Abraham berdiri tegak di hadapan Edgar, matanya tajam menatap putranya. Dengan suara yang tegas, dia kembali mendesak Edgar untuk menikah dengan Dita. "Kau harus menikah dengan Dita, Edgar! Ini demi kelancaran bisnis keluarga kita!" ucapnya dengan nada tinggi.Edgar menghela napas panjang, rasa frustrasi semakin menumpuk di dalam dadanya. "Aku sudah bilang berkali-kali, sampai kapan pun aku tidak akan menceraikan Natasha," ucap Edgar dengan tegas. Abraham mengernyitkan dahi, kesabarannya mulai habis. "Edgar, bisakah kamu berkorban sedikit demi kepentingan keluarga kita?!"Edgar mengepalkan tangannya, kesabarannya telah mencapai batas. "Kepentingan keluarga? Kenapa harus aku? Kenapa tidak Rio saja?Bukankah dia juga putra Papa?" Abraham mengepalkan tangannya, mencoba meredakan amarah yang mulai memuncak. "Kalian berdua adalah putra Papa, tetapi kau yang harus menggantikan posisi Papa nanti. Jadi, kau harus menuruti keputusan Papa ini, Edgar!"Edgar menatap ayahnya dengan pandangan yan
Edgar menatap pintu ruangan kerjanya sejenak, kemudian menghela napas panjang. Wajahnya yang suram mencerminkan beban pikiran yang menyesakkan dada. Dengan usaha keras, ia mengganti ekspresi suram dengan memasang senyuman di wajahnya. Meskipun senyuman itu terasa kaku, namun cukup meyakinkan untuk menutupi kegelisahan yang bergolak di dalam hatinya. "Aku tidak akan membiarkan siapa pun mengusik keluarga kecilku, meskipun itu ayahku sendiri," gumam Edgar dalam hati.Ceklek!Pintu terbuka, dan Edgar melangkah masuk ke dalam ruangan dengan langkah tegas. Ia langsung menuju Natasha yang tengah berkutat pada pekerjaannya. Meja kerjanya dipenuhi dokumen dan catatan, menunjukkan betapa sibuknya wanita itu. "Sayang," panggil Edgar dengan lembut.Natasha mengangkat pandangannya, senyum tipis menghiasi wajahnya ketika ia melihat Edgar. Namun, senyum itu segera menghilang ketika ia melihat sorot mata suaminya. Edgar mulai merangkulnya, memberikan pelukan hangat, tetapi Natasha bisa merasakan
Abraham terkejut, matanya terbelalak saat melihat putranya mengarahkan pistol ke kepalanya sendiri. Begitupun dengan Natasha. Sekujur tubuhnya gemetar tak terkendali. Air mata mulai menggenang dan ketakutan mencengkeram hatinya."Mas, jangan! Tolong, jangan lakukan ini!" pinta Natasha dengan suara parau.Edgar menatap istrinya, wajahnya tampak pucat pasi. "Maafkan aku, sayang. Maaf telah membawamu ke dalam keluarga yang penuh masalah ini."Mendengar perkataan putranya, amarah membara di dada Abraham. Namun, ia berusaha menahan emosinya, tak ingin Edgar terpancing untuk menarik pelatuk pistol yang dipegangnya.Natasha terus memohon, mencoba menyentuh tangan Edgar agar melepaskan pistol itu. Namun, Edgar tetap bersikeras, membuat detik-detik berikutnya terasa begitu mencekam. Saat Natasha tak juga berhasil membujuk Edgar, ia menatap Abraham. Matanya berkaca-kaca menahan pilu, memohon pengertian. "Pa.. tolong hentikan semua ini," pinta Natasha dengan suara bergetar, menahan tangis yang
