Aryani menoleh ke pintu, dua orang gadis kecil tampak berdiri namun ragu untuk melangkah ke kamar karena melihat kehadiran Kartika dan Dania.
"Saskia, Yunita, ayo sini!" panggil Aryani pada kedua gadis kecil itu.
Mendengar nama Saskia, Kartika tau bahwa salah satu dari kedua gadis itu adalah anak RIvan dan Salsa.
"Yang berambut panjang dan sedikit lebih tinggi itu adalah Yunita anakku, TIka. Hmm ... boleh aku panggil Tika?"
"Boleh, Mbak ...."
"Ya, itu Yunita anakku, dan yang satunya Saskia anaknya Salsa. Saskia, Yunita ini Dania, dia adalah sepupu kalian. Jadi, kalian harus akur, ya?"
"Iya, Ma. Oya , ini tante siapa?" tanya Yunita.
"Ini Tante Kartika, mamanya Dania."
Yunita langsung tersenyum ramah pada Kartika lalu mendekat dan mencium punggung tangan Kartika.
"Tante, saya Yunita," ujar Yunita dengan ramah. Tampak bahwa sikap
Bu Widya pulang ke rumah pukul tiga pagi, ia terkejut saat melihat Kartika baru saja keluar dari kamar mandi."Kamu tidak tidur, Nak?" tanyanya. Kartika tersenyum, "Saya mau tahajud, Bu," jawabnya."Ya Allah, Nak ... Kamu ternyata memang anak baik," ujar Widya sambil memeluk Kartika."Kita solat bersama, ya, tunggu ibu sebentar," ujarnya lagi lalu Widya pun bergegas mengambil air wudhu dan mereka pun melaksanakan solat sepertiga malam bersama. Setelah selesai solat, Widya mengajak Kartika duduk bersamanya di ruang keluarga."Aryani sudah bercerita kepada Ibu, Nak. Kartika, ibu mohon jangan pernah mengatakan bahwa dirimu ini pembawa sial. Tidak ada hal yang seperti itu, Nak.""Ibu belum tau siapa saya yang sebenarnya, jika ibu tau mungkin ibu akan mengusir saya dari rumah ini saat ini juga," kata Kartika. Widya menghela napas panjang, "
Saat pemakaman berlangsung, Aryani dan Kartika tidak hadir , barulah ketika Widya mengirimkan pesan bahwa Reni dalam perjalanan untuk menjemput Saskia, Aryani bergegas membawa Kartika pergi ke rumah sakit untuk menjenguk Rivan. Hal itu sengaja dilakukan supaya Reni dan Kartika tidak bertemu. Widya merasa tidak tega jika Reni terus menerus mengatakan bahwa Kartika pembawa sial. Ternyata Gazali yang mengurus kepindahan rumah sakit Rivan dan tentu Kartika pun tidak kesulitan untuk melihat kondisi suaminya itu. Dania yang melihat kondisi Rivan yang dipasang beberapa alat bantu langsung menangis sedih."Menurut dokter kondisinya kini belum stabil, Rivan sempat sadar sebentar, tapi kembali seperti ini," kata Gazali. Dania perlahan mendekati Rivan dan memegang tangan ayahnya itu. Kemudian gadis kecil itu mengecup dahi Rivan.&nbs
Kartika menunduk mendengar perkataan Widya."Kenapa,sayang?"Sontak, Kartika mengangkat wajahnya. Seumur hidup belum pernah ia dipanggil sayang oleh ibunya, Sulastri. Bahkan mertuanya pun mati-matian membencinya. Tetapi, wanita di hadapannya ini begitu lembut dan penuh kasih sayang. Air mata tak terbendung lagi jatuh membasahi pipinya yang putih mulus itu."Loh ,kenapa kok malah nangis? Ibu salah bicara?" tanya Widya kebingungan. Kartika menggelengkan kepalanya perlahan , "Bu, seumur hidup belum pernah saya dipanggil sayang oleh ibu kandung saya. Tapi, ibu barusan memanggil saya sayang? Saya nggak salah dengar, kan?""Ya Allah, Tika ...."Widya pun langsung membawa Kartika ke dalam pelukannya. Ia merasa iba dan terharu mendengar pengakuan Kartika. Bahkan mendengar kisah hidupnya pun ia merasa sangat terharu. &nb
Kartika menjadi jauh lebih kuat dengan dukungan dari Widya dan Aryani. Ia dan Rivan benar-benar memulai kehidupan yang baru. Semua bisnis keluarga yang tadinya dijalankan oleh Rivan kini dijalankan oleh Agung, suami Riana adiknya. Semua itu karena Reni yang tidak ikhlas jika Kartika menikmati hasilnya. Hanya rumah makan yang masih Rivan jalankan. Karena modal rumah makan itu murni dari uang pribadi Rivan yang ia kumpulkan. Kartika tidak mengeluh dengan itu semua. Bahkan, terkadang ia datang ke rumah makan bersama Dania di jam makan siang sekadar untuk menemani suaminya makan siang. Jika dulu Rivan hanya datang sesekali untuk mengecek, maka sekarang Rivan lebih fokus menjalankan usaha itu sehingga rumah makan miliknya yang sudah hampir 15 tahun ia bangun menjadi lebih berkembang. Karyawan di sana beberapa sudah ganti. Hanya Ella
