Bab 92
Aku masuk ke ruangan chef Hengki. Tempatnya tidak terlalu luas, hanya ada meja dan kursi. Masih beberapa interior yang masih terbungkus rapi di dalam dus.“Ada apa?” tanyaku penasaran. Chef Hengki ingin berbicara berdua saja denganku dan ini membuatku tidak nyaman.Aku menatap chef Hengki dengan kening berkerut. “Aku suka denganmu, Alea dan aku ingin mengejarmu.” Kata-katanya barusan menusuk lebih dalam daripada yang seharusnya."Chef Hengki, ini bukan lelucon, kan?" tanyaku pelan, memastikan aku tidak salah dengar.Dia menatapku tanpa ragu, tatapannya penuh keyakinan. "Aku tidak main-main, Alea. Aku datang ke Jakarta bukan hanya untuk membuka restoran. Aku datang untukmu."Aku merasa tenggorokanku mengering. Jantungku berdetak cepat, bukan karena tersentuh, tapi lebih karena kaget. Aku menggeleng pelan, mencoba mengatur pikiranku."Hengki, aku sudah menikah," suaraku lebih tenan"Jadi… dia mendekatimu bukan sekadar pertemanan?" suaranya terdengar rendah, hampir berbahaya.Aku mengangguk pelan. "Aku tidak tahu dia akan mengatakan hal seperti itu, Mas. Aku juga terkejut."Mas Calvin mengepalkan tangan, lalu berdiri. "Jadi dia pikir dia bisa merebut istriku begitu saja?"Aku bangkit, menyentuh lengannya. "Aku memberitahumu karena aku tidak ingin ada rahasia di antara kita. Aku tidak mau dia merusak apa yang sudah kita miliki."Mas Calvin menatapku dalam, lalu menghela napas panjang, seolah menahan emosinya. "Aku tidak akan membiarkan dia mengganggu kita."Aku mengangguk. "Aku juga tidak akan membiarkan siapa pun mengganggu pernikahan kita."Mas Calvin menarikku ke dalam pelukannya, tangannya erat di pinggangku. "Aku percaya padamu, Alea. Tapi aku tidak bisa diam saja kalau ada orang yang berniat merebutmu dariku."Aku menempelkan kepalaku di dadanya, merasakan detak jantungnya yang kuat. "Kita hada
Mang Daman memberitahu jika Shasha akan segera keluar sekolah. Aku pun bergegas masuk ke dalam mobil dan kembali ke sekolah. Begitu bel sekolah berbunyi, aku segera menuju gerbang sekolah. Dari kejauhan, aku sudah bisa melihat Shasha berlari kecil sambil menggandeng tangan Yuli, babysitter-nya. Begitu melihatku, Shasha langsung melepas tangannya dari Yuli dan berlari lebih cepat. "Mama Alea!" serunya dengan wajah ceria. Aku tersenyum dan berjongkok menyambutnya dalam pelukan. "Hai, sayang! Sekolahnya menyenangkan?" Shasha mengangguk semangat. "Iya! Aku dapat bintang dari Bu Guru karena menggambar bunga paling bagus!" Aku mengusap kepalanya lembut. "Wah, hebat sekali! Mama bangga!" Shasha menatapku penuh harap. "Mama, kita jalan-jalan, yuk?" Aku tertawa kecil. "Kebetulan Mama juga ingin mengajak kamu jalan-jalan. Kita ke mall, ya? Kita makan, terus main sepuasnya!" Mata Shasha ber
Aku mencoba tetap tenang. "Hanya hal biasa," jawabku singkat.Putri yang sejak tadi diam, tiba-tiba melangkah lebih dekat. Tatapannya bergantian antara aku dan Hengki. "Jadi, kau sekarang dekat dengan Alea?" tanyanya, suaranya terdengar datar tapi tajam.Hengki menoleh ke arahnya, tampak sedikit terkejut. "Maaf, siapa?"Putri menyilangkan tangan di dadanya. "Aku Putri," katanya tegas. "Mantan istri Calvin."Seakan memahami situasi, senyum Hengki sedikit melebar. "Oh, mantan istri Calvin yang sekarang jadi suami Alea?" tanya Chef Hengki dengan santai. Putri mendengus kecil. "Dan aku baru tahu ada pria lain yang begitu berani mendekati istri Calvin," sindirnya.Amanda tampak semakin bingung dengan situasi ini. "Tunggu… apa maksudnya ini? Alea dan Chef Hengki…?"Aku merasakan hawa tegang di antara kami. Aku harus segera menyudahi ini sebelum situasinya semakin buruk."Aku harus pergi," kataku cepat, menggenggam ta
