"Kamu itu anak lelaki pertama! Jika kamu mau Papi memberikan semua hak dan wewenang di perusahaan, kamu harus memiliki keturunan. Jika kamu tidak bisa memiliki keturunan Papi masih bisa memberikan perusahaan kepada anak-anak dari mami sambung kamu."
Kejadian itu seperti video yang berputar ulang di kepala Alex. Untuk itulah ia menikahi Rachel. Seorang gadis cantik yang begitu polos dan mau menyerahkan cinta sepenuhnya kepada seorang Alex Rajasa Utama.
Alex beruntung, apalagi ia tidak akan mungkin mau menyerahkan harta milik papinya yang dikumpulkan bersama almarhum maminya menjadi milik adik-adik dan ibu tirinya.
Ia tidak sudi.
“Lex, kamu melamun?” tanya Rachel menyadarkan Alex dari lamunannya.
Alex tersenyum kecil, memberikan kesan pada Rachel bahwa ia memberikan perhatian pada wanita itu.
Setelahnya, ia mengusap pipi istrinya dengan lembut. Wajah Rachel sangat cantik dengan rambutnya yang sedikit berantakan membuat Alex merasa ada yang kembali mendesak.
Perlahan, ia mengangkat dagu Rachel dan mengecup bibir wanita yang sudah dua bulan menjadi istrinya itu. Perlahan ia melumat dan menyesap bibir merah wanita itu.
Rachel pun tak ingin mengecewakan sang suami, apalagi setela perdebatan kecil itu. Ia pun membalas setiap sentuhan dan ciuman yang diberikan Alex kepadanya dengan penuh cinta.
Namun, tiba-tiba ciuman yang memabukkan itu harus terhenti karena ketukan di pintu.
“Tuan Alex! Tuan! Nyonya--”
“Ada apa, Mbok?” tanya Alex.
“Nyo-Nyonya Sheila tadi tiba-tiba saja kesakitan lalu pingsan." Suara wanita separuh baya yang sudah lama mengabdi di rumah itu sebagai asisten rumah tangga kembali terdengar.
Tanpa mengatakan apa pun juga Alex dengan cepat langsung mengenakan bajunya dan keluar kamar, meningalkan Rachel begitu saja.
Sementara Rachelhanya bisa menunduk sedih. Ah, inikah nasib seorang istri kedua? Tetap saja, tidak bisa mengalahkan cinta seorang lelaki terhadap istri pertamanya,
bisik Rachel dalam hati, perih.Rachel hanya bisa menatap kepergian sang suami yang keluar dari kamarnya dengan terburu-buru. Sheila memang selalu menjadi yang nomor satu di hati Alex. Rachel menarik napas panjang dalam-dalam kemudian mengembuskannya perlahan. Ia menyadari jika kehadirannya hanya sebagai yang nomor dua.
Ia ingat alasannya dulu menerima lamaran Alex karena sikap lelaki itu yang sangat baik dan perhatian. Alex bukan hanya memperhatikan dirinya tetapi juga keluarganya.
Rachel kembali menghela napas panjang dan segera beranjak dari tempat tidurnya. Wanita cantik itu melangkah ke kamar mandi dan membasuh tubuhnya terlebih dahulu sebelum mengenakan pakaiannya. Setelah rapi berpakaian ia pun segera menyusul sang suami menjenguk Sheila.
"Kamu merasa sakit di mana, Sayang? Kita ke rumah sakit sekarang, ya."
Rachel mendengar suara Alex terdengar begitu lembut dari balik pintu yang memang sedikit terbuka itu. Perlahan, ia mengetuk pintu dan memberanikan diri untuk melangkah masuk saat Alex menjawab.
"Bagaimana kondisi Mbak Sheila, Lex?" tanya Rachel.
"Masih lemah, Sheila tadi pingsan. Aku khawatir jika terjadi sesuatu, tapi Sheila tidak mau diajak ke rumah sakit atau dipanggilkan dokter pribadi," kata Alex.
Sheila yang merasa sedang di atas angin langsung menyandarkan kepalanya di bahu Alex.
