Beranda / Romansa / (BUKAN) PENGANTIN SEWAAN / BAB 68. Senjata Makan Tuan

Share

BAB 68. Senjata Makan Tuan

Penulis: Sarana
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

***

"Kamu yang melakukannya, kan?" tanya Barra tiba-tiba seraya menggoyang-goyangkan gelas berisi wine di tangannya. Barra memandangi Bianca dengan tatapan tajam, seakan-akan ingin menembus dinding kebohongan yang mungkin saja menyelubungi wanita di depannya itu.

"A-Apa maksudmu?" tanya Bianca terbata-bata.

Gluk!

Barra meneguk wine miliknya dengan sekali tegukan, sebelum berbicara. "Edgar. Kau yang menaruh obat tidur di minumannya, kan?" tembak Barra, hingga membuat Bianca panik seketika. Kalimat itu seakan petir yang menyambar tanpa aba-aba, menghancurkan ketenangan yang semu. Wajah Bianca semakin pucat, seolah darahnya berhenti mengalir.

"Ternyata kamu belum berubah," tambah Barra seraya tersenyum kecut. Ia mengamati setiap gerak-gerik Bianca, mencari tanda-tanda kebohongan.

"A-Aku benar-benar tidak mengerti dengan ucapanmu," sangkal Bianca dengan wajah pucat pasi. Kata-katanya terdengar hampa, tanpa keyakinan. Matanya menghindari tatapan Barra, menelusuri sudut-sudut ruangan seola
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • (BUKAN) PENGANTIN SEWAAN   BAB 69. Kecewa

    Setelah Julian sampai di hotel Edgar, ia berlari menyusuri setiap tempat dan lorong seraya mengedarkan pandangannya ke segala arah mencari keberadaan Bianca. Jantungnya berdetak kencang, penuh kekhawatiran akan kondisi sahabatnya. Dia terus berlari, melewati pintu-pintu kamar dan mengintip ke dalam lorong yang lebih gelap, berharap bisa menemukan Bianca sebelum sesuatu yang buruk terjadi.Tiba-tiba, pandangan Julian tanpa sengaja menangkap Bianca yang tengah duduk di lantai dengan mata yang tertutup rapat. Tubuhnya terlihat lemas dan tak berdaya, seperti seseorang yang sedang berjuang melawan kantuk yang tak tertahankan. Ia buru-buru berlari dan mendekati wanita itu."Bianca!" seru Julian dengan nada cemas, berlutut di sampingnya. Ia mengguncang tubuh Bianca dengan lembut, mencoba membangunkannya. "Bianca, bangun! Ini aku, Julian!"Bianca membuka matanya sedikit, tatapannya kabur dan bingung. "Julian..," gumamnya dengan suara yang hampir tidak terdengar."Apa yang terjadi?" tanya Juli

  • (BUKAN) PENGANTIN SEWAAN   BAB 70. Surat Pengunduran Diri

    Julian berdiri tegap di hadapan Bianca, sorot matanya penuh tuntutan. Suasana di ruangan itu menjadi tegang, seakan-akan udara di sekitarnya menebal, menekan setiap napas yang diambil. Bianca bisa merasakan tatapan tajam Julian seolah-olah menembus jiwanya, mencari kebenaran yang disembunyikannya. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya, dan tangannya bergetar halus saat ia mencoba untuk tetap tenang."Bianca, aku ingin mendengar penjelasanmu. Kenapa kau lakukan ini?" suara Julian sedikit melembut, tetapi masih sarat dengan rasa kecewa dan marah.Bianca akhirnya mengumpulkan keberanian untuk berbicara, suaranya bergetar pelan. "Aku... aku hanya ingin mempercepat semuanya."Julian menggelengkan kepala, tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Mempercepat? Maksudmu.. dengan cara meniduri Edgar? tanya Julian dengan dingin.Bianca mengangkat alisnya, seolah-olah tidak terpengaruh oleh kemarahan Julian. "Apakah itu terdengar buruk bagimu? Kamu bilang ingin membantu, kan? Tapi.. kamu

  • (BUKAN) PENGANTIN SEWAAN   BAB 71.

