BUKAN SALAH IBU 12Pintu itu terbuka dan wajah yang keluar dari sana tampak terkejut melihatku duduk di depan pintu kamar Mama."Helen? Kenapa nggak sekolah?"Aku menatap wajah Eyang. Selama ini, Eyang adalah orang yang paling memanjakanku selain Mama. Apapun yang kuminta pasti diturutinya. Bahkan terkadang, sebuah barang keluaran terbaru sudah ada di hadapanku sebelum aku sempat meminta. Bagi Eyang, akulah satu-satunya permata berharga keluarga Wardhana. "Aku nggak bisa pergi sekolah dan meninggalkan Mama seperti itu."Eyang tersenyum dan duduk disampingku. Dia merangkul bahuku."Kau memang anak yang baik dan sangat sayang pada Mama dan Papamu. Eyang senang mendengarnya."Aku sayang pada Papa? Sejenak, aku tertegun mendengar kosakata itu. Seperti Mama, kasih sayangku pada Papa bertepuk sebelah tangan. Sejak kecil aku merasakan, bahwa Papa tak terlalu sayang padaku. Dia memang melimpahiku dengan uang, tapi kehadirannya di moment penting hidupku bisa dihitung dengan jari. "Tapi, kau
BUKAN SALAH IBU 13PoV BELLA"Tolong berhenti, Tuan Wisnu. Saya mau pulang saja. Anda lancang sekali menggendong dan meninggalkan motor saya disana. Kalau diambil orang gimana?"Aku memukul-mukul sandaran kursi dengan panik. Namun, setiap gerakan yang kubuat ternyata membuat nyeri di kaki kiriku yang tertimpa motor tadi menjadi dua kali lipat lebih sakit. Aku meringis-ringis, ingin menjerit dan menangis, tapi egoku melarangku menumpahkan air mata di depan lelaki ini."Berhenti kataku.""Nak, kakimu mungkin patah. Kita harus segera ke rumah sakit. Dan Ayah akan membelikanmu motor baru, kalau perlu, mobil supaya lebih aman untukmu," jawabnya tanpa menoleh, hanya sekilas melirik dari kaca spion."Siapa yang menyuruhmu memanggilku 'Nak'. Aku bukan anakmu.""Bella … ""Dan apa karena kau kaya dan banyak uang, hingga tak menghargai kendaraan yang dibeli Ibuku dengan susah payah. BERHENTI KATAKU!"Cittt… Mobil berhenti di pinggir jalan dengan suara mendecit. Lelaki itu menoleh dan menatapku
BUKAN SALAH IBU 14"Jadi kau anak itu?"Suaranya dingin, terasa menusuk tulang dan membekukan hati. Tatapan matanya terlalu tajam untuk seorang wanita tua dengan keseluruhan rambut yang telah memutih. Aku tak mengenal siapa dia, tapi garis wajahnya itu, sangat mirip Ay… maksudku, Tuan Wisnu. "Kau tidak mirip Wisnu. Sudah kuduga, perempuan itu hanya mengaku-aku.""Anda siapa?"Dia menarik sedikit sudut bibirnya ke atas, membentuk sebuah senyuman sinis. "Kau pasti tahu siapa aku. Ibumu tentu tak akan melewatkan cerita khayalannya menjadi menantu keluarga orang kaya."Wajahku memanas karena kurasakan darahku naik. Dia persis seperti Helena. Semua ucapan yang keluar dari mulutnya beracun dan mematikan perasaan."Keluar!" desisku.Perempuan tua itu terkejut."Kau berani memerintahku?""Memangnya kenapa aku harus takut? Selama ini aku dan Ibu hidup dan berdiri di atas kaki kami sendiri. Jangankan mengaku punya hubungan denganmu, memberi tahu siapa Ayahku saja tidak. Dan asal anda tahu, Ny
BUKAN SALAH IBU 15PoV HELENA'Helen, dengarkan Papa baik-baik. Berhenti menuduh Bella dan Ibunya pela-cur. Dia adalah istri dan anak Papa. Bella adalah Kakakmu.'Kalimat itu seakan tak mau hilang dari benakku, terngiang-ngiang, menggedor-gedor alam bawah sadar hingga terbawa mimpi. Semalam, aku bahkan memimpikan Bella. Dia tersenyum padaku, lalu berbalik sambil menggandeng tangan Ibunya. Dan yang membuatku menjerit histeris hingga terbangun adalah, di tangan yang satu lagi, Bella menggandeng Papa.Benarkah semua ini? Seharian Mama mengurung diri di kamarnya, membuatku jemu menunggu. Ketukanku di pintunya pun dia abaikan. Lalu, ketika aku lengah sebentar, Mama tiba-tiba saja sudah pergi entah kemana. Terkadang, aku heran melihat Mama. Dia mengaku sayang padaku dan bersedia melakukan apa saja demi menjaga keluarga ini tetap utuh. Tapi, segencar itu Mama bicara, segencar itu juga dia keluar menghindari Papa. Padahal, Papa tak perlu dihindari. Dua hari sejak pertengkaran itu, sehari se