"Aku hanya butuh kamu saat ini untuk menemaniku. Jika kamu ada di sini, aku nggak butuh dokter dan obat," sahut Sheila dengan suara yang terdengar lemah.
"Memangnya aku ini obat?" kata Alex sambil tersenyum. Lelaki itu memeluk mesra Sheila lalu mengecup pucuk kepala wanita yang merupakan istri pertamanya itu.
Sheila hanya tersenyum dan makin menyandarkan tubuhnya di pelukan Alex. Dari sudut matanya ia jelas melihat kecemburuan di wajah Rachel.
Ya, saat ini Rachel memang merasakan kecemburuan yang sangat dalam. Ia merasa perlakuan Alex kepadanya tadi dan Sheila sangat berbeda jauh. Alex memang bersikap perhatian kepadanya tetapi kelembutan yang Alex berikan kepadanya dan Sheila adalah sesuatu yang sangat berbeda jauh.
Terkadang, apa yang Alex lakukan kepadanya membuat Rachel yakin jika suaminya itu juga sangat mencintainya. Tetapi melihat pemandangan yang terlihat di depannya ini membuatnya ragu jika Alex mencintainya.
"Mbak mau aku temani ke dokter atau aku panggilkan dokter pribadi saja?" tanya Rachel lagi.
Sheila langsung memalingkan wajah dan menatap Rachel lalu menggelengkan kepalanya.
"Aku nggak mau, aku bosan diperiksa dan minum obat," jawab Sheila dengan lemah.
"Kamu yakin, Sayang? Aku khawatir, " kata Alex lagi.
Namun, lagi-lagi Sheila menggelengkan kepalanya.
"Nggak usah, Sayang. Aku hanya perlu istirahat saja, lagi pula obatku masih ada. Aku tidak perlu dokter, yang paling penting kamu ada di sini menemaniku," kata Sheila dengan manja,
Lagi-lagi Rachel hanya bisa menghela napas panjang. Tiba-tiba saja mbok Markonah kembali datang bersama seorang lelaki muda. Lelaki itu tampak sangat panik.
"Tuan, asisten Anda datang, katanya ada yang penting," kata Mbok Markonah, asisten rumah tangga yang tadi memanggil Alex.
Alex menoleh lalu perlahan ia membantu Sheila kembali berbaring.
"Sebentar, Sayang. Rafli, kita bicara di luar," kata Alex.
Sheila pun mengangguk dan Alex langsung bangkit berdiri dan melangkah diikuti oleh Rafli yang merupakan asisten pribadinya.
Alex membawa Rafli ke ruangan kerjanya yang kebetulan ada di samping kamar Sheila.
"Ada apa, Raf?" tanya Alex saat mereka sudah berada di ruangan kerja.
"Maafkan saya mengganggu Anda, Pak. Tapi, masalah ini hanya bisa Anda yang turun tangan," kata Rafli.
Alex menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan.
"Istri saya sedang sakit. Apa tidak bisa jika kamu atau Pak Agra yang menangani?" tanya Alex dengan dahi berkerut.
"Maafkan saya, Pak. Tapi, klien ingin berjumpa langsung dengan Anda selaku pemilik perusahaan. Jika tidak, dana sebesar lima belas milyard akan hilang begitu saja. Anda tau sendiri jika ini adalah kerjasama yang sangat penting."
Alex kembali mengembuskan napasnya. Perlahan ia mengetuk-ngetukkan jarinya ke atas meja dan berpikir sejenak. Ia memang mengkhawatirkan kesehatan Sheila, tapi bisnis ini juga sangat penting dan klien yang mereka hadapi ini sudah sangat lama sekali menjalin kerjasama.
"Baiklah, kamu tunggu sebentar. Kita ke kantor, saya temui dulu istri saya," kata Alex. Lelaki tampan itu pun melangkah kembali ke kamar Sheila. Tampak Sheila sedang berbaring sambil memejamkan mata. Sementara Rachel sedang duduk di sofa yang ada di dalam kamar itu.