    "Kamu yakin ingin mengundurkan diri?" tanya Barra mengejar langkah Julian yang baru saja keluar dari ruangan Edgar. "Hmm," jawab Julian seraya mengangguk mantap. Matanya menatap lurus ke depan, namun Barra bisa melihat ada keraguan yang samar di balik keyakinan sahabatnya itu. Kerutan di dahi Julian mengisyaratkan bahwa keputusan ini bukanlah sesuatu yang mudah.Barra mengangguk mengerti. Meskipun ia merasa penasaran dengan alasan Julian, namun, Barra memutuskan untuk tidak bertanya sekarang. Bagaimanapun, persahabatan mereka telah terjalin selama bertahun-tahun, dan Barra tahu kapan harus memberi ruang. Ia memilih untuk tetap berjalan di samping Julian, memberikan dukungan tanpa kata."Ayo kita ke kantin, aku akan mentraktirmu," tawar Barra, mencoba meringankan suasana. Julian tersenyum tipis dan mengangguk setuju. Sepanjang langkah keduanya menuju kantin, Barra berusaha membangun obrolan dengan Julian. "Apa kamu tahu jika Edgar sudah menikah?" tanya Barra, mencoba membuat percakap

  • (BUKAN) PENGANTIN SEWAAN   BAB 72. Pesan yang Terabaikan

    "Dokter! Tolong, istri saya pingsan!" teriak Edgar dengan suara lantang. Beberapa perawat segera datang dan membawa Natasha ke dalam ruang penanganan. Edgar hanya bisa menunggu dengan cemas di ruang tunggu, berjalan mondar-mandir dengan pikiran yang tak menentu.Setelah beberapa waktu yang terasa seperti seabad, seorang dokter keluar dari ruang unit gawat darurat. Edgar segera menghampiri, wajahnya penuh dengan kekhawatiran."Dok, bagaimana keadaan istri saya? Kenapa dia bisa tiba-tiba pingsan?" tanya Edgar.Dokter, dengan wajah tenang dan penuh pengertian, menjawab, "Dilihat dari tensi darah Nona Natasha yang rendah, sepertinya istri Anda hanya kelelahan. Kami tidak menemukan tanda-tanda masalah serius lainnya. Saya menyarankan agar Nona Natasha makan dengan teratur dan istirahat yang cukup."Mendengar penjelasan itu, Edgar merasa sedikit lega, meskipun kekhawatiran masih membayangi pikirannya. “Terima kasih, Dok," ucapnya.Dokter itu mengangguk lembut dan mempersilakan Edgar untuk me

  • (BUKAN) PENGANTIN SEWAAN   BAB 73. Lorong Rumah Sakit

    Edgar terus menyusuri sepanjang lorong rumah sakit, mencari keberadaan Natasha dengan wajah cemas. Seharusnya, Natasha masih ada di sekitar sana, melihat jalannya yang masih gontai. Edgar melihat sekeliling dengan cepat, matanya penuh harapan namun juga ketakutan. Setiap langkahnya dipercepat oleh desakan di dalam dadanya. Dia tahu Natasha masih dalam kondisi lemah, dan tidak seharusnya ia membiarkan Natasha pergi."Permisi. Apa Anda melihat wanita bercadar yang berjalan ke arah sini?" tanya Edgar pada seorang wanita paruh baya yang berpapasan dengannya. Wanita itu berhenti sejenak, memandangi Edgar dengan raut wajah iba.Wanita tersebut menggelengkan kepalanya. "Saya tidak melihatnya," jawabnya."Terima kasih," ucap Edgar, kemudian kembali melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti. Dia merasa sedikit putus asa, tetapi tidak mau berhenti mencarinya. Setelah memastikan Edgar telah menjauh dari sana, wanita paruh baya yang sebelumnya ditanya oleh Edgar buru-buru masuk ke dalam toile

  • (BUKAN) PENGANTIN SEWAAN   BAB 74. Sahabat atau Pengkhianat?