Setelah Edgar menarik nafas panjang, ia mulai menceritakan semua yang terjadi padanya kepada Natasha. Wajah Natasha terlihat terkejut dan sedih mendengar pengakuan Edgar. "Kenapa kamu tidak menceritakan ini semua padaku dari awal?" tanya Natasha dengan mata berkaca-kaca. Edgar menundukkan kepalanya, "Aku tidak mau kamu terbebani dengan masalah yang ku hadapi, terlebih lagi masalah ini menyangkut Dita, sahabatmu. Aku takut jika kamu malah melepaskan ku, demi sahabatmu itu." Natasha menggeleng lembut dan memeluk erat suaminya, "Tidak mungkin. Aku tidak akan melakukan hal itu. Meskipun Dita sahabatku, aku tidak akan melepaskanmu sampai kapan pun." "Berjanjilah. Jangan pernah bersimpuh di depan siapa pun lagi," pinta Edgar dengan nada lembut namun tegas. Natasha mengangguk lembut. "Hmm. Dan kau juga, jangan pernah lagi mengarahkan pistol ke kepalamu sendiri. Kau tahu, betapa takutnya aku tadi?" sahut Natasha sambil merasakan detak jantungnya mulai kembali normal. Edgar tersenyu
"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan, cobalah beberapa saat lagi."Natasha membulatkan matanya lebar saat nomor Dita mendadak tidak aktif, padahal sebelumnya nomor sahabatnya bisa dihubungi, meskipun Dita tak menjawab panggilannya. Hatinya dipenuhi kecemasan yang semakin membesar. Sudah beberapa jam sejak Dita pergi dari pertemuan itu, Natasha belum juga berhasil menemukan keberadaan sahabatnya.Edgar, yang tengah fokus mengemudi, menatap Natasha sejenak saat istrinya tampak gelisah. "Kenapa, sayang? Apa sudah ada kabar dari Dita?" tanyanya."Nomor dia tidak aktif, Mas. Bagaimana ini?" jawab Natasha dengan nada putus asa."Coba kamu hubungi lagi," titah Edgar dengan lembut.Natasha mengangguk, ia pun kembali menghubungi Dita. Namun, hasilnya tetap sama. Pesan suara yang sama terus terdengar, membuat kecemasannya semakin membuncah.Edgar menatap Natasha, menunggu dengan sabar. "Bagaimana?" tanyanya.Natasha menggeleng lemah, ia menurunkan ponselnya dan
Edgar dan Natasha berdesir cepat melintasi koridor bandara, seraya menghindari orang yang berjalan santai dan koper yang tergelatak. Netra mereka terus mencari-cari, menyeruak ke segala penjuru mencari jejak Barra dan Dita yang telah mendahului mereka ke sini. "Barra! Di mana kalian?!" teriak Edgar melalui panggilan telepon yang terhubung dengan sahabatnya itu. Barra hanya tertawa di ujung telepon, "Apalagi? Bukankah sudah kubilang jangan ganggu kesenanganku?" Edgar mencengkeram teleponnya erat-erat, "Jika terjadi sesuatu pada Dita, kau harus bertanggung jawab, Barra! Aku tidak akan membiarkanmu lolos dari tanganku begitu saja!" Barra masih tertawa, seolah mengejek, "Tega sekali kau, Edgar. Padahal aku ini sahabatmu, lho." Nada suaranya berubah menjadi pura-pura sedih. Edgar mendengus kesal, "Sebenarnya, kau mau membawa Dita ke mana? Katakan sekarang juga, atau aku akan melaporkanmu ke polisi!" "R-a-h-a-s-i-a-," jawab Barra dengan santai. Tepat setelah ia mengatakan itu, Barra
Mendengar ucapan Barra, Dita sontak membelalakkan matanya. Jelas, dia terkejut bukan main. Sebelumnya, Barra mengajaknya ke Bali untuk melarikan diri dari perjodohan dengan Edgar. Namun, siapa sangka jika Barra justru mengatakan kepada ibunya bahwa dirinya adalah wanita yang pria itu pilih untuk dinikahi.Dita menggeleng panik. "B-Bukan--" Namun, ucapannya terhenti saat Barra tiba-tiba membekap mulutnya dengan tangan."Tenang, Dita. Aku butuh bantuanmu," bisik Barra pelan ke telinga Dita. Wajah Dita berubah menjadi bingung dan ragu, namun dia bisa melihat keseriusan di mata Barra.Dita, yang semula terkejut, mengubah ekspresi wajahnya menjadi lebih tenang dan mencoba mengendalikan napasnya. Barra melepaskan bekapan tangannya, lalu tersenyum tipis pada Dita seolah memberi kode untuk bersabar dan menunggu penjelasannya."Selamat sore, Tante. Aku, Dita," ucap Dita dengan suara yang gemetar dan hati berdebar kencang, berusaha tersenyum sehangat mungkin.Risha, ibu Barra, hanya menatap taj
