Sesampai di rumah Mami Sania, Kartika di bawa ke sebuah kamar yang berada di lantai atas. Ternyata, di dalam kamar itu ada dua orang gadis lain yang sebaya dengannya. Mereka menatap Kartika penuh rasa ingin tau.
"Kau tidur bersama mereka, ingat jangan coba berbuat hal yang aneh-aneh," kata Teti sebelum meninggalkan kamar itu.
Kartika melangkah perlahan, ia melihat tas yang ia bawa ketika datang ada di sudut ruangan. Kedua gadis itu bangkit dan menghampiri Kartika. Lalu mereka mengajak Kartika untuk duduk.
"Sakit ya?" tanya salah seorang gadis itu. Kartika mengangguk, ia memang merasakan sakit. Tidak hanya karena malam pertama yang terpaksa ia lakukan. Tapi, karena sakit yang ia rasakan di hatinya juga.
"Namaku Wendah dan ini Ayu. Namamu siapa?"
"Kartika, Teh."
"Jangan panggil teteh, kita seumuran kayanya. Panggil saja aku Wendah, kenapa kau bisa sampai ke sini?"
Kartika menatap Wendah dan Ayu, tanpa dapat ia tahan lagi air matanya kembali turun. Ia pun menangis tersedu-sedu. Dengan lirih di antara sedu sedannya Kartika pun menceritakan bagaimana ia bisa sampai ke rumah itu.
"Jadi, kamu masih sekolah? Ya Allah, tega sekali Ibu kamu ya. Sabar ya Tika, kita senasib. Aku dan Ayu juga dijual kepada Mami Sania. Hanya bedanya kami dijual oleh ayah kami," kata Wendah lagi.
"Apa sebelum kemari kalian sudah tau kalau kalian mau dijual?" tanya Kartika.
"Tau, kami ini kakak beradik, hanya lain Ibu. Bapak punya 3 istri, aku anak dari istri bapak yang kedua , sedangkan Ayu anak dari istri pertama bapak. Panen bapak gagal di kampung. Jadi, kamilah yang dikorbankan."
"Kenapa kalian mau?" tanya Kartika.
"Kami bisa apa? Ibu kami takut sama bapak. Bapak suka main pukul, apalagi kalau dibantah. Dan, bapak mengancam mau mencelakakan adik- adik kalau kami nggak mau."
Kartika menghapus air matanya perlahan. Ternyata, bukan hanya dirinya yang bernasib malang.
"Kalian sudah lama di sini?" tanya Kartika.
"Tiga hari, tapi katanya kita nggak akan di sini selamanya. Nanti kita akan di pindahkan ke Mess milik Mami Sania," kata Ayu.
"Aku pengen pulang, teh. Aku masih mau sekolah," kata Kartika lirih.
Ayu memeluk Kartika dan menepuk-nepuk punggung Kartika dengan lembut.
"Jika kita sudah masuk kemari, akan susah untuk keluar, kecuali ada yang mau menebus kita dan membebaskan kita dari Mami Sania," kata Ayu.
Mami Sania adalah seorang mucikari kelas kakap. Ia memiliki sebuah rumah yang cukup besar yang ia gunakan untuk bisnis kotornya. Ia mengumpulkan gadis-gadis yang berasal dari Indramayu, Kuningan dan sekitarnya. Pelanggan- pelanggan Mami Sania cukup banyak. Begitu juga dengan gadis - gadis yang 'bekerja' untuknya. Tarif masing-masing gadis berbeda-beda sesuai dengan usia dan juga wajahnya. Yang berwajah cantik dan masih belia seperti Kartika tentu saja memiliki tarif yang tinggi. Bahkan, Mami Sania memiliki langganan yang bisa dikatakan bukan orang sembarangan. PNS, pengusaha, bahkan ada beberapa yang merupakan orang-orang 'Penting' di kota Bandung. Untuk langganan esklusif, tentu tidak akan menyewa kamar di hotel dengan kelas melati.Tapi, di hotel berbintang. Anak buah Sania yang biasa akan mengantarkan 'paket' nya ke hotel tersebut.
