Di ruangan kerjanya, Alvaro tampak frustrasi. Tatapannya tajam menatap email yang masuk. Dia tidak menyangka jika kondisinya semakin berbahaya seperti ini.Begitu pintu ruangan terbuka, tanpa pria itu menoleh dia dapat tahu siapa orang baru saja masuk ke ruangannya.“Semuanya sudah siap, Bos. Tinggal menunggu jadwal take off nanti malam.” Anjar berdiri di depan meja kerja Alvaro. Memang, saat ini Alvaro tidak ingin bertemu siapapun, apalagi mengadakan meeting.Alvaro menghentikan jemarinya di atas papan keyboard. Dia mulai merencanakan apa yang harus dia perbuat terlebih dahulu.“Kau sudah menghubungi pengacara keluarga kita? Secepatnya dia harus mengurus perceraian Alvin dan Nayla,” pinta Alvaro tegas.“Sudah. Dan berkas-berkas yang Bos minta sudah saya berikan padanya.”Meski awalnya ragu karena Alvaro seolah mendukung perceraian adiknya, tetapi setelah menelisik alasannya, Anjar mengerti kenapa Alvaro melakukan itu. Selain demi wanita yang dicintainya, dia juga tidak ingin Alvin te
“Nay! Kenapa?” Lira segera menghambur memeluk Nayla. Entah apa yang terjadi, wanita hamil itu sudah dalam keadaan berantakan, dirinya terus menjerit. Kondisi kamar yang sudah seperti kapal pecah. Semuanya menjadi bahan pertanyaan untuk Lira. Apa benar ada orang jahat? Kenapa kamar sahabatnya menjadi tidak karuan begini? Semua barang-barang berhamburan ke lantai. Pun dengan Nayla yang terus meracau, ada apa gerangan?“Nay, kamu kenapa?” Lira menjadi takut sendiri ketika Nayla juga turut melemparinya dengan bantal. Sebelum wanita itu menjauh, Nayla sempat memukul tubuhnya cukup keras.“Aku harus meminta bantuan.”Lira keluar dari kamar Nayla. Masih terdengar jelas teriakan histeris Nayla. Dalam kondisi Nayla yang tiba-tiba berubah, Lira tidak bisa mengatasi seorang diri. Dia butuh bantuan orang lain untuk mengatasi Nayla.Wanita itu keluar dari rumahnya dengan meraih sweater tebal. Kondisi cuaca yang gerimis membuat penglihatannya sedikit kabur. Untung saja waktu sudah memasuki waktu S
Di sebuah ruangan dengan pendinginan udara yang sudah ditambah suhunya, seorang pria duduk terkulai di atas sofa panjang.Wajahnya tampak terlihat lelah. Dasinya sengaja dikendurkan untuk bisa mengatur napas.Baru saja dirinya akan berkutat dengan laptop, dia dikejutkan dengan suara ketukan pintu.Tampaklah seorang pria paruh baya berkacamata. Tubuhnya sedikit tambun, tetapi tidak kehilangan kharisma gagahnya.“Apa Papa ganggu?” Pria yang tak lain adalah sang papa sudah berdiri di depan pintu ruang kerja Alvaro, anaknya.Pria itu adalah Leonardo, ayah Alvaro yang tinggal di luar negeri. Selain mengurus bisnisnya dia juga mendampingi sang istri dalam masa pemulihan.“Masuk, Pa,” ucap Alvaro sopan.Leonardo duduk di sofa lain. Dia mengamati wajah putra sulungnya yang terlihat serius. Sebagai seorang ayah yang selalu dekat dengannya, dia mengerti apa yang Alvaro alami.“Apa semuanya baik-baik saja?” Leonardo bertanya dengan hati-hati kepada pria itu.Sibuknya Alvaro karena permintaannya.