Reni menggebrak meja dengan kesal saat ia menerima pesan dari Rivan. Anaknya itu baru saja mengirimkan sejumlah uang yang dia minta. Padahal ia ingin sekali Rivan meminta padanya dan mengemis supaya ia bisa memisahkan Rivan dan Kartika. Entahlah, sejak pertama bertemu Kartika ia merasa seperti bertemu seseorang di masa lalunya. Orang yang pernah ia benci sekaligus ia cintai. Wajah Kartika sungguh mirip dengan orang itu."Bu , sudahlah jangan ganggu Mas Rivan terus. Toh dia tidak pernah merepotkan ibu," ujar Riana. Wanita cantik itu merasa heran dengan sikap ibunya yang ia rasa cukup kelewatan. Reni menoleh dan memicingkan mata kesal pada putrinya itu."Nggak! Ibu mau perempuan itu pergi dari Rivan!""Mereka ada anak, dan lagi perempuan itu tidak salah apa-apa. Aku sudah mendengar semuanya dari Mbak Aryani. Kalau ibu begini terus ,aku nggak mau lagi mengurus Sask
Sejak keributan di rumah makan yang ia buat, Reni tak lagi mengganggu Kartika dan juga Dania. Bahkan ia mulai mau memakan makanan yang dikirimkan oleh Kartika melalui Rania yang sering datang menemui Kartika dan Dania. "Ini makanan dari Kartika?" tanya Reni sore itu saat Rania datang sambil membawa kolak dan soto kesukaannya."Iya, Bu. Mbak Kartika yang membuat makanan ini. Kalau ibu nggak mau biar aku yang abisin," kata Rania."Eh, jangan dong. Kamu kan udah makan di sana. Ini jatah ibu, udah tau ini makanan favorit ibu masih aja kamu ambil," gerutu Reni. Sementara itu, Rania hanya mencibir, "Makannya mau, tapi sama orangnya Ibu selalu memusuhi," sindir Rania membuat wajah Reni memerah karena malu."Aku sudah tidak pernah marah-marah kepadanya lagi," kata Reni sambil mencicipi kolak. Wajah Reni berbinar se
Kartika menundukkan kepalanya, ah, sudah berapa tahun ia tidak bertemu dengan wanita yang sudah melahirkannya? Rasanya lama sekali ia tidak bertemu. Rindu? Ya, ia merindukan ibunya bahkan sejak ia kecil. Kartika selalu merindukan sang ibu. Merindukan belai kasih sayangnya, rindu ungkapan cinta seperti yang selalu ia bisikkan di telinga Dania sebelum tidur. Kapan ia bisa merasakan hal itu juga? "Ib-ibu ... saya tidak tau apakah ibu masih hidup atau sudah ...."Melihat menantunya terisak, sebagai seorang ibu dari dua orang anak, Reni bisa merasakan apa yang Kartika rasakan."Dia bukan ibu yang baik untukmu, Tika," kata Reni dengan lirih. Perlahan, Kartika mengangkat wajahnya yang sudah berlinang air mata."Dia memang bukan ibu yang baik, bahkan sejak kecil ibu rasanya tidak pernah memanjakan saya, Bu. Beliau selalu berkata
Sulastri dimakamkan di hari berikutnya. Bu Aminah membantu segala proses pemakaman. Widya dan Aryani yang mendengar berita kematian ibu kandung Kartika juga datang melayat. Aryani dan Widya tampak bahagia melihat Reni yang kini sudah menerima Kartika dengan tangan terbuka. "Saya senang melihat Jeng Reni sekarang akur dengan Kartika. Dia itu anak yang baik, Jeng," kata Widya saat proses pemakaman Sulastri selesai. Reni mengangguk dan menepuk punggung tangan besannya itu sambil tersenyum."Iya, dia anak yang baik. Saya menyesal sekali waktu itu sudah bersikap kasar dan kurang baik kepadanya.""Yang penting sekarang kan kalian berdua sudah akur." Sampai Sulastri selesai dimakamkan, keluarga angkat Agung tidak ada datang, padahal Aminah sudah memberi kabar. Kartika hanya bisa mengelus dada ,padahal ia ingin sekali bertemu dengan ad