    Seketika senyuman mengembang di wajah Edgar saat ia melihat seorang wanita yang sangat mirip dengan Natasha tengah berdiri tidak jauh darinya. Ia melangkah mendekat ke arah wanita tersebut dan memanggilnya dengan suara penuh harap, "Natasha..." Namun, saat wanita itu menoleh ke belakang, senyuman Edgar seketika memudar. Wanita itu menatapnya dengan bingung dan berkata, "Maaf, Anda salah orang," sebelum melangkah pergi dari hadapan Edgar. Dengan tatapan kosong, Edgar menyandarkan tubuhnya pada dinding. Rasanya seperti seluruh dunia berputar di sekelilingnya. Ia merasa tidak berguna saat belum juga berhasil menemukan Natasha. Tiba-tiba, ponsel Edgar bergetar. Dengan malas, ia meraih ponselnya dari saku jasnya. Ia melihat layar ponsel dan melihat nama salah satu asisten lainnya tertera di sana. Dengan sedikit enggan, ia menjawab panggilan tersebut. "Tuan Edgar sedang di mana? Ada klien dari Jepang yang harus Tuan temui," suara asisten terdengar tegas di seberang sana. Edgar menghela

  • (BUKAN) PENGANTIN SEWAAN   BAB 75. Penyebab Utama

    Tatapan tajam Edgar menusuk Barra, mencoba mencari alasan di balik kata-kata yang baru saja diucapkannya. Barra, dengan senyum kecil yang menunjukkan ketenangannya, memandang balik dengan penuh keyakinan."Julian sudah menceritakan semuanya padaku," ucap Barra dengan lembut, berusaha menenangkan Edgar yang tampak terseret dalam emosinya sendiri.Namun, penjelasan Barra tidak mempengaruhi Edgar sedikit pun. Dengan sikap acuh tak acuh, ia berbalik dan melangkah pergi dari sana. Barra mengejar langkah Edgar dengan cepat."Percayalah, Julian tidak benar-benar mendekati istrimu," ucap Barra lagi.Tangan Edgar mengepal kuat, dan tanpa menoleh ke belakang, ia menyahut dengan nada sinis, "Hati manusia siapa yang tahu."Barra menarik napas dalam, berusaha memahami perasaan Edgar. Dengan tenang, ia melanjutkan, "Bianca. Julian melakukan itu semua karenanya."Edgar berhenti sejenak, napasnya terdengar berat. Dia memalingkan wajah ke arah Barra, tatapannya penuh dengan pertanyaan. "Apa maksudmu?"

  • (BUKAN) PENGANTIN SEWAAN   BAB 76. Di Antara Tuduhan dan Penyesalan

    Setelah mendengar penjelasan dari satpam, Edgar segera bergegas kembali ke mobilnya. Dengan cepat, ia melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, hati dan pikirannya dipenuhi oleh kekhawatiran dan rasa bersalah atas semua kesalahpahaman yang terjadi."Kau harus membayar semuanya, Bianca," gumam Edgar dengan geram. Genggaman tangannya pada setir mobil semakin erat, mencerminkan kemarahannya yang mendidih. Wajah Bianca yang terus terngiang dalam pikirannya, menyulut amarah yang semakin membara. Di tengah perjalanan, Edgar mencoba menghubungi Natasha melalui ponselnya, berharap ia akan mengangkat panggilan tersebut. Namun, tak ada jawaban. Hal ini semakin menambah kegelisahan dalam diri Edgar. "Di mana kamu, Natasha?" desah Edgar dengan frustrasi, matanya terus fokus pada jalan sambil sesekali melirik ponsel yang berada di dashboard. Sudah beberapa kali ia mencoba menghubungi Natasha, namun tak ada jawaban. Membuat kekhawatirannya semakin mendalam."Mungkinkah dia di sana?" tanya Edgar