Perlahan, Alex pun mendekati Sheila lalu mengecup kening wanita itu dengan lembut.
"Sayang, aku harus pergi sebentar. Ada masalah di kantor yang harus aku selesaikan dengan klien. Dan ini masalah yang sangat penting. Kamu tidak apa-apa aku tinggal? Aku janji tidak akan lama," kata Alex.
Sheila mengerjapkan matanya perlahan, "Nggak bisa diwakilkan? Bukannya ada Pak Agra dan juga Rafli?"
Alex menggelengkan kepalanya perlahan.
"Nggak bisa, Sayang. Harus aku langsung yang turun tangan. Ini bukan kontrak kecil. Tidak apa-apa, ya?"
Sheila menghela napas panjang lalu ia pun mengangguk perlahan, "Iya, sudah tidak apa-apa jika memang harus kamu yang berangkat."
"Terima kasih atas pengertiannya, Sayang."
Alex pun menoleh kepada Markonah, "Mbok, kamu dan Bu Rachel jaga baik-baik Nyonya Sheila. Jika kambuh telepon dokter Lalita. Jangan sampai terjadi sesuatu dengan nyonya," katanya dengan penuh penekanan.
"Kamu nggak perlu begitu, ini hanya sakit ringan kok, Sayang. Kamu pergi aja dan selesaikan perjanjian dengan klienmu. Setelah itu langsung pulang, ya."
Alex tersenyum lalu kembali memberikan ciuman kepada sang istri.
"Titip Sheila, ya," katanya kepada Rachel yang dijawab anggukan kepala oleh wanita itu.
Alex pun segera melangkah pergi meninggalkan kedua istrinya itu bersama dengan Rafli sang asisten yang sudah menunggunya.
Begitu juga dengan Markonah yang pamit kembali ke dapur untuk menyelesaikan pekerjaannya. Sementara itu dalam kamar hanya ada Sheila dan Rachel.
Rachel menghela napas panjang dan menatap kakak madunya itu.
"Mbak, biar saya yang merawat Mbak, ya. Mbak mau saya ambilkan obat atau mau makan sesuatu? Saya buatkan bubur?" kata Rachel penuh perhatian.
Sheila yang tadinya berbaring dengan lemah tiba-tiba saja duduk tegak dan tidak ada tanda-tanda jika ia sedang sakit. Hal itu tentu membuat Rachel mengerutkan dahinya.
"Tidak usah mengurusi aku, adik maduku. Aku sudah bilang jika aku baik-baik saja. Aku hanya memerlukan kehadiran suamiku dekat denganku," jawab Sheila dengan tegas. Rachel hanya bisa menggelengkan kepalanya, rupanya sakit Sheila hanya untuk menarik perhatian suami mereka saja.
"Kamu keterlaluan Mbak," ujar Rachel. Sheila langsung menatap Rachel dengan tajam.
"Jangan mengurusi aku, lebih baik urusi saja kenapa kamu belum juga hamil. Lebih baik kamu segera hamil jika tidak mau suamiku menendangmu keluar dari rumah ini! Ingat, kamu sudah enam bulan menikah dengan suamiku, jangan-jangan kamu mandul."
