"Rifky? Dapat informasi darimana? Sudah pernah bicara langsung dengan dia? Maksudku, biasanya kalau rekan bisnis pasti bisa rapat bersama begitu, kan? Masalah seperti ini, pasti adalah masalah yang serius kalau tidak dibicarakan, benarkan?"Meskipun terkejut, Mitha berusaha untuk merespon, sedikit terbata karena ia merasa tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Birly.Ia sangat mengenal Rifky, sejak umurnya 15 tahun, tentu saja ia tahu luar dalam Rifky itu seperti apa meskipun mereka bukan keluarga."Itulah masalahnya, gue bilang tadi untuk bicara dengan dia, pihak perusahaan dia itu kagak pernah ngasih gue akses, setiap kali kita rapat, meskipun gue yang ke Yogyakarta, atau mereka yang ke sini, tetap aja, Rifky itu kagak bisa gue temui, misterius gitu, jadi gue terpaksa minta bantuan lu, tadinya udah minta sama Billy, tapikan lu tau, hubungan gue sama Billy itu gimana?"Mitha menghela napas mendengar penuturan Birly, perkara memberikan nomor ponsel, memang kedengarannya sepele,
Telapak tangan Rifky mengepal mendengar apa yang diucapkan oleh Ronan.Niatnya yang tadi membara untuk mempersoalkan tentang tindakan sang kakak ipar yang ternyata memakai namanya untuk hal-hal tertentu benar-benar membuat dirinya kesal setengah mati.Namun, ketika ia mendengar apa yang dikatakan oleh sang kakak ipar, seluruh keyakinan Rifky untuk mempermasalahkan hal itu musnah seketika.Yah, sekarang ini, ayahnya masih perlu perawatan dan pengobatan pasca sakit karena tertipu rekan bisnisnya sendiri kala itu. Kesehatan sang ayah memang mulai membaik ketika perusahaan tertolong lantaran keputusan Riska yang menikah dengan Ronan.Namun, setiap saat, ayahnya tetap harus cek kesehatan, dan itu bukan sekedar cek biasa, tapi perawatan kesehatan sang ayah karena penyakit jantung yang dideritanya cukup mengkhawatirkan.Jika ayahnya tahu apa yang dilakukan oleh sang menantu, bagaimana reaksinya? Apalagi, ayah Rifky dikenal sebagai pria yang lurus dan jujur. Pria itu selalu mengajarkan pada
"Kalau yang kau bicarakan bukan sebuah omong kosong, baiklah, nanti kita bicara di depan kantor."Bibir Bella mengulas senyum ketika mendengar apa yang akhirnya diucapkan oleh Rifky. Rasanya tidak terkira, setelah sekian lama bermimpi untuk bisa mengajak pria itu bicara berdua, akhirnya sekarang Rifky mau menuruti kemauannya.Ia berbalik dan membentuk tanda oke dengan jarinya, sambil terus tersenyum. Rifky hanya menghela napas. Terkadang, sikap Bella terlihat sopan padanya terkadang tidak, kadang juga wanita itu kasar. Rifky tidak tahu, yang mana sifat asli Bella? Yang jelas, ia mengabulkan permintaan perempuan itu karena penasaran, apa yang ingin disampaikan oleh sektretaris kakak iparnya tersebut.Saat jam istirahat, Rifky menepati janji untuk menemui Bella di warung makan yang ada di depan kantor mereka.Ketika ia tiba di sana, Bella sudah ada di sana. Perempuan itu melambai ke arah Rifky saat melihat pemuda itu masuk ke warung tersebut.Karena Rifky membawa bekal sendiri dari rum
"Baiklah, alhamdulillah, kalau memang kamu benar-benar merasa, apa yang kemarin-kemarin kamu lakukan itu keliru.""Jadi, kita enggak musuhan lagi?""Asal kamu tepati janji kamu."Bella menyambar salah satu tangan Rifky dan menggenggamnya erat, ini membuat Rifky terkejut hingga ia menarik tangannya dengan cepat. "Eh! Maaf, aku lupa! Aku lupa kalau kamu sudah menikah."Bella buru-buru meminta maaf, sebelum Rifky yang lebih dulu bicara ketika pria itu terlihat tidak suka dengan apa yang dilakukan Bella padanya. Menyentuh dirinya seperti tadi.Rifky menghembuskan napas. Tidak jadi melancarkan aksi protesnya. "Sekarang, katakan apa yang kamu maksud dengan hal yang kamu ucapkan tadi, tentang keanehan yang kamu maksud."Seolah tidak mau membuang waktu, Rifky langsung melontarkan pertanyaan itu pada Bella, karena hal itulah yang membuat ia mau memenuhi permintaan perempuan itu untuk bertemu di tempat sekarang sampai ia melewatkan makannya saat istirahat."Kalau kamu enggak cepat bergerak m
