“Iya, betul. Anakku cakep, lulusan luar negeri, berpendidikan. Mau dilamar pilot saja tidak mau, takut diselingkuhi karena sering LDR. Cocoknya ya, dapat dokter atau pengusaha gitu!” cerocos salah satu ibu sambil memperhatikan cincin yang bertebaran di empat jarinya.Ucapan itu diangguki ketiga temannya. Mereka lantas tertawa cekikikan di situ. Devano segera mengajak Kenanga mencari tempat duduk yang masih kosong. Namun, Kenanga justru bergeming.“Memang benar ya, jaman sekarang itu banyak laki-laki maunya dapat janda supaya lebih pengalaman!”Brak! Kenanga tidak tahan lagi, lalu menggebrak meja. Sontak, beberapa orang langsung melihat ke arah Devano dan Kenanga.Devano pun terkejut, lalu meraih kepala Kenanga ke dadanya. Kenanga segera menyingkirkan lengan Devano pelan, lalu berdiri di depan ke-empat ibu tadi.Tanpa basa-basi, Kenanga segera meraih gelas berisi air es teh dan menyiramkan pada keempat ibu rempong itu.Byur!“Dasar perempuan gila!” maki salah satu dari mereka sambil me
Kenanga menatap Devano dengan cemas. Devano memberi isyarat tangan untuk diam, lalu dia bangkit dan melangkah ke jendela. Disibaknya gorden sedikit, lalu Devano menarik napas lega.Devano segera membuka pintu dan tersenyum pada seorang driver go food.“Ya, Allah, sampai lupa, Pak. Hujan-hujanan begini, Pak?” tanya Devano memperhatikan laki-laki paruh baya yang mengenakan jas hujan.Di luar memang masih hujan, tetapi tidak sederas tadi. Devano lantas kembali memasuki ruangan dan mengambil uang lebih banyak.“Maaf ya, Pak.”“Lho, Dok, ini kebanyakan banget!” ungkap bapaknya dengan tangan gemetar karena memegang uang lima ratus ribu.Devano tersenyum. “Tidak apa-apa, rezeki Bapak. Sudah malam, mungkin Bapak waktunya pulang!” ucapnya terenyuh.Driver go food itu pun tersenyum sembari mengucapkan terima kasih berkali-kali. Devano kembali tersenyum dan menutup pintu. Dia menghidu aroma bakso yang menggiurkan. “Ken, makan yuk, Sayang!” ajak Devano sembari mendekati Kenanga yang berdiam di t
"Ris, kamu selalu saja begitu. Sejak dulu selalu bilang akan membebaskan aku. Nyatanya?” protes Dewi.“Diam, aku sudah muak!” sentak Risma lagi. “Terlalu banyak bicara kamu. Cepat buatkan aku teh!” perintahnya tanpa peduli melihat tubuh ringkih Dewi yang kelelahan.Dewi hanya menurut daripada disiksa anak buah Risma. Berkali-kali, Dewi beristighfar dalam hati meminta kekuatan fisik dan mental. Dion menatap miris pada Risma, lalu menggeleng samar.“Ris, sebentar lagi kamu lahiran lho, Sayang. Kurangi marah-marahnya. Biar aku yang buatin teh, ya!” ucap Dion lembut.“Terserah deh, dari dulu kamu memang jadi anak kesayangan Perempuan Tua itu!”Dion segera ke dapur bermaksud membantu Dewi. Dewi tampak kebingungan melihat beberapa kotak teh. Lalu, Dion mengambil salah satu kotak dan memberikan pada Dewi.“Dia suka teh ini, Tante!” ucap Dion. “Biar saya saja yang buatin!” tawarnya kemudian. Dewi mengangguk, sedangkan Dion tidak enak hati dengan perlakuan Risma. Apalagi melihat wajah Dewi ya