Bab terbaru

  • (BUKAN) PENGANTIN SEWAAN   BAB 148. Menghilang di Jalan

    Edgar menepikan mobilnya di pinggir jalan dengan perasaan putus asa setelah berbicara dengan Barra. Hatinya terasa kosong, dan pikirannya dipenuhi pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Ia meremas kemudi mobil dengan erat, berusaha meredam emosi yang terus bergemuruh di dalam dirinya. "Apakah Natasha benar-benar membenciku?" gumamnya pelan, suaranya nyaris tertelan oleh keheningan mobil. Ia tidak bisa memahami mengapa semuanya berubah begitu cepat. Edgar menutup matanya sejenak, berharap menemukan kedamaian di tengah kekacauan pikirannya. Tapi, justru yang muncul adalah bayangan Natasha—wajahnya yang selalu tenang dan tatapannya yang dalam.Tiba-tiba, suara notifikasi pesan masuk memecah kesunyian. Edgar membuka matanya dan meraih ponselnya dengan lesu, mengira itu hanya pesan dari Julian yang mungkin ingin membahas urusan pekerjaan. Namun, saat melihat nama pengirim di layar, tubuh Edgar menegang. Nama yang tertera di sana bukan Julian, melainkan Barra.Dengan cepat, Edgar membuka pes

  • (BUKAN) PENGANTIN SEWAAN   BAB 147. Gugatan Cerai

    Keesokan harinya, Edgar duduk di ruang kerjanya dengan tatapan kosong. Penampilannya jauh dari rapi seperti biasanya– dasi yang seharusnya terikat sempurna kini menggantung longgar di lehernya, dan rambutnya yang sedikit acak-acakan memperlihatkan betapa berantakannya kondisi Edgar. Ia menatap kosong ke arah jendela ruang kerjanya, tapi yang dilihatnya bukanlah pemandangan di luar sana, melainkan kekacauan yang ada di dalam pikirannya sendiri. "Natasha.. Di mana kamu sekarang?" gumamnya pelan, hampir tidak terdengar di tengah keheningan ruangan.Edgar menggenggam kepalanya, jari-jarinya mencengkeram rambutnya yang sudah kusut. Ia tidak pernah merasa sekacau ini sebelumnya. "Kenapa semalam kamu tidak pulang?" Pertanyaan itu terus bergema di kepalanya. Edgar merasa seolah-olah ia telah kehilangan kendali atas hidupnya. "Aku harus menemukannya, harus... tapi di mana harus memulai? Bagaimana jika semuanya sudah terlambat?" Keraguan itu terus menghantuinya, membuatnya semakin tenggelam

  • (BUKAN) PENGANTIN SEWAAN   BAB 146. Keputusan Terberat

    Sesaat setelah mobil Edgar berhenti dengan keras di halaman mansionnya, ia keluar dengan tergesa-gesa. Hatinya berdebar kencang, seakan ada sesuatu yang mendesaknya untuk segera menemukan seseorang. Tanpa menunggu lebih lama, ia segera melangkah masuk ke dalam rumah."Natasha!"Nama itu terucap berkali-kali, berputar dalam pikirannya seperti mantra yang terus bergema. Dengan langkah cepat, Edgar menyusuri lorong-lorong yang panjang dan sepi, berharap menemukan istrinya di salah satu sudut rumah yang luas ini. Ketika ia tiba di ruang tamu, Bi Murni, pembantu setianya, muncul dari dapur, mendengar kegaduhan yang tak biasa dari majikannya."Tuan Edgar, ada apa?" tanya Bi Murni, sedikit khawatir melihat raut wajah pria itu yang tampak cemas.“Natasha di mana?” Edgar langsung memotong tanpa basa-basi, pandangannya tajam mencari jawaban dari wajah tua yang telah mengabdi di rumah itu selama bertahun-tahun.Bi Murni mengerutkan kening, sedikit bingung dengan pertanyaan yang tiba-tiba.“Sejak

