Astaga Amel, benarkah itu istriku? Kenapa bisa? Bukankah Ibu dan Mbak Sita mengatakan kalau Amel sedang berada di rumah orang tuanya? Lantas, mengapa dia di sana dan memulung?
Aku tertegun sejenak, sebab orak ini masih berpikir tentang apa yang sebenarnya terjadi. Apakah ini artinya kalau keluargaku yang berbohong? Karena dilanda rasa penasaran yang tinggi, akhirnya aku langsung berinisiatif menghubungi pemilik akun Netizen Konoha itu melalui pesan pribadi. [Selamat malam, maaf sebelumnya kalau saya mengganggu. Saya mau tanya tentang kebenaran video seorang perempuan dan anaknya yang pemulung dan si anak sedang sakit TB. Apakah semua itu benar?]Sedikit resah, sebab aku sangat penasaran menunggu jawaban si pemilik akun. Mataku mungkin berbinar sebab mendengar notifikasi pesan di ponselku berbunyi. Bergegas aku mengambil kembali ponsel yang tadi sempat aku letakkan di atas nakas. [Selamat malam juga. Iya video yang saya up itu memang benar]Tidak menunggu lama, aku kembali membalas pesan itu. [Maaf kalau boleh tau dari mana anda dapat video itu? Maksud saya anda merekamnya di mana?] [Saya melihatnya di jalan Ahmad Yani di kota tempat bu Amel dan anaknya tinggal][Maaf saya mau bertanya lagi. Apa anda melihat perempuan dan anak itu setiap hari memulung di sana ?][Ya benar, dia setiap sore hari biasanya di sana, sebab harus ngumpulin barang-barang bekas yang dikumpulkannya ke pengepul] [Baiklah terima kasih, maaf sudah mengganggu malam-malam begini] [Kalau boleh tahu, anda ini siapanya perempuan dan anak itu?]“Kalau aku menjawab suaminya Amel pasti nanti akan viral dan aku dibully oleh mereka. Jadi, mungkin mengaku ingin berdonasi saja secara langsung,” gumamku. Akhirnya kuketik lagi balasan untuknya. [Saya gak kenal, Mas/Mbak. Saya hanya terenyuh saat melihat video yang anda posting. Jadi, saya hanya ingin membantu, maksudnya mau bertanya dia tinggalnya di daerah mana. Jadi rencananya mau ketemu dengan orangnya langsung] Setelah sedikit berbasa-basi dengan si pemilik akun, aku kembali meletakkan ponsel ke atas nakas. Kedua tangan kulipat di bawah kepala, mata memandangi langit-langit kamar. Apa berarti selama ini mbak Sita dan Ibu berbohong? Tapi kalau emang benar semua itu terjadi masa iya mereka setega itu pada istriku? Bukankah selama ini hubungan mereka tampak baik-baik saja? Pikiranku sangat kacau. Keraguanku terhadap mbak Sita dan Ibu semakin besar. Apakah harus aku mencurigai mereka sedangkan aku keluarganya sendiri? Memang semenjak Amel tidak bisa aku hubungi serasa sepertinya ada yang ganjil, tetapi pada kenyataannya aku memang tidak tahu sama sekali dengan semua ini. Aku bingung harus mencari tahu bagaimana dengan nasib anak dan istriku. Mau pulang pun tidak bisa mendadak, aku harus meminta izin terlebih dahulu. Pada akhirnya kuputuskan untuk menghubungi tetangga sebelah rumah kontrakan. Aku baru ingat kalau punya nomor ponsel Mbak Wati, nama tetanggaku itu. Beberapa kali aku menghubungi, tetapi tidak diangkatnya. Hati semakin gelisah. Namun, aku tetap mencoba menghubunginya. Hingga akhirnya sambungan telepon yang ke lima kali, teleponku pun terjawab. “Halo, Mbak Wati? Ini aku Bayu, Mbak.”