Beranda / Romansa / (BUKAN) PENGANTIN SEWAAN / BAB 116. Puing Kenangan

Share

BAB 116. Puing Kenangan

Penulis: Sarana
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Aku sudah menikah, mana mungkin aku mempertimbangkan perasaan pria lain," jawab Natasha dengan tegas.

Mendengar jawaban istrinya, Edgar tersenyum lega. "Terima kasih," ucapnya seraya mengusap pucuk kepala Natasha.

Perjalanan yang terasa panjang akhirnya tiba ketika mobil Edgar sampai di mansion Abraham. Bangunan megah itu berdiri kokoh, dikelilingi taman yang luas dan penjagaan ketat. Mereka segera turun dari mobil dan memasuki rumah mewah tersebut.

Namun, tiba-tiba Natasha menahan tangannya sejenak, tampak ragu. Sementara Edgar yang menggenggam tangan Natasha menatapnya bingung. "Ada apa, sayang?"

"Aku takut Papa akan mengusir kita, Mas," jawab Natasha dengan suara pelan namun penuh kekhawatiran.

Namun sebelum Edgar sempat menjawab, suara Abraham terdengar lebih dulu dari kejauhan. "Meskipun saya belum menerimamu sebagai menantu. Tapi, saya tidak sejahat itu. Bagaimanapun, Edgar adalah putra saya, dan saya tidak mungkin mengusirnya," suaranya terdengar tegas, diiringi dengan derap l
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • (BUKAN) PENGANTIN SEWAAN   BAB 117. Kenangan yang Terlupakan

    "Apa Papa tidak memberitahumu jika sekarang kamar ini jadi milikku?" tanya Rio.Seketika, Edgar tersentak kaget mendengar pernyataan tersebut. Seluruh tubuhnya seakan membeku, matanya terbuka lebar, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "P-Papah?" suaranya bergetar, kebingungannya jelas tergambar di wajahnya.Edgar memundurkan langkahnya dengan berat, seolah bumi di bawah kakinya menjadi tidak stabil. Kepalanya menggeleng pelan, seolah berusaha meyakinkan dirinya bahwa ini semua hanyalah mimpi buruk."Lantas, di mana semua barang-barangku?" tanya Edgar dengan nada yang penuh kemarahan. Tanpa menunggu jawaban dari Rio, ia sudah melangkah keluar lebih dulu untuk menemui Abraham. Wajahnya memerah, dan gumpalan amarah terlihat jelas dari gerakan cepat kakinya yang menghentak-hentak lantai marmer.Natasha yang masih berada di kamar tersebut segera mengejar langkah Edgar, tidak ingin membiarkan situasi semakin memburuk. Namun, baru beberapa langkah, suara Rio yang dingin dan

  • (BUKAN) PENGANTIN SEWAAN   BAB 118. Pria Misterius

    Setelah Rio mengenakan pakaiannya, ia bergegas mencari Dini di kamarnya, sebelum wanita itu melihat keberadaan Natasha lebih dulu. Tanpa mengetuk pintu, ia melangkah masuk ke dalam kamar utama, merasa yakin bahwa saat ini Abraham tidak sedang bersama ibunya."Ada apa?" tanya Dini, menatap Rio melalui pantulan kaca meja riasnya. Tatapannya tajam, mencerminkan ketegasan dan otoritas yang selalu ia tunjukkan.Rio menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya. "Mah, kita perlu bicara," ucapnya.Dini memutar kursinya perlahan, berbalik menatap Rio langsung. "Apa ada hal yang begitu penting sampai kamu masuk tanpa mengetuk?" tanyanya dengan nada dingin.Rio menghela napas dalam-dalam sebelum menjawab, "Natasha... dia ada di sini. Kuharap Mamah jangan mengganggunya." Ucapan Rio terdengar tegas dan mantap, menunjukkan bahwa ia serius dengan permintaannya.Dini melipat kedua tangannya di depan dada dan menatap Rio dengan pandangan sengit. "Kenapa kau berlagak seakan dia istrimu? Menjijikkan!" ser