"Jangan-jangan kamu mandul."Rachel tidak percaya kata-kata Sheila beberapa hari yang lalu mampu mengusiknya hingga seperti ini.Pagi ini, Rachel berjalan mondar-mandir di kamarnya. Ia baru saja membeli beberapa alat tes kehamilan. Ia memang tidak merasakan adanya gejala mual atau ngidam seperti perempuan hamil pada umumnya. Tetapi, ia sudah terlambat hampir dua bulan.Hal ini sebenarnya biasa mengingat siklus bulanannya yang sering kali tidak teratur. Namun, tetap saja. Rachel terdorong untuk mengeceknya. Tidak tanggung, Rachel membeli beberapa alat tes dengan merek yang berbeda. Dan ia pun menunggu.Satu.Dua.Tiga menit terlewat, sebelum akhirnya Rachel memutuskan untuk mengecek hasilnya.Sepasang matanya membeliak ketika mendapati dua garis merah ada di salah satu alat tes--dan yang lainnya juga. Kebahagiaan membuncah di dada wanita itu hingga ia tidak memedulikan apa pun lagi dan langsung mencari suaminya."Aleeex!" seru Rachel dengan perasaan yang begitu gembira. Alex yang seda
Alex dan Rachel pulang dengan perasaan campur aduk. Alex memang sangat menantikan hadirnya seorang anak di antara dirinya dan Rachel. Anak untuk meneruskan generasinya kelak, sesuai dengan tujuan utamanya menikahi Rachel--meskipun istri keduanya tersebut tidak tahu."Jadi, bagaimana hasilnya, Lex?" tanya Sheila yang ternyata sudah menunggu mereka di ruang keluarga."Usia kandungannya sudah tujuh minggu," jawab Alex singkat.Sheila terdiam ... rupanya wanita yang menjadi rivalnya ini sudah menang satu langkah di depannya sekarang."Selamat ya, Rachel. Sebentar lagi kamu akan menjadi seorang ibu," kata Sheila basa basi."Terima kasih banyak, Mbak. Kalau begitu aku kembali ke kamarku dulu," jawab Rachel.Melihat istri keduanya melangkah pergi, Alex pun ikut melangkah."Aku antar Rachel," ujarnya kepada Sheila.Hal itu jelas membuat Sheila merasa sangat kesal. Ia merasa posisinya saat ini sedikit terancam. Sementara itu, Alex mengantarkan Rachel menuju kamarnya."Kamu nggak ngidam? Mau ak
Rachel mengikuti langkah Alex menuju ruang tamu dan saat melihat siapa yang datang ia pun langsung memeluknya. “Kamu ke mana aja? Kenapa baru datang?” tanya Rachel, cemberut Elang tertawa kecil dan memeluk Rachel dengan erat. “Hei, jangan cengeng. Udah punya suami jangan gampang menangis, adik manis,” kata Elang sambil menepuk pundak Rachel dengan lembut dan penuh kasih sayang. Melihat pemandangan di hadapannya Alex hanya diam, entah mengapa ia merasa jika hubungan Rachel dan Elang bukanlah hubungan antara mereka bukanlah hubungan antara adik dan kakak. “Ehem!” Mendengar deheman Alex, Elang pun mengurai pelukan dan memandang Alex. “Ini suamiku, Alex,” ujar Rachel kepada Elang. “Ya, tadi kami sudah bertemu dan berkat dia juga aku bisa masuk. Tadi aku ditahan di pos security. Susah sekali untuk bisa menemuimu,” kata Elang sembari mengacak rambut adik angkatnya. Rachel hanya tertawa kecil. “Penampilanmu seperti ini, siapa juga yang akan mengizinkan kamu masuk,” kata Rachel El