“Yah, aku sudah tau. Ngapain kamu telepon?!” jawab mbak Wati dengan ketus yang membuat keningku berkerut. Aku heran kok mbak Wati ngomongnya begitu? Selama ini sosoknya yang aku kenal sangatlah ramah dan baik dan dia juga dekat dengan Amel. Oleh sebab itu lah aku menghubunginya. “Klk Mbak ngomongnya gitu? Aku ada salah apa sama mbak?”“Kamu masih nggak tau apa salahmu?”“Kalau Mbak nggak ngomong gimana aku bisa tahu salahku di mana?”“Terus kamu telpon mau apa?”“Aku rindu sama Amel dan anakku, Mbak. Mau tau gimana kabarnya, Apa mereka baik-baik saja?”“Tumben kamu tanya? Bukannya selama ini kamu nggak peduli sama mereka ya?” jawabnya lagi yang membuat aku semakin terheran. “Siapa bilang begitu, Mbak? Aku selama ini peduli sama anak dan istriku, tapi kata Ibu dan Mbak Sita ponselnya Amel rusak karena kena susunya Arka, benarkah begitu, Mbak?”“Ponselnya Amel memang rusak, tapi bukan karena kena susunya Arka. Arka itu sudah lama tidak menyusu asal kamu.” “Maksudnya, Mbak? Gak menyusu lagi gimana? Usia Arka kan masih harus dikasih susu, Mbak.”“Apa yang mau dia pakai untuk beli susu, Bayu?! Anakmu terpaksa dikasih air tajin asal kamu tau!” Degh. Benaekah ini? Tapi kenapa? Bukankah selama ini aku selalu kirim uang yang cukup untuk Amel? “Jahat sekali kamu Bayu, di sana kamu bergelimang uang, makan enak tidur nyenyak. Kamu kerja jauh-jauh katanya demi anak istri, tapi nyatanya apa? Anak istrimu terlantar di sini!” ucap Mbak Wati yang terdengar berapi-api. Mendengar perkataan Mbak Wati sesak rasanya dada ini. Serasa aku ini suami sekaligus seorang ayah yang tidak berguna. Namun, sungguh aku tidak seperti yang dikatakannya, tidak pernah terpikirkan olehku untuk menelantarkan Amel dan juga Arka. Aku sungguh tidak sejahat itu, apalagi pada anak dan istriku. Aku rela jauh dari mereka demi kelangsungan hidup dan rumah tanggaku. “Astaghfirullah … Mbak apakah yang kamu ucapkan ini benar?”“Cih, untuk apa aku membual. Kalau kamu tidak percaya kamu bisa pulang dan lihatlah sendiri bagaimana kehidupan anak dan istrimu di sini. Keluargamu itu sangat jahat, Bayu. Mereka selalu mengatakan kalau Amel itu orang lain yang kebetulan dinikahi jadi tidak diberi uang yang banyak. Hanya secukupnya saja. Dan itu mereka yang mengatakan kalau kamu yang bilang begitu. Mereka hanya menyampaikan amanat darimu.”“Enggak, Mbak! Aku gak pernah bilang begitu. Oke, aku akan pulang lusa. Tolong jangan beritahu Amel dan juga keluargaku. Biar aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana wajah asli mereka selama ini.”Pada akhirnya aku pun pulang ke tanah kelahiranku di pulau jawa. tidak sabar rasanya ingin langsung mengecek sendiri kebenarannya tentang anak dan istriku.Namun, mbak Wati bilang kalau di jam siang Amel dan Arka masih keliling cari barang bekas. Jadi, sebaiknya langsung kutunggu saja di rumah kontrakannya baru sorenya ke jalan Ahmad Yani.Hatiku resah tidak karuan saat berada di dalam pesawat. Pikiranku berkecamuk, bagaimana bisa kepergianku merantau untuk menafkahi keluarga justru membuat anak dan istriku menderita.Akan tetapi, kenapa Amel diam saja? Dia tidak mau menceritakan semua yang dialaminya, bukankah aku ini suaminya? Apa amel sengaja agar tidak mengganggu pekerjaanku agar bisa fokus pada pekerjaan? Namun, kalau seperti ini kan aku jadi merasa bersalah. Aku jadi merasa tidak becus sebagai seorang suami dan ayah. Lamunanku buyar setelah salah mendengar suara yang menginformasikan kalau pesawat sudah tiba di bandara Soekarno Hatta, bergegas aku bersiap untuk transit ke band
