Edgar melihat tangan Natasha yang berada di cekalan karyawan wanita itu dengan tatapan tajam. Ia benar-benar tidak terima ada orang lain yang berani membentak istrinya, apalagi sampai berlaku kasar. Jantungnya berdebar kencang, dipenuhi amarah yang mendidih. Ia berjalan mendekat dengan langkah mantap, auranya jelas membuat orang-orang di sekitarnya terdiam dan memperhatikan.Rupanya, tidak sampai di situ saja, karyawan wanita tersebut kembali menatap ke arah Natasha dan memaksanya untuk meminta maaf. "Natasha, cepat minta maaf pada Tuan Edgar. Lihatlah, banyak karyawan lain yang sedang melihatmu. Apa kau tidak malu?" titahnya dengan sinis, matanya menatap ke arah sekitar dengan penuh keyakinan bahwa ia berada di pihak yang benar.Edgar, yang sudah tidak tahan dengan situasi tersebut, dengan tegas menarik Natasha dari cengkeraman karyawan wanita itu. Dengan mata yang berkilat penuh kemarahan, dia berkata, "Singkirkan tanganmu darinya. Apa kamu sadar siapa orang yang sedang kau ajak bic
Natasha segera beranjak dari pangkuan Edgar setelah Julian telah keluar kembali dari ruangan itu. Wajah Natasha memerah, merasa malu karena insiden tersebut. Edgar, yang masih tersenyum, menarik kembali Natasha di atas pangkuannya. "Mau ke mana?" tanyanya dengan suara lembut."Aku harus ke ruanganku, ada beberapa pekerjaan yang kemarin belum aku selesaikan," jawab Natasha sambil berusaha menghindari tatapan Edgar. Namun, alih-alih melepaskan Natasha, Edgar justru semakin mengeratkan tangannya yang melingkar di perut istrinya itu. "Apa kau lupa ucapanku sebelumnya? Hmm?" tanyanya, suaranya penuh kehangatan namun tegas.Natasha diam sejenak, berusaha menenangkan hatinya yang bergejolak. "Percayalah, keberadaanku di sini hanya akan menghambat pekerjaanmu saja. Jadi, biarkan aku kembali ke ruanganku.""Tidak akan. Justru keberadaanmu membuatku lebih semangat," jawab Edgar, menyangkal ucapan istrinya. Wajah Natasha memerah, merasa malu tapi juga senang mendengar kata-kata suaminya. Setela
Mendapati pertanyaan itu, Bianca seketika tergagap, tak bisa menjawab dengan jelas. Ia menghela napasnya dengan kasar seraya tersenyum yang dipaksakan. "A-Aku mendengar langsung dari Julian," jawab Bianca dengan spontan."Benarkah?" tanya Edgar, suaranya terdengar datar namun penuh kecurigaan. Dia mendekati Bianca, mencoba membaca pikiran di balik mata gelisahnya. Bianca mengangguk mantap, seolah meyakinkan Edgar. Sementara Edgar, dengan ketenangan yang bertolak belakang dengan gejolak hatinya, meraih ponselnya dari meja dan menghubungi Julian. Jari-jarinya menari di atas layar, mencari kontak yang sudah akrab itu.Bianca, yang melihat tindakan Edgar, seketika merasa panik. Wajahnya pucat dan matanya membulat lebar. "Kamu mau telepon siapa?" tanyanya dengan tegang, berusaha keras menahan ketakutannya yang semakin nyata. Suaranya bergetar, mencerminkan ketidakpastian yang kini merajalela di benaknya.Edgar menatap Bianca sejenak sebelum menjawab dengan tenang, "Julian, siapa lagi?" B
