Berbekal alamat yang diberikan oleh mbak wati padaku. Di mana tempat para pemulung menyetorkan barang bekas untuk ditimbang lali mendapatkan uang.
Sembari menahan sesak di dada aku terus saja berjalan menuju tempat pengepul tersebut. Jaraknya memang tidak jauh dari rumah kontrakan kami. Hanya sekitar 2 km saja. Namun, meski hanya 2 km tetap saja kalau berjalan kaki ya lelah juga. Padahal sewaktu lebaran tahun kemarin aku sudah membeli motor dengan niat agar istriku ke mana-mana tidak perlu lagi kecapekan. Namun, sekarang ini barang itu juga tidak ada di rumah ini. Padahal aku membelinya secara kredit dan hingga sekarang kreditannya juga masih aku bayar. Aku tidak bisa membayangkan betapa lelahnya Amel yang setiap harinya harus melakukan ini sambil menggendong anak kami. Aku yang jalan seorang diri saja cukup lelah dan kepanasan apalagi istriku. Sesekali aku berhenti sebab kaki terasa lelah sembari menghela napas karena kesedihan yang kurasakan saat ini.Sesampainya di sana ternyata banyak sekali para pemulung yang sedang menyetorkan hasil mulungnya di sini. Kupandangi ke sekitar, meski dulunya aku sering lewat sini, tetapi aku tidak pernah ngeh kalau tempat ini ada. Aku tidak pernah dan tidak bisa membayangkan kalau di sini lah tempat istriku dan anakku Arka yang masih berusia satu tahun berbaur di tempat seperti ini setiap hari. Mataku hanya berkedip sesekali sebab harus melihat ke di setiap sudut tempat pengepul itu. Mencoba mencari di mana sosok istri dan anakku berada. Hingga pada akhirnya aku melihat seorang perempuan yang membuat dahiku berkerut. “Apakah itu Amel?”Karena rasa penasaranku begitu besar akhirnya aku pun berjalan perlahan mendekati perempuan itu. Dan ternyata benar saja, dia adalah Amel. Mataku mengerjap berkali-kali. Kupandangi dia sebab aku masih tidak percaya kalau itu adalah istriku. Ya Allah … hatiku terasa sangat miris melihat penampilan tubuh Amel yang tampak lebih kurus dari saat aku pulang waktu lebaran kemaren.Begitu juga dengan Arka anakku, bayi berusia satu tahun yang ada dalam gendongan Amel juga tampak begitu kurus. Tulang yang terbalut kulit itu begitu menonjol di bagian pundaknya. Rambut Arka juga terlihat kemerahan karena mungkin sering terpapar sinar matahari. Pakaian yang mereka kenakan pun tampak sangat lusuh dan memprihatinkan. Allah … aku ternyata sudah sangat zalim pada anak dan istriku. Maafkan aku, Amel, Arka. Aku memang suami dan ayah yang tidak berguna. Maafkan aku ….Saat menatap mereka posisiku hanya berjarak beberapa meter saja, tetapi Amel belum menyadari keberadaanku.Air mata kian mengalir deras. Aku tidak dapat lagi membendungnya. Ya Allh, aku sudah sangat berdosa pada istri dan anakku. Ayah dan suami macam apa aku ini? Diberi amanah untuk menjaga seorang wanita dan anak saja aku tidak bisa. Bodoh … aku benar-benar bodoh! Aku terus berjalan mendekat ke arahnya yang masih tampak sibuk mengantri untuk setor ke pengepul dan menimbang barang bekas yang dibawanya. Hingga kini posisiku sudah sangat dekat langsung saja aku memanggil sembari menyentuh pundaknya dari samping. “Amel ….” Wanita yang kusebut namanya itu menoleh ke arahku. Mata kami saling beradu. Tampak dari matanya yang membulat karena mungkin terkejut melihat kedatanganku secara tiba-tiba. Air mata kembali mengalir deras. Tidak pernah bisa membayangkan betapa menderitanya hidup yang dijalani anak dan istriku selama ini. Perbuatan yang dilakukan keluargaku benar-benar sudah keterlaluan. Terkutuklah keluargaku yang sudah berbuat seperti ini. Meski mereka Ibu dan kakakku sekalipun, aku tidak akan tinggal diam saja. Aku berjanji demi anak dan istriku, akan kubuat mereka menyesali perbuatannya karena sudah membohongiku. Kepercayaanku mereka sia-siakan, terutama mbak Sita, pdahal uang yang kukirim ke rekeningnya tidaklah sedikit. Setiap dia meminta mengatasnamakan Amel dan Arka, tanpa pikir panjang aku pasti langsung memberikannya. Namun, ternyata inilah yang terjadi. “M-mas Bayu.”