"Baiklah, tapi kau harus berjanji. Kau tidak akan membuat masalah apa pun. Kalau kau ketahuan melakukan perbuatan yang buruk, aku tidak akan pernah memaafkanmu." Akhirnya, Dev dapat bernapas lega karena Nania mau menerimanya. Dia harus menggunakan kesempatan tersebut sebaik mungkin.
"Terimakasih. Aku berjanji tidak akan membuat masalah apa pun," sahut Dev kemudian."Sekarang bantu aku membereskan kekacauan ini." Mata Dev hampir meloncat dari kelopaknya."Aku bahkan belum membersihkan wajahku," gerutu Dev dengan aksen yang sengaja dibuat tidak jelas. Nania menggeram seolah mengerti keluhannya."Iya, tapi aku perlu mencuci wajahku terlebih dahulu." Dev segera berlalu dari hadapan Nania yang terlihat kembali terlarut dalam lamunan.Malam menjelang, Dev berbaring di kursi bambu di ruang depan. Berpura-pura tidur ketika Nania mengendap-endap keluar dari rumah. Diam-diam, dia mengikuti jejak Nania. Gadis manis itu melenggang ke tepi air terjun."Apa yang dia"Kau sudah merusak waktuku, Dev!""Aku hanya mengkhawatirkanmu saja. Tidak lebih." Nania menghela napas. Beberapa saat, sepasang matanya kembali teduh."Terima kasih, kau sudah begitu peduli padaku." Senyum kecil mengembang, tetapi kilauan di mata hitam itu membuat Dev gagal memahami."Hanya sesuatu yang kecil. Tidak masalah," sahut Dev. Ada degup yang lepas kendali ketika tiba-tiba Nania menyentuh punggung tangannya."Terkadang sesuatu yang kecil itu sangat berarti untuk orang lain. Tapi, Devada, aku memiliki urusan yang harus segera kuselesaikan.""Tapi ....""Aku sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Kau tidak usah mencemaskanku." Usai merapikan diri, Nania kembali pergi. Dev hanya diam. Bukan ingin menuruti perkataan Nania, tetapi menunggu waktu yang tepat untuk mengikutinya diam-diam.Nania berjalan memasuki kota. Dari kejauhan Dev dapat melihat gadis tersebut masuk ke sebuah vila. Dengan hati-hati, dia mendekati pagar yang di sana sama s
"Kau kenapa? Apa kau mengikutiku lagi?" Nania memandang Dev antara marah dan khawatir."Nania, kau mengenalnya?" Giliran pemuda berpakaian serba hitam itu yang bersuara."Aku tidak berbicara denganmu, Elios." Nania mencengkeram bahu Dev. Awalnya dia ingin sekali memukul Dev, tetapi kondisi yang seperti itu menghilangkan niatnya. Oleh karena itu, dia hanya mampu merapatkan tangannya yang mengeras dengan air yang menggenangi mata."Elios, bantu aku membawanya masuk." Pemuda tersebut mengangguk, lalu membawa Dev ke dalam vila.Kesempatan besar untuk Dev mengintai mereka dan dia tidak akan menyia-nyiakannya. Mata sayunya menjelajahi setiap ruangan bermural tersebut. Namun, dia belum melihat keberadaan Elfara sampai dia tiba di sebuah kamar."Istirahatlah, Dev! Elios, kau memiliki baju ganti untuknya?""Aku akan meminjamnya dari ....""Terserah kau saja!" potong Nania. Dev menangkap raut tidak suka Nania atas kalimat Elios."Baiklah!" kata Elios.
"Ini mustahil! Ini mustahil!" Dev membolak-balikkan tangan dan memerhatikan wajahnya. Perubahan yang dialaminya menjadi sesuatu yang lebih menyeramkan dari teror yang tengah dihadapi.Jantungnya berdenyut kacau. Kejadian di luar nalar tersebut menjadi pertanyaan besar yang terpikul di tempurung kepala. Dev diam, terpaku, menetralisir otaknya yang membeku. Tidak peduli lagi dengan bahaya yang mengancamnya.Suara gedoran pintu terdengar nyaring di telinga. Beberapa kali selama ketidakacuhannya. Anggota tubuhnya baru memberi respon saat decitan berbunyi lirih. Dev segera bersembunyi saat sileut tubuh seseorang terlihat dari ambang pintu yang sedikit terbuka."Devada!" Suara lelaki dalam keremangan itu adalah Elios.Di samping kanan lemari menyimpan desiran irama jantung Dev yang makin sumbang seiring dengan langkah gusar Elios. Dalam persembunyiannya dia dapat melihat rasa kejut bercampur cemas membentang di wajah Elios."Devada!" Elios berteriak seraya memeriksa semua sudut kamar. Kesem
"Aku diserang!" ungkap Dev pada akhirnya."Diserang? Siapa yang menyerangmu?""Tidak tahu!""Katakan dengan benar!" sentak Nania."Aku sudah mengatakannya dengan benar.""Jangan membuat karangan untuk meyakinkanku!" Gadis itu masih mengira bahwa Dev hanya membual."Kau pasti sudah melihat rekaman cctv di ponsel Elios, 'kan?" Nania melirik Dev sekejap, lalu dia terdiam dalam renungan."Dev, apa kau tadi masuk ke ruang pendingin?" Dev menggeleng lemah. Mana mungkin dia akan mengakui sebab yang berada di ruangan itu memang dirinya."Apa kau sedang memikirkan seorang terduga?" Dev menduga-duga. Berusaha memahami apa arti dari diamnya Nania. "Aku tidak tahu! Dev, apa kau membuat masalah sehingga kau mendapatkan serangan misterius?" Otak Nania masih dipenuhi tanda tanya."Tidak. Sejak beristirahat di sini aku tidak melakukan apa pun. Aku keluar mencarimu setelah aku mendapat semua luka ini." Dev mengarang sebaik mungkin."Baiklah. Beristirahatlah. Aku berada di lantai dua jika kau memerluk
