Malam ini mataku sulit terpejam. Pelukan Andra yang begitu erat masih terasa sakit. Aku mengaguminya sejak lama, harusnya pelukan itu meninggalkan jejak bahagia di hatiku, tapi kenapa ini justru menyakitkan seperti sebuah rintihan? Cengkeraman tangannya di tubuhku seolah mengajakku untuk ikut merasakan sakitnya.Aku membuka diaryku lagi, menulis kembali tentang dia, tetapi kali ini aku tidak akan menulis tentang kekagumanku. Aku ingin menuliskan sebuah harapan yang akan selalu kuselipkan dalam doaku sebelum tidur, aku ingin ...Dia tetap hidup.Hidup sebagai bintang yang tetap berpijar. Tetaplah hidup,Andra.Teruslah hidup dan selamanya akan selalu hidup.Aku teringat kembali cerita Dimas tentang keputusasaan Andra dan harapan orang-orang yang mencintai dia darinya. Kisah yang membuat hatiku semakin terasa sakit dan berharap ada yang bisa aku lakukan untuk Andra saat ini.Aku menuliskan cerita itu di lembaran diaryku, mengabadikannya sehingga aku akan selalu bisa mengulangnya lagi jik
"Kenapa bisa telat begini, sih? Loe habis ngapain semalam? Begadang? Udah kaya hansip loe." Baru saja aku memasuki kelas setelah dari perpustakaan, aku mendengar suara Dimas mengomeli Andra karena terlambat ke sekolah. Dia mendapat hukuman berdiri dilapangan sampai jam istirahat berakhir. Selama aku mengenal Andra, baru kali ini aku melihat dia terlambat datang ke sekolah. "Duh, bisa kagak mulut loe gak usah bawel gitu. Lama-lama loe mirip Dani. Nyebelin", jawab Andra mengaduh sambil memijit pelipisnya sepertinya dia pusing. Dua jam berdiri di lapangan bisa membuat badannya lemas, lebih lemas dari bermain basket dua babak final. "Kenapa nama gue dibawa-bawa?", seru Dani yang sedang asyik menyalin tugas Angga. "Gue begini karena gue peduli sama loe Andra", jawab Dimas sinis. Dimas atau Andra tidak menggubris sahutan Dani. "Kacang mahal!", seru Dani lagi merasa diacuhkan oleh kedua sahabatnya itu, sambil mencibir dan melanjutkan tugasnya. "Kacang gak mahal, Dan. Lima ribu bi
Semenjak kejadian itu, hubunganku dengan Andra semakin baik. Kami menjadi dekat. Dia selalu mengajakku bergabung dengan kawan-kawannya, aku juga menjadi akrab dengan Ayla dan Alsha, adik kelas yang dekat dengan Andra dan kawan-kawannya. Dimas juga menyambutku dengan baik, terlebih lagi dia mengetahui perasaanku kepada Andra sejak awal. Dia seperti seorang wing man walau pun hubunganku dengan Andra tidak lebih dari seorang teman. Dia tidak pernah mengatakan kalau dia mencintaiku. Dia hanya ingin menyembuhkan kesepianku karena aku memberikan dunia yang tidak pernah dimilikinya. Semua itu tidak masalah bagiku karena hanya begini saja aku sudah bahagia, paling tidak aku benar-benar merasakan dunia yang pernah hilang, atau aku sudah berhasil memiliki dunia baru yang normal? Keberadaan Andra dalam kehidupanku benar-benar menyembuhkanku. ***"Besok akhir pekan, aku ingin mengunjungi Ibumu." Andra menyamakan langkahny