“Amel, kenapa kamu tidak pernah cerita padaku?”“Mas Bayu? Kenapa bisa ada di sini secara tiba-tiba?” tanyanya dengan suara lirih, tetapi aku masih bisa mendengarnya. “Jawab, Mel! Kenapa kamu gak pernah cerita padaku!” Aku sedikit menyentakknya. Tak kuhiraukan tatapan mata dari orang-orang di sekitar. saat ini yang terpenting Amel menjelaskannya padaku. “Kenapa, Mel?”“Untuk apa, Mas? Untuk apa aku bercerita padamu kalau kami saja juga tidak peduli pada kami?!” “Apa maksudmu bicara begitu?”“Kau tanyakan saja pada keluargamu. Mereka yang selalu bilang kalau kamu sudah tidak peduli lagi padaku dan Arka. Masih untung kamu masih mau memberikan uang padaku dan Arka. Katanya lagi semua itu memang keinginanmu. Kamu tidak sudi punya istri yang hanya tamatan SD dan miskin sepertiku. Jadi, kamu memberikanku uang sekedarnya itu hanyalah sebagai bentuk rasa kasihan saja. Tidak lebih dari itu.”“Apa kamu ada mendengarnya dari mulutku sendiri, Mel? Kenapa kamu gak tanyakan langsung padaku?”“Untuk apa? Untuk kamu hina seperti keluargamu melakukan itu padaku? Apa salahku pada kalian? Kalau memang kamu gak cinta dan gak sayang lantas kenapa kamu menikahiku, Mas? Aku memang hanya tamatan SD, Mas, tapi apakah pantas kalian menghinaku dan anakku seperti itu! Arka itu anakmu, keponakan dari kakakmu dan cucu dari ibumu. Setidaknya kalau tidak menyukaiku cobalah sukai Arka. Bagaimanapun ada darah kalian yang mengalir di dirinya.” Suara Amel terdengar bergetar. “Lalu, barang-barang kita ke mana semuanya? Bukankah aku membelikannya waktu lebaran kemarin?”“Semuanya sudah diambil sama keluargamu karena kata mereka itu belinya pakai uangmu jadi aku tidak ada hak untuk memilikinya. Orang miskin sepertiku tidak pantas untuk memakai barang-barang bagus itu.”Ya Allah … kejam! Mereka benar-benar kejam! Kupikir mereka benar-benar orang yang tulus tapi ternyata? Mereka memakai topeng yang sangat bagus sampai-sampai aku tidak pernah tahu apa yang ada di balik topeng yang mereka pakai. Kupegang tangan Amel lalu sedikit menariknya. “Mau ke mana, Mas?”“Ayo ikut aku ke rumah Ibu, kita beri mereka pelajaran. Dan biar kamu tau kalau aku tidak tahu menahu soal ini semua. Mereka sudah memfitnahku di depanmu. Auo, Mel!”“Gak, Mas! Untuk apa? Untuk aku dihina lagi sama ibu dan kakakmu? Gak, Mas! Gak mau lagi aku ke sana kalau hanya untuk dihina. Sudah cukup selama ini aku menahannya.” Kutatap wajah Amel dengan matanya yang sudah berkaca-kaca. Oh Tuhan … separah itukah keluargaku berbuat pada istri dan anakku? Seandainya aku tidak mau percaya pun sudah banyak yang mengatakan tentang kelakuan mereka pada istriku. “Tapi, Mel, kita harus tau apa tujuan mereka melakukan ini semua pada keluarga kecil kita,” ucapku dengan suara sedikit lirih sebab semakin banyak pasang mata yang melihat ke arah kami. Terpaksa aku menarik tangan Amel untuk sedikit menjauh dari tempat ini. Awalnya Amel menolak, tetapi tenagaku jelas lebih kuat dibanding dirinya hingga akhirnya Amel tidak menolak untuk kubawa sedikit menyingkir dari tempat semula. “Mel please, ikut aku ke rumah ibu dan Mbak Sita. Biar kita tau apa maksud mereka melakukan ini semua.”“Apa lagi? Jelas mereka melakukan ini semua karena ketidaksukaan mereka pada