  • (BUKAN) PENGANTIN SEWAAN   BAB 145. Tertipu

    "Tidak. Aku tidak ingin meneruskan pernikahan kontrak ini."Barra dan Julian saling pandang, terkejut mendengar jawaban yang tak mereka sangka-sangka. Baru beberapa menit yang lalu Edgar mengatakan jika ia bahagia dengan pernikahannya, namun, kini dia dengan memutuskan untuk mengakhirinya. Barra dan Julian benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Edgar.Edgar melanjutkan, "Aku ingin menjadikan pernikahanku bersama Natasha sebagai pernikahan yang sesungguhnya."Barra hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Dengan alis terangkat dan suara yang sarat dengan ironi, dia berkata, "Hampir saja aku memakimu, Edgar. Aku kira kau sudah kehilangan akal."Namun, alih-alih marah atau tersinggung, Edgar hanya terkekeh pelan, sebuah senyum samar menghiasi wajahnya. Ketenangan itu hanya berlangsung sejenak, sebelum Julian tiba-tiba terpaku, pandangannya terarah pada pintu di sudut ruangan, seolah melihat sesuatu yang tak seharusnya ada di sana.Edgar, yang menangkap perubaha

  • (BUKAN) PENGANTIN SEWAAN   BAB 144. Palsu

    "Jika kamu memang benar-benar menyukainya, maka nikahilah Dita."Barra terdiam, matanya bergerak gelisah seolah mencari jawaban yang tepat. Dia menyukai Dita, itu jelas. Namun, setiap kali berpikir tentang pernikahan, bayangan masa kecilnya tentang pertengkaran tanpa henti orang tuanya menghantui pikirannya. Trauma itu masih begitu nyata, membuatnya ragu untuk melangkah lebih jauh."Edgar, ini tidak semudah yang kamu pikirkan," Barra akhirnya angkat bicara, suaranya terdengar goyah. "Aku... aku takut. Pernikahan bukan sekadar soal cinta. Aku melihat bagaimana orang tuaku berakhir, dan aku tidak ingin mengalami hal yang sama."Edgar mengangguk, memahami perasaan sahabatnya. "Aku mengerti ketakutanmu, Barra," Edgar menekankan, suaranya lebih lembut tapi tetap tegas. "Tapi kamu harus ingat, jika kamu tidak menikahi Dita, mungkin suatu hari nanti dia akan berubah pikiran dan menerima perjodohan yang diatur orang tuanya dengan pria lain."Barra menelan salivanya, perasaan tidak nyaman mul

  • (BUKAN) PENGANTIN SEWAAN   BAB 143. Melawan Trauma

    Natasha mendadak terdiam, mengalihkan pandangannya sejenak dari perbincangan yang sedang berlangsung. Barra dan Julian, yang sedari tadi saling melirik, bisa merasakan ada sesuatu yang mengganggu pikiran Natasha. Edgar, yang duduk di sebelah Natasha, menangkap kegelisahan itu. Dengan lembut, ia meraih tangan Natasha dan mengusapnya, mencoba menenangkan istrinya yang terlihat mulai resah. "Sayang..." panggil Edgar dengan suara rendah, penuh perhatian.Natasha tersadar dari lamunannya dan menatap Edgar, lalu beralih pada Barra dan Julian yang masih memandanginya dengan penuh tanya. Senyum tipis terukir di balik cadarnya, meskipun matanya masih menyiratkan kekhawatiran. "Aku akan cari minum untuk kalian dulu," ucapnya tiba-tiba.Namun, sebelum Natasha sempat bangkit dari tempat duduknya, tangan Edgar sudah menahan lengannya. "Duduklah," katanya. "Biar aku minta mereka yang membelinya."Edgar melirik ke arah beberapa bodyguard yang tengah berjaga di sudut ruangan. Sinyal singkat dari Edg