Shasha langsung berlari ke arah mas Calvin dengan wajah berbinar. "Papa!" serunya girang, mengangkat kedua tangannya ke atas, meminta digendong.Mas Calvin tersenyum lebar, merentangkan tangannya, lalu mengangkat tubuh mungil Shasha ke dalam pelukannya. "Shasha kangen Papa, ya?" tanyanya lembut sambil mencium pipi putri kecilnya.Shasha mengangguk cepat. "Iya! Tadi Shasha jalan-jalan sama Mama ke mall. Terus beli mainan baru! Lihat, Papa!" katanya bersemangat sambil mengacungkan kantong belanjaan kecil yang dipegangnya.Mas Calvin mengusap kepala putrinya dengan penuh kasih sayang. "Wah, mainan baru? Papa mau lihat nanti, ya. Terus Shasha senang hari ini?"Shasha mengangguk lagi, tapi ekspresinya tiba-tiba berubah serius. Dia menatap mas Calvin dengan mata polosnya yang besar, lalu berkata, "Tapi, Papa... Tadi di mall, ada orang yang berani pegang tangan Mama."Aku terkejut mendengar ucapan Shasha yang blak-blakan. Aku melirik mas Calvin
Aku menghela napas, mencoba menyiapkan diri untuk menghadapi apa pun yang akan dia katakan. “Ada apa, Amanda?” tanyaku tenang. Amanda melipat tangan di dadanya, lalu menatapku dengan penuh emosi. “Chef Hengki.” Jantungku berdegup lebih cepat. Aku langsung tahu ini pasti tentang kejadian di mall kemarin. Aku memilih diam, membiarkan Amanda melanjutkan. “Aku tidak habis pikir, Mbak! Dia tahu kamu sudah menikah, tapi tetap saja mengejarmu! Apa dia tidak punya harga diri?! Dan mbak… kenapa mbak Alea diam saja?!” suaranya meninggi, matanya menyala penuh kemarahan. Aku tertegun. “Amanda, aku tidak pernah memberi harapan apa pun pada Chef Hengki. Aku juga tidak pernah menyuruhnya mengejarku.” “Tapi mbak Alea tidak menolaknya dengan tegas!” Amanda mendekat, menunjuk dadaku. “Mbak membiarkan dia terus mendekatimu! Mbak membiarkan dia berharap!” Aku menggigit bibir, mencoba menahan kesal. “Aku sudah bila
“Baiklah,” katanya tegas. “Aku akan menemuimu di restoran setelah jam operasional selesai. Kita hadapi dia bersama.”Aku menutup mata, merasa lega karena mas Calvin mau menemani. “Terima kasih, Mas. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpamu.”“Aku tidak akan membiarkanmu menghadapi ini sendirian, Alea,” katanya lembut. “Kita akan menyelesaikan ini bersama.”Aku tersenyum tipis meskipun perasaan gelisah masih menggelayut di hatiku.***Saat jam operasional restoran berakhir, aku masih berdiri di dapur, menatap kosong ke arah meja stainless steel di depanku. Tanganku menggenggam erat kain lap yang sedari tadi kugunakan untuk menyibukkan diri, tetapi pikiranku melayang entah ke mana.Perasaanku tidak tenang. Rasa gelisah semakin kuat seiring waktu berjalan. Bahkan saat restoran mulai sepi dan para staf mulai pulang satu per satu, aku tetap merasa ada sesuatu yang tidak beres.“Mbak Alea, aku pulang dulu, ya,” suara Eva