"Aku sudah memiliki harapan di hidupku." Andra menatapku sambil tersenyum samar di bawah sinar terik matahari yang kekuningan. "Aku ingin tidak pernah pergi dari hidup kalian", katanya lagi."Kalau nanti kamu udah jadi perawat, Dimas jadi seorang dosen, Dani jadi pemain basket professional, Angga jadi pebisnis hebat, Dian jadi pelukis professional. Aku ingin tetap ada di hidup kalian".Ucapan Andra bukan seperti harapan untuk dirinya melainkan sebuah harapan untuk kami nanti di kemudian hari."Terus, kamu mau jadi apa nanti kalau kita udah dewasa?" tanyaku menatap matanya yang jernih. "Kan gak semua orang bisa merasakan masa tua dan dewasa", jawabnya sambil menatap langit yang semakin jingga. Sebentar lagi matahari akan tenggelam di ujung barat sana. "Kok, kamu ngomong gitu?", tanyaku, "Kita akan dewasa bareng-bareng, kan? Kuliah bareng, terus jadi apa yang kita mau ketika dewasa nanti", lanjutku."Kan, gak semua harus bareng-bareng". Andra memotong pembicaraanku, "Katanya kamu m
"Ibuku bilang dia merindukanmu. Cepat sembuh dan segeralah mengunjunginya."Aku mengetikkan kata-kata itu di handphoneku lalu mengirimkannya kepada Andra. Malam minggu ini, aku bersama Ibu menikmati pasar malam seperti malam yang lalu. Kami duduk di food court tempat aku dan Ibu bertemu Andra pertama kali. Aku tersenyum mengenangnya. Tring.Handphoneku berbunyi, ada notifikasi masuk. Aku segera membukanya."Bilang pada Ibu aku sangat merindukannya. Bisakah Ibu datang mengunjungiku?"Aku tersenyum membaca chat singkat itu. Aku melihat jam tanganku sudah pukul sembilan malam tapi Andra belum tidur. Tapi benar juga, Ibu belum tahu keadaan Andra karena aku belum menceritakannya. Ibu pasti sangat merindukannya."Sudah malam, kamu belum tidur?""Ah, sate ini enak sekali. Kapan-kapan kita harus kesini lagi bersama Andra. Dia juga harus coba agar tubuhnya gemuk. Bilang sama Andra badannya kekurusan sekarang", kata Ibu sambil menikmati makanannya. aku tidak menghiraukan karena aku masih menu
Aku memandang sepasang seragam basket yang tergantung di kamarku. Seragam basket warna merah hadiah Dian untuk Andra.Saat itu, setelah Dimas berkunjung ke rumah sakit, dia mengajakku menemani Dian, adiknya ke salah satu mall untuk membeli seragam ini seperti yang dijanjikannya ke pada Andra."Kak Dimas! Kak Kei! Coba lihat yang itu dan yang itu, bagus gak?", tanya Dian menunjuk dua kaus yang tergantung, saat kami berada di mall yang dia inginkan."Yang mana, Dian?" tanyaku."Itu, Kak. Yang merah dan yang kuning", sahut Kei."Bagus. Bagus banget", sahut Dimas"Aku beli itu saja", kata Dian lalu meminta pelayan di mall itu mengambil bajunya, kemudian membawanya ke kasir. Dian terlihat gembira, tak ada raut wajah keberatan ketika kasir menunjukkan harga yang harus dibayar. Aku dan Dimas menunggunya di belakang, membiarkannya menikmati kegembiraan atas usaha yang dia lakukan. Setelah itu, kami bertiga langsung pulang, karena rencananya Dian dan Dimas akan mengantarkan hadiah itu kepada
Hari ini aku menunggu seseorang sejak tadi. Dia berjanji menemuiku jam tiga sore sepulang kerja tapi sudah hampir jam empat, wajahnya belum juga terlihat. Padahal aku terburu-buru datang ke sini masih menggunakan seragam perawat hanya untuk bertemu dengannya hari ini.Aku baru sadar, kalau temanku yang tadi berjanji menemuiku selalu terlambat dari waktu yang ditentukan.Toko buku ini terlihat sangat ramai, Aku menyusuri rak buku berisi novel remaja. Berbagai macam judul buku berjejer rapi di sana. Meskipun minat baca di Negara ini tidak terlalu besar, akan tetapi penulis-penulis masih saja optimis menuliskan dan menerbitkan buku-buku mereka. Di rak paling atas, buku yang kutulis. Tanganku bergerak, cover sampul berwarna hitam dengan gambar setangkai bunga mawar merah mewakili isi hatiku yang tertuang dalam buku ini. Aku tersenyum sendiri.Sayang sekali dia belum sempat membaca buku itu. Suara seorang laki-laki yang kutunggu dari tadi mengejutkanku. Aku menoleh ke belakang, dia ters