“K-kamu serius, Mel? Sampai separah itu?”“Menurutmu? Untuk apa aku berbohong? Kamu pikir aku mau gitu pakai baju jelek begini kalau memang aku ada baju yang baru?” Lagi-lagi aku menghela napas. Kuusap kasar wajahku. “Terus baju-bajunya Arka gimana?” tanyaku lagi sembari menatapnya. “Bajunya Arka juga diambil sama Mbak Sita. Katanya lebih cocok dipakai sama Rafa anaknya dan dia juga bilang umur Rafa dengan Arka tidak jauh beda hanya selisih lebih tua Rafa lima bulan dari Arka. Makanya diambil, katanya ya sama kalau Arka gak pantas pakai baju mahal. Keturunan dari rahimku gak ada yang pantas pakai barang bagus.”Astaga Mbak Sita ….Kenapa sih dia sejahat itu sama anak dan istriku? Padahal setiap bulan kalau Mbak Sita menghubungiku untuk meminta bantuan atau meminjam uang dengan dalih kebutuhan mendesak pasti aku kasih. Dan sampai sekarang hurang-hurangnya yng jika aku total ada 20 juta belum pernah ia kembalikan dan belum pernah juga aku memintanya. Aku menggerutu dalam hati dan men
“Iya, Mas, aku mau asalkan selalu bersamamu dan anak kita.” Mendengar jawaban Amel, kembali aku memeluknya dengan tangis bahagia. Akhirnya … aku bisa berkumpul kembali dengan anak dan istriku. Ah, rasanya aku terharu sekali. Setelah selesai makan aku pun membereskan sisa makananku dan juga makanan mereka. Amel pun ikut membantu, tetapi aku larang. “Mel biar aku saja yang membereskannya, kamu istirahatlah kan seharian sudah keliling pasti capek.”“Nggak apa-apa, Mas, aku ini istrimu dan sudah sepantasnya aku ikut beres-beres karena kamu juga pasti capek sebab dari perjalanan jauh,” jawab Amel sambil melanjutkan beres-beresnya.“Sudah, sebagai istri kamu harus menurut. Kamu beristirahatlah biar aku saja membereskan semua ini. karena kamu kuperhatikan udah terlalu lelah.”Aku terus bersikukuh, hingga akhirnya Amel menurut dan tidak bisa menolak lagi. Setelah itu aku membuang semua bungkus bekas makanan termasuk bekas makanan Arka. Setelah selesai aku juga menyapu dan mengepel bekas ma
Apa kalian mau tau bagaimana rasanya hatiku? Jelas sakit, sangat-sangat sakit. Selama ini yang kutahu Ibu dan mbak Sita sangat menyayangi Amel dan juga Arka. Namun, faktanya sekarang aku mendengar sendiri semuanya dengan telingaku melalui mulut mereka. Aku menyandarkan tubuh di dinding tepat sebelah pintu. Kuhembuskan napas berkali-kali untuk menghilangkan rasa sesaknya dada. Sesaat langkahku terhenti, aku terpaku dan mulut terbungkam saat mendengar ucapan Ibu dari dalam rumah, kepulanganku ini ternyata sudah disambut oleh rencana jahat keluargaku. Uang nafkah yang tadinya untuk anak dan istriku ternyata benar dimanfaatkan oleh mereka.Jika sebelumnya aku hanya mendengar dari mulut tetangga, tetapi sekarang aku benar-benar mendengar secara langsung dari mulut ibu sendiri.Ya Allah … tiada rasa sakit yang lebih parah kecuali ucapan dan rencana jahat dari keluarga sendiri. Aku benar-benar tidak menyangka kalau ibu dan kakakku ternyata sejahat itu. Awalnya aku masih berharap kalau kab