“Ken, Tante Dewi!” ucap Dion lirih.“Mam–Ma, tidak mungkin. Mama kan sud–”“Kenanga, Ken, anak Mama!”Kenanga mematung menatap tubuh kurus Dewi. Tanpa disadari air mata kedua wanita itu pun sudah jatuh ke pipi. Lantas Kenanga menampar pipinya sendiri. Sakit! Jelas ini bukan mimpi. Wanita yang berbaring di atas brankar itu adalah Dewi Kumala. Sang mama yang dinyatakan meninggal dalam kecelakaan tragis beberapa bulan lalu.“Ma, apakah Ken bermimpi?” Kenanga segera memeluk wanita tua yang tampak tidak terurus itu. Sangat jauh berbeda. Dulu kulit Dewi tampak cerah karena dirawat dengan baik. Kini wanita itu terlihat sangat tua dengan pipi tirus dan kedua mata cekung. Rambutnya pun telah berubah putih.Tidak kuasa menahan diri, Kenanga menangis di pelukan Dewi. Kedua orang itu pun lantas menangis, begitu juga Rini, sekretarisnya. Dion tampak mendongak dengan mata mengerjap berkali-kali menyembunyikan air matanya.“Kenanga, apa kabarmu, Sayang?” tanya Dewi sambil mengusap air mata di pipi
Sejenak, Kenanga tersadar lalu melangkah cepat keluar dari ruangan. Namun, dia sudah tidak menemukan keberadaan Devano. Kenanga bermaksud menelepon Devano. Dia termangu mendapati empat panggilan tidak terjawab dari Devano beberapa saat yang lalu. Lalu, Kenanga berusaha menghubungi Devano, tetapi di-reject oleh laki-laki itu.“Ya Allah, salah paham kan!” Kenanga menggigit bibir bingung, lalu mondar-mandir di depan ruangannya.Di saat yang sama, Dewi meminta Kenanga datang ke rumah sakit. Kepergian Kenanga tanpa disadari diikuti oleh Devano. Laki-laki itu bermaksud menjenguk Dewi bersama Kenanga.Namun, niat baik Devano urung terlaksana karena sesampai di lobby, Dion sudah menyambut Kenanga sembari tersenyum.“Yon, kamu di sini? Gimana kabarnya Risma, sudah ketemu?” tanya Kenanga.Dion menggeleng pelan, lalu memperlihatkan sesuatu di handphonenya ke arah Kenanga. Kenanga mengangguk sembari tersenyum, lalu mengikuti Dion memasuki koridor rumah sakit. Mereka tampak berbicara serius dan s
"Duh, kakiku!” pekik perempuan itu sembari mengusap mata kakinya.Devano tampak ragu, lalu menutup tabletnya dan mengambil obat di mobil. Meninggalkan perempuan itu yang tersenyum penuh arti menatap kepergiannya. “Ganteng banget dan aromanya maskulin. Kelihatan dia orang kaya!” ucap perempuan itu sembari memijit kakinya.“Maaf ya, saya obati dulu, takutnya terkilir!” Devano memang tidak bisa membiarkan orang lain kesakitan. Tiba-tiba dia teringat dengan Kenanga yang butuh waktu beberapa minggu untuk sembuh. Mengingat Kenanga, membuat Devano mendengus lirih. Dia segera mengoleskan salep pada kaki perempuan itu, lalu kembali memasukkan obat tersebut ke kotaknya.“Sudah, semoga lebih baik!” ucap Devano lalu kembali duduk.Perempuan itu mengangguk dan memanggil temannya untuk membantu berjalan. Devano tersenyum sekilas ketika kedua perempuan itu mengucapkan terima kasih.“Ganteng banget dia. Sepertinya orang kaya. Dilihat dari penampilannya.” “Kamu pura-pura terkilir, kan?” tanya tema
Melihat wajah sembab Kenanga, Dewi tampak heran. Dia bisa menduga putrinya itu sedang ada masalah dengan Devano. Apalagi semenjak dirawat, Devano tidak sekalipun menjenguknya.“Ken, kamu kenapa, Nak? Em, kamu dan Devano baik-baik saja, kan?” tanya Dewi memberanikan diri.Kenanga hanya mengangguk samar sambil tersenyum kaku. “Kak Dev tidak bisa datang, Ma. Ada persiapan seminar ke luar negeri!” jawab Kenanga berbohong.Dewi mengangguk samar. Dia tersenyum lalu mengusap kepala putrinya. Dewi hendak membantu beberes, tetapi Kenanga melarangnya. Setelah selesai mengemasi semua barang pribadi, Kenanga minta izin keluar dari ruang perawatan.Dia harus mengurus administrasi kepulangan Dewi. Langkah Kenanga terhenti di depan pintu, ketika dari arah berlawanan muncul laki-laki yang kini ingin dihindarinya.Kenanga langsung membuang pandangan, tetapi Devano segera berdiri di depan wanita itu.“Untuk apa kamu ke sini?” tanya Kenanga ketus.“Kita bicara, Ken! Sebentar saja!” ucap Devano datar.Ta