"Berikan punggungmu! Maksudku aku akan mengobati lukamu." Dev meralat ucapannya.Ragu-ragu, gadis berbaju koyak itu memutar badan, lalu menyingsingkan rambut pirangnya yang tidak begitu terawat. Beberapa luka memar tampak di kulitnya yang putih. Dev mengambil air untuk mengompres. Resleting sedikit diturunkan agar kompresan menjangkau semua lebam dengan sempurna. Saat itulah dia tercengang untuk sesuatu yang lain."Sudah selesai. Istirahatlah! Aku pastikan tidak akan ada lagi yang berani menyakitimu termasuk Nania." Gadis itu melihat Dev takut-takut, lalu berbaring miring di ranjang.Sementara gadis itu berbaring dengan kebisuannya, Dev mengambil langkah keluar dengan wajah bermuram durja. Gelegak amarah memacunya untuk segera melihat Nania.Dev menemukan Nania pada ruangan di mana Elios masih tidak sadarkan diri. Gadis di sana tampak sibuk membangunkan Elios. Melihatnya, rahang Dev mengeras dua kali lipat."Nania!" teriakannya spontan mengalihkan fokus Nania.Diam mematung, Nania men
"Jika aku mengajaknya pulang, apa yang akan dia pikirkan tentang aku? Semua akan terbongkar pada akhirnya. Runyam!" Dev bergumam pada kabut yang menerobos di celah ruangan. Kakinya terhentak maju menyisir bentangan ubin yang mengarah ke pintu."Devada ...." Elios muncul di mulut pintu setelah beberapa waktu mengontrol kondisi Elfara. Bola mata Dev bergulir dingin ke tangan Elios yang dengan lancang mendarat di punggung tangannya."Maaf!" Elios dengan cepat menyadari kesalahannya."Aku akan membawa Elfara setelah kondisinya membaik.""Pikirkan baik-baik, Devada! Jangan tergesa-gesa membuat keputusan. Kau perempuan, Elfara perempuan. Bagaimana kau akan menjaganya sementara kita tidak tahu penjahat yang melukai Elfara?" cerocos Elios."Kau tidak tahu apa-apa, Elios! Aku tegaskan, jangan mengambil kesempatan dalam kesempitan! Buang jauh-jauh apa yang tumbuh di hatimu karena jika tidak, kau akan menyesali semuanya." Dev bergegas pergi meninggalkan Elios dalam terjangan tanda tanya.Hingga
Darah hitam kental bercampur lendir kekuningan menyorok Dev. Dari cairan menjijikan itu keluar kepala lengkap dengan tubuh yang gepeng dan susunan tulang yang remuk. Dev terkesiap melihat makhluk tersebut berdiri dan menatapnya dengan bola mata yang nyaris keluar."Siapa kau, Sialan?" Sosok berambut panjang itu bergeming. Akan tetapi, ia berjalan mendekati Dev dan melakukan penyerangan.Terbang ke atas kepala Dev, lalu dengan posisi terbalik, rambutnya yang kusut masai lagi basah dan lengket menjulur, mengikat seluruh kepala Dev. Untuk sesaat Dev tidak berdaya sebab merasa tidak nyaman dengan cairan busuk yang terus-menerus menetes dari seluruh tubuh makhluk menyeramkan tersebut.Hal itu menyebabkan dia dikendalikan dengan mudah. Tubuhnya terangkat, lalu terombang-ambing di udara. Suatu keadaan yang menyebabkan Dev seperti orang bisu. Pada saat tubuhnya melemas, sosok berkulit melepuh tersebut mnjatuhkan Dev ke lantai."Siapa kau, Jelek? Di mana ibuku?" cecar Dev sambil terbatuk, soso
Dev memeriksa kamar Elfara, kini dia percaya pada Mehmet. Gadis itu terbaring di ranjang princess-nya. Dari jarak yang dekat dia mengamati sang kakak. Terlihat polos. Sontak dia mengingat apa yang dialaminya beberapa saat yang lalu."Mana mungkin." Setelah pergi dari sana, dia pergi memeriksa Jess. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, wanita itu pun tengah terbaring miring dengan mata terpejam.Lantas, apa yang baru saja terjadi? Dev di dalam kamarnya melihat bayangan dirinya sendiri di cermin. Membelai kepalanya yang perih, bercak darah dia dapatkan menempel di telapak tangan. Lagi-lagi, pertanyaan besar menguras pikiran. Bayangan mesin gergaji di atas kepala masih segar di ingatan."Apa aku sudah gila?" Dev bergumam gusar. Obat yang selalu menjadi andalan ditelan kasar. Setelah itu, dia mengoles obat merah pada kepala.Tubuh Dev bergetar menahan perih tanpa suara. Tersimpuh di lantai, pandangannya mulai kabur. Sebuah kecamuk seoalah-olah menciptakan ilusi. Ya, mata berair itu memandan