Share

Bab 6

Penulis: Yazmin Aisyah
last update Terakhir Diperbarui: 2024-03-05 17:29:23

BUKAN SALAH IBU 6

Helena berdiri tegak di depanku sambil menyilangkan kedua tangannya. Tak ada senyum di bibirnya yang tipis itu. Tapi, itu tampak lebih baik karena senyum yang selalu keluar dari bibir gadis berwajah oriental itu sinis dan mengandung maksud lain.

"Mulai saat ini, aku berjanji tidak akan memukulku, menendang atau bahkan menyentuhmu lagi, Bella."

Aku diam, menunggu kelanjutan kata-katanya. Tentu saja ini bukanlah akhir, karena aku tahu akan ada kelanjutannya yang pasti lebih mengerikan.

"Tapi, aku akan menyakitimu lebih dari ini. Aku, perlahan-lahan akan menghancurkan hatimu, mengambil apapun yang kau miliki hingga kau merasakan penderitaan lebih dari ini!"

Wajah kami hanya berjarak satu jengkal saja. Aku menatap wajah ovalnya yang dibalut rambut hitam pekat dan lurus sempurna. Beberapa detik lamanya, tak ada dari kami yang mengalah, sampai kemudian, aku tersenyum.

"Baiklah, aku menunggu."

"Isabella, Helena, kalian bertengkar lagi?!"

Sebuah suara menginterupsi. Helena menggerakkan kepalanya dan menatap seseorang yang berjalan masuk dari balik bahuku.

"Pak Emir kita tersayang, sepertinya menyukaimu. Selamat. Mungkin kamu bisa menggunakan dia untuk memperbaiki hidup kalian yang miskin. Jangan sampai kau tak bisa makan karena Ibumu berhenti mela-cur."

Bisikan Helena di telingaku terdengar menusuk telinga. Dia melangkahkan kaki hendak melewati lku, tapi, kucengkram tangannya.

"Aku akan mengingat kata-katamu ini Helena. Suatu saat nanti, aku pastikan kau akan mengemis memohon maaf dan meminta bantuanku."

Helena menarik sudut bibirnya, membentuk sebuah senyum sinis. Dia lalu melangkah pergi diikuti ketiga dayangnya, tepat saat Pak Emir tiba disisiku. Dia menatap Helena yang melewatinya begitu saja. Sedikitpun tak menaruh rasa hormat.

"Mereka mengganggu lagi?"

'Pak Emir kita tersayang, sepertinya menyukaimu.'

Suara Helena tadi tiba-tiba terngiang. Aku menatap wajah tampan di depanku dan langsung menundukkan kepala karena merasakan getaran yang aneh.

"Nggak, Pak. Sepertinya mulai sekarang saya bisa tenang. Kami sudah berdamai."

Ya. Aku harus menahan diri sampai mengetahui rahasia di balik ini semua. Saat aku berangkat seolah, Ibu belum bisa ditanyai karena tiba-tiba saja beliau demam. Aku meninggalkannya tadi pagi dengan semangkuk bubur ayam dan sebutir obat. Dan sepertinya, Helena juga belum bertanya pada orang tuanya seperti saran Ibu semalam. Semua ini terasa menjemukan. Aku tak sabar ingin segera mengetahuinya.

Pak Emir menarik napas lega. Dia tersenyum sambil menatapku lekat-lekat. Oh, kenapa tatapan matanya terasa berbeda? Aku teringat saat dirawat di rumah sakit, beliau menungguiku, bahkan membantu sebagian biaya rumah sakit. Benarkah apa yang dikatakan Helena, bahwa dia … menyukaiku?

"Bells!"

Suara Niar memecahkan keheningan. Dia berlari masuk dan tersenyum pada Pak Emir.

"Terima kasih Bapak langsung datang," ujarnya.

Jadi, Niar yang mengadu pada Pak Emir. Wajahku terasa panas karena malu. Aku merasa seperti seorang gadis manja yang pengadu. Padahal, tak ada yang dilakukan Helena padaku.