Bianca mendengus pelan, tanpa sepatah kata pun, ia mendorong tubuh Natasha agar melepaskan pelukannya. Natasha tak menunjukkan sedikit pun ekspresi kesal. Sebaliknya, senyum lembut mengembang di balik cadarnya, seolah-olah ia tahu bahwa Bianca telah memahami kata-katanya. Matanya yang penuh pengertian menembus lapisan-lapisan pertahanan emosional Bianca, membuatnya merasa lega."Terima kasih telah mendengarkan ucapanku," ucap Natasha dengan hangat.Bianca membuang pandangannya ke arah lain, menghindari tatapan Natasha. Tanpa mengatakan sepatah kata pun, ia melangkah keluar dari ruangan Edgar. Langkahnya terasa berat, seolah-olah ia membawa beban yang lebih dari sekadar kegelisahan yang terlihat di wajahnya.Meski meninggalkan ruangan itu, Bianca tidak benar-benar pergi. Ia menemukan pelarian dengan menyandarkan tubuhnya pada daun pintu, membiarkan aliran pikirannya terbawa kembali pada kata-kata Natasha. "Terjebak dalam ruang yang kubuat sendiri?" gumamnya pelan, suaranya rendah dan p
"Lebih dari itu? Maksudmu–" belum sempat Bianca menyelesaikan ucapannya, Julian sudah lebih dulu melanjutkan."Ya, aku mencintaimu," ucap Julian, menatap Bianca dengan dingin. "Tapi itu dulu, sebelum aku menyadari semuanya."Kata-kata Julian menggema di telinga Bianca, seakan menusuk hatinya. Meskipun ia baru tahu bahwa Julian mencintainya, kenyataan pahit ini membuatnya sulit bernapas. Cinta yang baru saja diungkapkan kini terasa seperti bayangan masa lalu yang suram. Bianca menatap Julian, mencoba menemukan kehangatan yang pernah ada di mata pria itu, namun yang dia temukan hanyalah kehampaan."Bagaimana dengan sekarang?" tanya Bianca dengan suara bergetar, berusaha menyembunyikan getaran emosi yang mengancam pecah.Julian diam bergeming, meresapi pertanyaan tersebut. Waktu seolah berhenti, membuat dunia di sekitar mereka tampak seperti lukisan yang tak bergerak. Bianca merasakan harapan terakhirnya perlahan memudar, tenggelam dalam keheningan yang menyiksa.Dengan langkah ragu, Bian
Dita terus berjalan di sepanjang koridor kantor Edgar dengan bingung, saat belum juga berhasil menemukan ruangan Natasha. Sepatu hak tingginya berbunyi setiap kali menyentuh lantai marmer yang dingin. Di sepanjang dinding, poster-poster motivasi dan karya seni modern menghiasi, namun Dita tidak punya waktu untuk memperhatikan semua itu.Raut wajahnya yang penuh kebingungan menarik perhatian beberapa karyawan yang berlalu lalang. Saat dia berpapasan dengan seorang karyawan yang berjalan berlawanan arah, Dita memutuskan untuk bertanya. "Permisi, ruangan Natasha di mana, ya?" tanya Dita.Karyawan tersebut berhenti dan menatap Dita sejenak, seolah sedang mencoba mengingat sesuatu. Wajahnya tampak bingung sebelum akhirnya dia balik bertanya, "Natasha yang mana, ya?"Dita mengerutkan keningnya, mencoba mencari cara terbaik untuk menggambarkan sahabatnya. "Dia mengenakan cadar."Karyawan itu diam sesaat, sebelum akhirnya berbicara, "Oh... anak baru itu," ucapnya.Dita tersenyum seraya menga
Dita masih terkejut dengan fakta yang baru saja dia dengar. Ternyata Natasha, sahabatnya selama ini, telah menikah. Dia menggeleng seraya tersenyum hambar, mencoba mencerna kenyataan itu. "Kamu pasti bercanda, Nat," ujar Dita dengan nada tak percaya.Namun, Natasha hanya tersenyum kecil, melihat kebingungan yang terpancar dari wajah sahabatnya. "Aku tidak bercanda, Dit. Aku sudah menikah," jawab Natasha dengan lembut.Sontak mata Dita terbelalak lebar, tak mampu menyembunyikan rasa terkejut yang menderanya. "Sejak kapan kau menikah? Kenapa tidak memberitahuku? Kita kan sahabat!" ungkap Dita dengan nada sedikit kecewa.Natasha menatap Dita dengan pandangan sayu, seolah ingin meminta maaf. "Maafkan aku, semua terjadi begitu saja," kata Natasha dengan suara lirih.Dita melirik Edgar yang duduk di sebelah Natasha. Keraguan dan kebingungan membayang di wajahnya. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum memutuskan untuk bertanya."Bagaimana kamu bisa mengenalnya? Kau... tidak terlilit hutang pa