Barra dan Dita berjalan beriringan menuju penginapan yang tak jauh dari rumah Barra. Suasana hening menyelimuti keduanya sepanjang langkah mereka. "Terima kasih telah membantuku," ucap Barra membuka percakapan. "Sama-sama," jawab Dita sambil tersenyum kecil.Barra menoleh ke arah Dita dan melanjutkan, "Kau pasti bingung, kan?"Dita mengangguk pelan, "Hmm.""Aku terpaksa menggunakan cara itu agar terbebas dari desakkan keluargaku," kata Barra sambil menatap ke depan. "Setidaknya, jika mereka tahu kamu calon istriku, mereka tidak akan mendesak ku lagi."Wajah Dita tampak sedikit lega, namun masih ada rasa bingung yang terpancar dari sorot matanya. Ia menghela napas sejenak, mencoba meresapi dan memahami situasi yang baru saja ia alami. "Aku penasaran, kenapa kamu membawaku ke Bali," tanya Dita tiba-tiba, rasa penasarannya tidak bisa dibendung lagi.Barra menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Dita. "Sebenarnya.. Selain menjadikanmu sebagai calon istri pura-pura ku, aku s
Edgar menepikan mobilnya di pinggir jalan dengan perasaan putus asa setelah berbicara dengan Barra. Hatinya terasa kosong, dan pikirannya dipenuhi pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Ia meremas kemudi mobil dengan erat, berusaha meredam emosi yang terus bergemuruh di dalam dirinya. "Apakah Natasha benar-benar membenciku?" gumamnya pelan, suaranya nyaris tertelan oleh keheningan mobil. Ia tidak bisa memahami mengapa semuanya berubah begitu cepat. Edgar menutup matanya sejenak, berharap menemukan kedamaian di tengah kekacauan pikirannya. Tapi, justru yang muncul adalah bayangan Natasha—wajahnya yang selalu tenang dan tatapannya yang dalam.Tiba-tiba, suara notifikasi pesan masuk memecah kesunyian. Edgar membuka matanya dan meraih ponselnya dengan lesu, mengira itu hanya pesan dari Julian yang mungkin ingin membahas urusan pekerjaan. Namun, saat melihat nama pengirim di layar, tubuh Edgar menegang. Nama yang tertera di sana bukan Julian, melainkan Barra.Dengan cepat, Edgar membuka pes
Keesokan harinya, Edgar duduk di ruang kerjanya dengan tatapan kosong. Penampilannya jauh dari rapi seperti biasanya– dasi yang seharusnya terikat sempurna kini menggantung longgar di lehernya, dan rambutnya yang sedikit acak-acakan memperlihatkan betapa berantakannya kondisi Edgar. Ia menatap kosong ke arah jendela ruang kerjanya, tapi yang dilihatnya bukanlah pemandangan di luar sana, melainkan kekacauan yang ada di dalam pikirannya sendiri. "Natasha.. Di mana kamu sekarang?" gumamnya pelan, hampir tidak terdengar di tengah keheningan ruangan.Edgar menggenggam kepalanya, jari-jarinya mencengkeram rambutnya yang sudah kusut. Ia tidak pernah merasa sekacau ini sebelumnya. "Kenapa semalam kamu tidak pulang?" Pertanyaan itu terus bergema di kepalanya. Edgar merasa seolah-olah ia telah kehilangan kendali atas hidupnya. "Aku harus menemukannya, harus... tapi di mana harus memulai? Bagaimana jika semuanya sudah terlambat?" Keraguan itu terus menghantuinya, membuatnya semakin tenggelam