Melihat wajah Kartika yang cantik dan usianya yang masih muda membuat Sania memutuskan untuk menempatkan Kartika bersama Ayu dan Wendah. Bagi Sania ketiga gadis itu akan menjadi tambang emas untuknya. Jika sudah tidak laku, barulah Sania akan memindahkannya ke Mess nya yang berada dekat dengan kelab malam terkenal di kota Bandung. Sania sendiri sudah menggeluti dunia hitam ini sejak ia bercerai dari suaminya. Merasa sakit hati karena suami menikah lagi, Sania justru sengaja menceburkan diri dalam lembah hitam. Dia tidak memiliki anak. Keluarga Sania sendiri sudah lama membuangnya karena mereka merasa malu dengan kelakuan Sania.
Tapi, Sania tidak peduli semua itu. Ia tidak peduli juga dengan omongan orang yang menghina dan merendahkannya. Bagi Sania yang terpenting adalah yang dan segala kemewahan. Masa bodoh dengan omongan orang.
Selama ini ia tidak hidup dari orang lain. Tapi, ia mencari uang sendiri. Meskipun itu uang lendir, uang haram Sania tidak peduli.
Hampir 3 bulan Kartika berada di rumah Sania. Entah sudah berapa banyak pria yang Kartika layani di kamar hotel. Hampir setiap malam dia dipaksa untuk melayani tamu- tamu. Tamu- tamu yang ia layani adalah tamu- tamu pilihan. Bukan orang sembaranga. Begitu juga dengan Wendah dan Ayu , nasib mereka setali tiga uang dengan Kartika. Ketiganya saat ini hanya bisa pasrah dengan keadaan yang mereka jalani saat ini. Kartika sudah tidak pernah menangis lagi sekarang. Ia hanya bisa pasrah dan menahan sakit hatinya. Dari uang tips yang ia kumpulkan, Kartika mulai belajar memakai make up dari Teti. Sania tidak pernah meminta uang tips yang diberikan oleh para tamu. Bagi Sania, ketiga gadis itu masih sangat menguntungkan. Hingga tiba di bulan ke 4 saat tamu mulai bosan dengan ketiga gadis itu. Sania pun memutuskan untuk memindahkan ketiga gadis itu ke Mess nya untuk bergabung bersama para gadis yang lain. Seumur h
Kartika tersentak saat mendengar bentakan dari seseorang. Begitu juga dengan Wendah dan Ayu.Mereka langsung melepaskan pelukan dan menatap gadis yang berdiri di depan pintu kamar mereka."Kalian ini nggak tau diri ya! Baru datang udah bikin keributan. Kalau siang begini, jam nya istirahat! Emang dulu di rumah Mami Sania kalian kerja kantoran! Sama aja, kerja kaya kami, jangan sok ya karena kemarin-kemarin kalian dapat tamu pejabat dan bos berduit kalian mau sombong!""Maaf ya, Mbak. Kami nggak bermaksud untuk buat Mbak nggak nyaman. Maaf kalau suara kami ganggu Mbak," kata Ayu dengan sedikit gemetar ketakutan. Gadis itu mencebik dan menatap Ayu dengan tajam. "Bilang sama kedua temen kamu ya, terutama yang pakai baju biru," katanya sambil menuding ke arah Kartika. "Jangan sok cantik di sini!" Setelah puas meluapkan emosinya, gadis itu pun segera pergi meninggalkan mereka bertiga. Ayu langsung bangkit lalu menutup pint