  • (BUKAN) PENGANTIN SEWAAN   BAB 119. Penyesalan di Balik Keputusan

    "Semua itu hanya sampah, Pa! Mamah rasa lebih baik membuangnya. Lagipula, Edgar tidak semiskin itu untuk membeli yang baru," jawab Dini dengan nada tak peduli.Mendengar barang-barang pemberian mendiang istrinya disebut sampah, tatapan Abraham semakin tajam dari sebelumnya. "Apa? Sampah, katamu?" tanyanya, suaranya bergetar dengan kemarahan yang ditahan.Dini mengangguk tegas, tidak sedikit pun menunjukkan rasa bersalah. "Ya. Apa ucapan Mamah salah?!" serunya tak kalah tegas, menantang tatapan suaminya.Abraham menggelengkan kepalanya, ia benar-benar tak habis pikir dengan jawaban Dini yang seakan tak memiliki empati. "Percuma Papa bicara denganmu, Mah. Kamu pasti tidak akan mengerti, sebelum merasakan bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang penting bagimu," ucap Abraham dengan suara baritonnya, penuh dengan kekecewaan.Dini terdiam sejenak, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Apa maksud Papa?" tanyanya. Namun, Abraham tidak menjawab. "Mulai malam ini, sebaiknya

  • (BUKAN) PENGANTIN SEWAAN   BAB 120. Masa Lalu

    Dengan berjalan mengendap-endap, Dini keluar dari kamarnya untuk menemui pria yang masih berdiri di seberang jalan kediaman Abraham. Sesekali Dini menghamburkan pandangannya ke segala arah, memastikan jika tidak ada orang lain yang melihatnya, terutama suaminya sendiri.Udara malam terasa dingin dan sunyi, hanya suara angin yang berhembus lembut di antara dedaunan. Hati Dini berdebar kencang, bukan hanya karena takut ketahuan, tetapi juga karena perasaan tak menentu yang muncul setiap kali ia mendekati pria itu. Pria yang telah lama menjadi bayangan di hidupnya."Danu. Sudah berapa kali ku katakan, jangan pernah datang lagi kemari," seru Dini dengan suara penuh penekanan, saat langkahnya sudah berhenti di depan pria tersebut.Namun, Danu justru memainkan rambut Dini dan menciumnya, menikmati aroma yang selalu ia rindukan. "Apa kamu tidak merindukanku?" tanyanya dengan suara lembut yang terdengar mengiba.Dini menepis tangan pria itu dengan kasar. "Pergilah. Jangan sampai ada yang meli

  • (BUKAN) PENGANTIN SEWAAN   BAB 121. Ayah Biologis

    "Semuanya," jawab Rio dengan nada dingin. Kata-katanya seakan membekukan suasana di sekitarnya. Dia berdiri di depan Dini, tatapannya tajam dan penuh penilaian, seolah menunggu penjelasan yang tidak kunjung datang.Dini, yang berdiri di hadapannya, segera menggelengkan kepala dengan cepat. Gerakannya tidak bisa menutupi kegugupannya, meskipun ia sudah tertangkap basah. "Rio, semua yang kamu dengar itu sama sekali tidak benar," katanya dengan suara yang hampir tak terdengar, berusaha untuk tersenyum dengan keyakinan yang jelas-jelas tidak ada. Senyum itu terpaksa, menampakkan kedok ketidakpastian di baliknya.Dada Dini naik turun dengan cepat, napasnya tersendat-sendat seakan kesulitan memompa oksigen ke paru-parunya. Setiap hembusan napasnya terdengar seperti desahan lelah, menandakan betapa dalamnya tekanan yang dirasakannya saat ini. Keringat mulai membasahi dahinya, membentuk butir-butir kecil yang meluncur perlahan ke pipinya.Rio memandang Dini dengan intens, matanya tak berkedip

  • (BUKAN) PENGANTIN SEWAAN   BAB 122.

