Hari ini sekolahku libur. Yah, hari Sabtu dan Minggu memang jatah semua siswa untuk beristirahat, dan pilihan terbaikku adalah tidur di kamar.
Aku tidak seperti gadis lain yang sebaya denganku yang akan mempersiapkan diri untuk kencan malam minggu. Semenjak memasuki masa remaja, aku belum pernah merasakan bagaimana berkencan di malam minggu. Bukan karena tidak ada yang mengajak, tetapi aku takut melakukannya. Dan jangan bilang aku bodoh, aku memiliki alasan untuk tidak melakukannya. Seperti yang terjadi hari ini di rumahku, menjadi salah satu alasan, kenapa aku tidak ingin melakukan kencan di malam minggu.
“Dasar bodoh!”
Suara teriakan ayah tiriku terdengar dari ruang tamu di lantai satu, yang jaraknya cukup jauh dari kamarku, kemudian disambung dengan kata-kata kasar lainnya. Hampir setiap hari aku mendengarnya dan aku tahu ini akan berlangsung lama.
Suara itu bisa membuat pecah gendang telinga yang sudah aku tutup rapat-rapat dengan bantal. Aku ingin tidak mendengarnya, tapi tidak bisa. Ini rumahku dan laki-laki itu adalah pilihan ibuku. Aku tak bisa menolaknya selain menahan rasa sakit di telingaku terlebih di hatiku. Bagaimana mungkin aku bisa mempercayai laki-laki?
Hatiku terasa remuk. Lambat- lambat aku bisa mendengar suara isakan ibuku. Isak tangis Ibu rasanya lebih menyakitkan ketimbang suara cacian dengan bariton yang keras itu. Mendengar isak tangis Ibu membuat hatiku semakin perih. Tanpa terasa air mataku mengalir di pipi membasahi bantal yang kupakai menutup telingaku. Aku tidak tahu harus melakukan apa.
***
Sudah pukul sembilan malam.
Aku terbangun dari tidurku yang letih, lalu mengintip dari balik pintu kamar. Sepertinya Ayah sudah tidur, atau pergi keluar? Aku tidak tahu. Aku tidak lagi mendengar suaranya.
Setelah memastikan Ayah tidak ada, aku memberanikan diri untuk mencari Ibu di ruang bawah. Aku melihatnya sedang membereskan sisa-sisa makan malam.
“Ibu.”
Aku menyapanya lembut setelah berdiri disampingnya sambil bergegas membantunya membersihkan meja makan.
“Ah, Key. Kenapa baru keluar? Ibu pikir, kamu sudah tidur. Kenapa tidak ikut makan malam?” tanya Ibu sambil menoleh sekilas kearahku.
“Aku ketiduran, Bu. Lalu terbangun karena lapar,” jawabku padahal aku malas makan bersama Ayah, jika dia sudah bertengkar dengan Ibuku.
“Yah, bagaimana ini? Makanannya sudah habis,” kata ibu sambil berpikir, lalu melanjutkan perkataaanya, “Mau Ibu buatkan mie saja?”
“Ah, nggak usah, Bu,” jawabku tersenyum. “Bagaimana kalau kita ke pasar malam saja, Bu. Ini kan malam minggu, pasti banyak kuliner di sana. Ibu temani aku, ya,” pintaku sambil memeluknya setelah meja makan dan dapur bersih..
Ibu mengangguk lalu tersenyum sambil mengacak- ngacak rambutku gemas.
“Ya, sudah. Ayok,” katanya girang. Aku tahu, Ibu selalu berusaha girang di depanku, dia tidak mau memperlihatkan kesedihan dan masalahnya dengan Ayah.
“Makanya kamu cari pacar untuk nemenin makan di pasar malam. Sudah SMA masih saja sendirian,” kata Ibu tertawa sambil menggandeng tanganku. Kami segera pergi ke pasar malam.
***
Suasana di sini sangat ramai memenuhi stand-stand yang berjajar rapih di pinggiran jalan panjang. Aku dan Ibu menikmati perjalanan melihat-lihat setiap stand yang kami lewati sambil mencari tempat kuliner yang menarik, bersih dan enak.
Malam ini aku hanya ingin menghibur Ibu. Bagaimanapun Ibu tetaplah seorang perempuan. Aku tahu bagaimana perasaannya setelah dua kali gagal dalam menjalin hubungan dengan pria. Pertama dengan Ayah kandungku yang brengsek itu, kemudian dengan Ayah tiriku yang lebih brengsek lagi.