Air mata Kartika tak terbendung lagi, ia pun menangis di pelukan Sundari."Terimakasih, bu.""Ibu akan mengurus KTP mu ya nak. Oya, kau harus belajar untuk menabung, nak. Sedapat mungkin Ibu akan memberimu tamu yang baik dan tidak kasar juga royal dalam memberikan uang tips. Sehingga kau bisa cepat keluar dari sini. Ibu nggak mau kau bernasib sama seperti Ibu. Sampai tua di tempat seperti ini. Jangan berlama-lama di tempat ini, nak. Kau masih terlalu muda dan, kau masih berhak untuk merasakan kehidupan yang jauh lebih baik. Nah, sekarang kau bergabung dengan yang lain. Kalian akan segera diantar ke klub. Berdandanlah yang cantik. Biasanya tamu-tamu datang pukul 11 malam. Ibu akan memilih tamu yang baik untukmu ya, nak. Ada kok, tamu yang hanya booking untuk menemani karaoke. Tidak selalu harus menemani di atas ranjang.""Sekali lagi, terimakasih bu.""Sama-sama, nak." Kartika pun beranjak keluar ruangan d
Setelah puas bermain-main dengan Kartika, Teddy pun mengantarkan Kartika pulang."Kita makan dulu, ya. Nanti baru Akang antar pulang, ya.""Iya, terserah akang aja." Teddy dan Kartika pun langsung keluar dari kamar untuk cek out. Sebelum mengantarkan Kartika pulang, Teddy pun mengajak Kartika untuk mampir ke rumah makan. Namun, tiba-tiba saat sedang makan, seseorang menepuk bahu Kartika."Kartika, kamu Kartika kan? Kemana aja, kok udah berapa bulan nggak masuk sekolah? Lagi apa di sini?"Kartika pucat pasi, ia menatap gadis dengan seragam SMU yang berdiri di hadapannya."Rengganis?""Iya, kamu ngapain di sini? Dua bulan lalu, bu Atin datang ke rumah kamu, kayanya kamu kabur dari rumah? Kamu kelewatan, nggak kasian sama Ibu dan adik kamu? Bukannya bantu orang tua, malah kabur jangan-jangan kamu jadi simpenan om-om, ya? Ih, amit-amit, ngga
Setelah puas bermain-main dengan Kartika, Teddy pun mengantarkan Kartika pulang."Kita makan dulu, ya. Nanti baru Akang antar pulang, ya.""Iya, terserah akang aja." Teddy dan Kartika pun langsung keluar dari kamar untuk cek out. Sebelum mengantarkan Kartika pulang, Teddy pun mengajak Kartika untuk mampir ke rumah makan. Namun, tiba-tiba saat sedang makan, seseorang menepuk bahu Kartika."Kartika, kamu Kartika kan? Kemana aja, kok udah berapa bulan nggak masuk sekolah? Lagi apa di sini?"Kartika pucat pasi, ia menatap gadis dengan seragam SMU yang berdiri di hadapannya."Rengganis?""Iya, kamu ngapain di sini? Dua bulan lalu, bu Atin datang ke rumah kamu, kayanya kamu kabur dari rumah? Kamu kelewatan, nggak kasian sama Ibu dan adik kamu? Bukannya bantu orang tua, malah kabur jangan-jangan kamu jadi simpenan om-om, ya? Ih, amit-amit, ngga
Siang itu Sundari mengajak Kartika untuk membuat pas foto. Kartika hanya bisa menurut meskipun merasa cemas dan was-was. Ia takut apabila harus bertemu dengan kawan-kawannya. Apalagi jika mereka memakinya seperti yang dilakukan oleh Rengganis kemarin. Setelah selesai foto, Sundari mengajak Kartika membeli beberapa potong pakaian dan juga sepatu di Matahari Department store yang memang ada di daerah Cicadas."Ini buat siapa, Bu?" tanya Kartika."Buatmu...""Tapi...""Sudah, bawa saja, tidak usah berkata apapun. Ingat perjanjian kita, di luar kau adalah anak angkatku. Jadi, aku boleh membelikan apa saja untuk anakku.". Kartika tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya menuruti kemana Sundari mengajaknya."Kamu suka makan bakso?" tanya Sundari."Suka, bu.""Ya sudah, nanti kita makan bakso rudal di Padasuka saja.