    Danu duduk di sisi kemudi sambil meremas jari-jarinya sendiri. Sesekali ia menatap Rio yang tengah fokus menyetir, matanya penuh dengan perasaan campur aduk. Ini adalah kali pertamanya Danu duduk bersama Rio dengan jarak dekat, sehingga tangannya berkeringat dingin. Ia benar-benar sangat gugup berada dalam satu mobil bersama putranya, perasaan canggung dan tegang menguasainya."Terima kasih sudah mengantarkan Pap–tidak, maksudnya, Om, pulang," kata Danu, sempat meralat ucapannya sendiri karena bingung memanggil dirinya apa. Suaranya terdengar ragu-ragu, mencerminkan kebingungan yang dirasakannya.Tanpa menatap ke arah Danu, Rio kembali meralat ucapan pria paruh baya itu, meskipun suaranya terdengar dingin dan seperti orang asing. "Papa," ucapnya singkat, tetapi dengan penekanan yang jelas. Kata itu keluar dengan tegas, meskipun nada bicaranya tidak mengandung kehangatan.Danu terkejut mendengar kata itu, meskipun diucapkan dengan nada dingin. Namun, cukup terasa hangat di hatinya. Ada

  • (BUKAN) PENGANTIN SEWAAN   BAB 123. Ancaman Terbesar

    Cahaya pagi menjelang siang yang menerobos masuk ke dalam gudang melalui jendela, membuat Edgar terbangun dari tidurnya. Ia menyipitkan matanya saat cahaya itu cukup menyilaukan. Debu-debu yang beterbangan terlihat jelas dalam sinar matahari, memberikan kesan magis. "Kenapa aku bisa ketiduran di sini," gumam Edgar saat menyadari jika dirinya masih berada di dalam gudang. Ia meraba kepalanya yang sedikit pusing.Gudang itu dipenuhi dengan barang-barang lama yang berdebu, tumpukan kotak-kotak kardus, dan perabotan usang yang sudah lama tidak terpakai. Bau kayu lapuk dan udara pengap membuat Edgar merasa sedikit mual. Edgar menoleh ke sisi kanannya, yang ia yakini ada Natasha di sana, dan berkata, "Selamat pagi say–" Seketika ucapan Edgar terhenti saat istrinya tak di tempatnya. Perasaan panik mulai merayapi pikiran Edgar.Ia buru-buru menegakkan tubuhnya dan menatap sekeliling. "Sayang!" panggil Edgar, namun, tidak ada sahutan apa pun dari panggilan tersebut. Gudang itu begitu sunyi, h

  • (BUKAN) PENGANTIN SEWAAN   BAB 124.

    Edgar menghela napas panjang, berusaha menahan kegembiraan yang menggelora di dadanya. Setelah semalaman ia mencari barang-barang miliknya yang hilang, akhirnya dia mendengar berita yang sangat dinantikannya. Suara Natasha, yang lembut dan penuh kasih, melayang ke telinganya, membuat matanya bersinar dengan antusias yang tak tertahan. "Benarkah, kamu sudah menemukan semua barang-barang milikku?" tanya Edgar dengan tidak sabar.Natasha, dengan senyum tipis yang menghiasi wajahnya, mengangguk lembut. "Bibi Nur yang telah menyimpannya untukmu. Kau harus berterima kasih padanya," jawab Natasha.Edgar segera merasakan gelombang kebahagiaan meluap di dalam dirinya. "Pasti!" jawabnya.Natasha menyelesaikan tugasnya, memasangkan dasi pada kemeja suaminya dengan teliti. "Sudah," ucapnya, mengusap lembut kerah kemeja Edgar. "Kau tampak sangat tampan," tambahnya dengan senyum hangat, mencoba meringankan kekhawatiran suaminya sebelum ia pergi.Padahal, hari ini Edgar berniat istirahat di rumah s

