"Begitu naif seperti inikah cara main anda? Menghalalkan menyakiti perempuan agar menurut dengan omongan anda?!"Kalimat itu terdengar begitu dingin, tiada intonasi marah, tidak pula intonasi bahagia, ngegas pun juga tidak terasa. Semata-mata datar dan rasanya ialah dingin. Atas kalimat itu jugalah Medina baru berani mengangkat pandangannya, gadis berhijab hitam itu jelas sekali terkejut atas kehadiran seorang pria lebih tua darinya setahun yang kini berposisi lumayan dekat dengannya. Inilah keajaiban yang tidak ia kira akan datangnya, terasa mustahil dalam benaknya sejak tadi bahwa pria itu akan ada di sisinya dan melindunginya sekarang ini tetapi nyatanya saat ini pria gagah itu hadir di waktu yang teramat tepat, waktu di mana Medina membutuhkannya ada. "A-ansel?" panggil Medina dengan suara yang terbata-bata. Ada gugup juga yang menjelma di hatinya Medina posisinya sedekat ini dengan Ansel. Memang pria yang Medina sebutkan namanya itulah yang sekarang ini berdiri tegak dengan ta
"Woy, DOYAM! Gue nanya ih, lo gak tuli, kan? Abi umi kenapa?"Disebabkan Ya'qub tidak kunjung menjawab pertanyaannya, sedangkan dirinya teramat penasaran dan merasa sangat harus tahu jawaban itu, Nayyara pun kembali bertanya, kali ini dengan intonasi berteriak. "Ya'qub, etdah! Suara bini lo teriak-teriak bikin kepala gue pusing dengernya! Tegur dong!" celetuk seorang pria yang duduk di kursi di tengah-tengah antara dua kasur yang ditempati abi Yasser dan umi Yasmin. Wajahnya begitu mirip dengan wajah Ya'qub, raut lelah yang kebetulan sama-sama dimiliki oleh keduanya membuat wajah mereka berdua terlihat begitu serupa, hanya saja pakaian yang sedikit beda, kali ini kembarannya Ya'qub itu yang bernama Yusuf yang mengenakan pakaian formal yakni setelan jas dari atas hingga bawah, sepatunya pun jugalah sepatu pantofel berwarna hitam, masih setelan kerja kantoran. Dan Ya'qub yang berpenampilan santai, biasanya sebaliknya dengan sang kembaran. "Bodo!" tukas Nayyara tidak peduli. "Doyam, a
"Kenapa abi belum sadar, Ya'qub?" "Hm? Obat bius di tubuh abi memang lima belas menit lebih lama durasinya ketimbang punya umi. Lagipula..." Ya'qub menggantungkan kalimatnya dan melepaskan pelukan dengan umi nya, setelah tubuh pria itu sudah tegak ia melirik jam tangannya. Setelah itu dia melanjutkan kalimatnya, "Umi pun sadar beberapa menit lebih awal, padahal obat bius belum habis durasinya. Umi benar tidak apa-apa, kan? Apa ada yang sakit, umi?""Tidak ada yang sakit, Ya'qub. Justru bagus kan kalau umi sadar lebih awal, alhamdulillah, kan?" sahut umi Yasmin. "Tentu saja, umi, muach," sela Nayyara mengecup pipinya umi Yasmin, baru setelahnya bangkit dan menyusul suaminya berdiri tegak di samping kasur rumah sakit yang ditempati umi Yasmin. Begitu pelukan anak-anaknya sudah terlepas darinya, umi Yasmin langsung saja menolehkan kepala ke arah kanannya, meskipun Nayyara melihat wajah umi Yasmin hanya dari samping, namun gadis itu tetap bisa melihat sorot kekhawatiran dari manik mata
Kekehan kecil dari wanita paruh baya yang berbaring di atas kasur rumah sakit berwarna biru itu tidak bisa membuat lamunan gadis di dekatnya buyar. Gadis berambut coklat tersebut masih sentiasa menyelam di lautan memori otaknya. Tidak ada suara dari gadis berisik itu tentunya disadari oleh seorang pria berambut hitam ikal yang berdiri tegak di antara dua kasur rumah sakit, pria bernama lengkap Ya'qub Lutfi Al Lathif itu tidak menyadari bahwa ada yang aneh dari istrinya dengan langsung melihat wajahnya Nayyara, tetapi hanya melalui lirikan mata. Itupun Ya'qub juga tidak langsung mengerti mengapa Nayyara begitu, berkali-kali Ya'qub memikirkan dengan sangat keras, baru akhirnya pria itu tau Nayyara diam karena tampaknya sedang memikirkan sesuatu. Ingin Ya'qub menanyakan penyebabnya langsung, sayangnya ketika teringat dengan sikapnya yang dingin dan tidak peduli an, pria itu pun meninggikan gengsinya dan batal bertanya kepada Nayyara. Padahal ia boleh dan teramat berhak menanyakan Nayya