Malam itu Aminah masih belum bisa lelap karena teringat Kartika. Sejak mengetahui kejadian yang menimpa Kartika, ia tidak mau bicara banyak pada Sulastri. Sebenarnya, ingin ia memecat saja Sulastri. Tapi, ia ingat pada Agung. Jika Sulastri tidak bekerja dengannya, bagaimana Agung bisa sekolah. Aminah masih punya hati untuk tidak memutus rezeki orang. Hanya saja, ia memang masih tidak habis pikir. Bagaimana mungkin seorang Ibu tega menjual anaknya sendiri untuk dijadikan wanita penghibur. Gelisah memikirkan Kartika, Aminah pun keluar dari kamarnya. Ia mendapati Denny sang anak sedang duduk di ruang tengah sambil melamun."Ada apa, Den?" tanya Aminah. Denny menoleh dan tersenyum pada sang Ibu."Tumben Ibu belum tidur, biasanya jam sembilan Ibu sudah tidur," kata Denny tak mengindahkan pertanyaan Aminah. Aminah melangkah dan duduk di samping Denny. Kemudian ia pun mengembuskan napasnya dengan bera
Dengan seringai licik di wajahnya, Sania pun membawa Kartika pergi. Sania langsung membawa Kartika menuju ke rumahnya yang mewah dan besar. Kartika langsung dibawa ke kamar utama yang terletak di lantai atas. Selama tinggal di rumah Sania, Kartika tau betul bahwa kamar utama di lantai atas itu adalah kamar istimewa. Bahkan Sania pun tidur di kamar utama di lantai satu yang tidak terlalu besar. Kamar itu cukup besar dengan ranjang berukuran big size, kamar mandi di dalam dan juga televisi."Kau tidak boleh keluar, nanti Teti akan mendandani dirimu.Jika kau lapar di dalam kulkas kecil itu ada buah-buahan dan juga ada panci elektrik untuk memasak air dan mie instan dalam cup," kata Sania. Dan, saat Kartika masuk ke dalam, terdengar pintu terkunci dari luar. Entah mengapa perasaan Kartika tiba-tiba tidak enak. Namun, ia tetap berusaha untuk berpikiran positif. Untuk mengusir kegelisahan, ia pun menghidupkan televisi dan menya
Sulastri dimakamkan di hari berikutnya. Bu Aminah membantu segala proses pemakaman. Widya dan Aryani yang mendengar berita kematian ibu kandung Kartika juga datang melayat. Aryani dan Widya tampak bahagia melihat Reni yang kini sudah menerima Kartika dengan tangan terbuka. "Saya senang melihat Jeng Reni sekarang akur dengan Kartika. Dia itu anak yang baik, Jeng," kata Widya saat proses pemakaman Sulastri selesai. Reni mengangguk dan menepuk punggung tangan besannya itu sambil tersenyum."Iya, dia anak yang baik. Saya menyesal sekali waktu itu sudah bersikap kasar dan kurang baik kepadanya.""Yang penting sekarang kan kalian berdua sudah akur." Sampai Sulastri selesai dimakamkan, keluarga angkat Agung tidak ada datang, padahal Aminah sudah memberi kabar. Kartika hanya bisa mengelus dada ,padahal ia ingin sekali bertemu dengan ad
Kartika menundukkan kepalanya, ah, sudah berapa tahun ia tidak bertemu dengan wanita yang sudah melahirkannya? Rasanya lama sekali ia tidak bertemu. Rindu? Ya, ia merindukan ibunya bahkan sejak ia kecil. Kartika selalu merindukan sang ibu. Merindukan belai kasih sayangnya, rindu ungkapan cinta seperti yang selalu ia bisikkan di telinga Dania sebelum tidur. Kapan ia bisa merasakan hal itu juga? "Ib-ibu ... saya tidak tau apakah ibu masih hidup atau sudah ...."Melihat menantunya terisak, sebagai seorang ibu dari dua orang anak, Reni bisa merasakan apa yang Kartika rasakan."Dia bukan ibu yang baik untukmu, Tika," kata Reni dengan lirih. Perlahan, Kartika mengangkat wajahnya yang sudah berlinang air mata."Dia memang bukan ibu yang baik, bahkan sejak kecil ibu rasanya tidak pernah memanjakan saya, Bu. Beliau selalu berkata