Sesaat aku mendengar ada yang berteriak memanggil nama Amel berulang kali. Siapa kira-kira yang datang? Kenapa dia sampai marah-marah begitu?Karena rasa penasaran yang tinggi akhirnya aku langsung bergegas keluar rumah untuk mencari tahu sumber suara itu. Saat di depan pintu ternyata ada seorang perempuan paruh baya yang kini berdiri tegak di hadapanku yang ternyata dia adalah Ibu Endang, pemilik kontrakan yang kami tempati ini. “Maaf, Bu, Ibu kok teriak-teriak di depan rumah? Ada apa?” tanyaku pada Bu Endang, tampak sekali ia memandangku dengan tatapan sinis.“Oh ternyata kamu sudah pulang toh. Saya pikir kamu sudah lupa dengan anak istrimu, tapi baguslah kebetulan sekali kalau kamu pulang. Ayo buruan kamu bayar kontrakan ini. Sudah nunggak tiga bulan tau! Ke mana aja kamu, sampai istrimu nggak sanggup bayar! Saya butuh uang, kalau nggak sanggup bayar lebih baik keluar saja dari rumah ini. Masih banyak yang mau tinggal di sini tau gak! Saya heran deh, kamu kan kerja di kalimantan
Berbekal alamat yang diberikan oleh mbak wati padaku. Di mana tempat para pemulung menyetorkan barang bekas untuk ditimbang lali mendapatkan uang. Sembari menahan sesak di dada aku terus saja berjalan menuju tempat pengepul tersebut. Jaraknya memang tidak jauh dari rumah kontrakan kami. Hanya sekitar 2 km saja. Namun, meski hanya 2 km tetap saja kalau berjalan kaki ya lelah juga. Padahal sewaktu lebaran tahun kemarin aku sudah membeli motor dengan niat agar istriku ke mana-mana tidak perlu lagi kecapekan. Namun, sekarang ini barang itu juga tidak ada di rumah ini. Padahal aku membelinya secara kredit dan hingga sekarang kreditannya juga masih aku bayar. Aku tidak bisa membayangkan betapa lelahnya Amel yang setiap harinya harus melakukan ini sambil menggendong anak kami. Aku yang jalan seorang diri saja cukup lelah dan kepanasan apalagi istriku. Sesekali aku berhenti sebab kaki terasa lelah sembari menghela napas karena kesedihan yang kurasakan saat ini.Sesampainya di sana ternyata
“Gak, Mas! Untuk apa? Untuk aku dihina lagi sama ibu dan kakakmu? Gak, Mas! Gak mau lagi aku ke sana kalau hanya untuk dihina. Sudah cukup selama ini aku menahannya.” Kutatap wajah Amel dengan matanya yang sudah berkaca-kaca. Oh Tuhan … separah itukah keluargaku berbuat pada istri dan anakku? Seandainya aku tidak mau percaya pun sudah banyak yang mengatakan tentang kelakuan mereka pada istriku. “Tapi, Mel, kita harus tau apa tujuan mereka melakukan ini semua pada keluarga kecil kita,” ucapku dengan suara sedikit lirih sebab semakin banyak pasang mata yang melihat ke arah kami. Terpaksa aku menarik tangan Amel untuk sedikit menjauh dari tempat ini. Awalnya Amel menolak, tetapi tenagaku jelas lebih kuat dibanding dirinya hingga akhirnya Amel tidak menolak untuk kubawa sedikit menyingkir dari tempat semula. “Mel please, ikut aku ke rumah ibu dan Mbak Sita. Biar kita tau apa maksud mereka melakukan ini semua.”“Apa lagi? Jelas mereka melakukan ini semua karena ketidaksukaan mereka pada
