Angel hanya menghela napas panjang, sebelumnya ia belum pernah melihat Kartika marah atau berkata dengan nada yang tinggi.
"Aku tidak pernah mau berada di tempat ini atau menjadi anak emas. Jika kalian pernah melihat aku tidak boleh bekerja oleh Mami Sundari selama hampir satu bulan itu karena aku baru saja menggugurkan kandungan akibat perbuatan Mami Sania yang menyuruh tamu untuk memakai aku bergantian."
Kartika tak kuasa lagi untuk menahan tangis dan perasaannya. Wendah dan Ayu hanya bisa tercengang mendengar pernyataan Kartika tadi. Mereka sama sekali tidak tau akan hal itu. Mereka pikir Kartika memang mendapatkan perlakuan istimewa,tapi ternyata jauh dari apa yang mereka bayangkan.
"Maafkan aku,Tika. Selama ini aku sudah salah sangka kepadamu," ujar Wendah perlahan sambil mengulurkan tangannya pada Kartika. Kartika tersenyum dan menyambut uluran tangan Wendah.
"Begini kan enak keliatannya," kata A
Pagi hari Kartika bangun dengan segar. Ia langsung mengambil air wudhu dan segera menunaikan ibadah Solat subuh. Entah sudah berapa lama ia tidak menjalankan ibadah. Dalam sujudnya Kartika mengucap syukur atas segala kebaikan yang sudah Allah berikan kepadanya. Tak lupa ia mengirimkan doa untuk almarhum ayahnya tercinta. Juga untuk ibu dan adiknya. Mengingat ibunya membuat hati Kartika terasa begitu sakit. Ibu yang sudah mengandung dan melahirkan. Namun,ibunya juga yang sudah menjualnya. Menjerumuskan ke dalam dunia yang sangat kelam dan hitam. Kartika menangis terisak-isak, ia tidak mengerti mengapa Sulastri begitu membencinya. Meski ia hadir akibat kecelakaan, tapi bukankah ayahnya bertanggung jawab? Setidaknya Sulastri tau siapa ayah Kartika. Sementara dirinya dulu, sempat mengandung tapi tidak tau siapa ayahnya. Saking banyaknya pria yang sudah menidurinya. Setelah menunaikan ibadah solat subuh dan men
Tak terasa sudah tiga bulan Kartika bekerja di tempat Rivan. Ia merasa betah, gaji yang diberikan oleh Rivan lebih dari cukup untuk kebutuhannya sehari-hari. Bahkan dia masih bisa menabung karena tidak perlu membayar uang kos sampai beberapa bulan ke depan. Dan, sore itu Kartika melihat Rivan datang dengan seorang gadis yang cantik sekali. Kartika menelan salivanya. Ia merasa sedikit iri kepada gadis itu. "Kau punya kasir baru, Mas?" katanya sambil melirik dan memperhatikan penampilan Kartika dari atas sampai bawah.Rivan tersenyum manis, "Kartika,ini calon istri saya, Salsa. Ini Kartika, sayang. Dia ini masih saudara jauh dari papaku. Kedua orangtuanya sudah meninggal dunia. Jadi, aku membantunya untuk bekerja di sini." Kartika menahan napasnya dan mengangguk hormat pada wanita cantik di samping Rivan. Salsa, wanita itu hanya tersenyu
Sudah beberapa hari ini Kartika merasa perutnya mual. Beberapa kali ia muntah-muntah di tempat kerjanya. Hal itu tak lepas dari perhatian dari Ella dan Sari sebagai teman Kartika yang paling dekat selama ini."Kau kenapa?" tanya Ella."Iya,Tika. Kau sakit,ya?""Aku mungkin masuk angin karena beberapa malam ini aku tidur terlalu malam," jawab Kartika."Kau punya pacar,Tika?" tanya Sari sedikit berbisik saat Ella sudah berjalan menuju meja pelanggan yang kebetulan baru datang. Kartika menatap Sari dengan dahi sedikiit berkerut."Memangnya kenapa, Sar?" tanya Kartika tidak mengerti."Nanti saja sepulang kerja kita bicarakan," kata Sari. Kartika hanya menganggukkan kepalanya dan melanjutkan pekerjaannya.
Rivan menepati janjinya untuk datang di sore hari. Namun, Kartika menolak saat Rivan mengajaknya untuk ke dokter kandungan."Kita harus cepat, Kartika. Kalau sudah terlalu besar mana mungkin bisa digugurkan lagi." Kecewa!Itulah yang Kartika rasakan saat ini. Ia merasa dunianya runtuh dan hancur. Tidak mengapa jika Rivan tidak mau bertanggung jawab. Tapi, jangan suruh ia mengugurkan kandungannya."Mas, beri aku waktu 3 hari untuk berpikir," kata Kartika. Rivan menghela napas panjang, "Baiklah, tiga hari saja. Jangan lebih.""Iya, aku janji hanya tiga hari," ujar Kartika. Pada akhirnya Rivan pun mengalah, ia pamit pulang. Sebelumnya ia mengulurkan amplop berisi uang kepada Kartika."Ini untukmu," ujarnya. Kartika tidak menolak pemberian Rivan. Ia mengambil amplop itu dan langsung menyimpannya.