BUKAN SALAH IBU 16"Hai guys, kalian nggak nanya gue kemana gitu nggak masuk dua hari kemarin?" Aku berusaha cuek, duduk di bangkuku, di sebelah Orin. Di belakangku, ada Rekha dan Allen. Mereka bertiga selama ini adalah dayang-dayang yang setia. Sudah tak terhitung berapa kali aku mentraktir mereka ini dan itu, memberikan apa saja yang mereka inginkan. Imbalannya, mereka akan dengan patuh melakukan apa saja yang kuminta.Orin hanya melirik dan tersenyum sedikit. Aku mengerutkan alis menatapnya."Kenapa?""Nggak apa-apa," jawabnya singkat. Aku tak sempat lagi bertanya karena anak-anak lain masuk berhamburan. Mereka tampak ceria sekali dan semuanya serentak diam saat melihat aku ada di dalam kelas. Satu persatu, mereka duduk di tempat masing-masing. Tak ada Bella. Sepertinya dia belum diperbolehkan pulang. Aku meringis membayangkan tulang kakinya retak. "Kenapa semua orang jadi aneh?"Aku menoleh pada Rekha dan Allen. Mereka berdua sibuk membereskan buku-buku, tapi aku jelas tahu ba
BUKAN SALAH IBU 17PoV BELLASatu hari sebelum masuk sekolah."Ibu, apa kita akhirnya terpaksa memakai uang Ayah untuk membayar rumah sakit?"Ibu yang sedang membereskan tas berisi pakaian dan perlengkapan selama aku dirawat, menoleh. Hari ini aku diperbolehkan pulang setelah menjalani satu minggu perawatan pasca operasi."Rumah sakitnya sudah dibayar Ayahmu sejak awal kamu masuk, Bels, malah tadi ada pengembalian deposit. Ibu belum memakai sama sekali uang yang di ATM."Aku termangu."Berarti, uang Ayah banyak sekali ya, Bu."Ibu tersenyum, tapi tak berkata apa-apa. Entahlah, mungkin Ibu sama seperti aku, masih ragu menerima kebaikan Ayah. Pengalaman Ibu mengajarkan pada kami bahwa kami tak boleh percaya begitu saja pada kata-kata cinta seseorang."Pantas saja Helena begitu sombong. Dia mempengaruhi seisi kelas untuk memusuhi aku."Ibu mendekat dan merangkul bahuku."Tapi, Ibu yakin, anak Ibu bisa menyikapinya dengan baik. Nak, Ibu harap kamu tidak mendendam. Bagaimanapun, Helena adi
BUKAN SALAH IBU 18Helena menatapku sebentar, lalu memandang ke depan tanpa menjawab sapaanku. Aku tersenyum, membuka tas dan mulai menyiapkan buku. Jam pelajaran akan segera dimulai. Diam-diam, aku merenung, betapa mudahnya keadaan berbalik. Tak ada sedikitpun kesulitan bagi Allah jika dia sudah berkehendak. Helena yang kemarin adalah tuan putri di kelas ini, sekarang dikucilkan. Aku dapat melihat jarak kursi Allen dan Rekha yang menjauh dari tempat duduk kami, begitu juga kursi dan meja yang ada di belakang. Jam istirahat, aku menghabiskan waktu di dalam kelas, karena merasa terlalu lelah untuk berjalan ke kantin. Aku tak ingin jadi pusat perhatian. Ibu telah membawakanku bekal. Roti isi sosis buatannya sendiri, juga semangkuk salad buah kesukaanku."Bella, aku minta maaf."Aku mendongak, mendapati tiga dayang Helena berdiri di dekat mejaku. Tubuh mereka yang jangkung dan menjulang membuatku harus mendongakkan kepala."Aku minta maaf karena pernah memukulmu. Meski itu atas perintah