"Tapi sebelum kau melakukannya, pikirkan baik-baik. Aku bisa membongkar semua kelakuan kotormu. Termasuk hubunganmu dengan Amanda."Sekilas, aku melihat ekspresi chef Hengki berubah. Sesaat dia tampak terkejut, tapi dengan cepat dia kembali tersenyum licik. "Amanda? Kenapa kau membawa-bawa dia? Itu urusan pribadiku."Mas Calvin tersenyum miring. "Urusan pribadimu? Seorang pria dewasa meniduri wanita yang masih muda, lalu membiarkannya berpikir bahwa itu cinta? Kau yakin ingin membawa ini ke ranah hukum?"“Hei! Kita melakukannya atas dasar suka sama suka! Tidak ada paksaan! Kita sudah sama-sama dewasa!” Aku melihat chef Calvin menggertakkan giginya. Dia jelas tidak menyangka chef Hengki akan membalas seperti itu.Mas Calvin tidak menanggapi lagi. Dia hanya menarik tanganku dan membukakan pintu mobil untukku. "Ayo pulang," bisiknya lembut.Aku menurut, masuk ke dalam mobil dengan perasaan campur aduk. Saat mas Calvin menyalakan mesin dan mu
Saat mobil mas Calvin berhenti di depan restoran, aku menghembuskan napas lega. Aku terlalu lelah untuk berdiri, jadi aku hanya menunggu di bangku lobi sampai mas Calvin turun dan menghampiriku.Begitu melihatku, ekspresi mas Calvin langsung berubah. Matanya menatapku penuh kecemasan, lalu dia berjongkok di hadapanku. “Sayang, kamu kenapa? Mukamu pucat.”Aku mencoba tersenyum tipis. “Aku nggak enak badan, kepala pusing, terus mual.”Mas Calvin langsung menggenggam tanganku, hangat dan menenangkan. “Ayo kita pulang. Kamu harus istirahat.” Dia membantu aku berdiri, tangannya melingkari pinggangku untuk memastikan aku tidak jatuh.Aku bersandar padanya, membiarkan mas Calvin membimbingku menuju mobil. Aku bisa merasakan betapa khawatirnya dia, apalagi saat aku sempat terhuyung sedikit sebelum masuk ke dalam mobil.Begitu kami duduk di dalam, mas Calvin menatapku serius. “Kita ke dokter dulu, ya?”Aku menggeleng lemah. “Nggak usah, a
Aku duduk di ruanganku di restoran sambil menggulir layar ponsel. Berita tentang penangkapan Joko Supriono terus muncul di berbagai platform berita online. Ini menjadi pembicaraan hangat di media sosial, dan aku bisa membayangkan betapa kacaunya situasi di pihak Erika dan keluarganya saat ini. Evan baru saja kembali dari honeymoon-nya di Bali. Begitu masuk ke restoran, dia tampak lebih segar dengan senyum santainya yang khas. Aku melihatnya melangkah ke arahku sambil melepaskan kacamata hitam yang masih menggantung di wajahnya. "Hei, bos! Aku kembali," katanya dengan nada riang. "Kau merindukanku?" Aku tersenyum kecil dan mengangkat alis. "Kau hanya pergi seminggu, Evan." "Tapi tetap saja, restoran tanpa aku pasti terasa sepi, kan?" Dia tertawa, lalu menarik kursi di depanku. Namun, senyumnya sedikit memudar saat melihat aku masih sibuk menatap layar ponsel. "Kau kenapa sih? Dari tadi main ponsel terus," tany
Aku menggeleng, mencoba tetap tenang. “Tunggu sebentar, Ratih. Maksudmu, Mas Calvin sudah tahu semua ini sejak awal?” Ratih menatapku dengan ekspresi datar, tapi aku bisa melihat ada sedikit ketegangan di sana. “Aku tidak tahu sejak kapan tepatnya. Tapi beberapa waktu lalu, suamimu menemui Mas Farhan dan menunjukkan bukti bahwa perusahaan yang dikelola mbak Erika sebenarnya mendapat suntikan dana dari seseorang yang mencurigakan. Mas Farhan tidak percaya pada awalnya, tapi setelah diselidiki lebih jauh, ternyata perusahaan Erika hampir bangkrut dan di saat itulah nama mas Joko muncul.” Aku menahan napas. “Jadi, Joko yang menyelamatkan perusahaan Erika?” Ratih mengangguk. “Iya. Dan Mbak tahu sendiri siapa mas Joko, bukan?” Tubuhku membeku. Joko bukan orang baik. Aku tahu itu. Tapi yang lebih mengejutkan adalah keterlibatan Mas Calvin dalam semua ini. Kenapa dia menyelidikinya? “Mbak Alea,” panggil Ratih pelan,