Meskipun punya banyak luka di masa kecilnya yang menyangkut keluarga dan rumah tangga orang tuanya, tidak membuat Nayyara ketakutan untuk menikah, dia ingin punya pasangan, membangun rumah tangga dan punya keluarga kecil, tetapi harus di garis bawahi keinginannya itu harus diselimuti dengan kebahagiaan. Sekarang itu terjadi, dia telah menikah, seorang pria yang dimata orang-orang baik telah menghalalkan kedekatan dengannya, ada ketakutan pula karena menikah tidak sesuai dengan rencananya, dua tahun lagi Nayyara akan mencapai usia dua puluh delapan tahun, akankah ada pesakitan lagi yang ia temukan di tahun itu, jika ada lagi maka bisa Nayyara mutlak kan presepsi nya tentang angka delapan yang tidak pernah bisa berdamai dengannya. Pun jika persepsi angka delapan itu bisa berubah dengan tidak adanya pesakitan apa pun di umurnya ke dua puluh delapan kelak, Nayyara pasti tidak mampu mengubahnya sendirian ia memerlukan dukungan dan bantuan, apakah pendukungnya itu adalah si doyam? Ataukah
Tarikan kemudian hembusan nafas berat dilakukan oleh Medina mendengar kalimat Ansel barusan, sesuatu tentang hubungan orang tua dan anak memang begitu manis untuk orang-orang yang saling kasih sayang, tetapi akan begitu pahit dan menyakitkan untuk mereka yang selalu dikasari atau dilukai oleh rumah mereka sendiri itu. Medina mengenal dekat dua pria dengan tentunya ada perbedaan, salah satunya mengenai keluarga. Di keluarga Ya'qub tunangannya, yakni keluarga Al Lathif, Ya'qub dikasihi di sana, dan membuat Ya'qub juga tidak kalah totalitas dalam menyayangi keluarganya. Keluarga Ya'qub yang harmonis sebagai mana keluarganya Medina, meskipun di keluarga Medina juga tidak utuh, tetapi kesamaan itu membuat Medina nyaman dengan keluarganya Ya'qub dan merasa mudah berbaur di sana. Sedangkan Ansel keluarganya tidak sama dengan Ya'qub tampaknya, sehingga membuat Ansel sendiri juga biasa saja dalam menyangkut sayang kepada keluarga, pun bahkan sepertinya keluarga Ansel juga terlihat berantakan
"Tubuh tuh jangan disakitin!" tegur pria berambut ikal berwarna hitam itu begitu melihat tindakan istrinya menghempaskan punggung begitu saja ke sofa. Memang sofa di ruang VVIP rumah sakit ini tentunya lembut sesuai dengan tarif biaya bayaran sewa ruangan ini, tetapi tetap saja Nayyara membanting tubuhnya sendiri itu terbilang menyakiti diri sendiri bagi Ya'qub. "Gue gak nyakitin ih!" bantah Nayyara, tidak sudi diomelin. Setelah itu Ya'qub mendudukkan diri di sofa yang sama dengan Nayyara, yang mana kebetulan sofa tersebut adalah sofa yang panjang, tetapi walaupun begitu Nayyara sedikit dibuat salting gegara posisi mereka lumayan dekat, ketika mereka di mobil tadi jarak mereka berdua tidak sedekat ini, karena sofa mobil yang mereka tempati berbeda. Saat ini di ruangan VVIP nomor tiga rumah sakit Pelita Sehat ada dua pasangan suami istri dengan rentang usia berbeda satu sama lain, yakni pasangan suami istri orang tuanya Ya'qub, dan yang satunya lagi Ya'qub dengan istrinya yakni si N
Gadis bermata blue sapphire itu memutus kegiatan saling tatap dengan menolehkan wajahnya beserta tatapannya ke arah dua kasur yang bersisian, di sana terbaring masing-masing satu insan dengan saling berpandangan. "Mereka punya ruang sendiri untuk berduaan, akan kita tanggapi jika mereka memerlukan," kata Ya'qub menjelaskan situasi kedua orang tuanya. "Ya'qub? Apa abi dan umi mu bisa melakukan sholat sekarang?" Si empu nama yang di panggil itu tentu saja langsung berdiri sebab tahu seseorang yang menyebutkan namanya barusan bukanlah orang sembarangan, karena beliau adalah abi nya sendiri, maka dari itulah tidak seharusnya Ya'qub melambatkan menanggapi panggilan dari beliau dan memberikan jawaban lama jika orang tuanya bertanya."Tunggu dulu," ucap Ya'qub, bukan sebagai jawaban atas pertanyaan abi nya, melainkan berbicara kepada Nayyara, pria itu sampai mencondongkan badannya sebagai kode bahwa memang Nayyara yang dirinya ajak bicara. Setelahnya tanpa menunggu balasan dari orang yan