  • (BUKAN) PENGANTIN SEWAAN   BAB 142. Sentuhan Manis

    "Terima kasih atas traktirannya," ucap Natasha dengan ceria, sambil menjilat es krim cone cokelat yang manis dengan perpaduan rasa vanila yang lembut. Ia menikmati setiap gigitan dengan senyum yang tak hilang dari wajahnya, seolah-olah es krim itu adalah hadiah paling istimewa yang pernah ia terima. "Aku hanya memberimu sebuah es krim, bukan sebongkah berlian. Kenapa kau terlihat begitu senang?" tanya Edgar, suaranya terdengar santai tapi penuh perhatian.Natasha berhenti sejenak dari menikmati es krimnya, lalu menoleh menatap Edgar. "Jelas aku senang. Ini pemberian dari suamiku."Mendengar jawaban Natasha, Edgar tertawa pelan, suaranya rendah dan penuh kehangatan. "Kamu tidak menawariku?" tanyanya, dengan nada sedikit menggoda, sambil menatap es krim di tangan Natasha dengan senyuman iseng."Kalau kamu mau, cobalah," ucap Natasha lembut. Ia menyodorkan es krim di tangannya ke arah Edgar.Namun, Edgar tidak langsung menerima tawaran itu. Alih-alih mengambil es krim dari tangan Natasha

  • (BUKAN) PENGANTIN SEWAAN   BAB 141. Jarak

    “Menjauhlah dari Ayahku!” seru Edgar dengan nada tegas, suaranya memecah keheningan yang memenuhi ruangan. Sosoknya tiba-tiba muncul di ambang pintu, bayangannya membingkai tubuhnya yang tegap namun tampak tegang. Matanya tajam menatap Rio, seakan tak ingin pria itu mendekati figur yang terbaring di atas ranjang. Natasha yang sejak tadi berdiri di samping Rio, langsung menoleh begitu mendengar seruan itu. Dalam hatinya, ada kecemasan yang mulai merayap. Sementara itu, Rio, yang duduk di kursi roda, hanya menghela napas panjang. Pandangannya turun, seolah sudah bisa menebak arah pembicaraan yang akan terjadi. “Sudah kuduga akan seperti ini,” gumamnya, nada suaranya rendah namun cukup terdengar oleh Natasha.Rio hendak mendorong roda kursinya maju, ingin menghadapi Edgar yang kini menguasai ruangan dengan kehadirannya. Namun, sebelum dia bisa melakukannya, Natasha segera menahan kursi roda agar tetap di tempat. “Tetaplah di sini. Biar aku yang bicara padanya."Edgar, yang menyaksikan

  • (BUKAN) PENGANTIN SEWAAN   BAB 140.

    "Astaga!" pekik Dita, terkejut saat melihat jam di pergelangan tangannya. Ia tidak menyangka waktu telah berlalu begitu cepat. Segera, ia meneguk sisa minumannya hingga tandas, meninggalkan rasa manis yang sedikit asam di lidahnya. Barra, yang duduk santai di depannya dengan cangkir kopi di tangan, mengangkat alis. "Kenapa?" tanyanya, suara tenangnya seolah tak terganggu oleh kegaduhan Dita yang tiba-tiba."Aku harus ke restoran sekarang," jawab Dita tergesa. Tangannya gemetar saat ia meraih tas di sampingnya, mencari dompet dengan jari-jarinya yang tak sabar. Ketika dompet itu akhirnya ditemukan, ia segera membuka bagian dalamnya, mencari beberapa lembar uang. Tanpa berpikir panjang, ia menarik uang itu dan menyerahkannya pada Barra. "Ini untuk kopiku," katanya, setengah menunduk agar uang itu lebih cepat berpindah tangan.Barra ikut berdiri saat Dita bersiap melangkah keluar. Dengan nada yang tenang namun terdengar sedikit bercanda, ia berkata, "Kau melukai harga diriku sebagai pri

DMCA.com Protection Status