Mungkin hal itulah yang membuat aku menutup diri dari orang lain, menjadikan masa remajaku menjadi terlihat tidak normal. Aku trauma menjalin hubungan dengan pria, aku takut merasakan sakit yang Ibuku rasakan.
Tapi bukan berarti aku perempuan tidak normal, buktinya aku menyukai Andra, sama seperti teman-teman perempuanku yang mengidolakannya disekolah. Hanya Andra. Mungkin karena dia berbeda.
***
“Neng, ini baksonya,” kata abang bakso mengagetkanku, menyodorkan semangkok bakso dengan kuah panas.
Aku menyambutnya dengan perasaan senang. Ibu sudah memesan soto ayam tanpa sambal. Ibuku seorang mantan perawat sehingga dia sangat menunjung tinggi nilai kesehatan. Menurutnya sambal itu musuh terbesar penderita asam lambung, dan Ibuku menderita penyakit itu. Menjadi perawat adalah satu-satunya hal yang membuatnya bahagia sebagai seorang perempuan saat ini.
“Jangan sering-sering makan bakso. Katanya mau jadi perawat,” kata Ibu disela-sela makan kami.
“ Loh, bakso bisa menambah imun endrofin dalam tubuh kita loh, Bu. Dan bisa menyebabkan perasaan bahagia,” jawabku asal, Ibu hanya tertawa melihat tingkahku.
“Kita harus selalu bahagia, Bu. Walau kehidupan ini kejam tapi kita harus selalu bahagia. Itu salah satu cara hidup sehat yang sangat murah, kan?” lanjutku menatap Ibu dengan dalam.
Ibu hanya mengangguk dan tersenyum. Entahlah, apakah Ibu mendengar perkataanku, yang jelas, sepertinya Ibu lebih pintar dariku mengenai kesehatan. Dan aku seperti orang bodoh yang sedang memberi wejangan untuk diriku sendiri.
***
“Hey, Keisya? Kamu makan di sini?” Tiba-tiba terdengar suara yang sangat aku kenal.
Aku menoleh ke arah suara bariton laki-laki yang menggema di sampingku, menatap netra hitam pekat itu. Aku terhenyak kaget tapi aku berusaha menutupinya dengan baik seperti biasanya.
Dia Andra, sudah berdiri di sebelah mejaku. Matanya menatap ke sekitar, melihat kursi-kursi tempat makan sudah penuh. Hanya tinggal dua kursi kosong di meja tempat aku dan Ibuku makan.
Aku hanya diam tidak menjawab. Kebiasaan burukku tiba-tiba muncul. Gagal fokus jika berhadapan dengan Andra, apalagi di situasi seperti ini.
Ada apa dengan malam minggu ini? Aku bisa bertemu dengannya ditempat seperti ini? Aku bingung harus bersikap seperti apa.
“Boleh gue gabung di meja loe? Gue lapar banget, tapi kursinya penuh semua,” pinta Andra sopan memperlihatkan wajah memelas.
Aku masih diam bergeming, menatap wajah laparnya yang terlihat sangat menarik di mataku.
“Oh, boleh, Nak. Ayo gabung dengan kita. Ayo, duduk di sebelah Keisya.”
Suara Ibu yang menyambut kehadiran Andra dengan baik membuat aku terkesiap. Aku merasa malu sendiri karena bengong.
“Eh, ada Tante. Maaf, Tante,” jawab Andra dan tanpa persetujuan dariku Andra segera bergabung dan memesan ketoprak.
Oh, Tuhan. Suasana seperti ini membuatku merasa seperti di kutub utara. Sangat dingin sehingga aku hanya diam membeku.
***
Selama kami makan, aku hanya diam dan sesekali tersenyum canggung ke arah Andra yang bisa dengan cepat akrab dengan Ibuku. Mereka menikmati makanan dengan bercerita tak tentu arah. Sesekali Andra menertawakan kejadian-kejadian di sekolah yang menurutnya lucu, dan diceritakan kepada Ibuku.
Aku memperhatikan keduanya. Tiba-tiba aku tersenyum samar, aku bisa melihat wajah Ibu yang bahagia mendengar cerita Andra tentang sekolah. Mungkin Ibu menginginkan aku seperti itu kepadanya, menceritakan kejadian-kejadian di sekolah yang menurutku menarik, tapi sayangnya aku tidak bisa memberikannya. Bagaimana mungkin aku menceritakan kehidupanku di sekolah yang tidak memiliki banyak teman seperti Andra.