Selama beberapa hari setelah hubungannya dengan Devano kandas, Kenanga masih tampak murung. Dia juga selalu menghindari Dion dan tidak mau membalas pesan Devano.Atas saran Dewi, Kenanga memutuskan pergi ke kampung untuk menenangkan diri, sekaligus menghindari kedua pria itu. Dia sekarang berada di rumah adiknya Dewi. Di situ Kenanga berharap bisa menemukan ketenangan.“Mbak, ikut ke pasar, yuk!” ajak Aline, sepupu Kenanga yang masih kuliah itu.Kenanga menyipitkan mata menatap pada motor matic yang terparkir di halaman. Selama di Jakarta dia jarang sekali naik motor. Dia takut karena Jakarta sangat rawan akan begal dan penjahat.“Kenapa tidak pakai mobil saja?” tanya Kenanga ragu.“Yaelah, Mbak, nanti dikira sombong loh! Pasarnya dekat, kok. Orang kota sih gitu, dikit-dikit mobil!” gerutu Aline sambil merapikan hijab di depan spion.“Tapi aman, kan? Tidak ada yang …”“Ck, amannnn! Mbak jangan takut!” sahut Aline.Meskipun ragu, Kenanga akhirnya menurut. Dia segera duduk di belakang A
“Apa, mas?” Kening Kenanga berkerut, lalu membaca sebaris kalimat dari teman Devano.Kenanga lantas menatap Devano dan terdiam. Kabar mengenai Dion yang menyerahkan diri ke polisi tidak serta merta membuat Kenanga bahagia. Wanita itu menarik napas pelan.Setahun lalu, Dion masih suaminya. Laki-laki yang baik dan begitu lembut. Namun, semenjak ketahuan berkhianat sifat Dion berubah drastis. Dion tidak hanya sering mencari masalah, tetapi juga berubah kasar. Tiba-tiba Kenanga meneteskan air mata dan diketahui oleh Devano.“Kamu sedih dia bertanggung jawab atas kelakuannya?” selidik Devano.“Kenapa dia berubah begitu kasar setelah kemauannya tidak dituruti?” Devano mengulurkan tangan mengusap pipi Kenanga. “Kita kaum laki-laki itu pada dasarnya egois, Ken,” sahutnya dengan tatapan dalam. “Cuma cara mengendalikan ego kita yang berbeda. Aku sebenarnya juga cemburu lho, saat kalian menikah. Sakit banget rasanya, cuma yang aku pikirkan bagaimana kamu bahagia. Ternyata cara mengalahku itu sa
Tidak hanya memegang wajah sang istri. Devano juga memperhatikan Kenanga dari ujung rambut hingga ujung kaki. Kenanga melirik takut saat Devano mengusap lengan atasnya. “Ken, kamu bukan orang yang baru belajar naik motor, kan? Jatuh di mana? Aku tanya Bi Sumi kalau gitu!” ucap Devano lalu melepaskan tangannya dari Kenanga. “Em, Mas! Aku sudah selesai!” Kenanga lantas menggigit bibir dan mengikat rambutnya. Rambut hitam Kenanga diikat asal sehingga lehernya terekspose sempurna. Jantung Devano berdegup semakin kencang melihat leher putih itu. Devano segera berdiri di depan wastafel, sedangkan Kenanga sedikit menyingkir. Kenanga kembali menatap cermin dan mulai memakai hijab. Saat bersamaan, Devano juga menatap cermin. “Kamu sangat cantik. Apa kamu akan selalu memakai hijab, Sayang?” tanya Devano. “Apa kalau malam dokter tidak masuk ke sini?” tanya balik Kenanga. “Perawat, tapi mereka juga ada laki-lakinya!” “Kan biar aman, Mas! Dengan aku pakai hijab terus Mas Dev juga
