Mendengar ancaman Rio, Edgar menoleh ke arah kanan dan kiri dengan waspada. Namun, sepertinya tak ada siapa-siapa di sekitarnya. Rio, dengan santai melangkah mendekati Edgar, seakan melupakan pistol yang tengah Edgar arahkan padanya. Senyum sinis terukir di wajah Rio, menunjukkan betapa yakinnya dia bahwa Edgar tak akan berani menembak."Jangan mendekat. Atau aku akan menembakmu!" ancam Edgar dengan tegas. Namun, Rio seakan tak takut dengan ancaman itu. "Jika kamu tidak ingin Natasha terluka, maka serahkan dia padaku," ucapnya dengan tenang, sambil mengepalkan tangannya di saku celananya."Dia istriku! Apa kau gila?!" teriak Edgar, merasa kehilangan kendali atas situasi yang semakin memburuk. Wajahnya memerah, dan napasnya mulai tersengal-sengal."Aku tahu. Tapi, dia tidak aman jika bersamamu." Kata Rio, masih dengan nada tenang yang membuat Edgar semakin geram. "Kamu tidak bisa melindunginya. Aku bisa.""Sampai kapan pun aku tidak akan menyerahkan istriku kepada siapa pun. Apalagi
"Kamu tidak apa-apa, sayang?"Natasha mengangguk cepat, dengan kedua tangan yang menutupi telinganya dan tubuh yang bergetar hebat. Rasa takut yang mendalam terpancar dari matanya, saat ia mencoba menguatkan diri untuk menghadapi situasi yang semakin genting.Rio, yang sudah tidak tahan melihat Natasha ketakutan, tiba-tiba merebut pistol dari tangan Edgar dan mengarahkannya pada kepalanya sendiri. "Jika kalian membunuh Natasha, aku tidak segan-segan untuk menarik pelatuk pistol ini di kepalaku sendiri."Mendengar itu, mata Edgar membulat sempurna, tatapannya terkejut dan bingung. "Siapa yang memerintahkan semua orang-orang ini? Kenapa mereka tunduk dengan ucapan Rio?" gumam Edgar dalam hati.Para pembunuh bayaran itu saling pandang, kemudian salah satu dari mereka memberi isyarat dengan mengangkat tangannya. Mereka mengangguk seolah-olah telah memiliki kesepakatan, lalu melangkah pergi meninggalkan bangunan tua itu.Rio kini bernapas lega. Ia menurunkan pistol yang sempat terarah pada
Tangan Rio merogoh saku celana dan menggenggam erat gantungan kunci berbentuk beruang milik Natasha. Ia memandangi gantungan itu dengan tatapan sayu dan senyuman yang tak bisa dipahami oleh orang lain. Entah mengapa, hanya dengan memegang benda kecil itu, hati Rio yang kacau mulai merasa sedikit lebih tenang."Apakah aku benar-benar jatuh cinta padanya?" gumam Rio pada diri sendiri, merasa bingung dengan perubahan sikapnya yang begitu drastis belakangan ini.Rio bahkan rela melawan Dini, ibunya sendiri, demi melindungi Natasha dari bahaya yang mengancamnya. Meski ia sadar bahwa Natasha adalah istri dari adik tirinya, namun perasaan Rio terhadap wanita itu terus tumbuh dan semakin kuat. Tak bisa dipungkiri lagi, Rio telah jatuh cinta.Brak!Suara keras tiba-tiba terdengar saat mobil milik Rio ditabrak oleh mobil hitam dari arah lain di pertigaan. Beruntungnya, mobil itu tidak rusak parah, hanya bumper bagian depannya saja yang hancur lebur akibat benturan tersebut. Namun, secara keselu