***
Di tengah acara yang tidak terduga itu, Ibu mendadak pamit pulang. Tadinya aku ingin ikut tapi Ibu melarangku. Ibu mengatakan kalau dia bisa pulang sendiri karena jarak pasar malam dengan rumahku sangat dekat, bisa ditempuh dengan jalan kaki.
Sepertinya caraku untuk menyenangkan Ibu berhasil, bukan karena bisa menikmati pasar malam yang diadakan setiap malam minggu, tetapi karena bertemu Andra dan berbincang-bincang dengan pria itu. Selain itu, Ibu bisa melihatku dekat dengan seorang teman, meskipun aku tak yakin, hal ini bisa dikatakan dekat atau tidak. Tapi yang jelas, aku melihat wajah senang dari Ibu malam ini.
***
“Rumahmu dekat sini?” tanya Andra dalam perjalanan mengitari pasar malam hanya untuk menghilangkan rasa canggung, setelah kami terdiam beberapa lama.
“Iya. Sangat dekat, malah bisa jalan kaki,” jawabku sekilas menoleh kearahnya, lalu aku diam lagi.
Jujur, aku seperti kehilangan akal. Ini pertama kalinya aku bersama dengan seorang pria di pasar malam. Aku hanya menundukan kepala selama berjalan berdampingan dengannya. Sumpah, suasana pasar malam yang meriah tidak bisa menghilangkan rasa gugupku.
“Jangan takut pulang malam. Besok, kan hari Minggu. Lagipula Ibumu sudah mengijinkan,” kata Andra. Sepertinya dia tahu aku sedang gelisah, tetapi tidak tahu penyebab kenapa aku gelisah adalah karena memikirkan topik pembicaraan apa yang bisa aku mulai dengannya.
“Kenapa bisa disini? Sendirian juga,” kataku. Akhirnya terlintas satu topik yang bisa kutanyakan pada Andra.
“Ah, sebenarnya gue gak sendirian. Gue bareng Dimas, Dani, sama Angga,” katanya dengan wajah terlihat bete. “Tapi mereka tidak di sini, mereka ada di sirkuit balapan liar, tak jauh dari sini,” tambahnya lagi. Aku menganga mendengar jawaban Andra.
“Apa? Balapan liar! Seram sekali,” jawabku bergidik.
Andra tertawa melihat ekspresiku. Mungkin karena aku masih terlihat polos. Entahlah, polos atau malah terlihat bodoh, aku tidak peduli.
“Jangan kaget begitu. Kami memang terkenal sebagai siswa nakal, kan? Paling berisik di kelas. Balapan liar hanya salah satu kegiatan kami untuk menunjang predikat kata anak nakal,” kata Andra sambil tertawa. Aku tidak tahu hal lucu apa yang dia tertawakan kali ini.
“Kamu tidak nakal,” sergahku.
Andra tiba-tiba menghentikan langkahnya mendengar perkataanku. Aku menatapnya, dia juga menatapku diam. Apa yang salah dari omonganku barusan? Benar, kan Andra tidak nakal? Dia siswa pintar, banyak guru yang mengatakan itu. Mungkin sudah banyak piala atau medali yang dia kumpulkan di kamarnya dari menjuarai berbagai pertandingan atau organisasi yang dia ikuti di sekolah.
“Yang nakal itu Dani dan Angga. Dimas juga kadang- kadang nakal, walau lebih diam dari kalian,” lanjutku meyakinkan diri.
“Hey, jangan membicarakan kawanku seperti itu,” kata Andra sambil tersenyum
“Memang benar, kok. Dani selalu merayu perempuan cantik, Angga selalu diomeli guru karena ketahuan makan di kelas, Dimas juga terlihat gonta-ganti pacar,” kataku lagi sambil memanyunkan bibir bawahku.
Ada apa denganku? Kenapa aku cerewet sekali hari ini? Hanya karena mendengar Andra menyebut dirinya nakal ? Kenapa jadi yang aku tidak terima?
“Bukannya aku sama seperti Dani?” tanyanya melirik usil kepadaku.
“Tidak” jawabku cepat.
“Kau cantik,” katanya tiba-tiba sambil tersenyum kepadaku.
Aku kaget dan malu. Kutundukan wajahku yang tiba-tiba terasa panas.