Hai, apa kabar? Sudah lama aku tidak melihatmu. Kau tahu? Aku rindu! Rasanya sudah lama sekali aku tidak bergulat dengan pena dan menuliskan segala hal tentangmu di lembaran-lembaran diaryku, sejak peristiwa yang menyakitkan hati itu. Penyesalan mendalam yang muncul ketika aku tahu kau mencintaiku sama seperti aku juga mencintaimu. Sejak saat itu, aku sudah menutupnya, meskipun sesekali aku membukanya lagi jika aku merindukanmu. Padahal sebelumnya, setiap malam, aku akan menghabiskan waktuku untuk mengingatmu, mencoret lembar-lembar kosong, mengisinya dengan namamu dan tentang hari itu. Tapi itu dulu. Dulu sekali. Dan entah mengapa, malam ini aku tiba-tiba teringat padamu. Aku rindu. Jantungku berdetak kencang dan aku ingin sekali membuka diary itu. &nbs
Hari ini aku menunggu seseorang sejak tadi. Dia berjanji menemuiku jam tiga sore sepulang kerja tapi sudah hampir jam empat, wajahnya belum juga terlihat. Padahal aku terburu-buru datang ke sini masih menggunakan seragam perawat hanya untuk bertemu dengannya hari ini.Aku baru sadar, kalau temanku yang tadi berjanji menemuiku selalu terlambat dari waktu yang ditentukan.Toko buku ini terlihat sangat ramai, Aku menyusuri rak buku berisi novel remaja. Berbagai macam judul buku berjejer rapi di sana. Meskipun minat baca di Negara ini tidak terlalu besar, akan tetapi penulis-penulis masih saja optimis menuliskan dan menerbitkan buku-buku mereka. Di rak paling atas, buku yang kutulis. Tanganku bergerak, cover sampul berwarna hitam dengan gambar setangkai bunga mawar merah mewakili isi hatiku yang tertuang dalam buku ini. Aku tersenyum sendiri.Sayang sekali dia belum sempat membaca buku itu. Suara seorang laki-laki yang kutunggu dari tadi mengejutkanku. Aku menoleh ke belakang, dia ters
Aku memandang sepasang seragam basket yang tergantung di kamarku. Seragam basket warna merah hadiah Dian untuk Andra.Saat itu, setelah Dimas berkunjung ke rumah sakit, dia mengajakku menemani Dian, adiknya ke salah satu mall untuk membeli seragam ini seperti yang dijanjikannya ke pada Andra."Kak Dimas! Kak Kei! Coba lihat yang itu dan yang itu, bagus gak?", tanya Dian menunjuk dua kaus yang tergantung, saat kami berada di mall yang dia inginkan."Yang mana, Dian?" tanyaku."Itu, Kak. Yang merah dan yang kuning", sahut Kei."Bagus. Bagus banget", sahut Dimas"Aku beli itu saja", kata Dian lalu meminta pelayan di mall itu mengambil bajunya, kemudian membawanya ke kasir. Dian terlihat gembira, tak ada raut wajah keberatan ketika kasir menunjukkan harga yang harus dibayar. Aku dan Dimas menunggunya di belakang, membiarkannya menikmati kegembiraan atas usaha yang dia lakukan. Setelah itu, kami bertiga langsung pulang, karena rencananya Dian dan Dimas akan mengantarkan hadiah itu kepada