Sulastri dimakamkan di hari berikutnya. Bu Aminah membantu segala proses pemakaman. Widya dan Aryani yang mendengar berita kematian ibu kandung Kartika juga datang melayat. Aryani dan Widya tampak bahagia melihat Reni yang kini sudah menerima Kartika dengan tangan terbuka. "Saya senang melihat Jeng Reni sekarang akur dengan Kartika. Dia itu anak yang baik, Jeng," kata Widya saat proses pemakaman Sulastri selesai. Reni mengangguk dan menepuk punggung tangan besannya itu sambil tersenyum."Iya, dia anak yang baik. Saya menyesal sekali waktu itu sudah bersikap kasar dan kurang baik kepadanya.""Yang penting sekarang kan kalian berdua sudah akur." Sampai Sulastri selesai dimakamkan, keluarga angkat Agung tidak ada datang, padahal Aminah sudah memberi kabar. Kartika hanya bisa mengelus dada ,padahal ia ingin sekali bertemu dengan ad
Kartika menundukkan kepalanya, ah, sudah berapa tahun ia tidak bertemu dengan wanita yang sudah melahirkannya? Rasanya lama sekali ia tidak bertemu. Rindu? Ya, ia merindukan ibunya bahkan sejak ia kecil. Kartika selalu merindukan sang ibu. Merindukan belai kasih sayangnya, rindu ungkapan cinta seperti yang selalu ia bisikkan di telinga Dania sebelum tidur. Kapan ia bisa merasakan hal itu juga? "Ib-ibu ... saya tidak tau apakah ibu masih hidup atau sudah ...."Melihat menantunya terisak, sebagai seorang ibu dari dua orang anak, Reni bisa merasakan apa yang Kartika rasakan."Dia bukan ibu yang baik untukmu, Tika," kata Reni dengan lirih. Perlahan, Kartika mengangkat wajahnya yang sudah berlinang air mata."Dia memang bukan ibu yang baik, bahkan sejak kecil ibu rasanya tidak pernah memanjakan saya, Bu. Beliau selalu berkata
Sejak keributan di rumah makan yang ia buat, Reni tak lagi mengganggu Kartika dan juga Dania. Bahkan ia mulai mau memakan makanan yang dikirimkan oleh Kartika melalui Rania yang sering datang menemui Kartika dan Dania. "Ini makanan dari Kartika?" tanya Reni sore itu saat Rania datang sambil membawa kolak dan soto kesukaannya."Iya, Bu. Mbak Kartika yang membuat makanan ini. Kalau ibu nggak mau biar aku yang abisin," kata Rania."Eh, jangan dong. Kamu kan udah makan di sana. Ini jatah ibu, udah tau ini makanan favorit ibu masih aja kamu ambil," gerutu Reni. Sementara itu, Rania hanya mencibir, "Makannya mau, tapi sama orangnya Ibu selalu memusuhi," sindir Rania membuat wajah Reni memerah karena malu."Aku sudah tidak pernah marah-marah kepadanya lagi," kata Reni sambil mencicipi kolak. Wajah Reni berbinar se
Reni menggebrak meja dengan kesal saat ia menerima pesan dari Rivan. Anaknya itu baru saja mengirimkan sejumlah uang yang dia minta. Padahal ia ingin sekali Rivan meminta padanya dan mengemis supaya ia bisa memisahkan Rivan dan Kartika. Entahlah, sejak pertama bertemu Kartika ia merasa seperti bertemu seseorang di masa lalunya. Orang yang pernah ia benci sekaligus ia cintai. Wajah Kartika sungguh mirip dengan orang itu."Bu , sudahlah jangan ganggu Mas Rivan terus. Toh dia tidak pernah merepotkan ibu," ujar Riana. Wanita cantik itu merasa heran dengan sikap ibunya yang ia rasa cukup kelewatan. Reni menoleh dan memicingkan mata kesal pada putrinya itu."Nggak! Ibu mau perempuan itu pergi dari Rivan!""Mereka ada anak, dan lagi perempuan itu tidak salah apa-apa. Aku sudah mendengar semuanya dari Mbak Aryani. Kalau ibu begini terus ,aku nggak mau lagi mengurus Sask