“Aku tidak sedang merayumu? Kau cantik menurutku, tapi kenapa Dani tidak pernah menggodamu?” katanya lagi. Sangat pelan. Andra menunduk setelah mengatakan itu.
Aku memberanikan diri meliriknya, tapi netra hitam pekat yang sering kulihat, kali ini tertunduk membuatku tidak bisa melihat jauh ke dalam. Aku tidak mengerti apa yang dia pikirkan sekarang.
Lalu kami melanjutkan perjalanan dengan diam hingga malam melarut, kemudian Andra mengantarku pulang.
***
Kami sudah sampai di depan rumahku. Sudah jam dua belas malam, ini adalah moment pertama aku merasakan udara malam sampai larut seperti ini.
“Masuklah, aku tunggu kamu dari sini,” kata Andra.
Aku mengangguk menatap dirinya yang sedang tersenyum. Aku ingin mengatakan sesuatu setiap kali melihatnya tersenyum, tapi kata-kata itu selalu tertahan di tenggorokanku. Jadi aku hanya diam.
“Dan terima kasih karena malam ini kamu menemaniku lagi,” kata Andra lagi. Hey, lagi-lagi dia mengucapkan terima kasih yang ingin aku ucapkan sejak tadi.
Tapi aku hanya mengangguk menanggapinya. Malam ini memang menjadi terasa sangat singkat. Terlalu singkat hingga rasanya hanya sekejap saja aku bersamanya. Aku ingin malam ini lebih panjang seperti lagu itu, malam minggu malam yang panjang.
“Kamu harus bersyukur mempunyai Ibu yang hebat. Dia seorang perawat yang baik. Dia menyambutku ramah. Kalau saja aku punya Ibu perawat, pasti aku terawat dengan baik,” katanya lagi sambil tertawa.
“Kau sudah sangat baik Andra,” sanggahku lagi. Dia hanya mengangguk dan membiarkanku masuk kedalam rumah.
Oh, ya Tuhan. Lagi, dan lagi. Kehidupan yang kurasa sangat kejam tadi pagi terobati dengan malam ini. Dan semoga hari-hari yang aku lewati nanti, menjadi indah seperti malam ini selamanya. Ya, selamanya
Pagi ini, aku tiba di sekolah agak pagi. Kelas sudah ramai dengan berbagai macam kegiatan anak-anak. Ada yang ngobrol di sudut kelas, ada yang mempersiapkan diri untuk pelajaran olahraga. Andra memasuki ruang kelas dengan wajah kuyu dan mengantuk. “Hey, semalam loe kemana aja? Kenapa gak balik ke arena?” Suara Angga menggema setelah Andra menaruh tas sekolahnya di atas meja. “Lupa kalo lagi tanding,” kata Andra tersenyum sekilas. Angga hanya mengangguk sambil mengupas kuacinya yang diletakkan di atas meja milik Dani. “Semalem ada yang kesel gara-gara loe gak balik,” kata Dani melirik Andra sekilas dengan wajah bantalnya. Sepertinya mereka kurang tidur karena semalam. “Kenapa?” Andra menaikan alisnya menatap Dani “Tahu, dah. Udah kaya perempuan aje temen loe,
“Keisya, cepat turun. Anak-anak kelas masih nunggu loe di kantin.” Itu sudah ketiga kalinya Keanu memanggilku ke dalam kelas. Aku masih duduk di bangku ku, di pojok kelas sendirian. Ini aneh, tidak biasanya mereka begitu cerewet kepadaku, aku masih memikirkan ada apa dengan hari ini. Aku belum selesai dengan lamunanku yang tak berujung, ketika Ara datang menghampiriku dengan riang. Dia menarik pergelangan tanganku dan bodohnya, aku hanya diam mengikuti langkah Ara. “Ayo, cepat. Dimas sama yang lain nungguin loe dari tadi,” kata Ara menarikku dengan tidak sabar ke kantin. Satu minggu ini sekolah kami menyelenggarakan classmeeting, beberapa pertandingan kecil antara adik kelas melawan kakak kelas diadakan. Aku mendapat kabar Andra dan kawan-kawannya memenangkan pertandingan basket, itu berarti kelasku s