Mendapati pertanyaan itu, Rio menatap Edgar sejenak, namun tak memberikan jawabannya. Kemudian, ia kembali menatap ke depan, dengan pistol di genggamannya. Sementara Edgar, yang memiliki intuisi tinggi, bisa menyimpulkan jika dugaannya benar bahwa ibu tirinya merupakan dalang dari semua peristiwa yang terjadi."Ternyata dugaanku benar. Ibumu lah yang menyewa semua pembunuh bayaran ini," gumam Edgar dengan sinis, menatap Rio dengan tajam yang masih tetap diam.Edgar mendorong tubuh Rio dengan kasar. "Kenapa kau masih berdiri di sini? Bukankah seharusnya kamu bergabung dengan mereka?!" seru Edgar dengan suara keras, menuding Rio dengan jari telunjuknya. "Ini bukan waktunya bertengkar, Edgar!" bentak Rio. "Apa kau tidak lihat mereka semua sedang mengarahkan pistolnya pada kita?!" Edgar memperhatikan sekelilingnya dan menyadari betapa gentingnya situasi ini. Namun, alih-alih menuruti Rio, Edgar malah membuat keputusan yang nekat. Dalam sekejap, Edgar menarik Rio dan mengarahkan pistol m
Setelah Edgar memutuskan untuk tidak memberitahu kasus ini kepada orang lain, ia dan Natasha bergegas kembali ke kota. Namun, sepanjang perjalanan itu, pikiran Edgar terus disibukkan untuk mencari jalan keluar, agar istrinya terbebas dari bahaya.Natasha, yang duduk di sisi kemudi terus memperhatikan Edgar yang sejak tadi diam. "Mas?" panggil Natasha pelan.Edgar menatap Natasha dan menjawab. "Ya, sayang?""Maaf, karena sudah banyak merepotkanmu," ucap Natasha sambil menundukkan kepalanya. Suara Natasha terdengar lemah, namun penuh penyesalan. Dia merasa telah menjadi beban bagi Edgar selama ini.Edgar tersenyum dan menggenggam tangan Natasha dengan lembut. Dia bisa merasakan betapa rapuhnya wanita yang dia cintai. "Kamu tidak perlu minta maaf. Ini sama sekali bukan salahmu. Justru, aku lah yang seharusnya minta maaf karena telah membuatmu dalam bahaya."Perlahan, Edgar melepaskan genggaman tangannya dan menatap lurus ke depan, menghindari tatapan Natasha. Ada rasa bersalah yang menye
"Aku sudah menikah, mana mungkin aku mempertimbangkan perasaan pria lain," jawab Natasha dengan tegas.Mendengar jawaban istrinya, Edgar tersenyum lega. "Terima kasih," ucapnya seraya mengusap pucuk kepala Natasha.Perjalanan yang terasa panjang akhirnya tiba ketika mobil Edgar sampai di mansion Abraham. Bangunan megah itu berdiri kokoh, dikelilingi taman yang luas dan penjagaan ketat. Mereka segera turun dari mobil dan memasuki rumah mewah tersebut.Namun, tiba-tiba Natasha menahan tangannya sejenak, tampak ragu. Sementara Edgar yang menggenggam tangan Natasha menatapnya bingung. "Ada apa, sayang?""Aku takut Papa akan mengusir kita, Mas," jawab Natasha dengan suara pelan namun penuh kekhawatiran.Namun sebelum Edgar sempat menjawab, suara Abraham terdengar lebih dulu dari kejauhan. "Meskipun saya belum menerimamu sebagai menantu. Tapi, saya tidak sejahat itu. Bagaimanapun, Edgar adalah putra saya, dan saya tidak mungkin mengusirnya," suaranya terdengar tegas, diiringi dengan derap l
"Apa Papa tidak memberitahumu jika sekarang kamar ini jadi milikku?" tanya Rio.Seketika, Edgar tersentak kaget mendengar pernyataan tersebut. Seluruh tubuhnya seakan membeku, matanya terbuka lebar, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "P-Papah?" suaranya bergetar, kebingungannya jelas tergambar di wajahnya.Edgar memundurkan langkahnya dengan berat, seolah bumi di bawah kakinya menjadi tidak stabil. Kepalanya menggeleng pelan, seolah berusaha meyakinkan dirinya bahwa ini semua hanyalah mimpi buruk."Lantas, di mana semua barang-barangku?" tanya Edgar dengan nada yang penuh kemarahan. Tanpa menunggu jawaban dari Rio, ia sudah melangkah keluar lebih dulu untuk menemui Abraham. Wajahnya memerah, dan gumpalan amarah terlihat jelas dari gerakan cepat kakinya yang menghentak-hentak lantai marmer.Natasha yang masih berada di kamar tersebut segera mengejar langkah Edgar, tidak ingin membiarkan situasi semakin memburuk. Namun, baru beberapa langkah, suara Rio yang dingin dan