BUKAN SALAH IBU 19Hari terus berlalu, hingga akhirnya ujian kelulusan tiba. Hubunganku dengan Helena tidak mengalami kemajuan, tapi juga tak seburuk dulu. Dia masih tak menyahut setiap kali aku menyapa, tapi tak lagi membuatku celaka.Sementara itu, Ayah tak pernah lagi datang atas permintaan Ibu, tapi kirimannya nyaris setiap minggu tiba di rumah. Permen, coklat, hadiah-hadiah kecil untukku dan juga Ibu. Di dalam surat yang diselipkannya di dalam paket-paket itu, Ayah memohon agar kami tak menolaknya, untuk menebus semua yang dulu tak bisa dia lakukan pada kami berdua. Perlahan tapi pasti, aku mulai merindukannya. Hati kecilku mulai bisa menerima alasan yang dia berikan. Tapi, masalahnya, Ayah bukan hanya milikku dan Ibu.Sampai hari itu, di hari ujian terakhirku, aku pulang dari sekolah dan mendapati mobil yang belum pernah kulihat terparkir di pinggir jalan depan rumah. Aku sudah bisa berjalan lancar tanpa kruk, meski masih harus berhati-hati dan tak boleh berlari. Di ruang tamu,
BUKAN SALAH IBU 50 (ENDING)Aku, Ayah dan Ibu nyaris berlari menuju bangsal rumah sakit umum, rumah sakit terdekat dengan rumah tahanan khusus wanita tempat Tante Meira ditahan. Berita itu sepertinya belum masuk televisi dan kami dihubungi langsung oleh pihak rutan karena kamilah keluarga yang tertera di data tahanan.Subuh tadi, terjadi kebakaran hebat di rutan, diduga karena adanya hubungan arus pendek. Kondisi subuh yang dingin, disaat nyaris semua penghuninya sedang lelap di alam mimpi, membuat korban berjatuhan. Salah satunya Tante Meira. Kini, bersama puluhan korban lainnya, Tante Meira telah berada di IGD rumah sakit.Ponselku berulang kali bergetar. Helena terus menelepon, ingin tahu keadaan Mamanya. Susah payah aku membujuknya agar tetap tenang."Aku akan segera pulang, Bella. Mas Abim akan cari tiket. Ya Allah, Bella, tolong, bilang dokter untuk selamatkan Mama. Mama mungkin bukan orang baik, tapi dia orang yang melahirkan aku."Di seberang telepon, Helena menangia tersedu-s
BUKAN SALAH IBU 49PoV BELLASuara minyak yang sudah panas terdengar mendesis. Kumasukkan bumbu berupa dua macam bawang, cabai merah, kunyit dan jahe yang sudah diiris halus, menambahkannya dengan daun jeruk, daun salam, serta lengkuas dan sereh yang sudah di geprek. Setelah semuanya layu dan menguarkan aroma harum, kumatikan kompor, dan memindahkan bumbu tadi ke dalam rebusan tulang iga yang sedang menggelegak. Tak lama, aroma harum pindang iga memenuhi dapur, membawaku ke masa setahun yang lalu.Setahun yang lalu, sehari sebelum berangkat ke Samarinda, tempatnya sekarang tinggal, Helena memintaku mengajarinya masak pindang iga. Itu makanan kesukaannya. Dia bisa menghabiskan satu mangkuk penuh jika Ibu memasaknya. Dan karena sejak kecil aku sudah suka membantu Ibu, aku tahu bagaimana cara memasaknya. Meski dulu, kami hanya bisa makan daging seperti itu setahun sekali, saat lebaran idul adha."Syukurlah bumbunya diiris saja, aku nggak bisa ngulek."Helena cekikikan. "Apa gunanya Chop
BUKAN SALAH IBU 48Dia pergi, membawa setengah hatiku bersamanya. Sungguh singkat kebersamaan kami. Sembuh dari sakit, lalu menikah. Hari-hari yang kami lalui seakan berlompatan. Tahu-tahu, dia dibawa pergi suaminya. Suaminya. Adikku Helena kini telah menjadi seorang istri. Dia menjelma menjadi istri yang manis dan menyenangkan. Helena yang dulu membully-ku disekolah benar-benar telah mati. Ulat itu telah bermetamorfosis menjadi kupu-kupu dengan sayapnya yang indah.(Kami transit di Jakarta. Tiba-tiba saja aku ingin merasakan malam di kota tua. Jadi kami menunda keberangkatan. Untung saja kamu kasih saran untuk nggak pesan tiket langsung ke Kalimantan.)Pesannya masuk kemudian, disusul foto-fotonya berpose di kota tua. Aku tersenyum, dia tampak sangat cantik dengan dandanan ala Nonik Belanda.(Pastikan kau selalu bersama Abimanyu.)(Okey)(Apa kepalamu masih suka sakit?)(Nggak lagi. Aku bahagia. Kakak jangan mengkhawatirkan aku. Sekarang waktunya Kakak memikirkan diri Kakak sendiri.