Aku menghela napas sebelum mengangkatnya."Ada apa?" tanyaku datar."Apa yang kamu lakukan kepada Erika, Alea?!" suara Farhan terdengar penuh amarah di seberang sana.Aku mengernyit. "Apa maksud Mas Farhan?""Erika masuk rumah sakit! Dia tiba-tiba stres dan pingsan! Dia bilang ini semua gara-gara kamu!"Aku menggeleng tak percaya. "Dengar, Mas. Aku bahkan tidak bertemu Erika hari ini. Kalau dia merasa bersalah atau tertekan, itu urusannya, bukan salahku.""Jangan pura-pura tidak tahu! Kamu selalu iri dengan kebahagiaan kami, kan?! Makanya kamu sengaja membuat kekacauan!"Aku tertawa sinis. "Kebahagiaan? Mas serius? Dari awal, aku tidak pernah peduli dengan hubungan kalian. Aku sudah lama melupakan semuanya. Jadi kalau Erika merasa bersalah atau takut rahasianya terbongkar, itu bukan urusanku!""Kamu keterlaluan, Alea!" bentaknya lagi.Aku mendengus. "Mas, aku sudah cukup lelah dengan drama kalian. Kalau
Setelah pertemuan tak terduga dengan Ibu Aminah, aku menghela napas panjang, mencoba mengabaikan semua yang baru saja terjadi. Aku tidak punya waktu untuk memikirkan hal-hal yang tidak penting bagiku lagi. Fokus utamaku saat ini adalah restoran. Aku segera melanjutkan keperluanku di pasar, bertemu dengan beberapa supplier yang selama ini bekerja sama dengan restoranku. Karena Evan sedang cuti menikah, akulah yang harus memastikan semua bahan baku tetap tersedia dengan kualitas terbaik. “Bu Ningsih, seperti biasa, saya pesan ayam fillet dan daging sapi kualitas premium, ya. Kirim ke restoran sore ini.” Bu Ningsih, seorang pemasok daging yang sudah lama bekerja sama denganku, mengangguk sambil mencatat pesananku. “Siap, Mbak Alea. Stok lagi bagus, jadi tenang saja.” Aku melanjutkan ke lapak sayuran, memastikan semua bahan segar yang aku butuhkan tersedia. Setelah semua pesanan sudah diatur, aku mengec
Aku mengerutkan kening dan menatap karyawan yang berbisik padaku. “Tamu?” tanyaku, memastikan aku tidak salah dengar.Karyawan itu mengangguk. “Ya, seorang pria bernama Joko Supriono. Dia bilang ingin bertemu dengan Mbak Alea secara langsung.”Jantungku berdegup lebih cepat. Nama itu bukanlah nama yang ingin kudengar di malam spesial ini. Dengan perasaan waspada, aku melangkah ke arah pintu masuk restoran.Begitu aku keluar, di sana dia berdiri. Joko Supriono, pria paruh baya dengan perut buncit dan senyum yang selalu terasa menjijikkan di mataku. Dia mengenakan kemeja mewah yang sedikit terbuka di bagian atas, seolah ingin menunjukkan kepercayaan dirinya yang berlebihan.“Lama tidak bertemu, Alea,” ucapnya dengan nada yang terdengar akrab, seolah kami adalah teman lama.Aku mengatur napas dan berusaha tetap tenang. “Pak Joko, ada keperluan apa malam-malam begini?” tanyaku dengan nada datar.Dia terkekeh kecil, melirik ke sekelil