Pak Emir tersenyum.

"Saya senang kamu melakukan itu, Niar. Tolong jaga Bella. Lekas memberitahu saya jika dia mengalami kesulitan lagi."

Niar menganggukkan kepala, menatap Pak Emir dan jelas aku melihat dia takjub bagaimana guru olahraga tampan idola para gadis itu demikian perhatian padaku. Pak Emir lalu pergi setelah menganggukkan kepalanya. Aku menghela napas.

"Helena nggak ngapa-ngapain?"

Aku menggelengkan kepala, merasa tak perlu mengatakan ancamannya tadi. Kami kemudian duduk di kursi masing-masing, menunggu bel masuk tiba.

Jika bagi banyak remaja, masa SMA adalah masa paling bahagia, bagiku, ini adalah masa yang paling suram. Satu-satunya penghibur bagiku adalah piala dan piagam Olimpiade yang berjejal di dalam kamar.

Sedikit lagi, Bella. Setelah itu, kau bisa pergi dari sini dan tak perlu bertemu dengannya lagi.

***

Sekolah sudah sepi saat kelas kami keluar dari kelas. Keluar paling akhir, karena guru bahasa Inggris yang sangat menyenangkan membuat kami lupa waktu. Tapi, aku tidak. Ingatanku terus melayang pada Ibu yang terbaring sakit di rumah. Seharusnya, aku izin saja tadi. Tapi, Ibu melarang karena detik-detik terakhir masa SMA ku tak akan terulang.

Di area parkir, hanya tersisa kendaraan milik siswa kelas kami, dan beberapa kendaraan milik guru dan staff sekolah. Aku melangkah cepat, nyaris saja berlari. Kubiarkan Niar berlari di belakangku.

Huft …

"Dah, Bella!"

Aku mengangkat kepala dan mendapati mobil sedan Helena berlalu, nyaris saja menyerempetku. Aku mundur selangkah karena kaget. Di dalam mobil itu, Helena dan ketiga temannya tertawa terbahak-bahak. Suaranya masih terdengar karena mereka membuka jendela mobilnya.

Aku menghela napas panjang dan berjalan meraih kunci motor dari dalam tas. Tapi, aku terkejut saat mendapati kedua bannya kempes.

Oh Tuhan, cobaan apalagi ini?

"Bella, duluan!"

Niar melambaikan tangan dan melewatiku. Sepertinya dia tak tahu kalau aku mendapat masalah. Parkiran semakin sepi, dan aku kebingungan memikirkan cara untuk pulang.

"Bella?"

Aku menoleh dan mendapati Pak Emir datang dengan motornya. Dia membuka helm dan ikut menatap motorku.

"Kempes?"

"Iya, Pak."

"Kok bisa dua-duanya ya?"

Aku tersenyum getir, "Kayaknya ada yang usil."

"Mau dibawa ke bengkel?"

Duh, aku nggak bawa duit. Aku menggelengkan kepala.

"Besok aja deh, Pak. Saya naik angkot saja, Pak. Motornya saya titip Pak Satpam aja deh. Permisi, Pak!"

Aku berlari ke pos satpam dan menitipkan motor sekaligus kuncinya, kalau-kalau perlu dipindahkan. Kalau malam, gerbang akan ditutup. Motorku pasti aman. Lagipula, siapa yang mau mencuri motor tua seperti itu?

Kemudian, aku berlari lagi ke pinggir jalan raya, mencari angkot. Di zaman kendaraan online, sulit sekali mencari angkot. Gelisah karena ingat pada Ibu, aku sampai tak menyadari Pak Emir sudah ada di depanku.

"Ayo naik, Bella. Saya antar pulang!"

Aku terdiam. Tak apa-apakah berboncengan dengan guru? Tapi, Ibu menunggu di rumah.

Akhirnya aku menyerah dan naik ke boncengan motor Pak Emir. Motor baru yang masih mulus itu meluncur di atas jalan aspal.

"Rumah saya di Puri Sejahtera, Pak."