Saran, tentang apa, Dok?” tanya Devano tidak mengerti. Dokter berusia setengah abad itu melirik Kenanga dan berganti menatap Devano. Devano terkekeh pelan, ketika dokter itu menjelaskan tentang kekhawatirannya. Sedangkan Kenanga hanya tersenyum malu dengan wajah merona. “Tidak mungkin kami begitu, Dok!” sahut Devano lirih. “Bagus, lebih baik Anda berdua saling menahan diri sampai kondisi Anda benar-benar pulih.” “Pasti, Dok!” sahut Devano sambil tersenyum. Tidak berapa lama, dokter dan perawat setelah memeriksa kondisi Devano, meninggalkan ruangan. Suasana menjadi canggung sejenak. Kenanga masih berdiri di tempatnya, sampai Devano mengulurkan tangan. “Mendekatlah! Yang dokter tadi sarankan kan, bukan berdekatan, Ken. Tapi berhubungan badan!” Devano justru menjelaskan hingga membuat Kenanga semakin dilema. Kenanga langsung teringat permintaan Andre tadi. Tinggal satu atap hanya dengan Devano, setelah laki-laki itu keluar dari rumah sakit. “Mas, tadi Mas Andre bilang Bi I
Suara mesin kehidupan terdengar nyaring di ruang perawatan kelas VVIP itu. Di atas brankar sosok lemah itu terbaring.Andre dan Kenanga mendekat. Devano masih tidur dan sama sekali tidak terganggu dengan kehadiran mereka. Berhubung hanya satu orang yang diizinkan bersama pasien, dengan perasaan berat Andre memutuskan kembali ke apartemen.Kedua mata Kenanga berkaca-kaca melihat kondisi Devano saat ini.Kenanga menggenggam erat jemari tangan Devano. Wanita cantik itu menatap nanar pada wajah pucat Devano. Lalu, Kenanga mengangkat tubuh dan mendekati wajah tampan itu.“Mas, sudah lama kamu tidur, apa tidak ingin bangun? Bangunlah, aku ingin melihatmu marah seperti ketika aku memasukkan anak kodok ke sepatumu dulu!” Kenanga merasa khawatir karena sudah satu jam di sisi Devano, laki-laki itu masih tidur.Meskipun dokter mengatakan kondisi Devano sudah stabil, tetapi Kenanga tidak akan tenang sebelum Devano membuka mata.Kenanga tertawa sumbang mengingat kejadian beberapa tahun lalu. Dia m
“Masalahnya Bi Ina tidak betah, Ken, di sini! Kalau kamu memang tulus ingin menemani Devano, kenapa tidak?” ucap Andre sembari melirik Bi Ina penuh arti.Wanita tua itu hanya mengangguk saja. Andre kasihan dengan Bi Ina yang harus mondar-mandir apartemen-rumah sakit. Apalagi Bi Ina tidak bisa berbahasa Inggris. Kenanga menggaruk pelipis bingung. Dia dan Devano tidak mungkin berbuat sesuatu di luar batas, apalagi laki-laki itu masih sakit. Namun, terjadi perang batin di lubuk hati Kenanga, ketika harus tinggal satu atap dengan Devano karena mereka belum menikah. “Em, baiklah. Aku bicarakan sama Mas Devano nanti, Mas!” Akhirnya, Kenanga mengangguk samar.Alis Andre naik sebelah mendengar Kenanga merubah panggilan pada Devano. “Maaf ya, aku merepotkanmu, Ken!” ucap Andre tidak enak hati. “Soal kantor jangan khawatir, Tante Dewi sudah komunikasi sama aku! Tante Dewi akan kembali turun ke lapangan!” lanjutnya, lalu terkekeh.Kedua mata bulat Kenanga mendelik. Dia berpikir pasti mamanya
"Lepaskan!” sentak Kenanga geram. Namun, Dion justru memeluk mantan istrinya itu dengan erat. Dion ingin menumpahkan rindu dan penyesalan di situ. Kenanga memberontak hingga pelukan Dion terlepas.“Ken, beri kesempatan aku bicara! Aku minta maaf atas semuanya, Ken. Semuanya! Kita kembali seperti dulu, ya, Ken!” pinta Dion lirih.Kedua mata Dion berkaca-kaca. Melihat wajah tidak ramah di depannya, Dion sadar jika apa yang diberikan pada Kenanga terlalu menyakitkan. Karenanya, Dion ingin menebusnya hingga wanita itu melupakan semua rasa sakit.“Aku tidak bisa, Yon. Maaf, lebih baik kamu kembali sama Kak Risma. Bukankah kalian saling mencintai? Aku sudah ikhlas menerima takdirku.”“Apa ini karena Devano?” tanya Dion tidak suka.Kenanga tidak menjawab. Wanita itu sedikit menyingkir dan menjaga jarak dengan Dion. Dion tersenyum satu sudut melihat aksi diam Kenanga.“Aku sangat berterima kasih karena kamu menyelamatkan Mama. Seharusnya, aku juga melaporkanmu pada polisi, tapi demi Mama, ak