"Penerus perusahaan? Apa maksud ucapan pria tua bangka ini," gumam Edgar dalam hati. Bintara terus memandang Edgar dengan teliti, seolah tengah menilai setiap jengkal dirinya. Dalam keheningan yang menggantung, suara ketukan pintu tiba-tiba memecahnya, mengundang pandangan penasaran dari semua yang hadir di ruangan itu."Dia datang," kata Bintara pada Abraham dengan senyum samar di wajahnya. Abraham mengangguk sekali, lalu matanya kembali terpaku pada pintu yang terbuka lebar di depan mereka.Julian, dengan langkah mantap melangkah ke arah pintu dan membukanya. "Kamu?!" pekiknya dengan suara tercekat, ia segera menutup mulutnya kembali, mencoba menutupi kekagetannya."Apa ini ruang meeting?" tanya Dita dengan bingung.Belum sempat Julian menjawab pertanyaan Dita, Bintara dengan cepat mengambil alih dari dalam ruangan. "Masuklah, kami sudah menunggumu," katanya dengan nada tegas.Dita menghamburkan pandangannya ke dalam ruangan, saat ia mendapati Bintara berada di dalam sana, ia melang
Edgar menepikan mobilnya di pinggir jalan dengan perasaan putus asa setelah berbicara dengan Barra. Hatinya terasa kosong, dan pikirannya dipenuhi pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Ia meremas kemudi mobil dengan erat, berusaha meredam emosi yang terus bergemuruh di dalam dirinya. "Apakah Natasha benar-benar membenciku?" gumamnya pelan, suaranya nyaris tertelan oleh keheningan mobil. Ia tidak bisa memahami mengapa semuanya berubah begitu cepat. Edgar menutup matanya sejenak, berharap menemukan kedamaian di tengah kekacauan pikirannya. Tapi, justru yang muncul adalah bayangan Natasha—wajahnya yang selalu tenang dan tatapannya yang dalam.Tiba-tiba, suara notifikasi pesan masuk memecah kesunyian. Edgar membuka matanya dan meraih ponselnya dengan lesu, mengira itu hanya pesan dari Julian yang mungkin ingin membahas urusan pekerjaan. Namun, saat melihat nama pengirim di layar, tubuh Edgar menegang. Nama yang tertera di sana bukan Julian, melainkan Barra.Dengan cepat, Edgar membuka pes
Keesokan harinya, Edgar duduk di ruang kerjanya dengan tatapan kosong. Penampilannya jauh dari rapi seperti biasanya– dasi yang seharusnya terikat sempurna kini menggantung longgar di lehernya, dan rambutnya yang sedikit acak-acakan memperlihatkan betapa berantakannya kondisi Edgar. Ia menatap kosong ke arah jendela ruang kerjanya, tapi yang dilihatnya bukanlah pemandangan di luar sana, melainkan kekacauan yang ada di dalam pikirannya sendiri. "Natasha.. Di mana kamu sekarang?" gumamnya pelan, hampir tidak terdengar di tengah keheningan ruangan.Edgar menggenggam kepalanya, jari-jarinya mencengkeram rambutnya yang sudah kusut. Ia tidak pernah merasa sekacau ini sebelumnya. "Kenapa semalam kamu tidak pulang?" Pertanyaan itu terus bergema di kepalanya. Edgar merasa seolah-olah ia telah kehilangan kendali atas hidupnya. "Aku harus menemukannya, harus... tapi di mana harus memulai? Bagaimana jika semuanya sudah terlambat?" Keraguan itu terus menghantuinya, membuatnya semakin tenggelam