"Kenapa kamu diam? Aku hanya bertanya apa kamu mau menceraikan Rachel jika dia sudah melahirkan? Ingat, tujuanmu menikahi wanita itu hanya untuk anak!" kata Sheila dengan tegas.Alex menghela napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. "Apakah harus aku pisahkan antara anak dengan ibunya?" "Kamu tidak perlu peduli dengan Rachel. Bukankah kamu tidak pernah mencintai dia? Soal anak, aku bisa mengurus anak itu nantinya," kata Sheila dengan tegas. "Kita lihat saja nanti, Sayang. Kamu jangan khawatir."Sheila mengerutkan dahinya, dengan mata memicing ia menatap Alex dengan kesal. "Bagaimana aku tidak khawatir? Sekarang saja kamu sudah memperhatikan perempuan itu. Apa lagi jika dia nanti sudah memberimu keturunan. Bukan tidak mungkin kamu akan mendepakku dari hatimu dan rumah ini," kata Sheila dengan tajam. "Apa selama ini aku tidak cukup mencintaimu? Sudahlah, Sheila ... aku tidak akan mungkin memilih dia dibandingkan kamu," jawab Alex sambil mencium kening Sheila dengan lembut. Me
Pagi itu, Alex dan Sheila bangun dengan wajah ceria. Walau dalam lubuk hatinya yang terdalam, Alex merasa bersalah karena seharusnya semalam ia tidur bersama dengan Rachel. Tetapi, istri pertamanya itu selalu membuatnya candu. "Bagaimana kalau kita melakukan perjalanan bulan madu kedua, Sayang?" kata Sheila tiba-tiba. "Bulan madu?" "Iya. Sudahl lama kita tidak bersama dan menikmati waktu. Anggap saja ini hadiah karena aku sudah mengizinkan kamu menikah lagi. Apalagi Rachel sekarang sedang hamil. Aku yakin nanti kamu akan lebih memperhatikannya selama masa kehamilan. Jadi, ayo kita honeymoon lagi," pinta Sheila dengan manja. "Baiklah, tapi sekarang kita sarapan pagi dulu," kata Alex. Sheila pun mengangguk dan keduanya pun segera keluar menuju meja makan.Suara Alex dan Sheila yang saling bersahutan membuat Rachel yang hendak sarapan mengurungkan niatnya. Dia paling malas jika berhadapan dengan istri pertama sang suami itu sebenarnya.Seandainya saja dia tidak terjebak dengan kebaik
Sheila masuk ke dalam kamar Rachel setelah berhasil membujuk Alex untuk meminjamkan kunci cadangan kamar Rachel sebentar padanya. Matanya menajam memperhatikan kamar luasnya tidak seberapa tapi tetap terasa nyaman bila ditempati.Melihat Rachel yang baru saja keluar dari kamar mandi membuat Sheila segera menutup pintunya agar tidak ada yang bisa melihatnya berada di sana. Rachel yang tidak tahu menahu motif Sheila datang ke kamarnya pun hanya bisa menatap wanita itu malas.Sheila duduk di depan meja rias Rachel, posisinya menghadap pada pemilik kamar. "Ada apa?" tanya Rachel ketika Sheila tak kunjung bicara padanya.Sheila menghela napasnya kasar, "Kenapa kamu menolak ajakan kami untuk ikut honeymoon? Suami aku 'kan suamimu juga, kamu tidak perlu takut jika Alex akan selalu bersamaku selama dua puluh empat jam.""Bukan masalah Alex akan ada atau tidak untukku, tapi aku cuma tidak mau jadi nyamuk di antara kalian. Toh, tujuan kalian ke sana buat bulan madu 'kan? Bukan untuk membuatku
Sheila keluar dari kamar mandi dengan lingerie hitam melekat di tubuhnya. Menghampiri Alex yang berniat pergi ke kamar Rachel untuk tidur bersamanya malam ini. Namun, Sheila tak akan membiarkan hal itu terjadi. Dia harus bisa menarik perhatian Alex agar bisa tidur bersamanya lagi.Sheila tidak bisa membiarkan Alex menjadi lebih perhatian kepada Rachel sekali pun wanita itu sudah mengandung anak dari Alex.Alex bangkit dari tempat tidurnya, belum menyadari kehadiran Sheila yang tengah berdiri di depan meja rias. Tepat ketika kepalanya mendongak, Alex akhirnya melihat tubuh seksi Sheila yang sontak membangunkan junior miliknya.Sheila menerbitkan senyumnya saat menyadari Alex terpesona dengan tubuhnya dari pantulan cermin. Spontan Sheila membalikkan badannya dan menghampiri Alex membuat empunya terkesiap pelan.Tangan Sheila mengalung di leher Alex dengan mata mengerling genit, tak lupa dia memainkan bibir bawahnya agar suaminya semakin goyah. Hal itu tentu saja membuat Alex tergoda mel