“Bayu! Apa maksud kamu?! Kamu itu mau dicap durhaka sama ibu karena menghentikan kirimanmu kepadanya?! Tega kamu! Hanya demi membela perempuan yang jika kalian bercerai akan menjadi mantan tapi kamu sampai sebegitunya.”“Tutup mulutmu, Mbak! Aku dan Amel tidak akan pernah bercerai. Seandainya aku dan Amel sampai bercerai itu pasti karena ulah kalian.”“Kamu yang tutup mulut! Kamu itu dilahirkan dari rahim Ibu dan beliau yang merawatmu juga menyekolahkanmu. Tapi inikah balasanmu? Dasar tidak tahu diri.”“Seandainya aku bisa memilih harus dilahirkan di rahim siapa dan yang mana maka aku tidak akan memilih untuk dilahirkan di rahim ibu. Kehadiranku di dunia ini adalah kehendak ibu dan bapak. Itu juga karena ridho Allah, Mbak. Merawat dan membesarkan anak itu sudah menjadi kewajiban orang tua terhadap anaknya. Anak bukan investasi masa depan, Mbak. Seharusnya melihat anak bahagia dengan pasangannya, ibu juga harus bahagia dong. Tapi nyatanya apa? Yang ibu lakukan justru menghancurkan ruma
“Mas serius?” Amel menatapku dan aku membalas tatapannya. Aku segera mengangguk kecil menjawab pertanyaannya. “Tapi nanti apa gak akan jadi masalah? Itu mbak Sita pasti akan mengamuk, Mas.”“Hey, itu semua barang punya kita. Mau Mas bawa ke Kalimantan rencananya. Soalnya di sana Mas udah beli rumah jadi kan lumayan buat isi rumah kita yang di sana daripada beli kan?”“Beli rumah? Mas serius?” Aku kembali mengangguk menjawab ucapannya. “Rumah atas namamu, mas sengaja membelinya karena ingin membahagiakanmu. Memang sudah punya cita-cita jika membeli hunian nanti akan mas pakai namamu.”“Mas sebenarnya jabatanmu itu apa? Kenapa gajimu besar sekali? Bisa beli ini dan itu?”“Alhamdulillah jabatanku sekarang manajer, Sayang. Gajiku sekitar 30 juta sebulan itu belum termasuk bonus. Yah kalau ditotal dengan bonus kurang lebih 35 juta Kenapa bisa cepat? Karena sejak awal masuk aku kan sudah menjabat sebagai supervisor dan kebetulan di perusahaanku sedang dibuka perusahaan baru istilahnya cab
Huft, selalu adaaa saja yang mengganggu. Heran aku, apa seperti ini yang Amel alami setiap hari? “Siapa itu, Mas? Ayo kita lihat sama-sama, aku juga ingin tahu.” Aku dan Amel saling berpandangan lalu aku mengedikkan bahu tanda tidak mengerti. Seketika aku melangkah menuju pintu depan yang ada di ruang tamu sementara kami berdua berada di kamar. Aku berniat untuk melihat siapa yang datang berteriak memanggil nama istriku seperti itu. Ternyata Amel juga ingin ikut serta melihat keluar, tetapi aku melarangnya. “Tidak usah biar aku saja, kamu tunggu saja di dalam biar aku yang lihat keluar. Lagi pula kamu sedang menggendong Arka. Kasihan kalau anak kita sampai mendengar yang enggak-enggak nanti di luar,” ujarku pada Amel. Untungnya Amel menurut apa yang aku titahkan padanya. Aku mengintip dari balik hordeng dan cukup terkejut saat tahu suara siapa yang berteriak. Kalau aku tidak segera keluar pasti Ibu akan lebih ribut lagi, tetapi jika aku keluar pasti juga tetap ribut. Huft, sera
“Makasih ya, Mas, kamu sudah mau membelaku hingga sejauh ini. Padahal kami bisa dicap sebagai anak durhaka.” Amel mendongak dan kedua bola mata kami saling bersitatap. Aku mengecup dahinya, entah kenapa rasa sayangku teramat besar untuknya. “Itu sudah menjadi kewajibanku, Sayang. Di sini aku bukan ingin menjadi anak durhaka tapi aku memposisikan di sisi yang benar. Meskipun aku harus melawan ibu kalau beliau salah tetap aku tidak akan berpihak padanya. Biarkan Tuhan yang maha tau yang menilai tentang diriku. Sudah kamu gak usah pikirkan hal itu. Aku mau ngecek ke depan dulu karena sepertinya suara ibu sudah gak kedengaran lagi. Amel melepaskan pelukannya di tubuhku, aku pun bergegas menuju ke ruang tamu lalu mengintip dari balik jendela untuk memastikan apakah Ibu masih di depan rumah atau tidak dan ternyata beliau sudah pergi.Kuhembuskan napas dan rasanya cukup lega. Langsung saja aku memesan taksi online untuk kami bertiga, agar bisa segera berangkat karena hari juga sudah siang.