"Ibuku bilang dia merindukanmu. Cepat sembuh dan segeralah mengunjunginya."Aku mengetikkan kata-kata itu di handphoneku lalu mengirimkannya kepada Andra. Malam minggu ini, aku bersama Ibu menikmati pasar malam seperti malam yang lalu. Kami duduk di food court tempat aku dan Ibu bertemu Andra pertama kali. Aku tersenyum mengenangnya. Tring.Handphoneku berbunyi, ada notifikasi masuk. Aku segera membukanya."Bilang pada Ibu aku sangat merindukannya. Bisakah Ibu datang mengunjungiku?"Aku tersenyum membaca chat singkat itu. Aku melihat jam tanganku sudah pukul sembilan malam tapi Andra belum tidur. Tapi benar juga, Ibu belum tahu keadaan Andra karena aku belum menceritakannya. Ibu pasti sangat merindukannya."Sudah malam, kamu belum tidur?""Ah, sate ini enak sekali. Kapan-kapan kita harus kesini lagi bersama Andra. Dia juga harus coba agar tubuhnya gemuk. Bilang sama Andra badannya kekurusan sekarang", kata Ibu sambil menikmati makanannya. aku tidak menghiraukan karena aku masih menu
"Aku sudah memiliki harapan di hidupku." Andra menatapku sambil tersenyum samar di bawah sinar terik matahari yang kekuningan. "Aku ingin tidak pernah pergi dari hidup kalian", katanya lagi."Kalau nanti kamu udah jadi perawat, Dimas jadi seorang dosen, Dani jadi pemain basket professional, Angga jadi pebisnis hebat, Dian jadi pelukis professional. Aku ingin tetap ada di hidup kalian".Ucapan Andra bukan seperti harapan untuk dirinya melainkan sebuah harapan untuk kami nanti di kemudian hari."Terus, kamu mau jadi apa nanti kalau kita udah dewasa?" tanyaku menatap matanya yang jernih. "Kan gak semua orang bisa merasakan masa tua dan dewasa", jawabnya sambil menatap langit yang semakin jingga. Sebentar lagi matahari akan tenggelam di ujung barat sana. "Kok, kamu ngomong gitu?", tanyaku, "Kita akan dewasa bareng-bareng, kan? Kuliah bareng, terus jadi apa yang kita mau ketika dewasa nanti", lanjutku."Kan, gak semua harus bareng-bareng". Andra memotong pembicaraanku, "Katanya kamu m
Semenjak kejadian itu, hubunganku dengan Andra semakin baik. Kami menjadi dekat. Dia selalu mengajakku bergabung dengan kawan-kawannya, aku juga menjadi akrab dengan Ayla dan Alsha, adik kelas yang dekat dengan Andra dan kawan-kawannya. Dimas juga menyambutku dengan baik, terlebih lagi dia mengetahui perasaanku kepada Andra sejak awal. Dia seperti seorang wing man walau pun hubunganku dengan Andra tidak lebih dari seorang teman. Dia tidak pernah mengatakan kalau dia mencintaiku. Dia hanya ingin menyembuhkan kesepianku karena aku memberikan dunia yang tidak pernah dimilikinya. Semua itu tidak masalah bagiku karena hanya begini saja aku sudah bahagia, paling tidak aku benar-benar merasakan dunia yang pernah hilang, atau aku sudah berhasil memiliki dunia baru yang normal? Keberadaan Andra dalam kehidupanku benar-benar menyembuhkanku. ***"Besok akhir pekan, aku ingin mengunjungi Ibumu." Andra menyamakan langkahny
"Kenapa bisa telat begini, sih? Loe habis ngapain semalam? Begadang? Udah kaya hansip loe." Baru saja aku memasuki kelas setelah dari perpustakaan, aku mendengar suara Dimas mengomeli Andra karena terlambat ke sekolah. Dia mendapat hukuman berdiri dilapangan sampai jam istirahat berakhir. Selama aku mengenal Andra, baru kali ini aku melihat dia terlambat datang ke sekolah. "Duh, bisa kagak mulut loe gak usah bawel gitu. Lama-lama loe mirip Dani. Nyebelin", jawab Andra mengaduh sambil memijit pelipisnya sepertinya dia pusing. Dua jam berdiri di lapangan bisa membuat badannya lemas, lebih lemas dari bermain basket dua babak final. "Kenapa nama gue dibawa-bawa?", seru Dani yang sedang asyik menyalin tugas Angga. "Gue begini karena gue peduli sama loe Andra", jawab Dimas sinis. Dimas atau Andra tidak menggubris sahutan Dani. "Kacang mahal!", seru Dani lagi merasa diacuhkan oleh kedua sahabatnya itu, sambil mencibir dan melanjutkan tugasnya. "Kacang gak mahal, Dan. Lima ribu bi