Sesaat setelah mobil Edgar berhenti dengan keras di halaman mansionnya, ia keluar dengan tergesa-gesa. Hatinya berdebar kencang, seakan ada sesuatu yang mendesaknya untuk segera menemukan seseorang. Tanpa menunggu lebih lama, ia segera melangkah masuk ke dalam rumah."Natasha!"Nama itu terucap berkali-kali, berputar dalam pikirannya seperti mantra yang terus bergema. Dengan langkah cepat, Edgar menyusuri lorong-lorong yang panjang dan sepi, berharap menemukan istrinya di salah satu sudut rumah yang luas ini. Ketika ia tiba di ruang tamu, Bi Murni, pembantu setianya, muncul dari dapur, mendengar kegaduhan yang tak biasa dari majikannya."Tuan Edgar, ada apa?" tanya Bi Murni, sedikit khawatir melihat raut wajah pria itu yang tampak cemas.“Natasha di mana?” Edgar langsung memotong tanpa basa-basi, pandangannya tajam mencari jawaban dari wajah tua yang telah mengabdi di rumah itu selama bertahun-tahun.Bi Murni mengerutkan kening, sedikit bingung dengan pertanyaan yang tiba-tiba.“Sejak
"Tidak. Aku tidak ingin meneruskan pernikahan kontrak ini."Barra dan Julian saling pandang, terkejut mendengar jawaban yang tak mereka sangka-sangka. Baru beberapa menit yang lalu Edgar mengatakan jika ia bahagia dengan pernikahannya, namun, kini dia dengan memutuskan untuk mengakhirinya. Barra dan Julian benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Edgar.Edgar melanjutkan, "Aku ingin menjadikan pernikahanku bersama Natasha sebagai pernikahan yang sesungguhnya."Barra hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Dengan alis terangkat dan suara yang sarat dengan ironi, dia berkata, "Hampir saja aku memakimu, Edgar. Aku kira kau sudah kehilangan akal."Namun, alih-alih marah atau tersinggung, Edgar hanya terkekeh pelan, sebuah senyum samar menghiasi wajahnya. Ketenangan itu hanya berlangsung sejenak, sebelum Julian tiba-tiba terpaku, pandangannya terarah pada pintu di sudut ruangan, seolah melihat sesuatu yang tak seharusnya ada di sana.Edgar, yang menangkap perubaha
"Jika kamu memang benar-benar menyukainya, maka nikahilah Dita."Barra terdiam, matanya bergerak gelisah seolah mencari jawaban yang tepat. Dia menyukai Dita, itu jelas. Namun, setiap kali berpikir tentang pernikahan, bayangan masa kecilnya tentang pertengkaran tanpa henti orang tuanya menghantui pikirannya. Trauma itu masih begitu nyata, membuatnya ragu untuk melangkah lebih jauh."Edgar, ini tidak semudah yang kamu pikirkan," Barra akhirnya angkat bicara, suaranya terdengar goyah. "Aku... aku takut. Pernikahan bukan sekadar soal cinta. Aku melihat bagaimana orang tuaku berakhir, dan aku tidak ingin mengalami hal yang sama."Edgar mengangguk, memahami perasaan sahabatnya. "Aku mengerti ketakutanmu, Barra," Edgar menekankan, suaranya lebih lembut tapi tetap tegas. "Tapi kamu harus ingat, jika kamu tidak menikahi Dita, mungkin suatu hari nanti dia akan berubah pikiran dan menerima perjodohan yang diatur orang tuanya dengan pria lain."Barra menelan salivanya, perasaan tidak nyaman mul
Natasha mendadak terdiam, mengalihkan pandangannya sejenak dari perbincangan yang sedang berlangsung. Barra dan Julian, yang sedari tadi saling melirik, bisa merasakan ada sesuatu yang mengganggu pikiran Natasha. Edgar, yang duduk di sebelah Natasha, menangkap kegelisahan itu. Dengan lembut, ia meraih tangan Natasha dan mengusapnya, mencoba menenangkan istrinya yang terlihat mulai resah. "Sayang..." panggil Edgar dengan suara rendah, penuh perhatian.Natasha tersadar dari lamunannya dan menatap Edgar, lalu beralih pada Barra dan Julian yang masih memandanginya dengan penuh tanya. Senyum tipis terukir di balik cadarnya, meskipun matanya masih menyiratkan kekhawatiran. "Aku akan cari minum untuk kalian dulu," ucapnya tiba-tiba.Namun, sebelum Natasha sempat bangkit dari tempat duduknya, tangan Edgar sudah menahan lengannya. "Duduklah," katanya. "Biar aku minta mereka yang membelinya."Edgar melirik ke arah beberapa bodyguard yang tengah berjaga di sudut ruangan. Sinyal singkat dari Edg