"Iya saya tahu. Nomor lima kan?"

"Kok Bapak tahu?"

Pak Emir tak menjawab, hanya tersenyum. Senyum yang dapat kulihat dari kaca spion. Pelan-pelan, gemuruh di dadaku makin terasa. Aku diam saja, tak lagi berani bersuara, takut kalau-kalau beliau mendengar suaraku yang mungkin nanti akan bergetar.

Kami tiba di rumah, tepat saat sebuah mobil baru saja meninggalkan rumah kami. Aku terkejut, melompat turun dan berlari masuk ke dalam rumah. Aku melupakan Pak Emir yang pastilah terkejut melihatku melompat turun padahal motor baru saja berhenti. Di dalam, kudapati Ibu duduk bersandar dengan wajah pucat pasi. Beliau memegangi dadanya.

"Ibu?! Ada apa? Siapa yang datang tadi?"

Ibu menatapku, ada keterkejutan di matanya. Dan sesuatu yang tak lagi bisa disembunyikan. Sebuah rasa sakit, kecewa, dan amarah. Wajah Ibu yang biasanya tenang tanpa gelombang, kini menampakkan emosi yang belum pernah kulihat.

"Bella, Dia adalah … "

***

Bab terkait

  • BUKAN SALAH IBU   Bah 7

    BUKAN SALAH IBU 7"Bella, ada apa?"Aku menoleh, sejenak tadi terlupa bahwa Pak Emir mengantarku pulang. Demi melihat ada orang lain datang, Ibu duduk tegak, menghapus sisa air mata yang sejenak tadi kutangkap jelas di wajahnya. Detik berikutnya, beliau telah tersenyum sambil berdiri, menyapa Pak Emir dengan ramah seolah-olah tadi tak terjadi apa-apa."Ya Allah, Bella. Ada teman kamu, kok nggak suruh ikut masuk?"Teman?Aku melirik Pak Emir. Seragam gurunya tertutup oleh jaket berhodie. Dan tanpa seragam itu, dia memang terlihat masih sangat muda. Usia kami hanya terpaut enam tahun. Aku mengetahuinya saat tak sengaja membuka database para guru dan staff di situs sekolah."Ibu, ini Pak Emir, guru aku di sekolah," ujarku pelan. Ibu semakin terkejut."Loh? Ya Allah, maaf … maaf … "Ibu dengan cepat menguasai diri. Pak Emir tersenyum dan tanpa kuduga mengulurkan tangannya, menyalami Ibu. Dia mencium tangan Ibu tanpa canggung."Waduh, saya jadi nggak enak ini." Pak Emir tersenyum dan meng

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-05
  • BUKAN SALAH IBU   Bab 8

    BUKAN SALAH IBU 8PoV IBUFLASHBACK, SEMBILAN BELAS TAHUN YANG LALUAku menatap alat tes kehamilan bergaris dua itu dengan perasaan campur aduk. Entah, apakah harus sedih atau bahagia. Satu bulan menikah, Tuhan langsung memberiku hadiah. Sesosok janin kini bersemayam di rahimku. Tapi, seminggu sudah berlalu, kenapa dia tak juga kembali?Wisnu Wardhana, seorang lelaki dari keluarga terpandang. Selain kaya raya karena orang tuanya punya beberapa pabrik kain yang tersebar di banyak kota di Indonesia, dia juga lelaki tampan yang penuh pesona. Dia kakak kelasku di SMA. Sebuah keajaiban bagaimana lelaki itu bisa jatuh hati padaku, seorang gadis yatim piatu yang susah payah menyelesaikan sekolah sambil bekerja. Seperti dongeng cinderella, lelaki itu lalu datang dan menawarkan cinta. Aku masih sangat muda kala itu. Tujuh belas tahun. Tak terpikir olehku bahwa seharusnya aku mundur ketika tahu orang tuanya tak memberi restu. Ya, bagaimana mungkin sang pangeran memungut gadis miskin dan sebat