Kejadian semalam membuatku sekujur tubuhku terasa kaku bahkan untuk sekedar bangun dari tempat tidur. Rasanya ingin sekali bolos sekolah, rasanya sangat berat bertemu Andra di kelas. Dia pasti bertanya-tanya apa yang terjadi saat dia mengantarku pulang semalam. Lagipula aku masih sangat mengantuk, aku tidak bisa tidur semalaman. Suara tangisan Ibu terus saja terdengar di telingaku membuatku sulit terpejam. Tapi jika aku melewatkan hari ini tanpa sekolah, Ayah pasti akan semakin marah. Bukan. Bukan omelan Ayah yang kutakutkan, tapi jika aku terus di rumah justru akan membuatku semakin sedih melihat kesedihan Ibu atau melihat kemarahan Ayah terus-menerus. Jadi, kuputuskan untuk pergi sekolah meskipun kakiku sangat berat untuk turun dari tempat tidurku. &
Waktu terus berlalu, semua berjalan seperti biasa. Aku bangun di pagi hari lalu berangkat ke sekolah, duduk sendirian di kursiku atau meletakkan kepala di atas mejaku lalu tidur menunggu jam berikutnya. Tak ada yang berarti. Aku sudah terbiasa menjalani kehidupanku sebagai siswa tak kasat mata atau siswa yang terabaikan di lingkungan sekolah dan sudah sejak SMP aku memiliki kehidupan di rumah yang tidak menyenangkan. Semua seolah terlihat biasa saja, tapi sebenarnya tidak seperti itu. Pembicaraanku dengan Andra di taman sekolah membuat hatiku gelisah. Aku tak pernah memiliki perasaan segelisah ini. Apakah seperti ini rasanya menyakiti hati seseorang yang diam-diam kita sukai? Sakit, seperti menyakiti diri kita sendiri. Andra memenuhi permintaanku untuk tidak menemui Ibu lagi walaupun Ibu sering kali bertanya tentang Andra kepadaku. Menanyakan mengapa Andra tak pernah lagi datang ke rumah. Aku berharap, Ibu akan terbiasa.Meskipun aku merasa Andra benar. Kedatangan Andra menemui Ibu
Aku berjalan perlahan-lahan di jalanan yang sudah mulai sepi, langit berwarna jingga sedikit mendung. Sebentar lagi rumahku akan terlihat tapi aku masih saja meniman-nimang diary yang dikembalikan Dimas kepadaku ketika akan pulang tadi. Aku memang sudah jatuh cinta kepada Andra sejak kami duduk di kelas satu. Meski pun pada waktu itu, kami tidak sekelas, kepopuleran sejak menjadi siswa baru membuatku dengan mudah mengenalnya. Hanya aku yang mengenalnya, dia belum mengenalku. Aku sering mendengar teman-teman perempuan bergosip tentangnya, berbagai macam gosip, mulai dari gosip Andra suka mempermainkan perasaan perempuan hingga gosip sekelompok anak-anak perempuan lainnya memuji-muji dirinya. Sejak mendengar semua itu aku mulai memperhatikan Andra diam-diam. Saat dia berjalan dihadapanku atau ketika aku melihat dia berjalan bersama kawan-kawannya sambil bersenda gurau, dunia seperti berhenti berputar. Aku menyukai wajahnya yang sendu, matanya begitu bening, dan gayanya yang santai. T
Malam ini mataku sulit terpejam. Pelukan Andra yang begitu erat masih terasa sakit. Aku mengaguminya sejak lama, harusnya pelukan itu meninggalkan jejak bahagia di hatiku, tapi kenapa ini justru menyakitkan seperti sebuah rintihan? Cengkeraman tangannya di tubuhku seolah mengajakku untuk ikut merasakan sakitnya.Aku membuka diaryku lagi, menulis kembali tentang dia, tetapi kali ini aku tidak akan menulis tentang kekagumanku. Aku ingin menuliskan sebuah harapan yang akan selalu kuselipkan dalam doaku sebelum tidur, aku ingin ...Dia tetap hidup.Hidup sebagai bintang yang tetap berpijar. Tetaplah hidup,Andra.Teruslah hidup dan selamanya akan selalu hidup.Aku teringat kembali cerita Dimas tentang keputusasaan Andra dan harapan orang-orang yang mencintai dia darinya. Kisah yang membuat hatiku semakin terasa sakit dan berharap ada yang bisa aku lakukan untuk Andra saat ini.Aku menuliskan cerita itu di lembaran diaryku, mengabadikannya sehingga aku akan selalu bisa mengulangnya lagi jik