Kartika menjadi jauh lebih kuat dengan dukungan dari Widya dan Aryani. Ia dan Rivan benar-benar memulai kehidupan yang baru. Semua bisnis keluarga yang tadinya dijalankan oleh Rivan kini dijalankan oleh Agung, suami Riana adiknya. Semua itu karena Reni yang tidak ikhlas jika Kartika menikmati hasilnya. Hanya rumah makan yang masih Rivan jalankan. Karena modal rumah makan itu murni dari uang pribadi Rivan yang ia kumpulkan. Kartika tidak mengeluh dengan itu semua. Bahkan, terkadang ia datang ke rumah makan bersama Dania di jam makan siang sekadar untuk menemani suaminya makan siang. Jika dulu Rivan hanya datang sesekali untuk mengecek, maka sekarang Rivan lebih fokus menjalankan usaha itu sehingga rumah makan miliknya yang sudah hampir 15 tahun ia bangun menjadi lebih berkembang. Karyawan di sana beberapa sudah ganti. Hanya Ella
Kartika menunduk mendengar perkataan Widya."Kenapa,sayang?"Sontak, Kartika mengangkat wajahnya. Seumur hidup belum pernah ia dipanggil sayang oleh ibunya, Sulastri. Bahkan mertuanya pun mati-matian membencinya. Tetapi, wanita di hadapannya ini begitu lembut dan penuh kasih sayang. Air mata tak terbendung lagi jatuh membasahi pipinya yang putih mulus itu."Loh ,kenapa kok malah nangis? Ibu salah bicara?" tanya Widya kebingungan. Kartika menggelengkan kepalanya perlahan , "Bu, seumur hidup belum pernah saya dipanggil sayang oleh ibu kandung saya. Tapi, ibu barusan memanggil saya sayang? Saya nggak salah dengar, kan?""Ya Allah, Tika ...."Widya pun langsung membawa Kartika ke dalam pelukannya. Ia merasa iba dan terharu mendengar pengakuan Kartika. Bahkan mendengar kisah hidupnya pun ia merasa sangat terharu. &nb
Saat pemakaman berlangsung, Aryani dan Kartika tidak hadir , barulah ketika Widya mengirimkan pesan bahwa Reni dalam perjalanan untuk menjemput Saskia, Aryani bergegas membawa Kartika pergi ke rumah sakit untuk menjenguk Rivan. Hal itu sengaja dilakukan supaya Reni dan Kartika tidak bertemu. Widya merasa tidak tega jika Reni terus menerus mengatakan bahwa Kartika pembawa sial. Ternyata Gazali yang mengurus kepindahan rumah sakit Rivan dan tentu Kartika pun tidak kesulitan untuk melihat kondisi suaminya itu. Dania yang melihat kondisi Rivan yang dipasang beberapa alat bantu langsung menangis sedih."Menurut dokter kondisinya kini belum stabil, Rivan sempat sadar sebentar, tapi kembali seperti ini," kata Gazali. Dania perlahan mendekati Rivan dan memegang tangan ayahnya itu. Kemudian gadis kecil itu mengecup dahi Rivan.&nbs
Bu Widya pulang ke rumah pukul tiga pagi, ia terkejut saat melihat Kartika baru saja keluar dari kamar mandi."Kamu tidak tidur, Nak?" tanyanya. Kartika tersenyum, "Saya mau tahajud, Bu," jawabnya."Ya Allah, Nak ... Kamu ternyata memang anak baik," ujar Widya sambil memeluk Kartika."Kita solat bersama, ya, tunggu ibu sebentar," ujarnya lagi lalu Widya pun bergegas mengambil air wudhu dan mereka pun melaksanakan solat sepertiga malam bersama. Setelah selesai solat, Widya mengajak Kartika duduk bersamanya di ruang keluarga."Aryani sudah bercerita kepada Ibu, Nak. Kartika, ibu mohon jangan pernah mengatakan bahwa dirimu ini pembawa sial. Tidak ada hal yang seperti itu, Nak.""Ibu belum tau siapa saya yang sebenarnya, jika ibu tau mungkin ibu akan mengusir saya dari rumah ini saat ini juga," kata Kartika. Widya menghela napas panjang, "
Aryani menoleh ke pintu, dua orang gadis kecil tampak berdiri namun ragu untuk melangkah ke kamar karena melihat kehadiran Kartika dan Dania."Saskia, Yunita, ayo sini!" panggil Aryani pada kedua gadis kecil itu. Mendengar nama Saskia, Kartika tau bahwa salah satu dari kedua gadis itu adalah anak RIvan dan Salsa."Yang berambut panjang dan sedikit lebih tinggi itu adalah Yunita anakku, TIka. Hmm ... boleh aku panggil Tika?""Boleh, Mbak ....""Ya, itu Yunita anakku, dan yang satunya Saskia anaknya Salsa. Saskia, Yunita ini Dania, dia adalah sepupu kalian. Jadi, kalian harus akur, ya?""Iya, Ma. Oya , ini tante siapa?" tanya Yunita."Ini Tante Kartika, mamanya Dania." Yunita langsung tersenyum ramah pada Kartika lalu mendekat dan mencium punggung tangan Kartika."Tante, saya Yunita," ujar Yunita dengan ramah. Tampak bahwa sikap