Bab terbaru

  • (BUKAN) PENGANTIN SEWAAN   BAB 148. Menghilang di Jalan

    Edgar menepikan mobilnya di pinggir jalan dengan perasaan putus asa setelah berbicara dengan Barra. Hatinya terasa kosong, dan pikirannya dipenuhi pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Ia meremas kemudi mobil dengan erat, berusaha meredam emosi yang terus bergemuruh di dalam dirinya. "Apakah Natasha benar-benar membenciku?" gumamnya pelan, suaranya nyaris tertelan oleh keheningan mobil. Ia tidak bisa memahami mengapa semuanya berubah begitu cepat. Edgar menutup matanya sejenak, berharap menemukan kedamaian di tengah kekacauan pikirannya. Tapi, justru yang muncul adalah bayangan Natasha—wajahnya yang selalu tenang dan tatapannya yang dalam.Tiba-tiba, suara notifikasi pesan masuk memecah kesunyian. Edgar membuka matanya dan meraih ponselnya dengan lesu, mengira itu hanya pesan dari Julian yang mungkin ingin membahas urusan pekerjaan. Namun, saat melihat nama pengirim di layar, tubuh Edgar menegang. Nama yang tertera di sana bukan Julian, melainkan Barra.Dengan cepat, Edgar membuka pes

  • (BUKAN) PENGANTIN SEWAAN   BAB 147. Gugatan Cerai

    Keesokan harinya, Edgar duduk di ruang kerjanya dengan tatapan kosong. Penampilannya jauh dari rapi seperti biasanya– dasi yang seharusnya terikat sempurna kini menggantung longgar di lehernya, dan rambutnya yang sedikit acak-acakan memperlihatkan betapa berantakannya kondisi Edgar. Ia menatap kosong ke arah jendela ruang kerjanya, tapi yang dilihatnya bukanlah pemandangan di luar sana, melainkan kekacauan yang ada di dalam pikirannya sendiri. "Natasha.. Di mana kamu sekarang?" gumamnya pelan, hampir tidak terdengar di tengah keheningan ruangan.Edgar menggenggam kepalanya, jari-jarinya mencengkeram rambutnya yang sudah kusut. Ia tidak pernah merasa sekacau ini sebelumnya. "Kenapa semalam kamu tidak pulang?" Pertanyaan itu terus bergema di kepalanya. Edgar merasa seolah-olah ia telah kehilangan kendali atas hidupnya. "Aku harus menemukannya, harus... tapi di mana harus memulai? Bagaimana jika semuanya sudah terlambat?" Keraguan itu terus menghantuinya, membuatnya semakin tenggelam

  • (BUKAN) PENGANTIN SEWAAN   BAB 146. Keputusan Terberat

    Sesaat setelah mobil Edgar berhenti dengan keras di halaman mansionnya, ia keluar dengan tergesa-gesa. Hatinya berdebar kencang, seakan ada sesuatu yang mendesaknya untuk segera menemukan seseorang. Tanpa menunggu lebih lama, ia segera melangkah masuk ke dalam rumah."Natasha!"Nama itu terucap berkali-kali, berputar dalam pikirannya seperti mantra yang terus bergema. Dengan langkah cepat, Edgar menyusuri lorong-lorong yang panjang dan sepi, berharap menemukan istrinya di salah satu sudut rumah yang luas ini. Ketika ia tiba di ruang tamu, Bi Murni, pembantu setianya, muncul dari dapur, mendengar kegaduhan yang tak biasa dari majikannya."Tuan Edgar, ada apa?" tanya Bi Murni, sedikit khawatir melihat raut wajah pria itu yang tampak cemas.“Natasha di mana?” Edgar langsung memotong tanpa basa-basi, pandangannya tajam mencari jawaban dari wajah tua yang telah mengabdi di rumah itu selama bertahun-tahun.Bi Murni mengerutkan kening, sedikit bingung dengan pertanyaan yang tiba-tiba.“Sejak