“K-kamu serius, Mel? Sampai separah itu?”“Menurutmu? Untuk apa aku berbohong? Kamu pikir aku mau gitu pakai baju jelek begini kalau memang aku ada baju yang baru?” Lagi-lagi aku menghela napas. Kuusap kasar wajahku. “Terus baju-bajunya Arka gimana?” tanyaku lagi sembari menatapnya. “Bajunya Arka juga diambil sama Mbak Sita. Katanya lebih cocok dipakai sama Rafa anaknya dan dia juga bilang umur Rafa dengan Arka tidak jauh beda hanya selisih lebih tua Rafa lima bulan dari Arka. Makanya diambil, katanya ya sama kalau Arka gak pantas pakai baju mahal. Keturunan dari rahimku gak ada yang pantas pakai barang bagus.”Astaga Mbak Sita ….Kenapa sih dia sejahat itu sama anak dan istriku? Padahal setiap bulan kalau Mbak Sita menghubungiku untuk meminta bantuan atau meminjam uang dengan dalih kebutuhan mendesak pasti aku kasih. Dan sampai sekarang hurang-hurangnya yng jika aku total ada 20 juta belum pernah ia kembalikan dan belum pernah juga aku memintanya. Aku menggerutu dalam hati dan men
“Iya, Mas, aku mau asalkan selalu bersamamu dan anak kita.” Mendengar jawaban Amel, kembali aku memeluknya dengan tangis bahagia. Akhirnya … aku bisa berkumpul kembali dengan anak dan istriku. Ah, rasanya aku terharu sekali. Setelah selesai makan aku pun membereskan sisa makananku dan juga makanan mereka. Amel pun ikut membantu, tetapi aku larang. “Mel biar aku saja yang membereskannya, kamu istirahatlah kan seharian sudah keliling pasti capek.”“Nggak apa-apa, Mas, aku ini istrimu dan sudah sepantasnya aku ikut beres-beres karena kamu juga pasti capek sebab dari perjalanan jauh,” jawab Amel sambil melanjutkan beres-beresnya.“Sudah, sebagai istri kamu harus menurut. Kamu beristirahatlah biar aku saja membereskan semua ini. karena kamu kuperhatikan udah terlalu lelah.”Aku terus bersikukuh, hingga akhirnya Amel menurut dan tidak bisa menolak lagi. Setelah itu aku membuang semua bungkus bekas makanan termasuk bekas makanan Arka. Setelah selesai aku juga menyapu dan mengepel bekas ma
Apa kalian mau tau bagaimana rasanya hatiku? Jelas sakit, sangat-sangat sakit. Selama ini yang kutahu Ibu dan mbak Sita sangat menyayangi Amel dan juga Arka. Namun, faktanya sekarang aku mendengar sendiri semuanya dengan telingaku melalui mulut mereka. Aku menyandarkan tubuh di dinding tepat sebelah pintu. Kuhembuskan napas berkali-kali untuk menghilangkan rasa sesaknya dada. Sesaat langkahku terhenti, aku terpaku dan mulut terbungkam saat mendengar ucapan Ibu dari dalam rumah, kepulanganku ini ternyata sudah disambut oleh rencana jahat keluargaku. Uang nafkah yang tadinya untuk anak dan istriku ternyata benar dimanfaatkan oleh mereka.Jika sebelumnya aku hanya mendengar dari mulut tetangga, tetapi sekarang aku benar-benar mendengar secara langsung dari mulut ibu sendiri.Ya Allah … tiada rasa sakit yang lebih parah kecuali ucapan dan rencana jahat dari keluarga sendiri. Aku benar-benar tidak menyangka kalau ibu dan kakakku ternyata sejahat itu. Awalnya aku masih berharap kalau kab