Kartika menjalani masa kehamilannya dengan tabah dan sabar. Ia bekerja sebagai pembantu di rumah Pak Gazali setiap hari. Pekerjaannya hanya mencuci dan menggosok pakaian. Itupun khusus untuk cucian yang berat, Kartika diizinkan memakai mesin cuci. Layaknya wanita hamil terkadang Kartika ingin merasakan kasih sayang, namun ia hanya bisa membayangkan Rivan yang dulu sering memeluk dan memberikan rasa aman dan nyaman kepadanya. Untunglah Kartika dulu sempat meminta foto Rivan sebagai kenang-kenangan, sehingga jika ia merasa rindu ia akan menatap foto itu lama-lama dan memejamkan matanya sambil berdoa semoga Rivan juga merasakan kerinduan yang sama, meski rasanya itu adalah hal yang mustahil terjadi. Usia kandungan Kartika sudah memasuki minggu terakhir. Bu Rokayah, istri Pak Gazali mengizinkan Kartika untuk istirahat dulu menjelang lahiran. Bahkan, Rokayah memberikan banyak baju bayi lungsu
Rivan mengembuskan napas panjang sambil melangkah ke dalam rumah. Sudah empat bulan ini ia menikah dengan Salsa. Tapi, setiap kali ia pulang ke rumah Salsa selalu tak ada di rumah."Bik!" serunya. Terdengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa menghampirinya."Sudah pulang,Pak?" tanya Bik Sum."Ibu ke mana?""Anu ... ibu ...." Bik Sum tampak ketakutan , wanita separuh baya itu meremas kedua tangannya dengan panik."Ibu ke mana?" Rivan mengulangi pertanyaannya."Ibu sejak siang tadi pergi. Katanya arisan di Bogor.""Gila! Arisan sampai ke Bogor, lain kali kalau sembunyikan kunci mobilnya, Bik!""Mana Bibik berani, Pak. Nanti Ibu ngamuk." Rivan mendengus kesal, kemudian tanpa menunggu lebih lama lagi, ia pun kembali menyambar kunci mobilnya dan bergegas per
_10 tahun kemudian_ Kartika terkejut saat Dania pulang dengan pakaian yang kotor dan kaki yang luka. Wanita itu segera memeluk putrinya."Dania kenapa?" tanya Kartika. Alih-alih menjawab, Dania menatap Kartika dengan air mata yang menetes."Bu, Papa Dania sebenarnya ke mana? Ibu selalu bilang Papa kerja. Tapi, kenapa Papa nggak pernah pulang? Ayahnya Lia juga bekerja, tapi setiap sore pulang ke rumah. Ayahnya Eka meskipun kerjanya di Bandung, tapi setiap hari sabtu pasti pulang. Tapi, sejak kecil Dania belum pernah ketemu Papa."Duh, Gusti!Dada Kartika terasa begitu sesak. Ada luka yang tidak berdarah, di dalam hatinya. Selama sembilan tahun ini , Kartika bekerja banting tulang demi menghidupi Dania. Mencuci gosok dan menjadi pembantu rumah tangga di beberapa tempat. Semua itu Kartika lakukan agar semua kebutuhan Dania tercukupi.