“Apa itu, Mas?” tanya Kenanga.Andre membuka amplop itu dan menyodorkan isinya ke arah Kenanga. Kenanga mendengus kesal sembari melirik tidak peduli, pada beberapa foto Devano dan seorang perempuan yang sedang berpelukan tanpa busana.“Itu, kan, yang kamu maksud?” tanya Andre datar. Kenanga memalingkan wajah dengan hati teramat sakit. Dua kali dikhianati laki-laki yang dicintai, meluluhlantakkan kepercayaan Kenanga. Semua sudah berakhir. Devano dan Dion tidak jauh berbeda. Mereka datang hanya menanamkan luka di hati Kenanga.Sejenak, Andre tampak menelepon seseorang, tetapi tatapannya masih datar pada Kenanga. Beberapa menit kemudian, pintu ruangan Andre diketuk dari luar. Bella segera bangkit dan membuka pintu.Maka, masuklah seorang perempuan yang diapit laki-laki berpakaian serba hitam. Kenanga langsung menoleh ketika mendengar perempuan itu menangis.Kening Kenanga mengernyit, dia seperti tidak asing dengan perempuan itu. Pandangan perempuan itu juga langsung tertuju pada Kenanga
Ya, aku memang pantasnya disakiti, Kak. Aku tidak bisa sepertimu, seandainya aku bisa!” ucap Kenanga parau, lalu duduk di kursi rotan.Aline memberanikan diri mendekat dan mengusap punggung Kenanga. Kenanga menoleh sekilas, lalu kembali menangis. Mendengar kenyataan baru jika Devano pergi ke Kanada dengan orang lain, hati Kenanga semakin hancur.Sebegitu cintakah dia pada teman masa kecilnya itu sehingga tidak bisa menerima kenyataan? Kenanga terlalu dalam menjatuhkan hati pada setiap pria. Rasa sakit dikhianati Dion belum sepenuhnya sembuh. Kini, ditambah luka yang lebih dalam dari Devano.“Mbak, sudah sore, ayo makan!” ajak Aline lirih.“Kamu duluan saja, Lin. Aku berkemas dulu, ya!”“Ya sudah, aku nungguin Mbak Ken saja. Aku beli bakso sebentar, ya. Mbak mau bakso apa mie ayam?” tawarnya serius.Kenanga terdiam sejenak. “Bakso boleh, eh mie ayam saja, Lin!” Aline mengangguk kemudian mengambil kunci motor. Kenanga membuntuti karena teringat sesuatu.“Lin, power bank aku di mana, ya
“Mas Devano, bangun! Tolong, Pak, Mas Dev pingsan!” Bi Ina berteriak histeris hingga mengundang Pak Security dan dua orang ART mendekat.Bi Ina terus menangis sambil menghubungi Andre. Setelah itu dia pun memanggil ambulance untuk membawa Devano ke rumah sakit.“Mas Andre, Bibi takut!” Bi Ina tertunduk di ruang tunggu sambil terus menangis. Beberapa tahun lalu dia merasakan kehilangan ketika kedua orang tua Devano meninggal. Bi Ina bekerja di rumah Devano semenjak laki-laki itu masih SD. Lalu, setelah kepergian kedua orang tua Devano, hanya Bi Ina yang dekat dengan Devano di rumah itu. Jadi, wajar saja jika Bi Ina sangat menyayangi Devano seperti anak sendiri. Meskipun Devano sudah mencukupi kebutuhan Bi Ina dan membelikan sawah juga rumah di kampung, tetapi Bi Ina enggan pulang sebelum Devano ada yang mengurusnya.Andre tampak mondar-mandir dengan gelisah. Sedangkan Bella terdiam sambil merangkul bahu Bi Ina.“Beberapa hari ini Mas Dev jarang makan di rumah, Mbak. Biasanya jarang s