“Bayu! Apa maksud kamu?! Kamu itu mau dicap durhaka sama ibu karena menghentikan kirimanmu kepadanya?! Tega kamu! Hanya demi membela perempuan yang jika kalian bercerai akan menjadi mantan tapi kamu sampai sebegitunya.”“Tutup mulutmu, Mbak! Aku dan Amel tidak akan pernah bercerai. Seandainya aku dan Amel sampai bercerai itu pasti karena ulah kalian.”“Kamu yang tutup mulut! Kamu itu dilahirkan dari rahim Ibu dan beliau yang merawatmu juga menyekolahkanmu. Tapi inikah balasanmu? Dasar tidak tahu diri.”“Seandainya aku bisa memilih harus dilahirkan di rahim siapa dan yang mana maka aku tidak akan memilih untuk dilahirkan di rahim ibu. Kehadiranku di dunia ini adalah kehendak ibu dan bapak. Itu juga karena ridho Allah, Mbak. Merawat dan membesarkan anak itu sudah menjadi kewajiban orang tua terhadap anaknya. Anak bukan investasi masa depan, Mbak. Seharusnya melihat anak bahagia dengan pasangannya, ibu juga harus bahagia dong. Tapi nyatanya apa? Yang ibu lakukan justru menghancurkan ruma
“Siapa mereka? Kok tiba-tiba ada di depan rumahku? Apa jangan-jangan … ah tidak mungkin, bukankah tidak ada satu pun yang tahu tentang aku dan anakku? Dan tidak mungkin mas Fahmi yang mengadukan aku ke polisi.” Pikiran Sita menjadi kacau seketika. Sita belum mau membukakan pintu sebab dia masih ragu akan keselamatannya di mana dia juga seorang diri, tidak ada orang lain di rumahnya. “Permisi, Ibu Sita!” Kembali Sita mendengar suara pintu rumah diketuk dan namanya juga disebut oleh salah satu dari mereka. “Duh gimana ini, aku belum siap menghadapi mereka. Dan nggak mungkin mas Fahmi mengadukan semuanya ke polisi, aku ini kan ibunya Rifki aku juga berhak atas anakku.” Tubuh Sita seperti gemetaran. Dia tidak bisa berpikir dengan tenang. Di sekeliling rumahnya pun sudah banyak orang yang memperhatikan seakan ingin tau apa lagi yang terjadi dengan Sita. Karena tidak kunjung dibuka, kedua orang itu menanyakan ke tetangga Sita yang bernama Reni.“Apa Ibu Sita ada di rumahnya?” “Seper
Di perjalanan pulang, Fahmi berniat untuk mendatangi Sita di rumahnya sebab dia tidak menemukan mantan istrinya itu saat menjemput anaknya di jalan tadi. Namun, Bu Tini melarangnya.“Sebaiknya kita langsung pulang saja, percuma kalau kamu ribut dengannya sudah pasti kamu yang kalah. Ibu tau persis watak dan kelicikan mantan istrimu itu. Dia nggak akan semudah itu untuk mengakui kesalahannya,” titah Bu Tini pada Fahmi yang tengah fokus mengendarai sepeda motornya.“Tapi, Bu, aku harus membuat perhitungan dengannya. aku ini juga ayahnya Rifku, aku jelas nggak akan terima kalau anakku disakiti dengan cara seperti ini, Bu.” “Ibu mengerti perasaanmu, tapi kita harus cari waktu yang tepat untuk melawannya, percayalah akan tiba saatnya untuk kita bisa menang melawan Sita. Tapi yang pasti tidak sekarang” Mendengar perkataan sang Ibu, Fahmi akhirnya mengurungkan niatnya untuk melabrak Sita, dan terus melajukan sepeda motornya menuju rumah.Bu Tini sebenarnya tidak ingin terjadi sesuatu pada