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-13
  • BUKAN SALAH IBU   Bab 9

    BUKAN SALAH IBU 9"Saat itu, Mas datang ke perusahaan Om Andri untuk mencari pekerjaan. Dia sahabat baik Papa yang paling dekat dsngan keluarga kami. Kupikir, dia mau membantuku karena selama ini dia sangat baik padaku."Mas Wisnu memulai penjelasannya. Bella akhirnya melunak, mungkin dia merasakan hal yang sama denganku, membutuhkan penjelasan setelah bertahun-tahun kami menantinya. Mas Wisnu duduk dengan canggung di kursi paling depan, dekat dengan pintu. Aku duduk di depannya, sementara Bella bertahan berdiri di sisi kursi kayu yang kududuki. Sejenak tadi, dapat kulihat mata Mas Wisnu yang tampak sedih melihat keadaan rumah yang lapuk disana sini dan lebih layak disebut gubuk. Uang yang kudapatkan tidak banyak, dan bagiku, pendidikan Bella adalah yang utama. Aku tak akan membiarkan hidupnya terhina dan tersisih seperti aku."Mas disuruh menunggu di ruangan pribadi Om Andri. Lama sekali sampai-sampai Mas sempat makan makanan yang diantar oleh OB. Mas pikir, itu karena Om Andri mengh

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-13
  • BUKAN SALAH IBU   Bab 10

    BUKAN SALAH IBU 10PoV BELLAHari sabtu, sekolah masuk setengah hari. Aku membuka celenganku, uang yang kudapat dari mengajar anak-anak SMP. Sepertinya aku perlu membeli ban motor baru karena kemarin kempes total, dan mungkin tak bisa lagi ditambal. Tak apa-apa, lagipula, bannya memang sudah gundul dan perlu diganti."Ibu lupa nanya, motor kamu kenapa?" tanya Ibu saat aku sedang memakai sepatu."Kempes, Bu. Nanti mungkin aku pulang agak terlambat, mau ganti ban dulu."Ibu masuk lagi dan tak lama keluar. Diserahkannya tiga lembar uang seratusan padaku."Ini uangnya, Nak. Bawalah motormu ke bengkel."Aku tersenyum, mengeluarkan uangku sendiri dari dalam tas."Aku punya kok, Bu. Kan aku ngajarin anak-anak yang mau ujian kemarin. Lumayan, dapat tujuh ratus ribu, hihihi … "Ibu tersenyum melihatku tertawa. Entahlah, sejak kedatangan orang yang mengaku sebagai Ayahku dan mendengarkan semua penjelasannya, hatiku lega. Ada banyak fakta yang baru kuketahui. Satu hal yang jelas, ibuku bukan pe

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-13
  • BUKAN SALAH IBU   Bab 11

    BUKAN SALAH IBU 11PoV HELENAAku membuka pintu kamar yang ternyata tak dikunci, tepat saat kulihat Mama menurunkan tangannya dari wajah Papa. Aku terkejut bukan kepalang. Selama ini, tak sekalipun aku melihat Mama murka seperti itu, apalagi sampai berani menampar Papa. Tapi, apa yang baru saja Papa katakan memang sangat keterlaluan. Bagaimana bisa Papa mengatai Mama pela-cur? Mamaku seorang wanita terhormat. Sebutan keji itu hanya pantas diberikan pada perempuan kotor dan rendahan seperti … "Helena?"Dua suara serempak menegurku."Apa yang Mama lakukan? Kenapa Papa memaki Mama seperti iti."Keduanya tampak gugup. Mama menatap Papa tajam dan berjalan keluar sambil menarik tanganku. Tapi, dengan cepat aku menghempas tangannya. Aku harus tahu apa maksud kata-kata Papa. Delapan belas tahun lamanya, aku seringkali diam-diam melihat mereka bertengkar. Meski di depanku, mereka berpura-pura mesra, aku tahu bahwa sesungguhnya hubungan mereka berdua tak seromantis itu. Tadinya kupikir, karena