Malam ini mataku sulit terpejam. Pelukan Andra yang begitu erat masih terasa sakit. Aku mengaguminya sejak lama, harusnya pelukan itu meninggalkan jejak bahagia di hatiku, tapi kenapa ini justru menyakitkan seperti sebuah rintihan? Cengkeraman tangannya di tubuhku seolah mengajakku untuk ikut merasakan sakitnya.Aku membuka diaryku lagi, menulis kembali tentang dia, tetapi kali ini aku tidak akan menulis tentang kekagumanku. Aku ingin menuliskan sebuah harapan yang akan selalu kuselipkan dalam doaku sebelum tidur, aku ingin ...Dia tetap hidup.Hidup sebagai bintang yang tetap berpijar. Tetaplah hidup,Andra.Teruslah hidup dan selamanya akan selalu hidup.Aku teringat kembali cerita Dimas tentang keputusasaan Andra dan harapan orang-orang yang mencintai dia darinya. Kisah yang membuat hatiku semakin terasa sakit dan berharap ada yang bisa aku lakukan untuk Andra saat ini.Aku menuliskan cerita itu di lembaran diaryku, mengabadikannya sehingga aku akan selalu bisa mengulangnya lagi jik
Aku berjalan perlahan-lahan di jalanan yang sudah mulai sepi, langit berwarna jingga sedikit mendung. Sebentar lagi rumahku akan terlihat tapi aku masih saja meniman-nimang diary yang dikembalikan Dimas kepadaku ketika akan pulang tadi. Aku memang sudah jatuh cinta kepada Andra sejak kami duduk di kelas satu. Meski pun pada waktu itu, kami tidak sekelas, kepopuleran sejak menjadi siswa baru membuatku dengan mudah mengenalnya. Hanya aku yang mengenalnya, dia belum mengenalku. Aku sering mendengar teman-teman perempuan bergosip tentangnya, berbagai macam gosip, mulai dari gosip Andra suka mempermainkan perasaan perempuan hingga gosip sekelompok anak-anak perempuan lainnya memuji-muji dirinya. Sejak mendengar semua itu aku mulai memperhatikan Andra diam-diam. Saat dia berjalan dihadapanku atau ketika aku melihat dia berjalan bersama kawan-kawannya sambil bersenda gurau, dunia seperti berhenti berputar. Aku menyukai wajahnya yang sendu, matanya begitu bening, dan gayanya yang santai. T
Waktu terus berlalu, semua berjalan seperti biasa. Aku bangun di pagi hari lalu berangkat ke sekolah, duduk sendirian di kursiku atau meletakkan kepala di atas mejaku lalu tidur menunggu jam berikutnya. Tak ada yang berarti. Aku sudah terbiasa menjalani kehidupanku sebagai siswa tak kasat mata atau siswa yang terabaikan di lingkungan sekolah dan sudah sejak SMP aku memiliki kehidupan di rumah yang tidak menyenangkan. Semua seolah terlihat biasa saja, tapi sebenarnya tidak seperti itu. Pembicaraanku dengan Andra di taman sekolah membuat hatiku gelisah. Aku tak pernah memiliki perasaan segelisah ini. Apakah seperti ini rasanya menyakiti hati seseorang yang diam-diam kita sukai? Sakit, seperti menyakiti diri kita sendiri. Andra memenuhi permintaanku untuk tidak menemui Ibu lagi walaupun Ibu sering kali bertanya tentang Andra kepadaku. Menanyakan mengapa Andra tak pernah lagi datang ke rumah. Aku berharap, Ibu akan terbiasa.Meskipun aku merasa Andra benar. Kedatangan Andra menemui Ibu