Kesabaran Bu Tini akhirnya membuahkan hasil, apa yang dia pikirkan terjawab sudah. Semua jawabannya sudah di depan mata, hanya saja dia tidak habis pikir anak seusia Rifki kok ada di tempat keramaian seperti ini. Entah di mana Sita, karena wanita itu tidak tampak batang hidungnya. Bu Tini merasakan shock saat anak yang dia lihat ternyata benar Rifki meski awalnya dia sudah mengantisipasi. Tanpa berpikir lagi, wanita tua itu langsung memeluk cucunya dengan erat. Fahmi yang melihat dari kejauhan mulai melangkah dan mendekati sang anak. Alangkah terkejutnya dia sebab anaknya yang seharusnya berada di rumah bersama Ibunya, tetapi sekarang justru berada di tempat seperti itu. Rasa bersalah bercampur dengan emosi menyatu dalam diri Fahmi, karena dia seorang ayah seharusnya melindungi, tetapi malah seperti menelantarkan anaknya. Tentu saja luapan kemarahannya tertuju pada Sita.“Rifki, kenapa kamu ada di sini, Nak?” tanya Bu Tini pada Rifki.“Nenek, aku … hmm … aku di sini sama Ibu,”
Tak sabar rasanya, Bu Tini ingin sekali kembali ke tempat itu, di mana dia melihat sosok Rifki yang tengah digandeng oleh seseorang dengan pakaian yang sangat lusuh. Tidurnya pun menjadi tidak nyenyak dan tidak tenang selalu dibayang-bayangi kehadiran cucunya. Entah kenapa, Bu Tini tidak ada menaruh rasa percaya pada Sita sedikit pun. ***Keesokan harinya, Bu Tini kembali mengajak dan mendesak Fahmi untuk diantarkan kembali ke simpang lampu merah tempat dia melihat sosok Rifki pertama kali. keyakinan serta rasa penasarannya pada sosok anak kecil itu begitu kuat. “Ibu yakin mau ke situ lagi? Apa nggak kita ke rumah Sita aja terlebih dahulu?” Fahmi sengaja mengalihkan apa yang ada di pikiran Ibunya, setidaknya keinginan Ibunya itu hanya mau bertemu dengan Rifki.“Enggak! Ibu mau kamu juga ikut cari tau apa yang terjadi pada anakmu, memangnya kamu tidak penasaran apa? Kalau sampai terjadi apa-apa dengan Rifki kamu juga tidak akan Ibu maafkan, ngerti kamu!?” sentak Bu Tini pada Fahmi.
Entah kenapa Bu tini punya firasat kalau yang dia lihat adalah betul Rifki, tetapi dia harus lebih memastikan kalau dugaannya benar. Perhatiannya tidak lepas dari anak yang sangat mirip dengan cucunya itu.“Eh eh, berhenti Fahmi,” ucap Bu Tini sambil menepuk bahu Fahmi yang sedang fokus melihat jalan. “Iya ada apa sih, Bu?” Fahmi menoleh pada Ibunya.“Coba deh kamu lihat anak itu, sepertinya tidak asing bagi Ibu, fisiknya sangat mirip dengan Rifki.” Fahmi menoleh ke arah yang ditunjuk bu Tini. Dia menajamkan penglihatannya. Meski menurut Fahmi memang mirip, tetapi masa iya anaknya afa di tempat seperti itu? “Ah, negak mungkin itu Rifki, Ibu salah lihat kali. Nggak mungkin anakku jadi pengemis.” Pandangan Fahmi juga tidak lepas dari sosok anak yang dia lihat, tetapi dia belum percaya kalau itu adalah anaknya. Pasalnya anak itu terlihat sedang meminta-minta di sekitar lampu merah bersama seorang perempuan paruh baya. Fahmi berusaha meyakinkan kalau Bu Tini kalau dia hanya salah l
Percakapan Amel dan Ibu markonah didengar oleh Ibu-Ibu yang lainnya yang juga lagi belanja di warung tempat langganan mereka. Wajar saja karena setiap pagi adalah waktu untuk membeli bahan untuk dimasak setiap harinya. Begitu juga dengan Amel yang sudah menjadi kegiatannya setiap hari. Ditambah dia harus mengurus sang mertua.Bu markonah tampak kesal karena diminta harus melunasi hutangnya terlebih dahulu jika mau pinjam uang lagi. Apalagi di depan orang banyak, tentunya dia merasa sangat malu jika yang lain pada tahu kalau dirinya punya hutang pada warga baru seperti Amel. Padahal selama ini dia selalu menghina Amel miskin hanya karena tampilannya yang sederhana. “Ck, halah duit segitu aja diminta terus, kayak orang susah. Katanya orang kaya masa hutang nggak seberapa diributin, nggak malu apa?” ujar Bu Markonah dengan expresi wajah mengejek. Dia berusaha membalikan keadaan seolah Amel yang menjadi penyebab keributan.“loh-loh ada apa ini, Mel?” tanya Mila sambil mendekati Amel.“i