“Siapa mereka? Kok tiba-tiba ada di depan rumahku? Apa jangan-jangan … ah tidak mungkin, bukankah tidak ada satu pun yang tahu tentang aku dan anakku? Dan tidak mungkin mas Fahmi yang mengadukan aku ke polisi.” Pikiran Sita menjadi kacau seketika. Sita belum mau membukakan pintu sebab dia masih ragu akan keselamatannya di mana dia juga seorang diri, tidak ada orang lain di rumahnya. “Permisi, Ibu Sita!” Kembali Sita mendengar suara pintu rumah diketuk dan namanya juga disebut oleh salah satu dari mereka. “Duh gimana ini, aku belum siap menghadapi mereka. Dan nggak mungkin mas Fahmi mengadukan semuanya ke polisi, aku ini kan ibunya Rifki aku juga berhak atas anakku.” Tubuh Sita seperti gemetaran. Dia tidak bisa berpikir dengan tenang. Di sekeliling rumahnya pun sudah banyak orang yang memperhatikan seakan ingin tau apa lagi yang terjadi dengan Sita. Karena tidak kunjung dibuka, kedua orang itu menanyakan ke tetangga Sita yang bernama Reni.“Apa Ibu Sita ada di rumahnya?” “Seper
Di perjalanan pulang, Fahmi berniat untuk mendatangi Sita di rumahnya sebab dia tidak menemukan mantan istrinya itu saat menjemput anaknya di jalan tadi. Namun, Bu Tini melarangnya.“Sebaiknya kita langsung pulang saja, percuma kalau kamu ribut dengannya sudah pasti kamu yang kalah. Ibu tau persis watak dan kelicikan mantan istrimu itu. Dia nggak akan semudah itu untuk mengakui kesalahannya,” titah Bu Tini pada Fahmi yang tengah fokus mengendarai sepeda motornya.“Tapi, Bu, aku harus membuat perhitungan dengannya. aku ini juga ayahnya Rifku, aku jelas nggak akan terima kalau anakku disakiti dengan cara seperti ini, Bu.” “Ibu mengerti perasaanmu, tapi kita harus cari waktu yang tepat untuk melawannya, percayalah akan tiba saatnya untuk kita bisa menang melawan Sita. Tapi yang pasti tidak sekarang” Mendengar perkataan sang Ibu, Fahmi akhirnya mengurungkan niatnya untuk melabrak Sita, dan terus melajukan sepeda motornya menuju rumah.Bu Tini sebenarnya tidak ingin terjadi sesuatu pada
Kesabaran Bu Tini akhirnya membuahkan hasil, apa yang dia pikirkan terjawab sudah. Semua jawabannya sudah di depan mata, hanya saja dia tidak habis pikir anak seusia Rifki kok ada di tempat keramaian seperti ini. Entah di mana Sita, karena wanita itu tidak tampak batang hidungnya. Bu Tini merasakan shock saat anak yang dia lihat ternyata benar Rifki meski awalnya dia sudah mengantisipasi. Tanpa berpikir lagi, wanita tua itu langsung memeluk cucunya dengan erat. Fahmi yang melihat dari kejauhan mulai melangkah dan mendekati sang anak. Alangkah terkejutnya dia sebab anaknya yang seharusnya berada di rumah bersama Ibunya, tetapi sekarang justru berada di tempat seperti itu. Rasa bersalah bercampur dengan emosi menyatu dalam diri Fahmi, karena dia seorang ayah seharusnya melindungi, tetapi malah seperti menelantarkan anaknya. Tentu saja luapan kemarahannya tertuju pada Sita.“Rifki, kenapa kamu ada di sini, Nak?” tanya Bu Tini pada Rifki.“Nenek, aku … hmm … aku di sini sama Ibu,”