Sesaat setelah mobil Edgar berhenti dengan keras di halaman mansionnya, ia keluar dengan tergesa-gesa. Hatinya berdebar kencang, seakan ada sesuatu yang mendesaknya untuk segera menemukan seseorang. Tanpa menunggu lebih lama, ia segera melangkah masuk ke dalam rumah."Natasha!"Nama itu terucap berkali-kali, berputar dalam pikirannya seperti mantra yang terus bergema. Dengan langkah cepat, Edgar menyusuri lorong-lorong yang panjang dan sepi, berharap menemukan istrinya di salah satu sudut rumah yang luas ini. Ketika ia tiba di ruang tamu, Bi Murni, pembantu setianya, muncul dari dapur, mendengar kegaduhan yang tak biasa dari majikannya."Tuan Edgar, ada apa?" tanya Bi Murni, sedikit khawatir melihat raut wajah pria itu yang tampak cemas.“Natasha di mana?” Edgar langsung memotong tanpa basa-basi, pandangannya tajam mencari jawaban dari wajah tua yang telah mengabdi di rumah itu selama bertahun-tahun.Bi Murni mengerutkan kening, sedikit bingung dengan pertanyaan yang tiba-tiba.“Sejak
"Tidak. Aku tidak ingin meneruskan pernikahan kontrak ini."Barra dan Julian saling pandang, terkejut mendengar jawaban yang tak mereka sangka-sangka. Baru beberapa menit yang lalu Edgar mengatakan jika ia bahagia dengan pernikahannya, namun, kini dia dengan memutuskan untuk mengakhirinya. Barra dan Julian benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Edgar.Edgar melanjutkan, "Aku ingin menjadikan pernikahanku bersama Natasha sebagai pernikahan yang sesungguhnya."Barra hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Dengan alis terangkat dan suara yang sarat dengan ironi, dia berkata, "Hampir saja aku memakimu, Edgar. Aku kira kau sudah kehilangan akal."Namun, alih-alih marah atau tersinggung, Edgar hanya terkekeh pelan, sebuah senyum samar menghiasi wajahnya. Ketenangan itu hanya berlangsung sejenak, sebelum Julian tiba-tiba terpaku, pandangannya terarah pada pintu di sudut ruangan, seolah melihat sesuatu yang tak seharusnya ada di sana.Edgar, yang menangkap perubaha
"Jika kamu memang benar-benar menyukainya, maka nikahilah Dita."Barra terdiam, matanya bergerak gelisah seolah mencari jawaban yang tepat. Dia menyukai Dita, itu jelas. Namun, setiap kali berpikir tentang pernikahan, bayangan masa kecilnya tentang pertengkaran tanpa henti orang tuanya menghantui pikirannya. Trauma itu masih begitu nyata, membuatnya ragu untuk melangkah lebih jauh."Edgar, ini tidak semudah yang kamu pikirkan," Barra akhirnya angkat bicara, suaranya terdengar goyah. "Aku... aku takut. Pernikahan bukan sekadar soal cinta. Aku melihat bagaimana orang tuaku berakhir, dan aku tidak ingin mengalami hal yang sama."Edgar mengangguk, memahami perasaan sahabatnya. "Aku mengerti ketakutanmu, Barra," Edgar menekankan, suaranya lebih lembut tapi tetap tegas. "Tapi kamu harus ingat, jika kamu tidak menikahi Dita, mungkin suatu hari nanti dia akan berubah pikiran dan menerima perjodohan yang diatur orang tuanya dengan pria lain."Barra menelan salivanya, perasaan tidak nyaman mul
Natasha mendadak terdiam, mengalihkan pandangannya sejenak dari perbincangan yang sedang berlangsung. Barra dan Julian, yang sedari tadi saling melirik, bisa merasakan ada sesuatu yang mengganggu pikiran Natasha. Edgar, yang duduk di sebelah Natasha, menangkap kegelisahan itu. Dengan lembut, ia meraih tangan Natasha dan mengusapnya, mencoba menenangkan istrinya yang terlihat mulai resah. "Sayang..." panggil Edgar dengan suara rendah, penuh perhatian.Natasha tersadar dari lamunannya dan menatap Edgar, lalu beralih pada Barra dan Julian yang masih memandanginya dengan penuh tanya. Senyum tipis terukir di balik cadarnya, meskipun matanya masih menyiratkan kekhawatiran. "Aku akan cari minum untuk kalian dulu," ucapnya tiba-tiba.Namun, sebelum Natasha sempat bangkit dari tempat duduknya, tangan Edgar sudah menahan lengannya. "Duduklah," katanya. "Biar aku minta mereka yang membelinya."Edgar melirik ke arah beberapa bodyguard yang tengah berjaga di sudut ruangan. Sinyal singkat dari Edg
