“Masok, masooook!” jerit Aya dari dalam mobil ketika dia berhasil membuat taksi berhenti. Cepet-cepet Saka dan Cakra melompat. Cakra dan Mei Mei melihat benda apa yang mereka duduki sekarang. Ada angin sepoi-sepoi, terasa dingin, dengan gantungan stella all ini one aroma kopi.“Ini namanya apa?” tanya Mei yang duduk di sebelah Aya. Dayang itu merasa segan karena sejajar dengan sang putri, tapi tempatnya sempit.“Ini namanya mobil,” jawab Aya. “Mobil itu apa?” tanya Cakra Buana yang merasa sudah aman dari kejaran banci. “Kendaraan, sama seperti kuda.” Aya yang menjelaskan. Saka masih tolah-toleh ke belakang. Takut ada banci nongol lagi. “Ehm, ini mau pada ke mana, ya? Kok bajunya aneh?” Supir taksi kepo. “Antar aja ke alamat barusan, Pak, entar kita bayar pakai emas.” Ditunjukkan sama Aya daun dari emas. Melotot mata supirnya, langsung ngegas jalan. “Habis dari mana, Non?” Supir taksi masih penisirin. “Syuting, kejar tayang serial Angling Darma.” Aya asal jeplak“Ooh, itu, sih,
Bagian 47 Dear Diary Aya masih berada di kamar dan membaca semua diary milik Amira. Diary yang membuat perasaannya bercampur aduk. Terutama pada buku yang terakhir. Di sana tertuliskan perasaan Amira yang merasa bersalah karena tidak memanfaatkan waktu dengan baik. Hingga 18 tahun terasa sia-sia saja.“Sudah kuduga, tak mungkin ratu tak menyayangi anaknya sendiri. Semua karena keadaan yang memaksa,” ucap Saka merapikan satu demi satu kado yang berserakan.Aya membuka laci di mana obat-obatan Amira disimpan. Berdasarkan pengakuan dari diary mamanya, di sana tertuliskan sejak setahun sebelum Aya meninggalkan rumah, Amira sudah mengalami gejala leukimia. Namun, semua hanya dipendam saja, periksa sendirian, dirawat sendirian, dan berobat sendirian. Aya jatuh duduk lemas sambil memegang obat-obatan milik mamanya. Saka hanya bisa ikut duduk saja di sebelah sang putri. Gadis bermata biru itu memegang tangan pengawalnya. Saka, dari tatapan mata saja sudah tahu kegundahan yang dialami putri
“Tu-tu-tu-tu.” Mei Mei menarik tangan Saka dan Cakra ketika Aya keluar dari kamarnya. Cakra Buana sampai mengerjapkan mata berkali-kali. Namun, tidak dengan Saka. Lelaki itu paham apa yang dilakukan sang putri demi kebahagiaan ratunya. “Rambutnya ke mana?” tanya Cakra. “Tuan Putri, apa yang telah kau lakukan?” Bahu Mei jatuh lemas, rambut adalah simbol kejayaan di kerajaannya. “Sudah, biarkan saja, ada tidak ada rambut pun dia tetap harus dihormati.” Saka tak mengubah pandangannya sedikit pun pada gadis yang ia sayangi. Justru bertambah sayangnya berkali-kali lipat. Aya turun tangga agak malu-malu. Ia tersenyum dan mendekat pada Saka. “Kelihatan aneh, ya?” tanya sang putri. Mei dan Cakra mengangguk tapi tidak dengan Saka. “Terlihat lucu.” Lelaki itu tersenyum. Tergoda tangan Saka ingin menyentuh kepala Aya, tapi ia cepat sadar diri. “Oh, gitu, aduh jadi malu. Ya udah istirahat di kamar sendiri-sendiri ya, pasti capek semuanya, bye.” Gadis bermata biru tersebut masih risih denga
“Andai kau bukan seorang putri raja, pasti aku sudah akan membawamu lari dari kedua tangan orang tuamu.” Saka berkata sungguh-sungguh sambil matanya mengalihkan pandangan dari Aya. Pengawal itu bicara bebas dengan sang putri sekarang. “Ya, nggak ada urusannya, Pak. Sekarang ayahanda lagi sibuk, Mama pun udah merestui hubungan kita. Jadi nggak ada salahnya kalau memang mau serius menikah. Kecuali, Pak Saka udah punya perempuan lain di hati. Aya pastikan, diri ini nggak akan mengemis cinta, tapi Pak Saka juga nggak akan bisa menikah sama perempuan lai. Jadi kita sama-sama tersiksa, adil, kan?” Kecewa sang putri, ajakannya untuk menikah ditolak oleh Saka. Bahkan ia sudah merendahkan diri serendah-rendahnya dari dulu. “Bukan aku tak mau, Putri Cahaya. Tapi pikiranku terbagi dua, antara di sini dan di gunung. Peperangan pasti sangat besar, pangeran ketiga terlalu bernafsu untuk memilikimu, Putri Cahaya. Apa kau pikir aku rela melihatmu dengannya.” Kali ini Saka bersungguh-sungguh dengan