Tak sabar rasanya, Bu Tini ingin sekali kembali ke tempat itu, di mana dia melihat sosok Rifki yang tengah digandeng oleh seseorang dengan pakaian yang sangat lusuh. Tidurnya pun menjadi tidak nyenyak dan tidak tenang selalu dibayang-bayangi kehadiran cucunya. Entah kenapa, Bu Tini tidak ada menaruh rasa percaya pada Sita sedikit pun. ***Keesokan harinya, Bu Tini kembali mengajak dan mendesak Fahmi untuk diantarkan kembali ke simpang lampu merah tempat dia melihat sosok Rifki pertama kali. keyakinan serta rasa penasarannya pada sosok anak kecil itu begitu kuat. “Ibu yakin mau ke situ lagi? Apa nggak kita ke rumah Sita aja terlebih dahulu?” Fahmi sengaja mengalihkan apa yang ada di pikiran Ibunya, setidaknya keinginan Ibunya itu hanya mau bertemu dengan Rifki.“Enggak! Ibu mau kamu juga ikut cari tau apa yang terjadi pada anakmu, memangnya kamu tidak penasaran apa? Kalau sampai terjadi apa-apa dengan Rifki kamu juga tidak akan Ibu maafkan, ngerti kamu!?” sentak Bu Tini pada Fahmi.
Entah kenapa Bu tini punya firasat kalau yang dia lihat adalah betul Rifki, tetapi dia harus lebih memastikan kalau dugaannya benar. Perhatiannya tidak lepas dari anak yang sangat mirip dengan cucunya itu.“Eh eh, berhenti Fahmi,” ucap Bu Tini sambil menepuk bahu Fahmi yang sedang fokus melihat jalan. “Iya ada apa sih, Bu?” Fahmi menoleh pada Ibunya.“Coba deh kamu lihat anak itu, sepertinya tidak asing bagi Ibu, fisiknya sangat mirip dengan Rifki.” Fahmi menoleh ke arah yang ditunjuk bu Tini. Dia menajamkan penglihatannya. Meski menurut Fahmi memang mirip, tetapi masa iya anaknya afa di tempat seperti itu? “Ah, negak mungkin itu Rifki, Ibu salah lihat kali. Nggak mungkin anakku jadi pengemis.” Pandangan Fahmi juga tidak lepas dari sosok anak yang dia lihat, tetapi dia belum percaya kalau itu adalah anaknya. Pasalnya anak itu terlihat sedang meminta-minta di sekitar lampu merah bersama seorang perempuan paruh baya. Fahmi berusaha meyakinkan kalau Bu Tini kalau dia hanya salah l
Percakapan Amel dan Ibu markonah didengar oleh Ibu-Ibu yang lainnya yang juga lagi belanja di warung tempat langganan mereka. Wajar saja karena setiap pagi adalah waktu untuk membeli bahan untuk dimasak setiap harinya. Begitu juga dengan Amel yang sudah menjadi kegiatannya setiap hari. Ditambah dia harus mengurus sang mertua.Bu markonah tampak kesal karena diminta harus melunasi hutangnya terlebih dahulu jika mau pinjam uang lagi. Apalagi di depan orang banyak, tentunya dia merasa sangat malu jika yang lain pada tahu kalau dirinya punya hutang pada warga baru seperti Amel. Padahal selama ini dia selalu menghina Amel miskin hanya karena tampilannya yang sederhana. “Ck, halah duit segitu aja diminta terus, kayak orang susah. Katanya orang kaya masa hutang nggak seberapa diributin, nggak malu apa?” ujar Bu Markonah dengan expresi wajah mengejek. Dia berusaha membalikan keadaan seolah Amel yang menjadi penyebab keributan.“loh-loh ada apa ini, Mel?” tanya Mila sambil mendekati Amel.“i