"Terima kasih atas traktirannya," ucap Natasha dengan ceria, sambil menjilat es krim cone cokelat yang manis dengan perpaduan rasa vanila yang lembut. Ia menikmati setiap gigitan dengan senyum yang tak hilang dari wajahnya, seolah-olah es krim itu adalah hadiah paling istimewa yang pernah ia terima. "Aku hanya memberimu sebuah es krim, bukan sebongkah berlian. Kenapa kau terlihat begitu senang?" tanya Edgar, suaranya terdengar santai tapi penuh perhatian.Natasha berhenti sejenak dari menikmati es krimnya, lalu menoleh menatap Edgar. "Jelas aku senang. Ini pemberian dari suamiku."Mendengar jawaban Natasha, Edgar tertawa pelan, suaranya rendah dan penuh kehangatan. "Kamu tidak menawariku?" tanyanya, dengan nada sedikit menggoda, sambil menatap es krim di tangan Natasha dengan senyuman iseng."Kalau kamu mau, cobalah," ucap Natasha lembut. Ia menyodorkan es krim di tangannya ke arah Edgar.Namun, Edgar tidak langsung menerima tawaran itu. Alih-alih mengambil es krim dari tangan Natasha
“Menjauhlah dari Ayahku!” seru Edgar dengan nada tegas, suaranya memecah keheningan yang memenuhi ruangan. Sosoknya tiba-tiba muncul di ambang pintu, bayangannya membingkai tubuhnya yang tegap namun tampak tegang. Matanya tajam menatap Rio, seakan tak ingin pria itu mendekati figur yang terbaring di atas ranjang. Natasha yang sejak tadi berdiri di samping Rio, langsung menoleh begitu mendengar seruan itu. Dalam hatinya, ada kecemasan yang mulai merayap. Sementara itu, Rio, yang duduk di kursi roda, hanya menghela napas panjang. Pandangannya turun, seolah sudah bisa menebak arah pembicaraan yang akan terjadi. “Sudah kuduga akan seperti ini,” gumamnya, nada suaranya rendah namun cukup terdengar oleh Natasha.Rio hendak mendorong roda kursinya maju, ingin menghadapi Edgar yang kini menguasai ruangan dengan kehadirannya. Namun, sebelum dia bisa melakukannya, Natasha segera menahan kursi roda agar tetap di tempat. “Tetaplah di sini. Biar aku yang bicara padanya."Edgar, yang menyaksikan
"Astaga!" pekik Dita, terkejut saat melihat jam di pergelangan tangannya. Ia tidak menyangka waktu telah berlalu begitu cepat. Segera, ia meneguk sisa minumannya hingga tandas, meninggalkan rasa manis yang sedikit asam di lidahnya. Barra, yang duduk santai di depannya dengan cangkir kopi di tangan, mengangkat alis. "Kenapa?" tanyanya, suara tenangnya seolah tak terganggu oleh kegaduhan Dita yang tiba-tiba."Aku harus ke restoran sekarang," jawab Dita tergesa. Tangannya gemetar saat ia meraih tas di sampingnya, mencari dompet dengan jari-jarinya yang tak sabar. Ketika dompet itu akhirnya ditemukan, ia segera membuka bagian dalamnya, mencari beberapa lembar uang. Tanpa berpikir panjang, ia menarik uang itu dan menyerahkannya pada Barra. "Ini untuk kopiku," katanya, setengah menunduk agar uang itu lebih cepat berpindah tangan.Barra ikut berdiri saat Dita bersiap melangkah keluar. Dengan nada yang tenang namun terdengar sedikit bercanda, ia berkata, "Kau melukai harga diriku sebagai pri