Rachel menatap pantulan wajahnya dari cermin. Mata sembap, bibir sedikit pucat, dan hidungnya yang sedikit merah akibat semalaman menangisi Alex yang sudah memberi janji palsu padanya. Rachel kira, Alex tidak akan mengecewakan dirinya hanya demi memuaskan gairahnya dengan Sheila.Mungkin memang benar Rachel tak bisa memberikan jatah sampai beberapa bulan ke depan pada Alex. Namun, dia tidak mengira Alex akan melakukan hal sejahat ini hanya untuk kepentingannya sendiri. Kalau saja Rachel tidak hamil, dia juga pasti akan memberikan kehangatan setiap malamnya pada Alex.“Aku akan membahagiakan kamu seperti aku juga membahagiakan Sheila. Dia tidak bisa memiliki keturunan karena sakit,” kata Alex saat dulu Rachel mempertanyakan alasan Alex untuk menikah lagi.Dan, Alex pun sudah melunasi hutang-hutang keluarga Rachel kepada rentenir. Sehingga Rachel mau tidak mau menerima pernikahan itu dan menjadi istri kedua.Pagi ini, Rachel memilih diam di kamar. Tak berniat keluar untuk membantu Mbok
Rachel masih membelalak lebar mendengar ucapan Alex. "Dasar kurang ajar! Berani sekali kamu memintaku menggantikan wanitamu! Lepaskan aku, Brengsek!"Namun alih-alih melepaskan, Alex malah menyatukan kedua tangan Rachel di atas kepala wanita itu dan menahannya. "Berhenti bersikap seperti ini. Lagipula aku sangat yakin kamu pasti cemburu karena aku mengajak perempuan lain ke rumah ini, kan? Kamu tidak bisa mengelak kalau kamu masih sangat mencintaiku.""Kamu sangat tidak sopan, Alex! Lepaskan aku atau aku akan berteriak agar semua orang tau kalau kamu sedang berusaha melecehkan istrimu sendiri!""Oh, aku takut sekali mendengarnya, Rachel!"Mereka pun masih saling bertatapan dengan tajam saat suara pintu kamar mendadak dibuka dengan kasar.Brak!"Kudengar kalian ribut lagi, hah? Dan apa yang sedang kalian coba lakukan?" pekik seorang pria tua yang nampak membelalak kaget.Alex dan Rachel pun langsung menoleh bersamaan menatap pria tua itu.Rachel langsung terdiam menatap Mahendra, ia m
“Kalau Daddy mau tau perasaan mama kepada Daddy, buat saja Mama cemburu,” kata Alexa kepada Alex.Lelaki itu baru saja bercerita kepada sang anak jika dia ingin sekali kembali membuat Rachel mencintainya seperti dulu. Dan diluar dugaan Alexa malah mengusulkan saran seperti itu.“Apa kamu yakin?”“Coba saja kalau tidak percaya.”Maka, malam ini Alex merencanakan semuanya dengan matang. Ia sengaja bersandiwara dengan seorang gadis yang bekerja di sebuah club malam."Shit! Ayo, cepatlah! Aku sudah hampir sampai!" kata Alex dengan keras."Ah, Alex..." desah wanita di bawahnya makin keras.Brak!Dan wanita muda dengan segala keangkuhannya itu masuk ke sana."Apa kamu pikir rumah ini tempat maksiat? Berhenti sekarang juga!" geram wanita itu dengan tatapan tajam yang berapi-api.Rachel tidak bisa menahan dirinya mengetahui kalau Alex sudah mulai berulah dengan membawa para wanita nakal ke rumahnya.Apalagi karena ada anak-anak di rumah itu.“Kamu memintaku dan anak-anak tinggal di sini hanya