Setelah Rio mengenakan pakaiannya, ia bergegas mencari Dini di kamarnya, sebelum wanita itu melihat keberadaan Natasha lebih dulu. Tanpa mengetuk pintu, ia melangkah masuk ke dalam kamar utama, merasa yakin bahwa saat ini Abraham tidak sedang bersama ibunya."Ada apa?" tanya Dini, menatap Rio melalui pantulan kaca meja riasnya. Tatapannya tajam, mencerminkan ketegasan dan otoritas yang selalu ia tunjukkan.Rio menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya. "Mah, kita perlu bicara," ucapnya.Dini memutar kursinya perlahan, berbalik menatap Rio langsung. "Apa ada hal yang begitu penting sampai kamu masuk tanpa mengetuk?" tanyanya dengan nada dingin.Rio menghela napas dalam-dalam sebelum menjawab, "Natasha... dia ada di sini. Kuharap Mamah jangan mengganggunya." Ucapan Rio terdengar tegas dan mantap, menunjukkan bahwa ia serius dengan permintaannya.Dini melipat kedua tangannya di depan dada dan menatap Rio dengan pandangan sengit. "Kenapa kau berlagak seakan dia istrimu? Menjijikkan!" ser
Edgar menepikan mobilnya di pinggir jalan dengan perasaan putus asa setelah berbicara dengan Barra. Hatinya terasa kosong, dan pikirannya dipenuhi pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Ia meremas kemudi mobil dengan erat, berusaha meredam emosi yang terus bergemuruh di dalam dirinya. "Apakah Natasha benar-benar membenciku?" gumamnya pelan, suaranya nyaris tertelan oleh keheningan mobil. Ia tidak bisa memahami mengapa semuanya berubah begitu cepat. Edgar menutup matanya sejenak, berharap menemukan kedamaian di tengah kekacauan pikirannya. Tapi, justru yang muncul adalah bayangan Natasha—wajahnya yang selalu tenang dan tatapannya yang dalam.Tiba-tiba, suara notifikasi pesan masuk memecah kesunyian. Edgar membuka matanya dan meraih ponselnya dengan lesu, mengira itu hanya pesan dari Julian yang mungkin ingin membahas urusan pekerjaan. Namun, saat melihat nama pengirim di layar, tubuh Edgar menegang. Nama yang tertera di sana bukan Julian, melainkan Barra.Dengan cepat, Edgar membuka pes
Keesokan harinya, Edgar duduk di ruang kerjanya dengan tatapan kosong. Penampilannya jauh dari rapi seperti biasanya– dasi yang seharusnya terikat sempurna kini menggantung longgar di lehernya, dan rambutnya yang sedikit acak-acakan memperlihatkan betapa berantakannya kondisi Edgar. Ia menatap kosong ke arah jendela ruang kerjanya, tapi yang dilihatnya bukanlah pemandangan di luar sana, melainkan kekacauan yang ada di dalam pikirannya sendiri. "Natasha.. Di mana kamu sekarang?" gumamnya pelan, hampir tidak terdengar di tengah keheningan ruangan.Edgar menggenggam kepalanya, jari-jarinya mencengkeram rambutnya yang sudah kusut. Ia tidak pernah merasa sekacau ini sebelumnya. "Kenapa semalam kamu tidak pulang?" Pertanyaan itu terus bergema di kepalanya. Edgar merasa seolah-olah ia telah kehilangan kendali atas hidupnya. "Aku harus menemukannya, harus... tapi di mana harus memulai? Bagaimana jika semuanya sudah terlambat?" Keraguan itu terus menghantuinya, membuatnya semakin tenggelam