Kartika melangkah masuk ke dalam rumah begitu Ibu Siti pergi. Ia melihat Dania baru saja keluar dari kamar mandi dan sedang membereskan cucian piring yang belum sempat ia cuci."Nak, ini tas sekolah dari Bu Siti. Nanti, kalau ketemu beliau jangan lupa bilang terima kasih, ya. Sebentar lagi, Ibu mau ke rumah Bu Anisa. Cucian dan gosokan di rumahnya sudah banyak. Kamu, makan dan belajar. Jangan keluar rumah,ya. Menonton televisi saja di rumah," kata Kartika.Dania mengangguk patuh."Bu, maafkan sikap Dania tadi. Pasti Ibu sangat sedih dengan perkataan Dania. Dania janji ,Bu. Mulai besok Dania tidak akan menangis lagi dan tidak akan mendengarkan perkataan orang-orang lagi."Kartika merasa batinnya tersayat , sedih sekali melihat putri semata wayangnya bersedih seperti ini. Kartika pun memeluk Dania dengan erat."Ibu sangat mencintaimu, Dania.""Bu, tidak apa jika Papa tidak pernah menengok ki
Sulastri dimakamkan di hari berikutnya. Bu Aminah membantu segala proses pemakaman. Widya dan Aryani yang mendengar berita kematian ibu kandung Kartika juga datang melayat. Aryani dan Widya tampak bahagia melihat Reni yang kini sudah menerima Kartika dengan tangan terbuka. "Saya senang melihat Jeng Reni sekarang akur dengan Kartika. Dia itu anak yang baik, Jeng," kata Widya saat proses pemakaman Sulastri selesai. Reni mengangguk dan menepuk punggung tangan besannya itu sambil tersenyum."Iya, dia anak yang baik. Saya menyesal sekali waktu itu sudah bersikap kasar dan kurang baik kepadanya.""Yang penting sekarang kan kalian berdua sudah akur." Sampai Sulastri selesai dimakamkan, keluarga angkat Agung tidak ada datang, padahal Aminah sudah memberi kabar. Kartika hanya bisa mengelus dada ,padahal ia ingin sekali bertemu dengan ad
Kartika menundukkan kepalanya, ah, sudah berapa tahun ia tidak bertemu dengan wanita yang sudah melahirkannya? Rasanya lama sekali ia tidak bertemu. Rindu? Ya, ia merindukan ibunya bahkan sejak ia kecil. Kartika selalu merindukan sang ibu. Merindukan belai kasih sayangnya, rindu ungkapan cinta seperti yang selalu ia bisikkan di telinga Dania sebelum tidur. Kapan ia bisa merasakan hal itu juga? "Ib-ibu ... saya tidak tau apakah ibu masih hidup atau sudah ...."Melihat menantunya terisak, sebagai seorang ibu dari dua orang anak, Reni bisa merasakan apa yang Kartika rasakan."Dia bukan ibu yang baik untukmu, Tika," kata Reni dengan lirih. Perlahan, Kartika mengangkat wajahnya yang sudah berlinang air mata."Dia memang bukan ibu yang baik, bahkan sejak kecil ibu rasanya tidak pernah memanjakan saya, Bu. Beliau selalu berkata
Sejak keributan di rumah makan yang ia buat, Reni tak lagi mengganggu Kartika dan juga Dania. Bahkan ia mulai mau memakan makanan yang dikirimkan oleh Kartika melalui Rania yang sering datang menemui Kartika dan Dania. "Ini makanan dari Kartika?" tanya Reni sore itu saat Rania datang sambil membawa kolak dan soto kesukaannya."Iya, Bu. Mbak Kartika yang membuat makanan ini. Kalau ibu nggak mau biar aku yang abisin," kata Rania."Eh, jangan dong. Kamu kan udah makan di sana. Ini jatah ibu, udah tau ini makanan favorit ibu masih aja kamu ambil," gerutu Reni. Sementara itu, Rania hanya mencibir, "Makannya mau, tapi sama orangnya Ibu selalu memusuhi," sindir Rania membuat wajah Reni memerah karena malu."Aku sudah tidak pernah marah-marah kepadanya lagi," kata Reni sambil mencicipi kolak. Wajah Reni berbinar se
Reni menggebrak meja dengan kesal saat ia menerima pesan dari Rivan. Anaknya itu baru saja mengirimkan sejumlah uang yang dia minta. Padahal ia ingin sekali Rivan meminta padanya dan mengemis supaya ia bisa memisahkan Rivan dan Kartika. Entahlah, sejak pertama bertemu Kartika ia merasa seperti bertemu seseorang di masa lalunya. Orang yang pernah ia benci sekaligus ia cintai. Wajah Kartika sungguh mirip dengan orang itu."Bu , sudahlah jangan ganggu Mas Rivan terus. Toh dia tidak pernah merepotkan ibu," ujar Riana. Wanita cantik itu merasa heran dengan sikap ibunya yang ia rasa cukup kelewatan. Reni menoleh dan memicingkan mata kesal pada putrinya itu."Nggak! Ibu mau perempuan itu pergi dari Rivan!""Mereka ada anak, dan lagi perempuan itu tidak salah apa-apa. Aku sudah mendengar semuanya dari Mbak Aryani. Kalau ibu begini terus ,aku nggak mau lagi mengurus Sask
