tegas dan tak ada toleransi untuk sebuah pelanggaran. Entah kenapa Eyang terus-terusan membuat aku bertemu dengannya."Oke. Tapi, aku bisa pergi sendiri."Abimanyu menggeleng."Tidak, Nona. Nyonya berpesan untuk mengantar dan menunggui Nona lalu memastikan Nona pulang lagi."Aku menggeram dengan marah."Kau membuatku terlihat seperti tawanan!"Abimanyu tersenyum."Mematuhi aturan, atau membatalkan kesempatan … ""Oke! Oke! Dasar sialan!"Lelaki itu hanya memutar bola mata mendengar umpatanku yang kasar. Aku masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian. Tanpa bicara apa-apa, aku keluar dan langsung naik ke mobilnya. Dia ikut melompat naik sambil tersenyum."Tersenyumlah se

  • BUKAN SALAH IBU   Bab 42

    BUKAN SALAH IBU 42Aku meninggalkan Ayah dan Ibu berdua saja di meja makan. Biarlah, Ibu punya caranya sendiri untuk menuntun Ayah agar kembali mengingat kami. Kami hanya perlu bersabar. Dan bukankah sudah beberapa kali kami lulus dalam ujian kesabaran itu?Kuhentikan langkah saat melihat Helena keluar dari kamarnya sambil menggeret tas. Rasanya aku hampir saja berteriak, melarangnya pergi saat melihat wajahnya yang sembab sehabis menangis. Tapi tidak, kali ini, aku belum bisa memaafkannya. Dulu, saat Tante Meira merebut Ayah dari Ibu, Helena tak tahu apa-apa. Tapi sekarang, dia bahkan menjadi salah satu sutradaranya.Helena menyandarkan koper dan berjalan ke arah dapur. Namun, langkahnya terhenti saat melihatku."Mau kemana?""Aku… mau pamit pada Papa dan Tante Ana.""Tak usah. Pergi saja. Kau bisa pamit pada Eyang.""Tapi … "Aku mendekat. Kutatap matanya tepat di maniknya yang hitam."Kau bahkan tak mengizinkan kami tahu keadaan Ayahku yang menyedihkan selama dua tahun lamanya."He

DMCA.com Protection Status