Sesaat setelah mobil Edgar berhenti dengan keras di halaman mansionnya, ia keluar dengan tergesa-gesa. Hatinya berdebar kencang, seakan ada sesuatu yang mendesaknya untuk segera menemukan seseorang. Tanpa menunggu lebih lama, ia segera melangkah masuk ke dalam rumah."Natasha!"Nama itu terucap berkali-kali, berputar dalam pikirannya seperti mantra yang terus bergema. Dengan langkah cepat, Edgar menyusuri lorong-lorong yang panjang dan sepi, berharap menemukan istrinya di salah satu sudut rumah yang luas ini. Ketika ia tiba di ruang tamu, Bi Murni, pembantu setianya, muncul dari dapur, mendengar kegaduhan yang tak biasa dari majikannya."Tuan Edgar, ada apa?" tanya Bi Murni, sedikit khawatir melihat raut wajah pria itu yang tampak cemas.“Natasha di mana?” Edgar langsung memotong tanpa basa-basi, pandangannya tajam mencari jawaban dari wajah tua yang telah mengabdi di rumah itu selama bertahun-tahun.Bi Murni mengerutkan kening, sedikit bingung dengan pertanyaan yang tiba-tiba.“Sejak
"Tidak. Aku tidak ingin meneruskan pernikahan kontrak ini."Barra dan Julian saling pandang, terkejut mendengar jawaban yang tak mereka sangka-sangka. Baru beberapa menit yang lalu Edgar mengatakan jika ia bahagia dengan pernikahannya, namun, kini dia dengan memutuskan untuk mengakhirinya. Barra dan Julian benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Edgar.Edgar melanjutkan, "Aku ingin menjadikan pernikahanku bersama Natasha sebagai pernikahan yang sesungguhnya."Barra hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Dengan alis terangkat dan suara yang sarat dengan ironi, dia berkata, "Hampir saja aku memakimu, Edgar. Aku kira kau sudah kehilangan akal."Namun, alih-alih marah atau tersinggung, Edgar hanya terkekeh pelan, sebuah senyum samar menghiasi wajahnya. Ketenangan itu hanya berlangsung sejenak, sebelum Julian tiba-tiba terpaku, pandangannya terarah pada pintu di sudut ruangan, seolah melihat sesuatu yang tak seharusnya ada di sana.Edgar, yang menangkap perubaha
"Jika kamu memang benar-benar menyukainya, maka nikahilah Dita."Barra terdiam, matanya bergerak gelisah seolah mencari jawaban yang tepat. Dia menyukai Dita, itu jelas. Namun, setiap kali berpikir tentang pernikahan, bayangan masa kecilnya tentang pertengkaran tanpa henti orang tuanya menghantui pikirannya. Trauma itu masih begitu nyata, membuatnya ragu untuk melangkah lebih jauh."Edgar, ini tidak semudah yang kamu pikirkan," Barra akhirnya angkat bicara, suaranya terdengar goyah. "Aku... aku takut. Pernikahan bukan sekadar soal cinta. Aku melihat bagaimana orang tuaku berakhir, dan aku tidak ingin mengalami hal yang sama."Edgar mengangguk, memahami perasaan sahabatnya. "Aku mengerti ketakutanmu, Barra," Edgar menekankan, suaranya lebih lembut tapi tetap tegas. "Tapi kamu harus ingat, jika kamu tidak menikahi Dita, mungkin suatu hari nanti dia akan berubah pikiran dan menerima perjodohan yang diatur orang tuanya dengan pria lain."Barra menelan salivanya, perasaan tidak nyaman mul
Natasha mendadak terdiam, mengalihkan pandangannya sejenak dari perbincangan yang sedang berlangsung. Barra dan Julian, yang sedari tadi saling melirik, bisa merasakan ada sesuatu yang mengganggu pikiran Natasha. Edgar, yang duduk di sebelah Natasha, menangkap kegelisahan itu. Dengan lembut, ia meraih tangan Natasha dan mengusapnya, mencoba menenangkan istrinya yang terlihat mulai resah. "Sayang..." panggil Edgar dengan suara rendah, penuh perhatian.Natasha tersadar dari lamunannya dan menatap Edgar, lalu beralih pada Barra dan Julian yang masih memandanginya dengan penuh tanya. Senyum tipis terukir di balik cadarnya, meskipun matanya masih menyiratkan kekhawatiran. "Aku akan cari minum untuk kalian dulu," ucapnya tiba-tiba.Namun, sebelum Natasha sempat bangkit dari tempat duduknya, tangan Edgar sudah menahan lengannya. "Duduklah," katanya. "Biar aku minta mereka yang membelinya."Edgar melirik ke arah beberapa bodyguard yang tengah berjaga di sudut ruangan. Sinyal singkat dari Edg