Semua orang masih larut dalam kebahagiaan setelah Nadine menerima lamaran Evan. Aku tersenyum puas melihat mereka saling menggenggam tangan dengan mata berbinar. Tapi, kejutan sesungguhnya baru akan dimulai.Aku melirik ke arah mas Calvin yang duduk di sebelahku sambil memangku Shasha. Dia mengangguk kecil, tanda bahwa semuanya sudah siap. Aku pun berdiri dan mengambil mikrofon.“Terima kasih untuk semua yang sudah datang dan menyaksikan lamaran Evan dan Nadine malam ini,” ujarku dengan suara mantap. “Tapi, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan.”Semua mata kini tertuju padaku, termasuk Evan yang menatapku dengan alis berkerut. Aku menarik napas dan melanjutkan, “Setelah berdiskusi dengan keluarga Nadine dan Evan, kami memutuskan untuk mengubah acara malam ini… dari sekadar lamaran menjadi akad nikah.”Ruangan mendadak hening. Aku bisa melihat wajah Evan langsung menegang, matanya melebar karena terkejut. Sementara Nadine, meski tampak terkejut, ti
Aku duduk merenung di dalam ruanganku sendiri. Bagaimana bisa Erika bersama dengan si Joko? Apa yang terjadi dengan mas Farhan? Kenapa sampai Erika mengancam untuk tidak memberitahukan kepada mas Farhan? Apakah itu artinya Erika ada main dengan si Joko? Lalu bagaimana nasib dengan Ratih? Ah… semakin dipikir membuatku semakin penasaran, tapi aku tidak ingin terlibat langsung dalam urusan rumah tangga mereka. Bukankah aku harus fokus dengan kehamilanku? Aku tidak ingin kejadian yang sama terulang kembali. Rasanya menyakitkan jika aku harus mengalami keguguran lagi karena terlibat urusan dengan keluarga mas Farhan. “Ya! Masa bodoh dengan keluarga orang lain! Masih banyak hal yang aku harus pikirkan!” Aku mensugesti diri sendiri untuk tidak lagi terlibat dalam urusan orang lain. *** Beberapa hari berlalu, dan pikiranku tentang Erika serta si Joko perlahan mulai terkubur oleh kesibukan sehari-hari. Aku menyibukkan diri dengan pekerjaanku di re
Aku berdiri kaku, menatap Erika yang jelas sama terkejutnya denganku. Namun, tatapan Erika tetap dingin seperti biasanya. Wanita itu berdiri dengan perut besarnya, tetap angkuh seolah tidak ada yang perlu dijelaskan. Tapi yang membuatku jauh lebih terkejut adalah sosok pria yang berdiri di sampingnya. Joko Supriono. Pria yang selama ini ingin aku hindari... mimpi buruk di masa laluku. Mas Calvin melangkah setengah langkah ke depan, berdiri di depanku seolah menjadi pelindung. Aku bisa merasakan ketegangan di tubuhnya, apalagi saat si Joko menyunggingkan senyum licik yang sangat aku kenal. "Alea... lama tidak bertemu." Suaranya membuat bulu kudukku meremang. Aku menguatkan diri, menatap tajam tanpa menunjukkan sedikit pun rasa takut. "Kamu... kenapa ada di sini?" suaraku terdengar bergetar, tapi aku berusaha tetap tegar. Joko melirik Erika dengan senyum samar. "Aku
"Mas, Evan minta kita bantu buat nyiapin lamarannya, kamu ada ide?" tanyaku sambil melirik mas Calvin yang fokus menyetir.Suamiku menoleh sekilas, bibirnya melengkung tipis."Evan minta bantuan kamu... atau kita?" godanya.Aku mendengus pelan, melipat tangan di dada pura-pura kesal."Ya jelas kita lah, Mas! Masa aku sendiri? Kamu kan jago soal beginian."Mas Calvin terkekeh, tapi aku tahu dia memang senang jika dilibatkan."Hmm..." gumamnya sambil mengetuk-ngetuk setir, seolah berpikir."Kita bisa buat acara kecil di restoran kamu. Gak usah mewah, yang penting intimate dan berkesan."Mataku langsung berbinar, ide itu terdengar sempurna."Kayaknya Nadine tipe yang gak suka hal-hal berlebihan, ya?"Mas Calvin mengangguk kecil."Iya... dan Evan pasti pengen suasana yang sederhana tapi bermakna."Aku tersenyum, membayangkan wajah Evan yang pasti akan gugup di hari lamarannya.