Hari pertama Rifki bersama Ibunya sangat membuatnya senang dan gembira, yang biasa dirasakan di kalangan anak-anak se usianya pada umumnya. Tidak heran, karena anak laki-laki akan cenderung lebih dekat dengan sang Ibu. kerinduannya pun terobati, wajah ceria terpancar dari wajah anak itu.Pagi itu Rifki dibangunkan Sita serta diberi sarapan, tidak seperti biasanya yang dialaminya sewaktu tinggal bersama ayah dan neneknya. Bangun siang adalah hal yang lumrah bagi mereka sebab sang anak masih sangat dini untuk dimintai bangun pagi. Namun, sang anak tentu belum bisa berpikir seperti orang dewasa. baginya dekat dengan sang Ibu adalah kebahagiaan yang selalu ingin dia rasakan. begitu juga dengan Rafa. Hanya saja Sita cuma ingin salah satu dari mereka. “Bu, aku pengen sekolah dong. Aku juga mau kayak teman-teman sekolah dan bisa main sama mereka. Aku juga ingin jajan, Bu.” Ucapan itu membuat Sita yang sedang menyuapi Rifki menghentikan gerakan ta
“Pagi, Sita, kamu mau ke mana?” tanya Reni. Kebetulan hari itu Reni dan keluarganya mau pergi jalan-jalan. Biasanya tak.jauh dari rumahnya tepat di stadion Joyo Kusumo kalau setiap hari minggu selalu ramai. Jadi mumpung hari libur, pagi-pagi sekali mereka sudah siap-siap untuk berangkat.“Iya pagi!” jawab Sita ketus. Akan tetapi, Reni mengabaikan jawaban dari Sita. pasalnya dia sudah tau bagaimana karakter Sita. Mereka bertetangga, tetapi tidak dengan hati mereka. Ya begitu lah Sita, hanya mementingkan dirinya sendiri. Sita juga masih kesal pada tetangganya itu. Pasalnya dulu dia pernah meminjam sejumlah uang yang cukup besar pada tetangganya itu, tetapi tidak didapatkannya. Dan akhirnya Sita kesal lalu membenci Reni. Sita menganggap yang tidak satu frekuensi dengannya adalah musuh bagi dirinya. Seperti yang sudah direncanakan, Sita akan menjemput anaknya di rumah mantan mertuanya. Dengan menggunakan motor yang dia beli bebe
“Tuh lihat, manusia kejam yang tega menghancurkan hidup keluarganya sendiri, dulu adiknya sekarang ibunya. Dasar manusia serakah dan tak tau diri. Perempuan seperti itu tak pantas dianggap keluarga,” ujar tetangga Sita yang sedang belanja di tukang sayur keliling di dekat rumahnya. Intonasi suaranya sengaja dia buat tinggi agar Sita mendengar. Yah, sudah menjadi rahasia umum perlakuan Sita pada bu Nurma. Mereka yang awalnya mengira Sita anak yang berbakti karena mau merawat bu Nurma yang lumpuh nyatanya hanya tipu daya belaka. Sita justru mengeksploitasi ibunya sendiri. Miris ….“Kemarin kalau gak salah si Bayu sam Amel pulang bawa si Nurma kan? Pantas dia tinggal sendirian sekarang. Memang dia itu anak durhaka. seperti yang kita tahu kalau selama ini si Nurma kan lebih cenderung sayang ke dia. Eh bukannya balas budi malah menyiksa orang tuanya sendiri, kalau aku sih amit-amit punya anak kayak gitu. Setidaknya kalau belum bisa membahagiakan orang tua ya jangan menyus