  • (BUKAN) PENGANTIN SEWAAN   BAB 145. Tertipu

    "Tidak. Aku tidak ingin meneruskan pernikahan kontrak ini."Barra dan Julian saling pandang, terkejut mendengar jawaban yang tak mereka sangka-sangka. Baru beberapa menit yang lalu Edgar mengatakan jika ia bahagia dengan pernikahannya, namun, kini dia dengan memutuskan untuk mengakhirinya. Barra dan Julian benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Edgar.Edgar melanjutkan, "Aku ingin menjadikan pernikahanku bersama Natasha sebagai pernikahan yang sesungguhnya."Barra hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Dengan alis terangkat dan suara yang sarat dengan ironi, dia berkata, "Hampir saja aku memakimu, Edgar. Aku kira kau sudah kehilangan akal."Namun, alih-alih marah atau tersinggung, Edgar hanya terkekeh pelan, sebuah senyum samar menghiasi wajahnya. Ketenangan itu hanya berlangsung sejenak, sebelum Julian tiba-tiba terpaku, pandangannya terarah pada pintu di sudut ruangan, seolah melihat sesuatu yang tak seharusnya ada di sana.Edgar, yang menangkap perubaha

  • (BUKAN) PENGANTIN SEWAAN   BAB 144. Palsu

    "Jika kamu memang benar-benar menyukainya, maka nikahilah Dita."Barra terdiam, matanya bergerak gelisah seolah mencari jawaban yang tepat. Dia menyukai Dita, itu jelas. Namun, setiap kali berpikir tentang pernikahan, bayangan masa kecilnya tentang pertengkaran tanpa henti orang tuanya menghantui pikirannya. Trauma itu masih begitu nyata, membuatnya ragu untuk melangkah lebih jauh."Edgar, ini tidak semudah yang kamu pikirkan," Barra akhirnya angkat bicara, suaranya terdengar goyah. "Aku... aku takut. Pernikahan bukan sekadar soal cinta. Aku melihat bagaimana orang tuaku berakhir, dan aku tidak ingin mengalami hal yang sama."Edgar mengangguk, memahami perasaan sahabatnya. "Aku mengerti ketakutanmu, Barra," Edgar menekankan, suaranya lebih lembut tapi tetap tegas. "Tapi kamu harus ingat, jika kamu tidak menikahi Dita, mungkin suatu hari nanti dia akan berubah pikiran dan menerima perjodohan yang diatur orang tuanya dengan pria lain."Barra menelan salivanya, perasaan tidak nyaman mul

  • (BUKAN) PENGANTIN SEWAAN   BAB 143. Melawan Trauma

    Natasha mendadak terdiam, mengalihkan pandangannya sejenak dari perbincangan yang sedang berlangsung. Barra dan Julian, yang sedari tadi saling melirik, bisa merasakan ada sesuatu yang mengganggu pikiran Natasha. Edgar, yang duduk di sebelah Natasha, menangkap kegelisahan itu. Dengan lembut, ia meraih tangan Natasha dan mengusapnya, mencoba menenangkan istrinya yang terlihat mulai resah. "Sayang..." panggil Edgar dengan suara rendah, penuh perhatian.Natasha tersadar dari lamunannya dan menatap Edgar, lalu beralih pada Barra dan Julian yang masih memandanginya dengan penuh tanya. Senyum tipis terukir di balik cadarnya, meskipun matanya masih menyiratkan kekhawatiran. "Aku akan cari minum untuk kalian dulu," ucapnya tiba-tiba.Namun, sebelum Natasha sempat bangkit dari tempat duduknya, tangan Edgar sudah menahan lengannya. "Duduklah," katanya. "Biar aku minta mereka yang membelinya."Edgar melirik ke arah beberapa bodyguard yang tengah berjaga di sudut ruangan. Sinyal singkat dari Edg