Sejak keributan di rumah makan yang ia buat, Reni tak lagi mengganggu Kartika dan juga Dania. Bahkan ia mulai mau memakan makanan yang dikirimkan oleh Kartika melalui Rania yang sering datang menemui Kartika dan Dania. "Ini makanan dari Kartika?" tanya Reni sore itu saat Rania datang sambil membawa kolak dan soto kesukaannya."Iya, Bu. Mbak Kartika yang membuat makanan ini. Kalau ibu nggak mau biar aku yang abisin," kata Rania."Eh, jangan dong. Kamu kan udah makan di sana. Ini jatah ibu, udah tau ini makanan favorit ibu masih aja kamu ambil," gerutu Reni. Sementara itu, Rania hanya mencibir, "Makannya mau, tapi sama orangnya Ibu selalu memusuhi," sindir Rania membuat wajah Reni memerah karena malu."Aku sudah tidak pernah marah-marah kepadanya lagi," kata Reni sambil mencicipi kolak. Wajah Reni berbinar se
Reni menggebrak meja dengan kesal saat ia menerima pesan dari Rivan. Anaknya itu baru saja mengirimkan sejumlah uang yang dia minta. Padahal ia ingin sekali Rivan meminta padanya dan mengemis supaya ia bisa memisahkan Rivan dan Kartika. Entahlah, sejak pertama bertemu Kartika ia merasa seperti bertemu seseorang di masa lalunya. Orang yang pernah ia benci sekaligus ia cintai. Wajah Kartika sungguh mirip dengan orang itu."Bu , sudahlah jangan ganggu Mas Rivan terus. Toh dia tidak pernah merepotkan ibu," ujar Riana. Wanita cantik itu merasa heran dengan sikap ibunya yang ia rasa cukup kelewatan. Reni menoleh dan memicingkan mata kesal pada putrinya itu."Nggak! Ibu mau perempuan itu pergi dari Rivan!""Mereka ada anak, dan lagi perempuan itu tidak salah apa-apa. Aku sudah mendengar semuanya dari Mbak Aryani. Kalau ibu begini terus ,aku nggak mau lagi mengurus Sask
Kartika menjadi jauh lebih kuat dengan dukungan dari Widya dan Aryani. Ia dan Rivan benar-benar memulai kehidupan yang baru. Semua bisnis keluarga yang tadinya dijalankan oleh Rivan kini dijalankan oleh Agung, suami Riana adiknya. Semua itu karena Reni yang tidak ikhlas jika Kartika menikmati hasilnya. Hanya rumah makan yang masih Rivan jalankan. Karena modal rumah makan itu murni dari uang pribadi Rivan yang ia kumpulkan. Kartika tidak mengeluh dengan itu semua. Bahkan, terkadang ia datang ke rumah makan bersama Dania di jam makan siang sekadar untuk menemani suaminya makan siang. Jika dulu Rivan hanya datang sesekali untuk mengecek, maka sekarang Rivan lebih fokus menjalankan usaha itu sehingga rumah makan miliknya yang sudah hampir 15 tahun ia bangun menjadi lebih berkembang. Karyawan di sana beberapa sudah ganti. Hanya Ella