“Gimana, Pak?” tanya Aya perlahan. Amira menarik napas panjang dan ia menutup mata, tertidur usai kelelahan.“Maafkan kami. Kami tidak punya kekuatan untuk menyembuhkan penyakit ratu. Mungkin Guru Wirata bisa,” jawab Saka. Dua manusia harimau itu amat kelelahan setelah mengupayakan segala cara untuk menolong sang ratu. “Ya udah jemput kalau gitu,” ucap Cahaya agar membawa sang guru kemari. “Kita sedang berperang, Putri Cahaya.” Saka mengingatkan. “Berapa lama Aya harus nunggu. Lima bulan di sana, lima tahun di sini. Mama keburu ma—” Aya tak menerus ucapannya. Namun, matanya berembun. “Karena itu kami berdua harus membantu, izinkan kami pergi seperti pembicaraan kita tadi, Putri Cahaya. Rasanya berat hati ini saudara kami berperang tapi kami di sini bersantai saja.” Saka menatap mata biru Aya. Sejenak dua insan itu melupakan kasta di antara mereka yang terbentang jauh. Gadis itu menarik napas sejenak. Memang tidak ada kemungkinan perang dimenangkan lebih cepat, tapi kalau tidak di
“Kang Mas, bangun, ayo kita pergi dari sini. Kita sudah kalah.” Aya membantu Saka bangun. Manusia harimau itu terdesak. Sebagian besar pasukan Abhiseka telah mati, lalu Aya pun menyusul ke gunung. Mei telah tiada karena melindungi sang putri dari kejaran pasukan pangeran ketiga.“Pergi, Cahaya, selamatkan dirimu.” Saka tak sanggup bangkit lagi, kakinya telah terluka. Orang-orang pangeran ketiga teramat kuat dan banyak. Mereka pun bermain curang. “Nggak, kita pergi sama-sama.” Aya memapah Saka walau harus berjalan tertatih. Namun, pada saat itu juga lelaki tersebut terdiam. Ia jatuh dan memejamkan mata. Sebuah pedang panjang menancap di perutnya. “Kang Mas!” jerit Aya yang tidak terima dengan kematian lelaki kesayanganya. Ia bahkan menepuk pipi Saka berkali-kali. Ia tak mau ditinggal sendirian. “Bangun, Kang Mas, bangun, jangan tinggalin Aya.” “Putri Cahaya, gadis suci tak tersentuh yang teramat sombong, ke mana kau akan pergi? Ayahmu sudah mati begitu juga dengan lelaki rendahan ya
Taksaka serasa mendapat kekuatan besar usai ia memua seorang dewa perang bernama Dewa Arsa. Iya, tak hanya dirinya saja, tetapi pemujaan itu telah dipimpin oleh Gusti Prabu Abhiseka sebelumnya. Sebab semua manusia harimau memuja Dewa Arsa. Tentu di pihak lawan juga sama, hanya tinggal menanti sang dewa akan memberikan berkat dan keberuntungannya pada siapa. Siapa yang menang akan menjadi lebih berhak memiliki Cahaya. Pada malam harinya, harimau penjaga yang amat setia itu memejamkan mata. Ia sedang mempersiapkan diri untuk penyerangan besar-besaran besok. Taksaka dan Cakrabuana memimpin pasukan sendiri-sendiri yang sama kuat. Sedangkan sang prabu membawa manusia harimau lain yang lebih mumpuni lagi bersama sang guru Wirata. Semuanya ingin menang. “Bagaimana kalau seandaianya kita kalah?” tanya Cakrabuana ketika meminum air dari mata air. “Aku harus menang,” jawab Saka. “Demi sang putri?” Cakrabuana membasuh wajahnya. Hidungnya bergerak, ia mencium aroma kedatangan makhluk lain.
Lima tahun sudah Aya menanti di dunia manusia tanpa kabar sama sekali. Berkali-kali pergi ke Gunung Kalastra tapi ada perisai yang melarangnya masuk. Lalu ia hanya bisa pasrah saja. Pun dengan Amira yang semakin tersiksa tubuhnya, karena penyakit dan tenaga Aya yang berperang di dalam tubuhnya. “Mei, Aya titip mama, ya, nggak enak banget kalau nggak pergi ke undangan,” ucap Aya di satu malam. Sang putri baru saja selesai berdandan. Tak banyak polesan di wajahnya. Bahkan tanpa riasan sama sekali juga kecantikan Cahaya tidak bisa dilampaui manusia biasa. Namun, demi terlihat normal, ia poleskan eye shadow di matanya, sedikit. Putrinya Abhiseka itu harus menghandiri pesta pernikahan Lila. Amira hanya berkedip melihat penampilan putrinya yang kini semakin matang dan dewasa. Sang ratu hanya bisa bicara satu per satu saja. “Iya, pergilah Tuan Putri. Gusti Ratu biar bersama hamba saja. Tapi … Tuan Putri yakin pergi dengan baju seperti ini.” Mei saja yang perempuan terpesona apalagi lela