BUKAN SALAH IBU 47"Helen, aku … ""Aku sayang kakak."Helena tiba-tiba memelukku. Aku terkejut, menyambut tubuhnya dan membalas pelukan itu. Hatiku menghangat oleh rasa haru. Oh, Tuhan, salahkah jika aku ingin dia amnesia selamanya? Biarlah dia melupakan masa lalu. Biarlah dia hanya mengingat aku, Ayah dan Ibu sebagai keluarganya saja. Dosakah aku, Tuhan?"Kakak juga sayang kamu. Ayo masuk, sebentar lagi magrib, nggak baik ada diluar rumah.""Aku masih suka duduk disini.""Kita akan sering duduk disini, asalkan tidak menjelang magrib.""Tapi aku suka kursi ini. Bolehkah kursi ini untukku?"Aku tertegun sejenak. Kursi rotan itu, baru, dibeli Ayah untuk menggantikan kursi kayu yang dulu kugunakan untuk duduk menunggunya. Seperti de javu, apa yang ku katakan pada Helena sekarang adalah, apa yang sering dikatakan Ibu padaku dulu : masuklah, Bels, tak baik diluar menjelang magrib begini."Tentu saja. Tak ada yang boleh duduk disini selain dirimu."Helena tersenyum, dengan manja dia mengge
BUKAN SALAH IBU 46Aku terbangun di pagi hari dalam keadaan yang jauh lebih baik. Infus di tanganku rupanya bekerja dengan cepat. Alarm tubuh membangunkanku sesaat setelah azan subuh selesai. Aku melihat Ibu yang sedang salat sendirian dan itu membuatku lega. Semalam, Ibu datang cukup larut, membantuku salat isya dan menyuruhku langsung tidur lagi. "Operasinya sukses, Helena sudah dipindahkan ke ICU. Berdoalah semoga besok dia sadar."Aku termangu. Dari rekaman CCTV di lapangan parkir kampus, Helena ternyata memang sengaja menunggu disana. Dia melihat bagaimana mobil itu nyaris menabrakku dan berlari secepat mungkin, mengorbankan diri dan keselamatannya sendiri. Teman-teman yang menceritakan hal itu. Mereka mendapat informasi dari staff keamanan. Semalaman, aku nyaris tak bisa berhenti menangis membayangkan gadis itu melakukan hal berbahaya agar aku selamat.Seandainya tak ada Helena, maka akulah yang kini berbaring di ruang ICU."Bels? Sudah bangun? Ayo Ibu bantu salat subuh."Aku m
BUKAN SALAH IBU 45PoV BELLA"Sampai besok, Bels. Jangan lupa, kasih badanmu istirahat. Kamu kelihatan capek banget."Aku melambaikan tangan pada Rena, berterima kasih atas perhatiannya. Dia sahabat baru di kampus. Rasanya menyenangkan sekali punya sahabat setelah menghabiskan masa SMA yang sepi dulu. Sejak pagi, badanku memang terasa tidak nyaman, tenggorokan sakit dan kepala sedikit pusing. Sepertinya aku akan flu berat.Dengan langkah yang kuusahakan agar cepat, aku melangkah menuju mobil. Parkiran kampus ramai sekali. Motor dan mobil sibuk lalu lalang akibat jam pulang yang berbarengan. Aku berjalan sambil menurunkan ransel, merogoh sakunya untuk mencari kunci mobil. Fokusku sedikit teralih karena kunci itu tak juga kutemukan. Sepertinya aku meletakkannya di kantong sebelah kanan, kenapa nggak ada ya?Tiinnn!"Bella! Bella! Awas!Tiinnn!Aku mendongak, merasakan atmosfer yang berubah seketika. Teriakan panik, pekikan menyebut namaku menggema, lalu suara deru mobil … Aku berbalik,