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-15
  • BUKAN SALAH IBU   Bab 12

    BUKAN SALAH IBU 12Pintu itu terbuka dan wajah yang keluar dari sana tampak terkejut melihatku duduk di depan pintu kamar Mama."Helen? Kenapa nggak sekolah?"Aku menatap wajah Eyang. Selama ini, Eyang adalah orang yang paling memanjakanku selain Mama. Apapun yang kuminta pasti diturutinya. Bahkan terkadang, sebuah barang keluaran terbaru sudah ada di hadapanku sebelum aku sempat meminta. Bagi Eyang, akulah satu-satunya permata berharga keluarga Wardhana. "Aku nggak bisa pergi sekolah dan meninggalkan Mama seperti itu."Eyang tersenyum dan duduk disampingku. Dia merangkul bahuku."Kau memang anak yang baik dan sangat sayang pada Mama dan Papamu. Eyang senang mendengarnya."Aku sayang pada Papa? Sejenak, aku tertegun mendengar kosakata itu. Seperti Mama, kasih sayangku pada Papa bertepuk sebelah tangan. Sejak kecil aku merasakan, bahwa Papa tak terlalu sayang padaku. Dia memang melimpahiku dengan uang, tapi kehadirannya di moment penting hidupku bisa dihitung dengan jari. "Tapi, kau

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-17
  • BUKAN SALAH IBU   Bab 13

    BUKAN SALAH IBU 13PoV BELLA"Tolong berhenti, Tuan Wisnu. Saya mau pulang saja. Anda lancang sekali menggendong dan meninggalkan motor saya disana. Kalau diambil orang gimana?"Aku memukul-mukul sandaran kursi dengan panik. Namun, setiap gerakan yang kubuat ternyata membuat nyeri di kaki kiriku yang tertimpa motor tadi menjadi dua kali lipat lebih sakit. Aku meringis-ringis, ingin menjerit dan menangis, tapi egoku melarangku menumpahkan air mata di depan lelaki ini."Berhenti kataku.""Nak, kakimu mungkin patah. Kita harus segera ke rumah sakit. Dan Ayah akan membelikanmu motor baru, kalau perlu, mobil supaya lebih aman untukmu," jawabnya tanpa menoleh, hanya sekilas melirik dari kaca spion."Siapa yang menyuruhmu memanggilku 'Nak'. Aku bukan anakmu.""Bella … ""Dan apa karena kau kaya dan banyak uang, hingga tak menghargai kendaraan yang dibeli Ibuku dengan susah payah. BERHENTI KATAKU!"Cittt… Mobil berhenti di pinggir jalan dengan suara mendecit. Lelaki itu menoleh dan menatapku

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-17
  • BUKAN SALAH IBU   Bab 14

    BUKAN SALAH IBU 14"Jadi kau anak itu?"Suaranya dingin, terasa menusuk tulang dan membekukan hati. Tatapan matanya terlalu tajam untuk seorang wanita tua dengan keseluruhan rambut yang telah memutih. Aku tak mengenal siapa dia, tapi garis wajahnya itu, sangat mirip Ay… maksudku, Tuan Wisnu. "Kau tidak mirip Wisnu. Sudah kuduga, perempuan itu hanya mengaku-aku.""Anda siapa?"Dia menarik sedikit sudut bibirnya ke atas, membentuk sebuah senyuman sinis. "Kau pasti tahu siapa aku. Ibumu tentu tak akan melewatkan cerita khayalannya menjadi menantu keluarga orang kaya."Wajahku memanas karena kurasakan darahku naik. Dia persis seperti Helena. Semua ucapan yang keluar dari mulutnya beracun dan mematikan perasaan."Keluar!" desisku.Perempuan tua itu terkejut."Kau berani memerintahku?""Memangnya kenapa aku harus takut? Selama ini aku dan Ibu hidup dan berdiri di atas kaki kami sendiri. Jangankan mengaku punya hubungan denganmu, memberi tahu siapa Ayahku saja tidak. Dan asal anda tahu, Ny