Kartika menjadi jauh lebih kuat dengan dukungan dari Widya dan Aryani. Ia dan Rivan benar-benar memulai kehidupan yang baru. Semua bisnis keluarga yang tadinya dijalankan oleh Rivan kini dijalankan oleh Agung, suami Riana adiknya. Semua itu karena Reni yang tidak ikhlas jika Kartika menikmati hasilnya. Hanya rumah makan yang masih Rivan jalankan. Karena modal rumah makan itu murni dari uang pribadi Rivan yang ia kumpulkan. Kartika tidak mengeluh dengan itu semua. Bahkan, terkadang ia datang ke rumah makan bersama Dania di jam makan siang sekadar untuk menemani suaminya makan siang. Jika dulu Rivan hanya datang sesekali untuk mengecek, maka sekarang Rivan lebih fokus menjalankan usaha itu sehingga rumah makan miliknya yang sudah hampir 15 tahun ia bangun menjadi lebih berkembang. Karyawan di sana beberapa sudah ganti. Hanya Ella
Kartika menunduk mendengar perkataan Widya."Kenapa,sayang?"Sontak, Kartika mengangkat wajahnya. Seumur hidup belum pernah ia dipanggil sayang oleh ibunya, Sulastri. Bahkan mertuanya pun mati-matian membencinya. Tetapi, wanita di hadapannya ini begitu lembut dan penuh kasih sayang. Air mata tak terbendung lagi jatuh membasahi pipinya yang putih mulus itu."Loh ,kenapa kok malah nangis? Ibu salah bicara?" tanya Widya kebingungan. Kartika menggelengkan kepalanya perlahan , "Bu, seumur hidup belum pernah saya dipanggil sayang oleh ibu kandung saya. Tapi, ibu barusan memanggil saya sayang? Saya nggak salah dengar, kan?""Ya Allah, Tika ...."Widya pun langsung membawa Kartika ke dalam pelukannya. Ia merasa iba dan terharu mendengar pengakuan Kartika. Bahkan mendengar kisah hidupnya pun ia merasa sangat terharu. &nb
Saat pemakaman berlangsung, Aryani dan Kartika tidak hadir , barulah ketika Widya mengirimkan pesan bahwa Reni dalam perjalanan untuk menjemput Saskia, Aryani bergegas membawa Kartika pergi ke rumah sakit untuk menjenguk Rivan. Hal itu sengaja dilakukan supaya Reni dan Kartika tidak bertemu. Widya merasa tidak tega jika Reni terus menerus mengatakan bahwa Kartika pembawa sial. Ternyata Gazali yang mengurus kepindahan rumah sakit Rivan dan tentu Kartika pun tidak kesulitan untuk melihat kondisi suaminya itu. Dania yang melihat kondisi Rivan yang dipasang beberapa alat bantu langsung menangis sedih."Menurut dokter kondisinya kini belum stabil, Rivan sempat sadar sebentar, tapi kembali seperti ini," kata Gazali. Dania perlahan mendekati Rivan dan memegang tangan ayahnya itu. Kemudian gadis kecil itu mengecup dahi Rivan.&nbs
Bu Widya pulang ke rumah pukul tiga pagi, ia terkejut saat melihat Kartika baru saja keluar dari kamar mandi."Kamu tidak tidur, Nak?" tanyanya. Kartika tersenyum, "Saya mau tahajud, Bu," jawabnya."Ya Allah, Nak ... Kamu ternyata memang anak baik," ujar Widya sambil memeluk Kartika."Kita solat bersama, ya, tunggu ibu sebentar," ujarnya lagi lalu Widya pun bergegas mengambil air wudhu dan mereka pun melaksanakan solat sepertiga malam bersama. Setelah selesai solat, Widya mengajak Kartika duduk bersamanya di ruang keluarga."Aryani sudah bercerita kepada Ibu, Nak. Kartika, ibu mohon jangan pernah mengatakan bahwa dirimu ini pembawa sial. Tidak ada hal yang seperti itu, Nak.""Ibu belum tau siapa saya yang sebenarnya, jika ibu tau mungkin ibu akan mengusir saya dari rumah ini saat ini juga," kata Kartika. Widya menghela napas panjang, "
Aryani menoleh ke pintu, dua orang gadis kecil tampak berdiri namun ragu untuk melangkah ke kamar karena melihat kehadiran Kartika dan Dania."Saskia, Yunita, ayo sini!" panggil Aryani pada kedua gadis kecil itu. Mendengar nama Saskia, Kartika tau bahwa salah satu dari kedua gadis itu adalah anak RIvan dan Salsa."Yang berambut panjang dan sedikit lebih tinggi itu adalah Yunita anakku, TIka. Hmm ... boleh aku panggil Tika?""Boleh, Mbak ....""Ya, itu Yunita anakku, dan yang satunya Saskia anaknya Salsa. Saskia, Yunita ini Dania, dia adalah sepupu kalian. Jadi, kalian harus akur, ya?""Iya, Ma. Oya , ini tante siapa?" tanya Yunita."Ini Tante Kartika, mamanya Dania." Yunita langsung tersenyum ramah pada Kartika lalu mendekat dan mencium punggung tangan Kartika."Tante, saya Yunita," ujar Yunita dengan ramah. Tampak bahwa sikap