"Terima kasih atas traktirannya," ucap Natasha dengan ceria, sambil menjilat es krim cone cokelat yang manis dengan perpaduan rasa vanila yang lembut. Ia menikmati setiap gigitan dengan senyum yang tak hilang dari wajahnya, seolah-olah es krim itu adalah hadiah paling istimewa yang pernah ia terima. "Aku hanya memberimu sebuah es krim, bukan sebongkah berlian. Kenapa kau terlihat begitu senang?" tanya Edgar, suaranya terdengar santai tapi penuh perhatian.Natasha berhenti sejenak dari menikmati es krimnya, lalu menoleh menatap Edgar. "Jelas aku senang. Ini pemberian dari suamiku."Mendengar jawaban Natasha, Edgar tertawa pelan, suaranya rendah dan penuh kehangatan. "Kamu tidak menawariku?" tanyanya, dengan nada sedikit menggoda, sambil menatap es krim di tangan Natasha dengan senyuman iseng."Kalau kamu mau, cobalah," ucap Natasha lembut. Ia menyodorkan es krim di tangannya ke arah Edgar.Namun, Edgar tidak langsung menerima tawaran itu. Alih-alih mengambil es krim dari tangan Natasha
“Menjauhlah dari Ayahku!” seru Edgar dengan nada tegas, suaranya memecah keheningan yang memenuhi ruangan. Sosoknya tiba-tiba muncul di ambang pintu, bayangannya membingkai tubuhnya yang tegap namun tampak tegang. Matanya tajam menatap Rio, seakan tak ingin pria itu mendekati figur yang terbaring di atas ranjang. Natasha yang sejak tadi berdiri di samping Rio, langsung menoleh begitu mendengar seruan itu. Dalam hatinya, ada kecemasan yang mulai merayap. Sementara itu, Rio, yang duduk di kursi roda, hanya menghela napas panjang. Pandangannya turun, seolah sudah bisa menebak arah pembicaraan yang akan terjadi. “Sudah kuduga akan seperti ini,” gumamnya, nada suaranya rendah namun cukup terdengar oleh Natasha.Rio hendak mendorong roda kursinya maju, ingin menghadapi Edgar yang kini menguasai ruangan dengan kehadirannya. Namun, sebelum dia bisa melakukannya, Natasha segera menahan kursi roda agar tetap di tempat. “Tetaplah di sini. Biar aku yang bicara padanya."Edgar, yang menyaksikan
"Astaga!" pekik Dita, terkejut saat melihat jam di pergelangan tangannya. Ia tidak menyangka waktu telah berlalu begitu cepat. Segera, ia meneguk sisa minumannya hingga tandas, meninggalkan rasa manis yang sedikit asam di lidahnya. Barra, yang duduk santai di depannya dengan cangkir kopi di tangan, mengangkat alis. "Kenapa?" tanyanya, suara tenangnya seolah tak terganggu oleh kegaduhan Dita yang tiba-tiba."Aku harus ke restoran sekarang," jawab Dita tergesa. Tangannya gemetar saat ia meraih tas di sampingnya, mencari dompet dengan jari-jarinya yang tak sabar. Ketika dompet itu akhirnya ditemukan, ia segera membuka bagian dalamnya, mencari beberapa lembar uang. Tanpa berpikir panjang, ia menarik uang itu dan menyerahkannya pada Barra. "Ini untuk kopiku," katanya, setengah menunduk agar uang itu lebih cepat berpindah tangan.Barra ikut berdiri saat Dita bersiap melangkah keluar. Dengan nada yang tenang namun terdengar sedikit bercanda, ia berkata, "Kau melukai harga diriku sebagai pri