Mahendra merasa sangat senang karena ia baru saja menerima pesan jika saat ini Alex sedang bersama dengan anak istrinya di rumah sakit. Meski merasa khawatir kepada Alexa, tetapi Mahendra senang pada akhirnya Alex mengetahui keberadaan Alexa dan Rachel.“Papi berharap jika kamu dan anak-anakmu mau tinggal bersama lagi di rumah papi,” kata Mahendra kepada Rachel.“Kamu tidak harus tidur dalam satu kamar bersamaku. Tapi, yang paling penting kita bisa satu atap demi anak-anak,” kata Alex kepada Rachel.Rachel menarik napas panjang. Sungguh rasanya sangat berat untuk mengiyakan permintaan Mahendra. Tetapi, ayah mertuanya itu tampak begitu berharap. Mungkin karena ia juga ingin berkumpul dengan cucunya.“Dalam hal ini aku tidak bisa menjawab. Semuanya terserah kepada Alexa,” jawab Rachel lirih.Rachel berharap jika Alexa akan menolak, tetapi ternyata gadis itu menerima permintaan Alex dan Mahendra.“Aku mau tinggal bersama Daddy dan Grandpa,”jawab gadis kecil itu dengan tegas.Dan akhirny
Entah berapa lama Alexa kehilangan kesadaran karena matanya terasa begitu berat. Saat ia terbangun, tubuhnya terasa basah. Hal itu disebabkan karena keringat yang keluar. Ia menoleh ke sampingnya, tampak Rachel memegang tangannya. Sementara kepalanya berada di atas ranjang. Ibunya tertidur dalam posisi duduk. Dan ketika ia melihat ke arah sofa ... ternyata Alex sedang duduk di sana sambil menatap layar laptopnya.“Mama ....”Alex yang mendengar suara Alexa segera menyingkirkan laptopnya dan menghampiri gadis kecil itu.“Kamu sudah bangun, Sayang? Mau minum?”Mendengar suara Alex yang terasa dekat, Rachel membuka matanya. Dan wanita itu tersenyum saat melihat Alexa sudah terbangun. "Kamu mau apa? Bajumu basah, Sayang. Mau mama bantu untuk menggantinya?" tanya Rachel. Alexa duduk di tempat tidurnya, memandangi ibunya dengan tatapan penuh kesedihan. Rachel, mencoba meyakinkan Alexa untuk mengganti pakaian yang kotor dengan yang segar. Namun, gadis kecil itu menolak dengan tegas."Ma
Mendengar suara Celine, Rachel pun bergegas masuk ke dalam. Dan saking paniknya ia sampai tidak menyadari jika Alex pun ikut masuk dan berjalan di belakangnya. Saat mereka masuk, tubuh Alexa sudah ada di atas lantai yang dingin. Sementara Celine duduk bersimpuh di dekat Alexa sambil menangis."Ya ampun, Alexa!” Rachel membantu Alexa bangun, lalu terkejut dengan betapa panasnya tubuh putrinya itu. “Suhu tubuhmu semakin parah!"“Ayo, kita bawa saja dia ke rumah sakit!” kata Alex dengan tegas.Pandangan Alexa buram, kepalanya menjadi pusing tapi suara panik Rachel terdengar jelas. Samar ia juga melihat kehadiran Alex bersama sang ibu. Apa lelaki yang mengaku ayahnya ini juga tengah mengkhawatirkannya?Entah berapa lama Rachel dan Alex membawa tubuh Alexa ke mobil. Akan tetapi, semakin lama Alexa semakin kesulitan membandingkan antara mimpi dan bukan.Gadis kecil itu merasa tubuhnya seperti melayang. Dan semuanya pun menja
Setelah mengantarkan Leo ke sekolah, Rachel pun segera menuju ke butik dan memberikan pesan ini dan itu kepada Jane- asistennya.“Tolong kamu tangani dulu semua pekerjaan hari ini. Terutama awasi pembuatan baju seragam pengiring pengantin yang dipesan ibu walikota. Besok sore semua sudah harus siap. Alexa sakit dan aku harus menemaninya di rumah,” kata Rachel kepada Jane.“Nyonya, sebaiknya Anda fokus dulu dengan kesehatan Alexa. Masalah butik dan pesanan untuk besok percayakan saja kepada saya,” kata Jane sambil tersenyum.“Baiklah kalau begitu. Aku pulang dulu,” ujar Rachel.Wanita itu pun bergegas pulang, dan tepat 30 menit setelah Rachel pulang, Alex tiba di butik itu.“Nyonya Rachel sedang tidak di sini, Tuan. Anaknya sakit,” kata Jane saat melihat Alex masuk.Alex memicingkan mata dan menatap asisten pribadi Rachel itu.“Anaknya yang mana?”“Alexa.”Tanpa berpikir panjang lagi, Alex pun segera keluar dari butik itu dan langsung masuk ke dalam mobilnya menuju ke rumah Rachel.Saa