"Terima kasih atas traktirannya," ucap Natasha dengan ceria, sambil menjilat es krim cone cokelat yang manis dengan perpaduan rasa vanila yang lembut. Ia menikmati setiap gigitan dengan senyum yang tak hilang dari wajahnya, seolah-olah es krim itu adalah hadiah paling istimewa yang pernah ia terima. "Aku hanya memberimu sebuah es krim, bukan sebongkah berlian. Kenapa kau terlihat begitu senang?" tanya Edgar, suaranya terdengar santai tapi penuh perhatian.Natasha berhenti sejenak dari menikmati es krimnya, lalu menoleh menatap Edgar. "Jelas aku senang. Ini pemberian dari suamiku."Mendengar jawaban Natasha, Edgar tertawa pelan, suaranya rendah dan penuh kehangatan. "Kamu tidak menawariku?" tanyanya, dengan nada sedikit menggoda, sambil menatap es krim di tangan Natasha dengan senyuman iseng."Kalau kamu mau, cobalah," ucap Natasha lembut. Ia menyodorkan es krim di tangannya ke arah Edgar.Namun, Edgar tidak langsung menerima tawaran itu. Alih-alih mengambil es krim dari tangan Natasha
“Menjauhlah dari Ayahku!” seru Edgar dengan nada tegas, suaranya memecah keheningan yang memenuhi ruangan. Sosoknya tiba-tiba muncul di ambang pintu, bayangannya membingkai tubuhnya yang tegap namun tampak tegang. Matanya tajam menatap Rio, seakan tak ingin pria itu mendekati figur yang terbaring di atas ranjang. Natasha yang sejak tadi berdiri di samping Rio, langsung menoleh begitu mendengar seruan itu. Dalam hatinya, ada kecemasan yang mulai merayap. Sementara itu, Rio, yang duduk di kursi roda, hanya menghela napas panjang. Pandangannya turun, seolah sudah bisa menebak arah pembicaraan yang akan terjadi. “Sudah kuduga akan seperti ini,” gumamnya, nada suaranya rendah namun cukup terdengar oleh Natasha.Rio hendak mendorong roda kursinya maju, ingin menghadapi Edgar yang kini menguasai ruangan dengan kehadirannya. Namun, sebelum dia bisa melakukannya, Natasha segera menahan kursi roda agar tetap di tempat. “Tetaplah di sini. Biar aku yang bicara padanya."Edgar, yang menyaksikan
"Astaga!" pekik Dita, terkejut saat melihat jam di pergelangan tangannya. Ia tidak menyangka waktu telah berlalu begitu cepat. Segera, ia meneguk sisa minumannya hingga tandas, meninggalkan rasa manis yang sedikit asam di lidahnya. Barra, yang duduk santai di depannya dengan cangkir kopi di tangan, mengangkat alis. "Kenapa?" tanyanya, suara tenangnya seolah tak terganggu oleh kegaduhan Dita yang tiba-tiba."Aku harus ke restoran sekarang," jawab Dita tergesa. Tangannya gemetar saat ia meraih tas di sampingnya, mencari dompet dengan jari-jarinya yang tak sabar. Ketika dompet itu akhirnya ditemukan, ia segera membuka bagian dalamnya, mencari beberapa lembar uang. Tanpa berpikir panjang, ia menarik uang itu dan menyerahkannya pada Barra. "Ini untuk kopiku," katanya, setengah menunduk agar uang itu lebih cepat berpindah tangan.Barra ikut berdiri saat Dita bersiap melangkah keluar. Dengan nada yang tenang namun terdengar sedikit bercanda, ia berkata, "Kau melukai harga diriku sebagai pri