"Kenapa bisa telat begini, sih? Loe habis ngapain semalam? Begadang? Udah kaya hansip loe." Baru saja aku memasuki kelas setelah dari perpustakaan, aku mendengar suara Dimas mengomeli Andra karena terlambat ke sekolah. Dia mendapat hukuman berdiri dilapangan sampai jam istirahat berakhir. Selama aku mengenal Andra, baru kali ini aku melihat dia terlambat datang ke sekolah. "Duh, bisa kagak mulut loe gak usah bawel gitu. Lama-lama loe mirip Dani. Nyebelin", jawab Andra mengaduh sambil memijit pelipisnya sepertinya dia pusing. Dua jam berdiri di lapangan bisa membuat badannya lemas, lebih lemas dari bermain basket dua babak final. "Kenapa nama gue dibawa-bawa?", seru Dani yang sedang asyik menyalin tugas Angga. "Gue begini karena gue peduli sama loe Andra", jawab Dimas sinis. Dimas atau Andra tidak menggubris sahutan Dani. "Kacang mahal!", seru Dani lagi merasa diacuhkan oleh kedua sahabatnya itu, sambil mencibir dan melanjutkan tugasnya. "Kacang gak mahal, Dan. Lima ribu bi
Semenjak kejadian itu, hubunganku dengan Andra semakin baik. Kami menjadi dekat. Dia selalu mengajakku bergabung dengan kawan-kawannya, aku juga menjadi akrab dengan Ayla dan Alsha, adik kelas yang dekat dengan Andra dan kawan-kawannya. Dimas juga menyambutku dengan baik, terlebih lagi dia mengetahui perasaanku kepada Andra sejak awal. Dia seperti seorang wing man walau pun hubunganku dengan Andra tidak lebih dari seorang teman. Dia tidak pernah mengatakan kalau dia mencintaiku. Dia hanya ingin menyembuhkan kesepianku karena aku memberikan dunia yang tidak pernah dimilikinya. Semua itu tidak masalah bagiku karena hanya begini saja aku sudah bahagia, paling tidak aku benar-benar merasakan dunia yang pernah hilang, atau aku sudah berhasil memiliki dunia baru yang normal? Keberadaan Andra dalam kehidupanku benar-benar menyembuhkanku. ***"Besok akhir pekan, aku ingin mengunjungi Ibumu." Andra menyamakan langkahny
Hari ini aku menunggu seseorang sejak tadi. Dia berjanji menemuiku jam tiga sore sepulang kerja tapi sudah hampir jam empat, wajahnya belum juga terlihat. Padahal aku terburu-buru datang ke sini masih menggunakan seragam perawat hanya untuk bertemu dengannya hari ini.Aku baru sadar, kalau temanku yang tadi berjanji menemuiku selalu terlambat dari waktu yang ditentukan.Toko buku ini terlihat sangat ramai, Aku menyusuri rak buku berisi novel remaja. Berbagai macam judul buku berjejer rapi di sana. Meskipun minat baca di Negara ini tidak terlalu besar, akan tetapi penulis-penulis masih saja optimis menuliskan dan menerbitkan buku-buku mereka. Di rak paling atas, buku yang kutulis. Tanganku bergerak, cover sampul berwarna hitam dengan gambar setangkai bunga mawar merah mewakili isi hatiku yang tertuang dalam buku ini. Aku tersenyum sendiri.Sayang sekali dia belum sempat membaca buku itu. Suara seorang laki-laki yang kutunggu dari tadi mengejutkanku. Aku menoleh ke belakang, dia ters
Aku memandang sepasang seragam basket yang tergantung di kamarku. Seragam basket warna merah hadiah Dian untuk Andra.Saat itu, setelah Dimas berkunjung ke rumah sakit, dia mengajakku menemani Dian, adiknya ke salah satu mall untuk membeli seragam ini seperti yang dijanjikannya ke pada Andra."Kak Dimas! Kak Kei! Coba lihat yang itu dan yang itu, bagus gak?", tanya Dian menunjuk dua kaus yang tergantung, saat kami berada di mall yang dia inginkan."Yang mana, Dian?" tanyaku."Itu, Kak. Yang merah dan yang kuning", sahut Kei."Bagus. Bagus banget", sahut Dimas"Aku beli itu saja", kata Dian lalu meminta pelayan di mall itu mengambil bajunya, kemudian membawanya ke kasir. Dian terlihat gembira, tak ada raut wajah keberatan ketika kasir menunjukkan harga yang harus dibayar. Aku dan Dimas menunggunya di belakang, membiarkannya menikmati kegembiraan atas usaha yang dia lakukan. Setelah itu, kami bertiga langsung pulang, karena rencananya Dian dan Dimas akan mengantarkan hadiah itu kepada