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-18

Bab terbaru

  • BUKAN SALAH IBU   Bab 50 (ENDING)

    BUKAN SALAH IBU 50 (ENDING)Aku, Ayah dan Ibu nyaris berlari menuju bangsal rumah sakit umum, rumah sakit terdekat dengan rumah tahanan khusus wanita tempat Tante Meira ditahan. Berita itu sepertinya belum masuk televisi dan kami dihubungi langsung oleh pihak rutan karena kamilah keluarga yang tertera di data tahanan.Subuh tadi, terjadi kebakaran hebat di rutan, diduga karena adanya hubungan arus pendek. Kondisi subuh yang dingin, disaat nyaris semua penghuninya sedang lelap di alam mimpi, membuat korban berjatuhan. Salah satunya Tante Meira. Kini, bersama puluhan korban lainnya, Tante Meira telah berada di IGD rumah sakit.Ponselku berulang kali bergetar. Helena terus menelepon, ingin tahu keadaan Mamanya. Susah payah aku membujuknya agar tetap tenang."Aku akan segera pulang, Bella. Mas Abim akan cari tiket. Ya Allah, Bella, tolong, bilang dokter untuk selamatkan Mama. Mama mungkin bukan orang baik, tapi dia orang yang melahirkan aku."Di seberang telepon, Helena menangia tersedu-s

  • BUKAN SALAH IBU   Bab 49

    BUKAN SALAH IBU 49PoV BELLASuara minyak yang sudah panas terdengar mendesis. Kumasukkan bumbu berupa dua macam bawang, cabai merah, kunyit dan jahe yang sudah diiris halus, menambahkannya dengan daun jeruk, daun salam, serta lengkuas dan sereh yang sudah di geprek. Setelah semuanya layu dan menguarkan aroma harum, kumatikan kompor, dan memindahkan bumbu tadi ke dalam rebusan tulang iga yang sedang menggelegak. Tak lama, aroma harum pindang iga memenuhi dapur, membawaku ke masa setahun yang lalu.Setahun yang lalu, sehari sebelum berangkat ke Samarinda, tempatnya sekarang tinggal, Helena memintaku mengajarinya masak pindang iga. Itu makanan kesukaannya. Dia bisa menghabiskan satu mangkuk penuh jika Ibu memasaknya. Dan karena sejak kecil aku sudah suka membantu Ibu, aku tahu bagaimana cara memasaknya. Meski dulu, kami hanya bisa makan daging seperti itu setahun sekali, saat lebaran idul adha."Syukurlah bumbunya diiris saja, aku nggak bisa ngulek."Helena cekikikan. "Apa gunanya Chop

  • BUKAN SALAH IBU   Bab 48

    BUKAN SALAH IBU 48Dia pergi, membawa setengah hatiku bersamanya. Sungguh singkat kebersamaan kami. Sembuh dari sakit, lalu menikah. Hari-hari yang kami lalui seakan berlompatan. Tahu-tahu, dia dibawa pergi suaminya. Suaminya. Adikku Helena kini telah menjadi seorang istri. Dia menjelma menjadi istri yang manis dan menyenangkan. Helena yang dulu membully-ku disekolah benar-benar telah mati. Ulat itu telah bermetamorfosis menjadi kupu-kupu dengan sayapnya yang indah.(Kami transit di Jakarta. Tiba-tiba saja aku ingin merasakan malam di kota tua. Jadi kami menunda keberangkatan. Untung saja kamu kasih saran untuk nggak pesan tiket langsung ke Kalimantan.)Pesannya masuk kemudian, disusul foto-fotonya berpose di kota tua. Aku tersenyum, dia tampak sangat cantik dengan dandanan ala Nonik Belanda.(Pastikan kau selalu bersama Abimanyu.)(Okey)(Apa kepalamu masih suka sakit?)(Nggak lagi. Aku bahagia. Kakak jangan mengkhawatirkan aku. Sekarang waktunya Kakak memikirkan diri Kakak sendiri.