Hari sudah menunjukkan pukul delapan tapi Alexa belum juga keluar dari kamar. Biasanya gadis kecil itu akan keluar dan menikmati sarapan sebelum Rachel berangkat ke kantor sambil mengantarkan Leo sekolah. Tapi tidak biasanya Alexa terlambat bangun."Ma, di mana Alexa dan Celine?" tanya Leo karena memang saat Leo bangun, kedua adiknya sudah duduk menghadap segelas susu hangat di meja makan."Leo makan dulu ya, Mama akan melihat apa yang kedua adikmu lakukan." ucapnya, Leo mengangguk.Rachel melepaskan apron sebelum menuju kamar Alexa dan Celine. Tidak biasanya Alexa masih tidur jam segini. Dan benar saja gadis kecil itu masih tidur menyembunyikan tubuhnya di balik selimut tebal. Sementara Celine tampak berdiri di dekat ranjang Alexa dengan wajah pucat.“Aku baru saja mau keluar dan memberitahu Mama kalau Lexa sakit,” cicit Celine ketakutan.Rachel menganggukkan kepala lalu mengusap rambut Celine.“Tidak apa-apa. Kamu pergilah sarapan bersama Leo. Biar Alexa mama saja yang urus,” kata R
“Siapa, Leo? Kenapa kamu bilang mama mengenalnya?” tanya Rachel.“Dia paman Alex,” jawab Leo.Rachel mengembuskan napas dengan keras. Sebenarnya apa mau Alex dengan mendekati anak angkatnya? Rachel sangat yakin jika Alex pasti sengaja datang ke sekolah Leo untuk bertemu dengan anak itu.“Apa dia mengatakan sesuatu kepadamu?” tanya Rachel.Leo menggelengkan kepalanya,”Baiklah, kalau begitu kita pulang sekarang. Lukamu harus dirawat.”Rachel pun segera berpamitam untul membawa Leo pulang kepada kepala sekolah. Dan setelah dia mengantar anaknya itu pulang, ia memastikan jika Leo baik-baik saja. Kemudian ia pun segera pergi lagi. Kali ini untuk menemui Alex.BRAK!Alex baru saja selesai dengan meeting jarak jauhnya saat Rachel dengan kasar membuka pintu ruangannya.“Katakan apa maksudmu mendekati anak-anakku? Apa yang kamu inginkan sebenarnya? Aku yakin jika kamu sengaja datang ke sekolah Leo bukan? Kamu mau mengorek keterangan apa dari anakku?”“Wah ... wah, memangnya salah kalau aku ber
"Jadi begitu saja! Apa ada yang mau ditanyakan?" tanya Rachel saat menyudahi rapatnya. Rachel masih menatap para peserta rapat saat tiba-tiba ponselnya berbunyi. Saat ini butik miliknya sudah sangat maju dan beberapa kliennya tentu saja berasal dari kalangan artis dan juga istri pejabat. Rachel pun melirik nama di ponselnya dan sedikit membelalak melihat nama kepala sekolah di sana. "Ah, maaf, kalau ada pertanyaan, silahkan ke Jane dulu, aku permisi untuk mengangkat teleponku!" Dengan jantung yang berdebar kencang, Rachel pun keluar untuk mengangkat teleponnya. Kepala sekolah hampir tidak pernah meneleponnya kalau semuanya baik-baik saja, wanita itu baru akan menelepon kalau Leo mengalami sesuatu di sekolah atau telat dijemput oleh supir. "Halo, Bu, ada apa?" tanya Rachel segera setelah ia mengangkat teleponnya. "Bu Rachel, maaf, aku mengganggumu, ini tentang Leo!" "Ada apa dengan Leo, Bu? Dia baik-baik saja kan?" Rachel sudah mulai cemas. "Dia baik-baik saja, hanya saja dia t