"Ibuku bilang dia merindukanmu. Cepat sembuh dan segeralah mengunjunginya."Aku mengetikkan kata-kata itu di handphoneku lalu mengirimkannya kepada Andra. Malam minggu ini, aku bersama Ibu menikmati pasar malam seperti malam yang lalu. Kami duduk di food court tempat aku dan Ibu bertemu Andra pertama kali. Aku tersenyum mengenangnya. Tring.Handphoneku berbunyi, ada notifikasi masuk. Aku segera membukanya."Bilang pada Ibu aku sangat merindukannya. Bisakah Ibu datang mengunjungiku?"Aku tersenyum membaca chat singkat itu. Aku melihat jam tanganku sudah pukul sembilan malam tapi Andra belum tidur. Tapi benar juga, Ibu belum tahu keadaan Andra karena aku belum menceritakannya. Ibu pasti sangat merindukannya."Sudah malam, kamu belum tidur?""Ah, sate ini enak sekali. Kapan-kapan kita harus kesini lagi bersama Andra. Dia juga harus coba agar tubuhnya gemuk. Bilang sama Andra badannya kekurusan sekarang", kata Ibu sambil menikmati makanannya. aku tidak menghiraukan karena aku masih menu
"Aku sudah memiliki harapan di hidupku." Andra menatapku sambil tersenyum samar di bawah sinar terik matahari yang kekuningan. "Aku ingin tidak pernah pergi dari hidup kalian", katanya lagi."Kalau nanti kamu udah jadi perawat, Dimas jadi seorang dosen, Dani jadi pemain basket professional, Angga jadi pebisnis hebat, Dian jadi pelukis professional. Aku ingin tetap ada di hidup kalian".Ucapan Andra bukan seperti harapan untuk dirinya melainkan sebuah harapan untuk kami nanti di kemudian hari."Terus, kamu mau jadi apa nanti kalau kita udah dewasa?" tanyaku menatap matanya yang jernih. "Kan gak semua orang bisa merasakan masa tua dan dewasa", jawabnya sambil menatap langit yang semakin jingga. Sebentar lagi matahari akan tenggelam di ujung barat sana. "Kok, kamu ngomong gitu?", tanyaku, "Kita akan dewasa bareng-bareng, kan? Kuliah bareng, terus jadi apa yang kita mau ketika dewasa nanti", lanjutku."Kan, gak semua harus bareng-bareng". Andra memotong pembicaraanku, "Katanya kamu m
Semenjak kejadian itu, hubunganku dengan Andra semakin baik. Kami menjadi dekat. Dia selalu mengajakku bergabung dengan kawan-kawannya, aku juga menjadi akrab dengan Ayla dan Alsha, adik kelas yang dekat dengan Andra dan kawan-kawannya. Dimas juga menyambutku dengan baik, terlebih lagi dia mengetahui perasaanku kepada Andra sejak awal. Dia seperti seorang wing man walau pun hubunganku dengan Andra tidak lebih dari seorang teman. Dia tidak pernah mengatakan kalau dia mencintaiku. Dia hanya ingin menyembuhkan kesepianku karena aku memberikan dunia yang tidak pernah dimilikinya. Semua itu tidak masalah bagiku karena hanya begini saja aku sudah bahagia, paling tidak aku benar-benar merasakan dunia yang pernah hilang, atau aku sudah berhasil memiliki dunia baru yang normal? Keberadaan Andra dalam kehidupanku benar-benar menyembuhkanku. ***"Besok akhir pekan, aku ingin mengunjungi Ibumu." Andra menyamakan langkahny