  • BUKAN SALAH IBU   Bab 47

    BUKAN SALAH IBU 47"Helen, aku … ""Aku sayang kakak."Helena tiba-tiba memelukku. Aku terkejut, menyambut tubuhnya dan membalas pelukan itu. Hatiku menghangat oleh rasa haru. Oh, Tuhan, salahkah jika aku ingin dia amnesia selamanya? Biarlah dia melupakan masa lalu. Biarlah dia hanya mengingat aku, Ayah dan Ibu sebagai keluarganya saja. Dosakah aku, Tuhan?"Kakak juga sayang kamu. Ayo masuk, sebentar lagi magrib, nggak baik ada diluar rumah.""Aku masih suka duduk disini.""Kita akan sering duduk disini, asalkan tidak menjelang magrib.""Tapi aku suka kursi ini. Bolehkah kursi ini untukku?"Aku tertegun sejenak. Kursi rotan itu, baru, dibeli Ayah untuk menggantikan kursi kayu yang dulu kugunakan untuk duduk menunggunya. Seperti de javu, apa yang ku katakan pada Helena sekarang adalah, apa yang sering dikatakan Ibu padaku dulu : masuklah, Bels, tak baik diluar menjelang magrib begini."Tentu saja. Tak ada yang boleh duduk disini selain dirimu."Helena tersenyum, dengan manja dia mengge

  • BUKAN SALAH IBU   Bab 46

    BUKAN SALAH IBU 46Aku terbangun di pagi hari dalam keadaan yang jauh lebih baik. Infus di tanganku rupanya bekerja dengan cepat. Alarm tubuh membangunkanku sesaat setelah azan subuh selesai. Aku melihat Ibu yang sedang salat sendirian dan itu membuatku lega. Semalam, Ibu datang cukup larut, membantuku salat isya dan menyuruhku langsung tidur lagi. "Operasinya sukses, Helena sudah dipindahkan ke ICU. Berdoalah semoga besok dia sadar."Aku termangu. Dari rekaman CCTV di lapangan parkir kampus, Helena ternyata memang sengaja menunggu disana. Dia melihat bagaimana mobil itu nyaris menabrakku dan berlari secepat mungkin, mengorbankan diri dan keselamatannya sendiri. Teman-teman yang menceritakan hal itu. Mereka mendapat informasi dari staff keamanan. Semalaman, aku nyaris tak bisa berhenti menangis membayangkan gadis itu melakukan hal berbahaya agar aku selamat.Seandainya tak ada Helena, maka akulah yang kini berbaring di ruang ICU."Bels? Sudah bangun? Ayo Ibu bantu salat subuh."Aku m

  • BUKAN SALAH IBU   Bab 45

    BUKAN SALAH IBU 45PoV BELLA"Sampai besok, Bels. Jangan lupa, kasih badanmu istirahat. Kamu kelihatan capek banget."Aku melambaikan tangan pada Rena, berterima kasih atas perhatiannya. Dia sahabat baru di kampus. Rasanya menyenangkan sekali punya sahabat setelah menghabiskan masa SMA yang sepi dulu. Sejak pagi, badanku memang terasa tidak nyaman, tenggorokan sakit dan kepala sedikit pusing. Sepertinya aku akan flu berat.Dengan langkah yang kuusahakan agar cepat, aku melangkah menuju mobil. Parkiran kampus ramai sekali. Motor dan mobil sibuk lalu lalang akibat jam pulang yang berbarengan. Aku berjalan sambil menurunkan ransel, merogoh sakunya untuk mencari kunci mobil. Fokusku sedikit teralih karena kunci itu tak juga kutemukan. Sepertinya aku meletakkannya di kantong sebelah kanan, kenapa nggak ada ya?Tiinnn!"Bella! Bella! Awas!Tiinnn!Aku mendongak, merasakan atmosfer yang berubah seketika. Teriakan panik, pekikan menyebut namaku menggema, lalu suara deru mobil … Aku berbalik,