  • (BUKAN) PENGANTIN SEWAAN   BAB 142. Sentuhan Manis

    "Terima kasih atas traktirannya," ucap Natasha dengan ceria, sambil menjilat es krim cone cokelat yang manis dengan perpaduan rasa vanila yang lembut. Ia menikmati setiap gigitan dengan senyum yang tak hilang dari wajahnya, seolah-olah es krim itu adalah hadiah paling istimewa yang pernah ia terima. "Aku hanya memberimu sebuah es krim, bukan sebongkah berlian. Kenapa kau terlihat begitu senang?" tanya Edgar, suaranya terdengar santai tapi penuh perhatian.Natasha berhenti sejenak dari menikmati es krimnya, lalu menoleh menatap Edgar. "Jelas aku senang. Ini pemberian dari suamiku."Mendengar jawaban Natasha, Edgar tertawa pelan, suaranya rendah dan penuh kehangatan. "Kamu tidak menawariku?" tanyanya, dengan nada sedikit menggoda, sambil menatap es krim di tangan Natasha dengan senyuman iseng."Kalau kamu mau, cobalah," ucap Natasha lembut. Ia menyodorkan es krim di tangannya ke arah Edgar.Namun, Edgar tidak langsung menerima tawaran itu. Alih-alih mengambil es krim dari tangan Natasha

  • (BUKAN) PENGANTIN SEWAAN   BAB 141. Jarak

    “Menjauhlah dari Ayahku!” seru Edgar dengan nada tegas, suaranya memecah keheningan yang memenuhi ruangan. Sosoknya tiba-tiba muncul di ambang pintu, bayangannya membingkai tubuhnya yang tegap namun tampak tegang. Matanya tajam menatap Rio, seakan tak ingin pria itu mendekati figur yang terbaring di atas ranjang. Natasha yang sejak tadi berdiri di samping Rio, langsung menoleh begitu mendengar seruan itu. Dalam hatinya, ada kecemasan yang mulai merayap. Sementara itu, Rio, yang duduk di kursi roda, hanya menghela napas panjang. Pandangannya turun, seolah sudah bisa menebak arah pembicaraan yang akan terjadi. “Sudah kuduga akan seperti ini,” gumamnya, nada suaranya rendah namun cukup terdengar oleh Natasha.Rio hendak mendorong roda kursinya maju, ingin menghadapi Edgar yang kini menguasai ruangan dengan kehadirannya. Namun, sebelum dia bisa melakukannya, Natasha segera menahan kursi roda agar tetap di tempat. “Tetaplah di sini. Biar aku yang bicara padanya."Edgar, yang menyaksikan

  • (BUKAN) PENGANTIN SEWAAN   BAB 140.

    "Astaga!" pekik Dita, terkejut saat melihat jam di pergelangan tangannya. Ia tidak menyangka waktu telah berlalu begitu cepat. Segera, ia meneguk sisa minumannya hingga tandas, meninggalkan rasa manis yang sedikit asam di lidahnya. Barra, yang duduk santai di depannya dengan cangkir kopi di tangan, mengangkat alis. "Kenapa?" tanyanya, suara tenangnya seolah tak terganggu oleh kegaduhan Dita yang tiba-tiba."Aku harus ke restoran sekarang," jawab Dita tergesa. Tangannya gemetar saat ia meraih tas di sampingnya, mencari dompet dengan jari-jarinya yang tak sabar. Ketika dompet itu akhirnya ditemukan, ia segera membuka bagian dalamnya, mencari beberapa lembar uang. Tanpa berpikir panjang, ia menarik uang itu dan menyerahkannya pada Barra. "Ini untuk kopiku," katanya, setengah menunduk agar uang itu lebih cepat berpindah tangan.Barra ikut berdiri saat Dita bersiap melangkah keluar. Dengan nada yang tenang namun terdengar sedikit bercanda, ia berkata, "Kau melukai harga diriku sebagai pri

DMCA.com Protection Status