"Kenapa bisa telat begini, sih? Loe habis ngapain semalam? Begadang? Udah kaya hansip loe." Baru saja aku memasuki kelas setelah dari perpustakaan, aku mendengar suara Dimas mengomeli Andra karena terlambat ke sekolah. Dia mendapat hukuman berdiri dilapangan sampai jam istirahat berakhir. Selama aku mengenal Andra, baru kali ini aku melihat dia terlambat datang ke sekolah. "Duh, bisa kagak mulut loe gak usah bawel gitu. Lama-lama loe mirip Dani. Nyebelin", jawab Andra mengaduh sambil memijit pelipisnya sepertinya dia pusing. Dua jam berdiri di lapangan bisa membuat badannya lemas, lebih lemas dari bermain basket dua babak final. "Kenapa nama gue dibawa-bawa?", seru Dani yang sedang asyik menyalin tugas Angga. "Gue begini karena gue peduli sama loe Andra", jawab Dimas sinis. Dimas atau Andra tidak menggubris sahutan Dani. "Kacang mahal!", seru Dani lagi merasa diacuhkan oleh kedua sahabatnya itu, sambil mencibir dan melanjutkan tugasnya. "Kacang gak mahal, Dan. Lima ribu bi
Malam ini mataku sulit terpejam. Pelukan Andra yang begitu erat masih terasa sakit. Aku mengaguminya sejak lama, harusnya pelukan itu meninggalkan jejak bahagia di hatiku, tapi kenapa ini justru menyakitkan seperti sebuah rintihan? Cengkeraman tangannya di tubuhku seolah mengajakku untuk ikut merasakan sakitnya.Aku membuka diaryku lagi, menulis kembali tentang dia, tetapi kali ini aku tidak akan menulis tentang kekagumanku. Aku ingin menuliskan sebuah harapan yang akan selalu kuselipkan dalam doaku sebelum tidur, aku ingin ...Dia tetap hidup.Hidup sebagai bintang yang tetap berpijar. Tetaplah hidup,Andra.Teruslah hidup dan selamanya akan selalu hidup.Aku teringat kembali cerita Dimas tentang keputusasaan Andra dan harapan orang-orang yang mencintai dia darinya. Kisah yang membuat hatiku semakin terasa sakit dan berharap ada yang bisa aku lakukan untuk Andra saat ini.Aku menuliskan cerita itu di lembaran diaryku, mengabadikannya sehingga aku akan selalu bisa mengulangnya lagi jik
Aku berjalan perlahan-lahan di jalanan yang sudah mulai sepi, langit berwarna jingga sedikit mendung. Sebentar lagi rumahku akan terlihat tapi aku masih saja meniman-nimang diary yang dikembalikan Dimas kepadaku ketika akan pulang tadi. Aku memang sudah jatuh cinta kepada Andra sejak kami duduk di kelas satu. Meski pun pada waktu itu, kami tidak sekelas, kepopuleran sejak menjadi siswa baru membuatku dengan mudah mengenalnya. Hanya aku yang mengenalnya, dia belum mengenalku. Aku sering mendengar teman-teman perempuan bergosip tentangnya, berbagai macam gosip, mulai dari gosip Andra suka mempermainkan perasaan perempuan hingga gosip sekelompok anak-anak perempuan lainnya memuji-muji dirinya. Sejak mendengar semua itu aku mulai memperhatikan Andra diam-diam. Saat dia berjalan dihadapanku atau ketika aku melihat dia berjalan bersama kawan-kawannya sambil bersenda gurau, dunia seperti berhenti berputar. Aku menyukai wajahnya yang sendu, matanya begitu bening, dan gayanya yang santai. T
Waktu terus berlalu, semua berjalan seperti biasa. Aku bangun di pagi hari lalu berangkat ke sekolah, duduk sendirian di kursiku atau meletakkan kepala di atas mejaku lalu tidur menunggu jam berikutnya. Tak ada yang berarti. Aku sudah terbiasa menjalani kehidupanku sebagai siswa tak kasat mata atau siswa yang terabaikan di lingkungan sekolah dan sudah sejak SMP aku memiliki kehidupan di rumah yang tidak menyenangkan. Semua seolah terlihat biasa saja, tapi sebenarnya tidak seperti itu. Pembicaraanku dengan Andra di taman sekolah membuat hatiku gelisah. Aku tak pernah memiliki perasaan segelisah ini. Apakah seperti ini rasanya menyakiti hati seseorang yang diam-diam kita sukai? Sakit, seperti menyakiti diri kita sendiri. Andra memenuhi permintaanku untuk tidak menemui Ibu lagi walaupun Ibu sering kali bertanya tentang Andra kepadaku. Menanyakan mengapa Andra tak pernah lagi datang ke rumah. Aku berharap, Ibu akan terbiasa.Meskipun aku merasa Andra benar. Kedatangan Andra menemui Ibu