Kartika menunduk mendengar perkataan Widya."Kenapa,sayang?"Sontak, Kartika mengangkat wajahnya. Seumur hidup belum pernah ia dipanggil sayang oleh ibunya, Sulastri. Bahkan mertuanya pun mati-matian membencinya. Tetapi, wanita di hadapannya ini begitu lembut dan penuh kasih sayang. Air mata tak terbendung lagi jatuh membasahi pipinya yang putih mulus itu."Loh ,kenapa kok malah nangis? Ibu salah bicara?" tanya Widya kebingungan. Kartika menggelengkan kepalanya perlahan , "Bu, seumur hidup belum pernah saya dipanggil sayang oleh ibu kandung saya. Tapi, ibu barusan memanggil saya sayang? Saya nggak salah dengar, kan?""Ya Allah, Tika ...."Widya pun langsung membawa Kartika ke dalam pelukannya. Ia merasa iba dan terharu mendengar pengakuan Kartika. Bahkan mendengar kisah hidupnya pun ia merasa sangat terharu. &nb
Saat pemakaman berlangsung, Aryani dan Kartika tidak hadir , barulah ketika Widya mengirimkan pesan bahwa Reni dalam perjalanan untuk menjemput Saskia, Aryani bergegas membawa Kartika pergi ke rumah sakit untuk menjenguk Rivan. Hal itu sengaja dilakukan supaya Reni dan Kartika tidak bertemu. Widya merasa tidak tega jika Reni terus menerus mengatakan bahwa Kartika pembawa sial. Ternyata Gazali yang mengurus kepindahan rumah sakit Rivan dan tentu Kartika pun tidak kesulitan untuk melihat kondisi suaminya itu. Dania yang melihat kondisi Rivan yang dipasang beberapa alat bantu langsung menangis sedih."Menurut dokter kondisinya kini belum stabil, Rivan sempat sadar sebentar, tapi kembali seperti ini," kata Gazali. Dania perlahan mendekati Rivan dan memegang tangan ayahnya itu. Kemudian gadis kecil itu mengecup dahi Rivan.&nbs
Bu Widya pulang ke rumah pukul tiga pagi, ia terkejut saat melihat Kartika baru saja keluar dari kamar mandi."Kamu tidak tidur, Nak?" tanyanya. Kartika tersenyum, "Saya mau tahajud, Bu," jawabnya."Ya Allah, Nak ... Kamu ternyata memang anak baik," ujar Widya sambil memeluk Kartika."Kita solat bersama, ya, tunggu ibu sebentar," ujarnya lagi lalu Widya pun bergegas mengambil air wudhu dan mereka pun melaksanakan solat sepertiga malam bersama. Setelah selesai solat, Widya mengajak Kartika duduk bersamanya di ruang keluarga."Aryani sudah bercerita kepada Ibu, Nak. Kartika, ibu mohon jangan pernah mengatakan bahwa dirimu ini pembawa sial. Tidak ada hal yang seperti itu, Nak.""Ibu belum tau siapa saya yang sebenarnya, jika ibu tau mungkin ibu akan mengusir saya dari rumah ini saat ini juga," kata Kartika. Widya menghela napas panjang, "
Aryani menoleh ke pintu, dua orang gadis kecil tampak berdiri namun ragu untuk melangkah ke kamar karena melihat kehadiran Kartika dan Dania."Saskia, Yunita, ayo sini!" panggil Aryani pada kedua gadis kecil itu. Mendengar nama Saskia, Kartika tau bahwa salah satu dari kedua gadis itu adalah anak RIvan dan Salsa."Yang berambut panjang dan sedikit lebih tinggi itu adalah Yunita anakku, TIka. Hmm ... boleh aku panggil Tika?""Boleh, Mbak ....""Ya, itu Yunita anakku, dan yang satunya Saskia anaknya Salsa. Saskia, Yunita ini Dania, dia adalah sepupu kalian. Jadi, kalian harus akur, ya?""Iya, Ma. Oya , ini tante siapa?" tanya Yunita."Ini Tante Kartika, mamanya Dania." Yunita langsung tersenyum ramah pada Kartika lalu mendekat dan mencium punggung tangan Kartika."Tante, saya Yunita," ujar Yunita dengan ramah. Tampak bahwa sikap