BUKAN SALAH IBU 44"Kau jahat, Bella! Kau jahat!""Helen!"Bella berdiri, dan dengan gerakan cepat menarik tanganku."Kau tak sadar kalau kata-kata itu lebih pantas kau tujukan untuk dirimu sendiri?"Aku menangis terisak-isak, kata-katanya itu entah kenapa terasa sangat menyakitkan. Aku menatapnya dengan benci, bertanya-tanya dalam hati, ngkinkah hubungan kami berdua akan kembali seperti dulu lagi. Saling membenci dan saling menyakiti."Lagipula, kau belum mendengar seluruh kalimatku," ujar Bella kemudian."Kau menghasut Papa untuk melupakanku, kan?""Persis seperti apa yang kalian lakukan dulu?" Bella tersenyum sinis, "Aku tak sejahat itu. Duduk di meja dan temui Ayah."Bella menarik tanganku yang seketika menegang. Dia menyuruhku duduk di sisi Papa. Meja makan telah kosong, hanya ada sekeranjang buah di tengah meja. Sepertinya piring-piring kotor dan sisa makanan telah disingkirkan. Aku duduk kaku dan tegang, padahal, Papa duduk amat dekat denganku. Dulu, aku akan dengan segera masu
BUKAN SALAH IBU 43"Nyonya Wardhana meminta saya menjemput Nona Helen untuk menemui Ibu anda di kantor polisi. Katanya, Mama anda memaksa ingin bertemu."Aku membelalakkan mata. Jam sepuluh pagi, Abimanyu datang lagi. Aku kenal dia, asisten kepercayaan Nenek berusia akhir dua puluh yang ramah dan mudah tersenyum, tapi tegas dan tak ada toleransi untuk sebuah pelanggaran. Entah kenapa Eyang terus-terusan membuat aku bertemu dengannya."Oke. Tapi, aku bisa pergi sendiri."Abimanyu menggeleng."Tidak, Nona. Nyonya berpesan untuk mengantar dan menunggui Nona lalu memastikan Nona pulang lagi."Aku menggeram dengan marah."Kau membuatku terlihat seperti tawanan!"Abimanyu tersenyum."Mematuhi aturan, atau membatalkan kesempatan … ""Oke! Oke! Dasar sialan!"Lelaki itu hanya memutar bola mata mendengar umpatanku yang kasar. Aku masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian. Tanpa bicara apa-apa, aku keluar dan langsung naik ke mobilnya. Dia ikut melompat naik sambil tersenyum."Tersenyumlah se
BUKAN SALAH IBU 42Aku meninggalkan Ayah dan Ibu berdua saja di meja makan. Biarlah, Ibu punya caranya sendiri untuk menuntun Ayah agar kembali mengingat kami. Kami hanya perlu bersabar. Dan bukankah sudah beberapa kali kami lulus dalam ujian kesabaran itu?Kuhentikan langkah saat melihat Helena keluar dari kamarnya sambil menggeret tas. Rasanya aku hampir saja berteriak, melarangnya pergi saat melihat wajahnya yang sembab sehabis menangis. Tapi tidak, kali ini, aku belum bisa memaafkannya. Dulu, saat Tante Meira merebut Ayah dari Ibu, Helena tak tahu apa-apa. Tapi sekarang, dia bahkan menjadi salah satu sutradaranya.Helena menyandarkan koper dan berjalan ke arah dapur. Namun, langkahnya terhenti saat melihatku."Mau kemana?""Aku… mau pamit pada Papa dan Tante Ana.""Tak usah. Pergi saja. Kau bisa pamit pada Eyang.""Tapi … "Aku mendekat. Kutatap matanya tepat di maniknya yang hitam."Kau bahkan tak mengizinkan kami tahu keadaan Ayahku yang menyedihkan selama dua tahun lamanya."He