Hari pertama Rifki bersama Ibunya sangat membuatnya senang dan gembira, yang biasa dirasakan di kalangan anak-anak se usianya pada umumnya. Tidak heran, karena anak laki-laki akan cenderung lebih dekat dengan sang Ibu. kerinduannya pun terobati, wajah ceria terpancar dari wajah anak itu.Pagi itu Rifki dibangunkan Sita serta diberi sarapan, tidak seperti biasanya yang dialaminya sewaktu tinggal bersama ayah dan neneknya. Bangun siang adalah hal yang lumrah bagi mereka sebab sang anak masih sangat dini untuk dimintai bangun pagi. Namun, sang anak tentu belum bisa berpikir seperti orang dewasa. baginya dekat dengan sang Ibu adalah kebahagiaan yang selalu ingin dia rasakan. begitu juga dengan Rafa. Hanya saja Sita cuma ingin salah satu dari mereka. “Bu, aku pengen sekolah dong. Aku juga mau kayak teman-teman sekolah dan bisa main sama mereka. Aku juga ingin jajan, Bu.” Ucapan itu membuat Sita yang sedang menyuapi Rifki menghentikan gerakan ta
“Pagi, Sita, kamu mau ke mana?” tanya Reni. Kebetulan hari itu Reni dan keluarganya mau pergi jalan-jalan. Biasanya tak.jauh dari rumahnya tepat di stadion Joyo Kusumo kalau setiap hari minggu selalu ramai. Jadi mumpung hari libur, pagi-pagi sekali mereka sudah siap-siap untuk berangkat.“Iya pagi!” jawab Sita ketus. Akan tetapi, Reni mengabaikan jawaban dari Sita. pasalnya dia sudah tau bagaimana karakter Sita. Mereka bertetangga, tetapi tidak dengan hati mereka. Ya begitu lah Sita, hanya mementingkan dirinya sendiri. Sita juga masih kesal pada tetangganya itu. Pasalnya dulu dia pernah meminjam sejumlah uang yang cukup besar pada tetangganya itu, tetapi tidak didapatkannya. Dan akhirnya Sita kesal lalu membenci Reni. Sita menganggap yang tidak satu frekuensi dengannya adalah musuh bagi dirinya. Seperti yang sudah direncanakan, Sita akan menjemput anaknya di rumah mantan mertuanya. Dengan menggunakan motor yang dia beli bebe
“Tuh lihat, manusia kejam yang tega menghancurkan hidup keluarganya sendiri, dulu adiknya sekarang ibunya. Dasar manusia serakah dan tak tau diri. Perempuan seperti itu tak pantas dianggap keluarga,” ujar tetangga Sita yang sedang belanja di tukang sayur keliling di dekat rumahnya. Intonasi suaranya sengaja dia buat tinggi agar Sita mendengar. Yah, sudah menjadi rahasia umum perlakuan Sita pada bu Nurma. Mereka yang awalnya mengira Sita anak yang berbakti karena mau merawat bu Nurma yang lumpuh nyatanya hanya tipu daya belaka. Sita justru mengeksploitasi ibunya sendiri. Miris ….“Kemarin kalau gak salah si Bayu sam Amel pulang bawa si Nurma kan? Pantas dia tinggal sendirian sekarang. Memang dia itu anak durhaka. seperti yang kita tahu kalau selama ini si Nurma kan lebih cenderung sayang ke dia. Eh bukannya balas budi malah menyiksa orang tuanya sendiri, kalau aku sih amit-amit punya anak kayak gitu. Setidaknya kalau belum bisa membahagiakan orang tua ya jangan menyus