Alhasil, Rifky memilih untuk tidak menceritakan lebih lanjut tentang apa yang sudah dialaminya.Ia juga tidak mau dituduh mengada-ada, karena memang hal yang tadi ia lihat itu tidak mungkin mudah untuk dipercayai oleh orang yang tidak mengalaminya sendiri. Contohnya ia dahulu juga demikian. Itulah sebabnya, Rifky memilih untuk tidak melanjutkan pembahasan itu. Namun jujur, sekarang ia mulai berpikir, apa sebenarnya isyarat yang dibawa oleh almarhum kakaknya itu pada ia dan Riska?Ketika Rifky nyaris keluar dari warung makan tersebut, suara Pak Harto membuat langkahnya terhenti."Meskipun aku tidak terlalu percaya untuk hal yang tadi kamu katakan, akan lebih baik, kamu perhatikan apapun yang sekarang kamu lakukan, bisa saja itu isyarat. Almarhum kakak kamu sangat menyayangi kalian, hingga saat sudah meninggal pun, ia tetap menjaga kamu dari dunianya."Rifky menarik napas lega ketika mendengar apa yang dikatakan oleh pemilik warung tersebut. Lega, karena setidaknya perasaannya tentang
"Aku tidak bisa....""Kenapa? Kenapa tidak bisa? Apakah kau tipe pria yang tidak bisa meninggalkan seseorang meskipun orang itu tidak menguntungkan?""Situasinya tidak sesederhana yang kau pikirkan, Bella. Perusahaan ini, milik ayah Riska, meskipun sekarang aku pemilik saham di perusahaan ini, tetap saja saham Riska itu tergabung dengan saham ayahnya, tidak akan cukup jika aku melawan."Bella tersenyum kecut mendengar pengakuan Ronan yang dinilainya terlalu bodoh. "Riska itu istrimu, kenapa kamu tidak membuat saham dia menjadi milikmu? Dengan begitu, kau bisa menjadi pemimpin tunggal di perusahaan ini?""Bella, aku tidak pernah berniat untuk melakukan hal itu kalau Riska mampu memberikan apa yang aku mau.""Lalu aku??!""Bukankah aku juga sudah memberikan apa yang kau mau? Uang?""CK! Lupakan saja! Mulai sekarang, jangan urus dengan siapa aku dekat kalau kamu tetap tidak bisa membuat aku mendapatkan identitas resmi!"Setelah mengucapkan kalimat itu, Bella berlalu kasar dari hadapan R
"Akan aku lakukan!"Tentu saja, Bella sekarang mulai tidak patuh padaku, aku tidak suka wanita yang tidak patuh, kalau kau sebagai istri bisa memberikan apa yang aku mau? Aku akan membuang sekretaris sialan itu!Ucapan Ronan dilanjutkan pria itu di dalam hati. Sementara itu, wajah Riska berseri ketika mendengar apa yang diucapkan oleh sang suami.Sebenarnya, bukan ingin menjadi wanita posesif dan pecemburu. Riska melakukan itu karena merasa Bella bukan wanita baik-baik.Jika Bella wanita yang baik, tentu saja tidak akan kerap menghubungi suaminya saat di luar jam kerja. Riska seringkali memergoki suaminya menerima telpon dari sang sekretaris, dini hari pula. Bagaimana tidak membuat Riska jadi kesal?"Aku harap, kamu benar-benar menepati janji kamu, Pi.""Tergantung, kalau kamu bisa memberikan apa yang aku mau, mana mungkin aku akan menciptakan masalah."Riska menghela napas. Masalah keturunan laki-laki, masih menjadi momok menakutkan bagi dirinya. Padahal, andai saja Ronan berpikir
"Dengan kata lain, lu lebih memilih keluarga Pak Rizmawan dihancurkan oleh kunyuk itu?"Rico membuang napas dengan kasar, seolah tidak suka dengan apa yang dikatakan oleh Zeon padanya."Kalo lu emang tega ngebiarin keluarga orang tua angkat lu hancur, ya udah, gue kagak bisa berbuat banyak, emang kagak bisa dipaksa itu hak lu, gue cuma mencoba ngasih masukan doang.""Oke! Oke! Gue akan pulang!!" Dengan suara meninggi, akhirnya, Rico bicara demikian, dan Zeon tersenyum penuh arti mendengarnya."Ya, udah, abis makan pulang, inget kata-kata gue tadi, lu boleh memperjuangkan impian lu tapi jangan lupakan manusia itu kudu bisa bisa balas budi kalo emang punya hati."Zeon mengucapkan kalimat itu sambil membersihkan kembali gitarnya sambil bersiul. Tanpa mempedulikan, Rico yang menatapinya dengan perasaan yang bercampur aduk.***Bella turun dari motor pemberian Ronan ketika sudah sampai di depan sebuah rumah yang tidak begitu besar tapi asri karena banyak terdapat tanaman hias di depan ru