  • BUKAN SALAH IBU   Bab 44

    BUKAN SALAH IBU 44"Kau jahat, Bella! Kau jahat!""Helen!"Bella berdiri, dan dengan gerakan cepat menarik tanganku."Kau tak sadar kalau kata-kata itu lebih pantas kau tujukan untuk dirimu sendiri?"Aku menangis terisak-isak, kata-katanya itu entah kenapa terasa sangat menyakitkan. Aku menatapnya dengan benci, bertanya-tanya dalam hati, ngkinkah hubungan kami berdua akan kembali seperti dulu lagi. Saling membenci dan saling menyakiti."Lagipula, kau belum mendengar seluruh kalimatku," ujar Bella kemudian."Kau menghasut Papa untuk melupakanku, kan?""Persis seperti apa yang kalian lakukan dulu?" Bella tersenyum sinis, "Aku tak sejahat itu. Duduk di meja dan temui Ayah."Bella menarik tanganku yang seketika menegang. Dia menyuruhku duduk di sisi Papa. Meja makan telah kosong, hanya ada sekeranjang buah di tengah meja. Sepertinya piring-piring kotor dan sisa makanan telah disingkirkan. Aku duduk kaku dan tegang, padahal, Papa duduk amat dekat denganku. Dulu, aku akan dengan segera masu

  • BUKAN SALAH IBU   Bab 43

    BUKAN SALAH IBU 43"Nyonya Wardhana meminta saya menjemput Nona Helen untuk menemui Ibu anda di kantor polisi. Katanya, Mama anda memaksa ingin bertemu."Aku membelalakkan mata. Jam sepuluh pagi, Abimanyu datang lagi. Aku kenal dia, asisten kepercayaan Nenek berusia akhir dua puluh yang ramah dan mudah tersenyum, tapi tegas dan tak ada toleransi untuk sebuah pelanggaran. Entah kenapa Eyang terus-terusan membuat aku bertemu dengannya."Oke. Tapi, aku bisa pergi sendiri."Abimanyu menggeleng."Tidak, Nona. Nyonya berpesan untuk mengantar dan menunggui Nona lalu memastikan Nona pulang lagi."Aku menggeram dengan marah."Kau membuatku terlihat seperti tawanan!"Abimanyu tersenyum."Mematuhi aturan, atau membatalkan kesempatan … ""Oke! Oke! Dasar sialan!"Lelaki itu hanya memutar bola mata mendengar umpatanku yang kasar. Aku masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian. Tanpa bicara apa-apa, aku keluar dan langsung naik ke mobilnya. Dia ikut melompat naik sambil tersenyum."Tersenyumlah se

  • BUKAN SALAH IBU   Bab 42

    BUKAN SALAH IBU 42Aku meninggalkan Ayah dan Ibu berdua saja di meja makan. Biarlah, Ibu punya caranya sendiri untuk menuntun Ayah agar kembali mengingat kami. Kami hanya perlu bersabar. Dan bukankah sudah beberapa kali kami lulus dalam ujian kesabaran itu?Kuhentikan langkah saat melihat Helena keluar dari kamarnya sambil menggeret tas. Rasanya aku hampir saja berteriak, melarangnya pergi saat melihat wajahnya yang sembab sehabis menangis. Tapi tidak, kali ini, aku belum bisa memaafkannya. Dulu, saat Tante Meira merebut Ayah dari Ibu, Helena tak tahu apa-apa. Tapi sekarang, dia bahkan menjadi salah satu sutradaranya.Helena menyandarkan koper dan berjalan ke arah dapur. Namun, langkahnya terhenti saat melihatku."Mau kemana?""Aku… mau pamit pada Papa dan Tante Ana.""Tak usah. Pergi saja. Kau bisa pamit pada Eyang.""Tapi … "Aku mendekat. Kutatap matanya tepat di maniknya yang hitam."Kau bahkan tak mengizinkan kami tahu keadaan Ayahku yang menyedihkan selama dua tahun lamanya."He

DMCA.com Protection Status