Lira menatap seorang wanita di ruangan isolasi. Dia terlelap setelah diberikan obat penenang.Gadis itu mengusap air matanya. Entahlah dia harus seperti apa menilai diri. Dia bagaikan seperti iblis, tetapi mana ada iblis yang memiliki rasa iba. Lira kini seolah terjebak dalam permainan Viona. Wanita itu selalu mengancam akan menyakiti dirinya serta Mak Munah yang berada di desa.Sejujurnya, dia masih menaruh kasihan kepada Nayla, wanita yang saat ini sudah lebih tenang dari sebelumnya. Awalnya Nayla selalu meronta, memang benar efek obat dari Viona memang berkepanjangan untuknya. Karena merasa khawatir, Lira diam-diam membuang obat yang ternyata penyebab depresi Nayla.Setelah kejadian Nayla meronta siang itu, beberapa warga memutuskan untuk memasungnya. Wanita hamil itu terlihat sangat mengenaskan dengan kaki yang tidak bisa leluasa bergerak.Bodohnya Lira justru melaporkan hal itu pada Viona. Malam harinya ada ambulans rumah sakit jiwa pesanan Viona untuk mengeksekusi Nayla. Wanita
“Apa kau baik-baik saja?” Alvaro kini telah tiba di tempat Anjar dirawat.Pria itu tersenyum sungkan. Pelipis sebelah kanannya telah diperban. Anjar terbaring dengan tangan digip.“Saya baik-baik saja. Saya minta maaf karena tidak bisa menjalankan amanah dari Anda.” Anjar merasa bersalah karena tidak bisa menjalankan apa yang Alvaro minta.“Sudahlah. Lebih baik kau istirahat agar cepat pulih. Ini semua di luar prediksi kita.” Alvaro mengusap pelan lengan Anjar, barangkali saja dia akan merasakan sakit di bagian itu.Setelah tiba di bandara, tanpa ingin pulang dulu. Pria itu hanya singgah sebentar ke kantor. Selain untuk mengecek kondisinya, dia juga akan bersiap dari sana. Di kantor itu bukan hanya tempat bekerja untuk Alvaro, tetapi sudah seperti rumah kedua baginya.Setelah itu dia langsung menemui Anjar di rumah sakit. Sakitnya Anjar ada turut campur dirinya, sebab dia sedang bekerja untuknya ketika mengalami musibah itu.“Tunggu!” Alvaro sedikit mengernyit ketika menatap Anjar da
Alvaro tengah sibuk di balik meja kerjanya. Ternyata menghandle semua pekerjaan sendiri cukup membuat kepalanya berdenyut. Barisan huruf dan angka yang seolah tanpa spasi membuatnya berkunang-kunang.Biasanya semua itu Anjar yang akan meng-handle bersama Laras, sekretarisnya. Tetapi, Anjar masih dalam masa pemulihan, tidak mungkin Alvaro membebani pikiran pria itu.Tiba-tiba saja pintu ruangannya dibuka dengan kencang, membuat pria itu dengan cepat menoleh ke arah sumber suara.Seorang pria bertubuh tegap, dengan penampilan yang rapi. Dialah Alvin. Raut wajahnya menunjukkan rasa kesal serta amarah. Tatapan matanya tajam ke arah Alvaro yang masih dengan santai duduk di kursi kekuasaannya.“Apa maksud, Kakak, melakukan semua ini?” Suaranya keras menggelegar ruangan itu. Untung saja ruangan Alvaro dilengkapi fasilitas kedap udara, sehingga mau sekencang apapun orang berteriak tidak akan sampai terdengar keluar.Alvaro melepas kacamata bacanya. Wajahnya masih terlihat santai dengan senyum
“Ini apa, Mas?” teriak Viona.Wanita itu melempar beberapa kertas ke badan Alvin yang saat itu sedang dia rebahkan di atas sofa.Harinya berlalu dengan sangat melelahkan. Alvin sudah berupaya membujuk beberapa kliennya untuk kembali bisa bekerja sama, tetapi semuanya nihil.Berbagai penolakan dia terima dari mereka, bahkan lebih mengejutkan lagi, Alvin harus membayar penalti karena dianggap prosedur kerjanya melenceng dari surat kontrak mereka.Belum reda rasa sakit di kepalanya, dia sudah dikejutkan dengan kedatangan Viona yang tiba-tiba. Setahu Alvin, wanita itu tengah sibuk di luar kota. Entah ada kepentingan apa yang dia lakukan.“Kamu sudah pulang?” tanya Alvin dengan mata sayu.“Jawab pertanyaanku. Kenapa bisnis jadi terombang-ambing begini? Apa yang sudah kau lakukan?” cecar wanita itu tanpa jeda kalimat.Alvin mengembuskan napas kasar. Dia membenarkan posisi duduk menjadi tegak. Netranya menyapa lurus ke depan sembari menyesap kopi yang masih mengepulkan asapnya.“Semua ini ul
Lira baru saja pulang dari tempatnya bekerja. Wanita itu tampak lelah setelah mengurusi beberapa klien yang kali ini memiliki permintaan di luar nalar.Seharusnya wanita itu sudah pulang dari dua jam yang lalu. Bukan karena terjebak macet yang membuatnya terlambat pulang, tetapi banyaknya customer yang membludak dari hari biasanya. Malam ini dia bisa beristirahat dengan tenang. Besok hari Minggu, dia bisa bangun sedikit siang, lalu dia akan menjenguk Nayla. Sudah hampir sepekan dia tidak melihat kondisinya. Bukan inginnya seperti itu. Jika bukan salahnya, wanita itu tidak akan mengalami hal seperti itu. Lira hanya ingin memastikan kondisi Nayla baik-baik saja meski kata sembuh itu jauh sekali buat wanita hamil itu.Entah apa yang diinginkan Viona. Dia membuat ibunya gila. Jika wanita jahat itu ingin melihat kehancuran Nayla, kenal dia tidak membunuhnya? Atau sekalian melenyapkan bayi dalam kandungannya.Saat dia ingin membuka pintu, suara seseorang membuatnya tertegun. Lira sontak m